Rabu, 10 Agustus 2016

Perbandingan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia dan Amerika



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Sebelum Revolusi Perancis keadaan sosial-politik di Eropa daratan terjadi polarisasi antara negara dan masyarakat disatu pihak, dan di pihak lain masyarakat terpolarisasi menjadi masyarakat dengan hak-hak istimewa dan masyarakat biasa. Masyarakat yang memiliki hak istimewa terdiri atas para bangsawan, para petinggi agama, dan para tuan tanah. Kekuasaan berada pada dua pusat yang saling memperkuat, Paus dan Kaisar. Kekuasaan terkait dengan agama dan Tuhan berada di tangan Paus. Kekuasaan yang terkait dengan duniawi berada di tangan Kaisar. Keduanya menjalankan kekuasaan atas nama Tuhan. Masyarakat secara riil dikuasai oleh berbagai macam golongan yang memiliki hak istimewa tersebut dengan perlindungan dari kedua pemegang kekuasaan.
Peraturan berasal dari kekuasaan itu dan penegakannya berupa pengadilan yang bermacam-macam; pengadilan raja, pengadilan gereja dan pengadilan feodal. Lambat laun kekuasaan Paus dan Kaisar makin memudar, dan seiring dengan itu bertumbuhlah negara nasional baru dipimpin oleh raja setempat. Kepemimpinan mereka ini makin absolut dan rakyat makin jauh dari keadilan dan kesejahteraan, beban mereka untuk membiayai negara makin berat dan menekan. Seiring dengan itu, tirani berpindah dari Paus dan Kaisar kepada raja-raja baru ini, hukum dan peradilan secara perlahan, tapi pasti beralih menjadi monopoli negara yang absolut. Di Perancis, keadaan ini mendorong lahirnya Revolusi Perancis yang kemudian mengilhami lahirnya negara republik modern. Hal berbeda terjadi di Inggris dialektika tantangan dan tanggapan bersintesakan Magna Charta yang menjadi cikal bakal negara monarki konstitusional yang demokratis.
Pada perkembangannya setelah Revolusi Perancis berakhir rezim lama dan berganti rezim baru, republik. Suatu negara yang diperintah oleh rakyatnya sendiri. Deklarasi tanggal 4 Agustus 1789, Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen yang dinyatakan oleh Assemblee Nationale setelah revolusi, bukan berarti hanya penghapusan hak-hak istimewa golongan tertentu, sehingga negara memiliki konstituen lain, rakyat yang memiliki kesetaraan di hadapan hukum saja, tetapi arti yang lebih penting justru negara baru itu diperintah oleh rakyatnya sendiri. Sebuah negara konstitusional modern, negara hukum. Negara yang pemerintahannya dibatasi oleh hukum. Kemudian negara tersebut dikenal dengan negara yang menganut sistem trias politica.
Dalam konsep trias politika terdapat dua pemikir yaitu Montesquieu dan John Locke, ke dua pemikir ini dalam persamaan dan perbedaannya terdapat garis merah tentang pentingnya pembagian kekuasaan dalam negara, sebagai upaya menghindari absolutisme kekuasaan oleh pihak tertentu, oleh sebab itu kekuasaan di dalam negara tersebut harus dipisahkan dan dilaksanakan oleh setiap cabang kekuasaan yang dipegang oleh lembaga yang berbeda.
Perbedaan cabang kekuasaan antara Montesquieu dan John Locke terdapat pada salah satu cabang kekuasaan. Montesquieu membagi kekuasaan dalam kekuasaan pembuat undang-undang dijalankan oleh legislatif, pelaksana undang-undang dijalankan oleh eksekutif dan pengawas jalannya undang-undang oleh legislatif. Sedangkan John Locke membagi menjadi eksekutif, legislatif dan federatif. Menurut John Locke kekuasaan federatif adalah cabang kekuasaan negara yang tugasnya melakukan hubungan dengan negara lain. Trias politica kedua tokoh berbeda, sebagai akibat dari cara berpikir atau kondisi dan latar belakang kenegaraan yang berbeda. Montesquieu yang berkebangsaan Perancis dan John Locke berkebangsaan Inggris. John Locke sangat dipengaruhi praktik ketatanegaraan Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga legislatif, yaitu House of Lord. Maka sangat kental pendapatnya memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Sementara Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon.
Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara negara merupakan sa­lah satu badan penyelenggara negara, di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki Pasal 24 UUD 1945. Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam UUD NRI 1945 juga mengintroduksi lembaga baru yaitu Komisi Yudisial, peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Karenanya badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan.

Berbeda dengan negara demokrasi lainnya, yaitu Amerika Serikat, sistem hukum Amerika terdapat lebih dari lima puluh sistem hukum yang berhubungan erat, namun sama sekali tidak identik. Amerika Serikat menjadi sebuah federasi yang tersusun dari negara-negara bagian yang sistem hukumnya berdiri sendiri-sendiri dengan segala otoritasnya yang oleh Konstitusi Federal tidak diserahkan kepada organ-organ Federal. Dalam hal terdapat beberapa bidang yang memiliki yuridiksi yang sama antara pemerintahan negara bagian dengan pemerintah federal, maka hukum federal lah yang dianggap lebih penting dari hukum negara bagian.
Di Amerika Serikat lembaga yudikatif terbagi menjadi pengadilan federal dan pengadilan negara bagian. Sistem pengadilan negara bagian bervariasi dari satu negara bagian dengan negara bagian lainnya. Biasanya terdiri dari pengadilan-pengadilan tingkat pertama (trial court, atau umum disebut municipal court atau county court) yang memutuskan perkara, pengadilan menengah untuk banding (Appellate Courts), dan sebuah Mahkamah Agung (Supreme Court) sebagai pengadilan tingkat tertinggi (di New York disebut Court of Appeals).
Makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai Kekuasaan Kehakiman yang ada di Indonesia dan Amerika Serikat, dengan mencari benang merahnya maupun untuk membedakannya, sebagai upaya melihat secara detil bagaimana konsep trias politika diterapkan oleh ke dua negara tersebut. Tema ini diambil karena penulis menilai bahwa Indonesia dan Amerika Serikat memiliki beberapa kesamaan yang sangat nampak terlihat, diantaranya negara yang berbentuk Republik dan negara yang menjadi pionir demokrasi di dunia.

B.    RUMUSAN MASALAH
Dari rangkaian latar belakang di atas akan dijabarkan ke dalam rumusan masalah sebagai berikut
1.     Bagaimana konsep Kekuasaan Kehakiman menurut para ahli?
2.     Apa persamaan kekuasaan kehakiman di Indonesia dan di Amerika?
3.     Apa perbedaan kekuasaan kehakiman di Indonesia dan di Amerika?

BAB II
KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM KERANGKA TRIAS POLITIKA

A.    REVOLUSI PERANCIS DAN AWAL LAHIRNYA TRIAS POLITIKA
Revolusi Perancis meletus pada paruh kedua abad XVIII, atau tepatnya pada tanggal 14 Juli 1789. Revolusi dengan semboyan liberte, fraternite, dan egalite tersebut merupakan suatu jembatan menuju era baru yang secara fundamental berbeda dengan era sebelumnya. Semboyan tersebut, mengisyaratkan tidak adanya kebebasan, persaudaraan, maupun persamaan di dalam masyarakat sipil. Secara singkat dapat dikatakan, keadaan yang melatarbelakangi terjadinya revolusi sebenarnya adalah tidak adanya keadilan dalam masyarakat sipil; sebaliknya, Revolusi menginginkan adanya keadilan di dalam masyarakat sipil sebagaimana slogan tersebut.
Revolusi sebagai tanggapan sebenarnya bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan terdapat peristiwa atau fakta yang mendahuluinya, yang berlangsung secara bertahap, sedikit demi sedikit, yang kemudian terakumulasi sehingga menjadi sebuah tantangan yang mendesak yang harus dihadapi oleh masyarakat sipil. Masyarakat sipil menanggapi tantangan itu juga secara bertahap, sedikit demi sedikit, sesuai tingkat perkembangannya, sehingga antara tantangan dan tanggapan itu berlangsung secara seimbang dan dialektis. Setelah tantangan itu sedemikian tinggi akumulasinya, dan sedemikian mendesak dan menekan terhadap masyarakat, maka desakan dan tekanan itu tidak tertahankan lagi oleh masyarakat.
Revolusi memunculkan era baru yang oleh ilmuwan disebut sebagai Zaman Modern.  Zaman Modern terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama ialah masa Renaissance yang berlangsung mulai abad XV sampai dengan pertengahan pertama abad XVII, pada tahun 1650. Tahap kedua ialah masa Rasionalisme, Aufklaerung yang berlangsung dari pertengahan kedua abad XVII, tahun 1650 sampai akhir abad XVIII, tahun 1800. Tahap ketiga ialah masa terakhir Zaman Modern, yaitu abad XIX, yang terjadi sesudah Revolusi Perancis.
Dalam sejarahnya bahwa dinamika sosial politik yang memengaruhi hukum dan peradilan yang terjadi pada masa transisi dari Rasionalisme ke masa Zaman Modern sesungguhnya untuk melihat bagaimana tahapan Zaman Modern membentuk pandangan dan sikap politik masyarakat terhadap praktik pemerintahan negara, Hukum dan peradilan seperti apa yang terjadi dan yang diinginkan oleh masyarakat ketika itu.
Revolusi Perancis merupakan suatu masa di dalam sejarah Perancis yang terjadi antara tahun 1789 dan 1799. Dalam masa itu demokrat dan kaum republikan menjatuhkan monarchi absolut di Perancis dan menjadikan Gereja Katolik Roma melakukan restrukturisasi secara radikal. Revolusi terjadi karena faktor utama tiadanya keadilan yang telah berlangsung lama; namun, dalam tahun 1789 banyak peristiwa-peristiwa yang menjadi pemicu terjadinya tersebut. Revolusi terjadi pada tanggal 14 Juli 1789 dengan diserbunya penjara Bastille sebagai simbol absolutisme, dipicu oleh merosotnya keuangan negara yang kemudian ditanggapi oleh Raja dengan pembebanan pajak yang tidak adil, pertentangan antara raja dan dewan perwakilan rakyat, sementara itu, bangsawan-bangsawan dengan gaya hidup yang boros dan serakah selalu berusaha menaikkan pendapatannya dengan melakukan perampasan secara paksa milik umum.
Setelah Revolusi, Perancis menjadi sebuah negara modern dengan tipe baru, tipe negara konstitusional, negara hukum. Negara yang pemerintahannya tidak lagi absolute, tetapi dibatasi oleh hukum. Negara yang dahulu berprinsip adanya konstituen golongan-golongan yang memiliki hak istimewa, dan golongan rakyat biasa; kini berprinsip “ kesamaan sekalian orang di hadapan hukum”. Sistem hukum yang merupakan kompromi dari semua golongan yang ada, yang menjaga agar sekalian kepentingan dapat berinteraksi satu sama lain secara baik dan produktif. Negara dengan system hukum yang demikian itu menurut Unger, sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo, layak untuk disebut memiliki “legal system”, yang dapat menjadi tembok yang diperlukan agar satu golongan dalam masyarakat tidak selalu dikalahkan oleh yang lain, bahkan oleh pemerintah.[1] Hal tersebut berbeda dengan Inggris pada abad Pertengahan yang memulai langkah pertama dan diikuti langkah-langkah seterusnya tetap dengan mempertahankan monarchi,

B.    TRIAS POLITIKA MENURUT MONTESQUIEU DAN JOHN LOCKE
1.     Pemikiran Montesquieu Tentang Trias Politika
Teori Montesquieu dibangun dengan metode empiris, bertolak dari watak masyarakat yang diperkaya dengan hukum alam. Watak masyarakat dibentuk oleh faktor fisik: iklim, keadaan daratan, kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan suatu masyarakat; dan faktor moral: agama, adat istiadat, kebiasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir, dan suasana yang tercipta di pengadilan. Terkait dengan politik atau pemerintahan, menurut teorinya pemerintahan itu ada tiga macam: republik, monarki dan despotik.
Ketiga macam pemerintahan tersebut dapat dicirikan dalam dua hal: hakekat dan prinsip. Hakikat pemerintahan adalah isi yang membentuk pemerintahan. Prinsip adalah cara bertindaknya. Menurut hakekatnya, dalam suatu pemerintahan republik kekuasaan tertinggi dapat terjadi beberapa kemungkinan-kemungkinan: dimiliki oleh sekelompok orang atau keluarga-keluarga tertentu, atau lembaga yang merepresentasikan seluruh rakyat [demokrasi], atau aristokrasi yang merepresentasikan sebagian masyarakat tertentu. Dalam pemerintahan monarki kekuasaan yang tertinggi berada di tangan penguasa, misalnya raja, yang dalam pelaksanaannya kekuasaan diatur oleh hukum yang sudah mapan. Dalam pemerintahan despotik, terdapat hanya satu orang sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dalam memerintah menurut kehendak dan pikirannya sendiri.
Dalam pandangannya, pemerintahan republik adalah yang paling baik, karena menurut hakekatnya negara diperintah oleh rakyat, kemudian rakyat memberikan mandat serta legitimasi kepada orang-orang yang dipercaya untuk memerintah melalui sistem dan mekanisme perwakilan. Pemerintahan monarki dapat saja menjadi pemerintahan yang baik manakala penguasa negara mematuhi hukum, menghormati rakyat yang diperintah, dan hak-hak istimewa kaum bangsawan. Sementara itu, pemerintahan despotik, karena pemerintahan dijalankan menurut kehendak dan pikiran sendiri secara perorangan, maka pemerintahan menjadi mutlak, tidak terbatas, hukum berada di bawahnya, sehingga tindakannya berada di luar hukum. Karena itu pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang paling buruk.
Dalam hal kaitan antara hukum dan politik, teorinya mula-mula menjelaskan mengenai adanya jenis hukum yang bermacam-macam. Hukum alam, hukum yang tak dapat diubah dan dipertentangkan. Hukum agama, berasal dari Tuhan. Hukum moral dari filsafat, dapat dibuat dan diubah. Hukum politik dan sipil dari negara. Politik dan sipil, meski merupakan aspek dari masyarakat yang sama, namun arahnya berbeda. Hukum politik atau hak-hak politik terkait dengan negara. Substansinya, struktur konstitusional, hubungan pemerintah dengan warga yang diperintah, dan gabungan dari kekuatan, keunggulan dan kekuasaan. Hukum sipil atau hak-hak sipil, substansinya terkait dengan hubungan antar individu. Hukum politik merupakan political state, bernuansa publik, dan politik konstitusional, sedangkan hukum sipil merupakan civil state dan bernuansa non politik. Hukum politik menetapkan kebebasan politik. Kebebasan politik dalam pandangannya tidak pernah absolut. Pertama, kebebasan politik yang berkaitan dengan konstitusi merupakan hak untuk melakukan apapun yang diperbolehkan oleh konstitusi. Kedua, kebebasan politik yang berkaitan dengan warga negara berupa keadaan aman. Kebebasan politik mengharuskan diberikannya pemerintah kewenangan sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan keadaan aman.
Kewenangan atau kekuasaan tersebut cenderung untuk disalahgunakan. Untuk menghindarinya, kekuasaan tidak boleh tersentralisasi di dalam satu tangan. Kekuasaan harus dibagi untuk menghindari penyalahgunaan oleh penyelenggaranya, agar kebebasan politik rakyat tidak dicederai. Inilah teori yang dikenal dengan Trias Politica, yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga fungsi: perundang-undangan,legislatif; pemerintahan, eksekutif dan kehakiman, yudikatif. Di samping dibagi, kekuasaan harus dipisahkan dan hubungannya satu sama lain berbentuk saling mengawasi dan mengimbangi, check and balances.

2.     Pemikiran John Locke Tentang Trias Politika
John Locke pada awalnya mempelajari ilmu alam dan kedokteran yang termasuk perintis di dalam empirisme modern, kemudian mempelajari filsafat, sehingga pengaruh empirismenya itu sangat kental di dalam pandangan-pandangan filsafatnya. Ia juga memegang beberapa jabatan penting di dalam negara, sehingga perhatian filsafatnya terarah kepada filsafat tentang negara dan hukum. Ia, meski seorang perintis empirisme, namun sesuai dengan semangat yang melekat pada zamannya ia masih kental dengan Rasionalisme. Dalam bidang negara dan hukum ia menentang pandangan tentang negara dan hukum masa Renaissance yang tidak lagi ada hubungannya dengan Allah, yang memandang hukum alam hanya sebagai petunjuk moral dan bukan hukum yang sesungguhnya, kekuasaan untuk membentuk hukum menjadi kewenangan negara, sehingga kepala negara, raja, memiliki kekuasaan yang mutlak (absolute) atas orang-orang yang hidup dalam wilayahnya. Ia orang yang pertama-tama melawan absolutisme negara tersebut melalui pemikiran-pemikirannya sesuai dengan tradisi demokrasi yang mulai berkembaang di negaranya sejak abad XIII, sejak terbentuk dan berlakunya Magna Charta.
Penolakan terhadap absolutisme negara tersebut sejalan dengan penolakannya terhadap segala bentuk kekuasaan yang tidak mengindahkan realitas yang nyata (empiris), yaitu hak-hak alam pada setiap manusia berupa hak untuk hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk negara. Hak-hak alam tersebut, semula dipertahankan oleh masing-masing individu (the executive power of the law of nature) ketika manusia masih primitif dan negara belum terbentuk. Setelah kehidupan bersama menegara dan undang-undang terbentuk, maka perlindungan (protection) dan penegakan (enforcemence) terhadap hak-hak alam tersebut menjadi tanggung jawab negara yang telah dibentuk oleh masyarakat. Jadi, menurut teori John Locke, tujuan negara, sebagaimana dalam semboyan hukum Romawi, adalah untuk keselamatan bangsa dan merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto) dalam pengertian yang disesuaikan dengan pandangannya yang demokratis, negara harus menjaga hak-hak warga negara.
Atas dasar-dasar sebagaimana diuraikan dapat disimpulkan, ajaran Locke sebagai perintis jalan menuju sebagai gagasan negara hukum yang membatasi kekuasaan negara dengan tujuan negara dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam pandangannya setelah negara terbentuk, negara memang bukan merupakan masyarakat yang dapat dipertimbangkan untuk diterima atau tidak diterima secara bebas. Karena negara meliputi orang-orang sebagai anggota-anggotanya selama kehidupannya atau sebagian besar dari kehidupannya, lepas dari kemauan mereka. Berkaitan dengan pandangan-pandangannya itu, terdapat asas-asas organisasi negara hukum seperti berikut ini:
Pertama, kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara. Disebut demikian karena sekelompok orang dapat saja membentuk undang-undang, namun undang-undang itu baru sah sebagai hukum karena kekuasaan legislatif negara yang berwenang menentukan sanksi manakala undang-undang itu dilanggar. Dalam membentuk undang-undang, legislatif hanya tunduk kepada hukum alam yang memberikan hak-hak alamiah kepada rakyat yang menjadi warganegara. Dengan demikian, meskipun legislatif itu sebagai kekuasaan tertinggi didalam suatu negara, namun kekuasaan itu tetap dibatasi dan oleh karenanya harus tunduk kepada hukum alam. Terkait dengan ajaran ini, rakyat berhak merebut kembali hak-haknya jika ternyata pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak melawan tujuan negara. Dengan ajaran terakhir ini ajaran Locke dianggap mengandung suatu tendensi revolusioner. Bilamana syarat-syarat tertentu tidak dipenuhi oleh negara, maka revolusi diperbolehkan. Termasuk ke dalam kekuasaan ini adalah kekuasaan yudikatif.
Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang demi kepentingan umum (eksekutif). Di dalamnya termasuk wewenang dengan inisiatif sendiri untuk bertindak, kalau undang-undang tidak dapat diterapkan pada situasi konkrit yang tertentu. Ini merupakan hak istimewa (prerogratif) eksekutif. Dengan hak ini pula pemerintah dapat melawan undang-undang demi kepentingan negara. Ketiga, kekuasan yang mengandung wewenang untuk mengambil keputusan menyatakan perang dan mengadakan perdamaian, mengadakan kontrak dengan negara lain, dan hubungan antar negara lainnya (federatif). Lock berpendapat, hubungan ketiga kekuasaan itu harus ditentukan secara seimbang, harus ada kedaulatan yudikatif bagi seorang hakim, dan negara harus diperintah dengan undang-undang yang tetap (standing law), bukan dengan dekrit yang berasal dari penguasa (arbitrary decrees)

C.    SEJARAH PERKEMBANGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
1.     Pengadilan Gereja
Dalam pengadilan gereja, seorang uskup pada prinsipnya adalah hakim pengadlian yang di dalam menjalankan tugasnya dibantu seorang atau lebih diaken keuskupan. Dalam perkembangannya, pengadilan kemudian dijalankan oleh diaken di dalam diakonat-nya, sedangkan uskup menjadi semacam hakim dalam pengadilan tingkat banding. Pada abad XII, karena peradilan yang dijalankan oleh para diaken tersebut lolos dari otoritas keuskupan, maka jabatan-jabatan hakim itu ditarik kembali oleh uskup, dan kemudian uskup mengngkat hakimhakim dari para ulama yang memiliki spesialisasi di bidang kehakiman. Mereka ini disebut “official” yang diangkat dan diberhentikan oleh uskup.
Para official memiliki kewenangan perdata, pidana, juga peradilan sanggah-menyanggah (Contentieuse rechtspraak) dan peradilan sukarela. Official bersidang dalam acara hakim tunggal yang dibantu oleh orang-orang yang duduk dalam persidangan (bijzeters) yang menguasai hukum (iurisperiti) untuk satu wilayah keuskupan yang hanya diangkat seorang official. Dalam perkembangannya, seorang official adalah seorang yuris yang berpendidikan universitas. Organisasi pengadilan gereja atau official ini mengalami perkembangan pesat pada abad XIII dan abad XIV dengan diadakannya pejabat yang mendampingi official, sehingga di dalam pengadilan terdapat susunan seperti berikut ini: (i)sigillator, penyimpan cap segel (zegel bewaarder) dari official; (ii) receptor actorum, yang mencatat perbuatan-perbuatan hukum yang diajukan kepada official; dan (iii) registrator atau panitera yang mencatat dan mengatur jalannya persidangan; serta (iv) promotor, yang mengusut dan menyidik kejahatan-kejahatan, serta menuntut tersangka di depan official.
Sebagaimana telah disinggung di muka, pengadilan banding diperkenankan dengan cara mengajukan putusan official kepada uskup, atau bahkan paus. Manakala perkara banding diajukan kepada paus, maka paus menunjuk Curia-nya untuk menyelesaikan peradilan banding tersebut, yang juga disebut Rota. Peradilan banding ini merupakan peradilan tertinggi dalam pengadilan gereja dan pernah kehilangan kekuasaannya pada abad XVI demi kongregasi-kongregasi, namun kemudian mendapatkan kembali kekuasaannya dengan keputusan Paus Pius X.
Hukum acara yang dipergunakan di pengadilan gereja berbeda dengan hukum acara di pengadilan kaum awam. Hukum acara pengadilan gereja sebagian besar diambil dari hukum acara Romawi, extre ordinem. Penyelenggaraan peradilan perkara perdata dilaukan sacara tertulis dengan prosedur aquisitorial. Penggugat merumuskan gugatannya di dalam sebuah libelus (yang secara harfiah berarti buku) dan mengajukannya kepada official. Official memanggil penggugat dan tergugat dihadapannya dan membacakan libelus. Tergugat diperkenankan mengajukan “exceptiones”. Kemudian terjadilah sanggah-menyanggah secara hukum dalam persidangan (litiscontestatio). Manakala telah selesai sanggah-menyanggah, maka dilanjutkan dengan mengajukan bukti-bukti. Dalam hal tidak terdapat cukup bukti, maka official dapat menyuruh melakukan pengangkatan sumpah untuk putusan dalam rangka mengakhiri sengketa. Prosedur pemeriksaan peradilan pidana semula berjalan sebagaimana peradilan perdata, aquisatorial; namun sejak abad XII muncul prosedur pemeriksaan inquisatorial yang kemudian berdasarkan piagam paus Innocentius IV, dinyatakan berlaku untuk peradilan pidana, terutama diterapkan untuk kaum bid’ah. Dalam prosedur inqusitorial, pemeriksaan (inquisitio) dilakukan oleh hakim begitu ia mengetahui adanya kejahatan. Ia bertindak secara ‘ex-officio’. Prosedur ini menyebabkan diterapkannya penyiksaan (quaestio), suatu institusi yang diserap dari hukum pidana Romawi.

2.     Peradilan pada Periode Feodal
Sampai abad XII peradilan terpecah-pecah sebagaimana kekuasaan pemerintahan ketika itu. Proses peradilan berlangsung bertahun-tahun, menelan biaya tinggi dan hasilnya sulit diprediksi. Prinsip umum yang berlaku iudicium parium, vonisnya dijatuhkan oleh pares (yang setingkat dan setara), seorang bangsawan hanya boleh diadili oleh bangsawan, kelas menengah oleh kelas menengah, dan budak oleh rekan-rekan budak sendiri, sehingga terdapat jumlah majlis yang sangat besar.
Pengadilan tuan tanah terdiri anggota-anggota tuan tanah tertentu, sehingga setiap tuan tanah memiliki pengadilannya sendiri yang disebut curia. Pengadilan ini berwenang mengadili perselisihan yang terjadi antara anggota-anggota yang berdiam di wilayah tuan tanah yang bersangkutan, terutama mengenai sengketa pertanahan dan kewajiban-kewajiban pertanahan.

3.     Pengadilan Kota
Di Belgia sejak abad XIII tersebar pengadilan-pengadilan kota di daerah-daerah, sehingga setiap kota memiliki pengadilan kota. Di setiap pengadilan terdapat tujuh pejabat pengadilan yang disebut Scabini, yang diangkat dari penduduk kota oleh pemimpin kota. Mereka adalah hakim-hakim rakyat yang tidak memperoleh pendidikan hukum secara khusus. Mereka memeriksa perkara atas perintah pimpinan kota atau wakilnya (baljuw, schout, mier, amman, dan sebagainya). Pengadilan kota memiliki kewenangan sebagai pengadilan umum, baik perkara perdata maupun pidana, termasuk hukuman mati, sepanjang bukan perkara yang menjadi kewenangan pengadilan gereja atau pengadilan feodal.

4.     Pengadilan Kerajaan
Sejak abad XIII, raja, seperti Raja Perancis, menganggap dirinya selaku wakil Tuhan di muka bumi ini dan menjadi sumber keadilan dan kepatuhan (Rex est fons omnismodi iustitiae). Karena itu, raja mempunyai kekuasaan yudikatif sebagai santiran iudicium parium. Dalam menjalankan kekuasaan dimaksud, raja berkonsultasi kepada penasehat-penasehatnya, atau mendelegasikan kekuasaan hukum kepada mereka (justice deleguee). Raja dapat juga menahan sebagian kekuasaan hukum ini bagi dirinya sendiri (justice retinue) atau melakukan pemeriksaaan tingkat banding terhadap putusan pengadilan kerajaan tingkat rendah.
Dalam perkembangannya, pengadilan kerajaan secara fungsional berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat. Sejak abad XII dan XIII, Raja Perancis menjalankan kekuasaan judikatif di istananya (curia regis) didampingi oleh tuan tanah besar. Di samping itu, tuan tanah sendiri, sebagaimana dikemukakan di muka, juga melakukan peradilan di wilayahnya. Pada akhir abad XIII, oleh karena demikian banyaknya perkara yang diajukan, maka dibentuk institusi peradilan baru yang didasarkan pada kompetensinya, yaitu (i) Conseil du Roi, sejenis dewan pemerintah; (ii) Chamber des Comptes, kamar komptabilitas untuk mengawasi pendapatan dan pengeluaran; dan (iii) Parlemen, untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan.
Sampai dengan abad XVIII, Parlemen Paris merupakan institusi kekuasaan hukum Raja Perancis. Seiring dengan perkembangan luas wilayah negara karena terjadinya aneksasi terhadap daerah tuan tanah oleh kerajaan, maka dibentuklah parlemen-parlemen baru dengan mengikuti pola Parlemen Paris sampai dengan unifikasi parsial terhadap institusi peradilan yang dilakukan oleh Raja Henry II pada tahun 1552.

5.     Menuju Hakim Professional
Seperti telah dikemukakan di muka, pada abad XIII hukum ditegakkan oleh hakim rakyat yang diangkat oleh pemimpin kota, dan mereka itu tidak berpendidikan hukum di universitas. Pada abad XIV sampai dengan abad XVIII keadaan mulai berubah, jabatan hakim diselenggarakan oleh hakim yang profesional, pada umumnya mereka adalah legis-legis atau yuris-yuris lulusan universitas.

6.     Advokat
Istilah advokat berasal dari kata advocatus yang artinya pelindung atau wali, dan telah dijumpai sejak abad XIII yang dikenal dengan julukan “Taelman”. Dalam bahasa Perancis “avant-parlier” atau “amparlier”. Sejak abad XV, yuris yang memberi nasihat dan mewakili para pihak disebut advokat. Pada abad XVI jabatan advokat terorganisasi dalam suatu perhimpunan dan mensyaratkan advokat berlatar belakang pendidikan universitas, dan memegang monopoli untuk beracara di pengadilan.

7.     Notariat
Sejak abad XII, seiring dengan pertumbuhan negara perdagangan di Itali, lahir suatu profesi yang terkait dengan hukum dan peradilan, yaitu notariat. Profesi ini diangkat oleh pihak yang berkuasa; ketika itu adalah kaisar atau paus. Fungsi profesi ini adalah membuat akta yang dianggap sebagai Instrumenta Publica dan mempunyai nilai pembuktian kuat yang disebut probatio plena. Ia mempunyai wilayah yang sangat luas, antara lain di kota-kota pelabuhan besar seperti Genoa, Pisa, dan Milan. Profesi ini kemudian menyebar ke negaranegara Eropa lainnya, seperti Belanda, Perancis, dan Roma Suci Jerman, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda.
BAB III
PERBANDINGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT

A.    SEJARAH KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Dilihat dari sejarahnya kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan yang panjang sesuai situasi dan kondisi politik yang terus berkembangan menurut era ketatanegaraan yang mengikutinya. Untuk melihat sejarah pekembangan kekuasaan kehakiman tersebut paling tidak penelusuran harus dikaji pada tiga tahapan, yaitu tahap pemerintahan Hindia Belanda dimana badan-badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat pluralistik dan diskriminatif karena adanya perbedaan peradilan yang khusus untuk orang-orang eropa atau yang dipersamakan dengannya dan ada badan peradilan yang khusus untuk golongan pribumi seperti adanya peradilan Gubernemen dan peradilan Adat.
Peradilan Gubernemen mengadili atau melaksanakan fungsinya atas nama Raja atau Ratu Belanda, sedangkan Peradilan Adat tidak demikian halnya. Kebijakan yang diambil pemerintah Hindia Belanda mengenai peradilan adalah dengan mengeluarkan Staatblad 1932 Nomor 80 yang mengatur tentang susunan dan kedudukan, kekuasaan mengadili, hukum materil dan hukum acara badan Peradilan Adat. Disamping itu diberi kewenangan kepada Residen untuk menyusun peraturan pelaksanaannya. Dalam prakteknya peradilan ini bukanlah bentuk peradilan yang bebas dan merdeka karena Residen mempunyai kewenangan untuk membatalkan putusan pengadilan adat atau memerintahkan pemeriksaan kembali oleh hakim yang ditunjuk oleh Residen dan Residen berkuasa untuk menetapkan bahwa seseorang tidak termasuk ke dalam jurusdiksi Peradilan Adat setempat. Pada masa pemerintahan Jepang dimana tujuannya hanya untuk melindungi kepentingan dan keselematan prajurit yang sedang mengalami peperangan sehingga karakteristik pemerintah penjajahan Jepang di Indonesia adalah pemerintah militer dengan tujuan utamanya adalah untuk menjaga keselamatan dan keamanan personil militer Jepang demi tercapainya tujuan perang. Sesuai dengan karakteristik dan tujuan perang maka yang pertama-tama dibentuk oleh pemerintah militer Jepang adalah peradilan yang melindungi militer yang disebut Gunritukaigi.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia setelah kemerdekaan, kekuasaan kehakiman mendapat penataan secara sungguh-sungguh walaupun dalam berbagai hal model kekuasaan kehakiman yang dirumuskan masih menggambarkan adanya kekurangan dan kelemahan yang belum sepenuhnya dapat difungsikan sebagai lembaga yang memberi keadilan dan pengayoman masyarakat.
Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Dalam sejarahnya undang-undang yang mengatur Kekuasaan Kehakiman tercatat mengalami perubahan, diantaranya

1.     Undang-undang No. 19 Tahun 1948
Kebijakan yang ditempuh berkaitan dengan pengembangan kekuasaan kehakiman adalah didasari pada prinsip “unifikasi”, sebagai lawan dari prinsip “pluralistis” yang diterapkan pada masa pemerintah kolonial Belanda”. Prinsip “unifikasi” itu kemudian muncul dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1948. Pasal 6 menyatakan bahwa dalam negara Republik Indonesia hanya ada tiga lingkungan peradilan yaitu:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Tata Usaha Pemerintahan
3. Peradilan Ketentaraan
Sementara Pasal 7 UU itu menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri
2. Pengadilan Tinggi
3. Mahkamah Agung
Berdasarkan Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 itu ternyata keberadaan Peradilan Agama tidak tercakup di dalamnya. Juga tidak ada ketentuan yang tegas dalam UU itu yang menghapuskan keberadaan Peradilan Agama itu. Dalam ketidakjelasan itu, ketentuan yang dapat dipakai sebagai pegangan adalah Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan bahwa perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup, harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri dari seorang Hakim yang beraga Islam sebagai Ketua, dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Meteri Kehakiman.
Ketidakjelasan juga terlihat pada eksistensi Peradilan Adat yang selama ini diakui keberadaannya. Ketentuan yang berkaitan dengan hal itu diatur dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa perkara-perkara yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat desa dan sebagainya harus diperiksa dan diputus oleh pemegang kekuasaan yang tinggal tetap dalam masyarakat itu. Tentang Peradilan Tata Usaha Pemerintahan Pasal 66 menyatakan bahwa sepanjang dalam suatu Undang-undang tidak disebut dengan tegas perkara tata usaha pemerintahan harus diadili oleh peradilan tertentu maka Pengadilan Tinggi berwenang memeriksa dalam tingkatan pertama dan Mahkamah Agung berwenang memeriksa dalam tingkatan kedua. Sementara tentang Peradilan Ketentaraan Pasal 68 menyatakan bahwa Peradilan Ketentaraan akan diatur dengan undang-undang.



2.     Undang-undang No. 19 Tahun 1964
Penjelasan umum UU No. 19 tahun 1964 menyatakan bahwa pembentukan UU itu didasarkan pada Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Haluan Negara yang berupa Manipol Usdek. Salah satu ciri jiwa Manipol Usdek adalah menempatkan Presiden sebagai Pimpinan Nasional dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang memiliki kedudukan superior terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk terhadap kekuasaan kehakiman. Sebagai suatu UU yang berjiwa Manipol Usdek, Pasal 3 dari UU itu dengan tegas menyebutkan bahwa Pengadilan adalah alat revolusi. Senada dengan itu Pasal 14 dan Pasal 20 menekankan bahwa hukum dan hakim juga merupakan alat revolusi. Oleh karena pengadilan, hukum dan hakim merupakan alat revolusi, maka Presiden adalah sebagai pemimpin besar bangsa dan negara, demikian isi Pasal 19 UU itu. Berkenaan dengan jenis-jenis kekuasaan kehakiman, UU tersebut mengaturnya dalam Pasal 7 yang secara garis besar berisi empat hal yaitu:
1) Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat jenis peradilan yaitu: (1) Peradilan Umum; (2) Peradilan Agama; (3) Peradilan Militer; (4) Peradilan Tata Usaha Negara.
2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan.
3) Keempat jenis peradilan itu secara teknis berada di bawah pimpinan Mahkamah Agung sedang secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah Departemen terkait.
4) Dengan adanya keempat jenis peradilan tidak tertutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara damai dapat dilakukan di luar peradilan.
Selanjutnya, penjelasan Pasal 7 UU tersebut menyatakan bahwa:
a) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
b) Peradilan Umum meliputi: pengadilan ekonomi, pengadilan subversi, dan pengadilan korupsi.
c) Peradilan Khusus terdiri dari pengadilan agama dan pengadilan militer.
Hal yang menarik dari penjelasan Pasal 7 itu, bahwa penjelasan itu tidak menyebut dengan tegas jenis Pengadilan Tata Usaha Negara apakah pengadilan ini termasuk Pengadilan Umum atau termasuk Pengadilan Khusus. Dengan kata lain, menurut UU Nomor 19 Tahun 1964 Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dimasukkan ke dalam jenis Peradilan Khusus, melainkan dinyatakan memiliki jenis tersendiri. Dalam penjelasan Pasal 7 UU tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah apa yang disebut “Peradilan Administratif” dalam Tap MPRS No. II/MPRS/1960 yang antara lain meliputi “Peradilan Kepegawaian”.

3.     Undang-undang No. 14 Tahun 1970
Pada awal kemunculannya, pemerintah orde baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk itu pemerintah segera melakukan “Legislative Review” (penilaian materi perundang-undangan oleh lembaga legislatif) dengan menciptakan empat buah Undang-undang yang sangat erat hubungannya dengan kekuasaan kehakiman, keempat Undang-undang tersebut adalah:
a) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1968 tentang pernyataan tidak berlakunya berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden.
b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang.
c) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
d) Undang-undang Nomor 7 tahun 1969 tentang Penetapan berbagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi Undang-undang.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 yang mulai berlaku pada tanggal 5 Juli 1969 menyatakan Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 adalah salah satu Undang-undang yang tidak memiliki kekuatan berlaku karena materinya bertentangan dengan UUD 1945. Namun ketidakberlakuan itu berlangsung bila telah ada Undang-undang baru yang menggantikannya. Untuk keperluan penggantian itu badan legislatif kemudian berhasil menciptakan Undang-undang baru yaitu UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada saat Undang-undang ini masih berupa rancangan, ada beberapa persoalan yang cukup menonjol sehingga mendapat pembahasan cukup hangat dari kalangan DPR. Persoalan-persoalan itu antara lain.
a) Mahkamah Agung sebagai pucuk tertinggi lembaga kekuasaan kehakiman;
b) Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH);
c) Lingkungan Peradilan;
d) Organisasi, Administrasi dan Finansial Peradilan;
e) Hak uji peraturan Toetsingsrecht;
f) Forum Privilegiatum;
g) Hukum Acara;
h) Status dan Jaminan Hakim;
i) Connexiteit;
j) Lembaga Henzeining (Peninjauan Kembali)
Kecuali persoalan b) dan f) yaitu tentang Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Forum Privilegiatum semua persoalan-persoalan itu (ius constituendum) telah menjelma menjadi hukum positif (positifitus constitutum) diatur dalam berbagai pasal UU Nomor 14 Tahun 1970. Khusus tentang jenis-jenis kekuasaan kehakiman, UU Nomor 14 Tahun 1970, mengaturnya dalam Pasal 10 ayat (1). Menurut Pasal itu, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:
a) Peradilan Umum
b) Peradilan Agama
c) Peradilan Militer
d) Peradilan Tata Usaha Negara
Tentang Peradilan Umum lebih jauh diatur dengan UU Nomor 2 Tahun 1986 yang sekaligus mencabut UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1986 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, masing-masing berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten (Kotamadya) dan Ibu Kota Propinsi (Pasal 4). Pengadilan Negeri merupakan pengadilan Tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Perihal Peradilan Agama, keberadaannya lebih jauh diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Sebagai Peradilan Khusus, Pasal 1 ayat (1) menegaskan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan kehakiman pada Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama yang berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota Kabupaten dan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Propinsi. Sama halnya dengan Peradilan Umum, Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung. Berkenan dengan Peradilan Militer, lebih jauh peradilan ini diatur dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997. Sebagai peradilan khusus. Pasal 9 UU tersebut menyatakan; Peradilan Militer berwenang mengadili pidana militer dan perkara pidana militer: a) prajurit; b) mereka yang berdasarkan Undang-undang dipersamakan dengan prajurit; c) anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-undang; d) seorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b dan huruf c, tetapi atas keputusan Penglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Selain kewenangan itu, Peradilan Militer berwenang menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana atas permintaan pihak yang dirugikan dan sekaligus memutus dua perkara pidana dan perdata itu dalam satu putusan.
Adapun kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Militer dijalankan oleh:
1. Pengadilan Militer
2. Pengadilan Militer Tinggi
3. Pengadilan Militer Utama
4. Pengadilan Militer Pertempuran
Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara RI, sementara Pengadilan Militer yang lainnya tempat kedudukannya lebih lanjut diatur dengan keputusan Panglima. Pengadilan Militer merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah. Pengadilan Militer Tinggi merupakan pengadilan banding bagi Pengadilan Militer dan merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pengadilan Militer utama merupakan Pengadilan banding dan merupakan pengadilan militer atas Pengadilan Militer Tinggi yang telah memutus pada tingkat pertama perkara pidana militer dan perakara tata usaha angkatan bersenjata. Sementara Pengadilan Militer Pertempuran adalah pengadilan yang agak spesifik karena pengadilan ini bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan serta kedudukannya di daerah pertempuran. Pengadilan ini berwenang memutus perkara pidana militer pada tingkat pertama dan terakhir yang tertuduh atau terdakwanya prajurit yang terlibat kegiatan pertempuran. Terakhir, mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, keberadaan peradilan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Sifat khusus dari peradilan ini ditegaskan dalam Pasal 4 UU tersebut yang menyatakan bahwa Peradilan tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh: a) Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota Kabupaten; b) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berkedudukan di Ibukota Propinsi, Pengadilan Tata Usaha Negara berpuncak ke Mahkamah Agung. Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Jika suatu sengketa tata usaha negara tertentu menurut Undang-undang tertentu harus diselesaikan dengan upaya administratif, maka Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili jika sebelumnya telah ditempuh upaya administratif tersebut. Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: a) dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.     Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif.
Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan pokok dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris, administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di bawah departemen.

5.     UU No. 4 Tahun 2004
Setelah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, proses peralihan itu dipertegas lagi dalam Ketentuan Peralihan Pasal 42 Undang-Undang ini bahwa pengalihan organisasi, admi­nistrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan Tata Usaha Negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Penga­lihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimak­sud di atas ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Keputusan Presiden tersebut ditetapkan paling lambat: (a) 30 hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir; dan (b) 60 hari sebelum jangka waktu tersebut berakhir.
Selanjutnya ditentukan pula dalam Pasal 43 dan 44 bahwa sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut, maka: (a) semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Keha­kiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan Tata Usaha Negara, dan pengadilan tinggi Tata Usaha Negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung; (b) semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Ne­gara, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mah­kamah Agung; (c) semua aset milik/barang inventaris di ling­kungan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi serta Pengadil­an Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Nega­ra beralih ke Mahkamah Agung.
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial ter­sebut: (a) semua pegawai Direktorat Pembinaan Peraclilan Aga-ma Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung; (b) semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (c) semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung. Juga sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut: (a) pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-­undangan yang mengatur personel militer; (b) semua Pegawai Negeri Sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Mahkamah Agung.
Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut di atas, se­jalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam penye­lenggaraan negara Republik Indonesia. Perubahan Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mau fidak mau telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatane­garaan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan per­adilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji un­dang-undang terhadap Undang-Undang.Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya, diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pem­bubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan pe­nyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dengan demikian, dalam sistem dan mekanisme penyelenggaraan kekuasaan kehakiman Republik Indonesia, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dapat didampingi oleh Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang (auxiliary state commission) yang berfungsi sebagai perekrut hakim agung dan pengawas kode etik hakim.

6.     UU No. 48 Tahun 2009
Sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakimandan mewujudkan sistem peradilan terpadu, maka pemerintah perlu mengesahkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun     2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan undang-undang paling akhir yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sebelumnya, ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970, kemudian diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999, dan terakhir diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004. Ada beberapa hal penting dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :
a.      Mereformulasi dan mereposisi sistematika UU No. 4 Tahun 2004 terkait dengan pengaturan secara komprehensif subtansi UU No. 48 Tahun 2009, seperti bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman;
b.     Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan mendasarkan pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
c.      Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi;
d.     Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempuyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
e.      Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara;
f.      Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
g.     Pengaturan umum mengenai bantuan umum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan;
h.     Penegasan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara; dan
i.       Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia yang merdeka diupayakan secara sitematis melalui beberapa langkah strategis. Salah satu diantaranya adalah dengan melakukan pengawasan yang berkelanjutan dan objektif terhadap para hakim, baik hakim di MA dan peradilan yang dibawahinya maupun hakim MK. Pengawasan ini perlu untuk menjamin para hakim bertindak dan berperilaku sesuai dengan kode etik profesi hakim dan menjunjung undang-undang sebagai pedoman dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara. Bila diindikasikan adanya pelanggaran, baik kode etik maupun aturan perundang-undangan, maka akan segera dilakukan tindakan yang dianggap perlu untuk tetap menjaga integritas dan nama baik insititusi peradilan.

B.    SEJARAH KEKUASAAN KEHAKIMAN DI AMERIKA
Sistem pemerintahan Amerika Serikat didasarkan atas konstitusi tahun 1787, namun konstitusi terseut telah mengalami amandemen. Sistem pemerintahan yang di anut adalah presedensial, yang dijadikan contoh oleh banyak negara lainnya, meskipun telah mengalami perubahan sesuai latar belakangnya. Tiap-tiap negara bagian di Amerika Serikat memiliki konstitusi tertulis, undang-undang, dan pemerintahan sendiri-sendiri. Terdapat perbedaan yang besar dalam hal undang-undang dan prosedur di antara masing-masing negara bagian, menyangkut kemiskinan, pidana, kesehatan, dan pendidikan. Tiap-tiap negara bagian juga memiliki parlemen (bikameralisme adalah sistem yang diterapkan di tiap-tiap negara bagian, kecuali Nebraska), yang para anggotanya mewakili para pemberi suara di negara bagian yang bersangkutan. Tiap-tiap negara bagian memelihara sistem peradilan negara bagian sendiri-sendiri. Di beberapa negara bagian, para hakim tinggi dan yang lebih rendah dipilih oleh rakyat; di negara bagian lainnya, mereka diangkat, karena mereka di dalam sistem federal
Pada umumnya kekuasaan yang dilimpahkan negara-negara bagian kepada pemerintah federal meliputi:
1.     Hal-hal yang menyangkut kedudukan negara sebagai subyek hukum internasional, misalnya: masalah daerah, kewarganegaraan dan perwakilan diplomatik;
2.     Hal-hal yang mutlak mengenai keselamatan negara, pertahanan dan keamanan nasional, perang dan damai;
3.     Hal-hal tentang konstitusi dan organisasi pemerintah federal serta azas-azas pokok hukum maupun organisasi peradilan selama dipandang perlu oleh pemerintah pusat, misalnya: mengenai masalah uji material konstitusi negara bagian;
4.      Hal-hal tentang uang dan keuangan, beaya penyelenggaraan pemerintahan federal, misalnya: hal pajak, bea cukai, monopoli, matauang (moneter);
5.     Hal-hal tentang kepentingan bersama antarnegara bagian, misalnya: masalah pos, telekomunikasi, statistik.
Kekuasaan kehakiman berada pada lembaga yudikatif tersendiri yaitu Mahkamah Agung (Supreme Court) yang bebas dari legislatif dan eksekutif. Mahkamah Agung menjamin kebebasan dan kemerdekaan individu serta tegaknya hukum.
Amerika Serikat memiliki lima puluh lebih sistem hukum yang berhubungan erat, namun sama sekali tidak identik. Amerika Serikat menjadi sebuah federasi yang tersusun dari negara-negara bagian yang sistem hukumnya berdiri sendiri-sendiri dengan segala otoritasnya yang oleh Konstitusi Federal tidak diserahkan kepada organ-organ Federal. Dalam hal terdapat beberapa bidang yang memiliki yuridiksi yang sama antara pemerintahan negara bagian dengan pemerintah federal, maka hukum federal lah yang dianggap lebih penting dari hukum negara bagian. Sistem hukum negara-negara bagian sepenuhnya dibangun di atas tradisi hukum common law yang saling berhubungan dengan sangat erat, kecuali negara bagian Louisiana yang masih memperlihatkan jejak hukum peninggalan hukum Prancis seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1808. Negara-negara bagian masing-masing mempertahankan dan mengembangkan aturan hukum dibidang-bidang seperti: hukum kontrak, hukum korporasi, hukum pidana, hukum keluarga, hukum waris, hukum properti, tort, dan konflik hukum (hukum perdata internasional). Sedangkan, hukum laut, kepailitan dan hukum patent diatur dengan aturan-aturan federal.
Konstitusi Amerika Serikat membentuk Mahkamah Agung Amerika Serikat dan memberi Kongres kekuasaan untuk membentuk pengadilan-pengadilan rendah federal. Kongres telah membentuk dua peringkat pengadilan-pengadilan federal yang berada dibawah Mahkamah Agung yaitu: Pengadilan-pengadilan Distrik Amerika Serikat dan Rangkaian Pengadilan-pengadilan Banding Amerika Serikat.
Kewenangan Kongres tersebut dengan membagi negara menjadi beberapa distrik dan membentuk pengadilan federal untuk tiap distrik. Saat ini struktur pengadilan yang telah terbentuk berupa Mahkamah Agung, 13 pengadilan banding, 94 pengadilan distrik, dan dua pengadilan yurisdiksi khusus. Kongres berwenang menciptakan dan meniadakan pengadilan federal serta menentukan jumlah hakim pada sistem pengadilan federal. Akan tetapi Kongres tidak dapat meniadakan Mahkamah Agung. Selain hakim-hakim distrik, juga terdapat hakim kepailitan (yang hanya mendengar kasus-kasus kebangkrutan) dan hakim magistrat (yang menjalankan tugas peradilan di bawah pengawasan umum para hakim distrik) yang berlokasi di dalam pengadilan-pengadilan distrik.
a.      Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi di AS yang memiliki yurisdiksi banding tertinggi atas semua pengadilan federal dan kasus-kasus pengadilan negeri yang melibatkan isu-isu hukum federal, dan yurisdiksi asli pada rentang kecil kasus, dan satu-satunya yang dibentuk oleh Konstitusi, sedangkan pengadilan federal hanya secara eksplisit diamanatkan oleh Konstitusi. Suatu keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Agung tidak bisa diajukan banding ke pengadilan lain. kongres punya wewenang untuk menentukan jumlah hakim yang duduk di Mahkamah Agung namun Kongres tidak punya wewenang untuk mengubah kekuasaan Mahkamah Agung yang dititahkan oleh Konstitusi.
Sejak 1869 komposisi di Mahkamah Agung telah terdiri dari satu Hakim Ketua dan delapan Hakim Associate. Mahkamah Agung duduk di Washington, DC, dan memiliki yurisdiksi akhir pada semua kasus yang mendengar. Pengadilan tinggi dapat meninjau keputusan yang dibuat oleh pengadilan banding AS, dan juga dapat memilih untuk mendengarkan banding dari pengadilan banding negara jika masalah konstitusi federal atau lainnya yang terlibat. Mahkamah Agung memiliki kewenangan asli dalam jumlah terbatas kasus, termasuk yang melibatkan diplomat tinggi dari negara lain atau mereka antara dua negara bagian AS. Selain itu, pengadilan federal mempertahankan sekelompok pengadilan yang menangani perselisihan tertentu. Termasuk diantaranya seperti pengadilan federal khusus Pengadilan Klaim Federal, yang mengadili klaim moneter terhadap pemerintah AS, dan Pengadilan Pajak. hakim pengadilan khusus, tidak seperti mereka yang dalam tiga tingkat utama peradilan federal, tidak melayani untuk hidup. Angkatan bersenjata AS memiliki pengadilan militer untuk kasus-kasus yang melibatkan personil militer. Mahkamah Agung mempunyai hak yuridis asli hanya dalam dua macam kasus yaitu kasus yang melibatkan orang-orang penting asing dan melibatkan negara bagian.
b.     Pengadilan Banding dan Pengadilan Distrik
Tingkat tertinggi kedua dalam pengadilan federal adalah pengadilan banding, yang dibentuk tahun 1891 untuk memfasilitasi disposisi sejumlah kasus dan beban Mahkamah Agung. Terdapat 13 pengadilan banding federal, sebelas diantaranya mencakup kawasan geografis tertentu yang disebut circuit, misalnya Circuit ke 5 meliputi negara bagian Mississippi, Louisiana, dan Texas. U.S Court of Appeals untuk Circuit ke 12 memeriksa banding dari Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk Distrik Columbia. Court of Appeals federal yang ke 13, U.S. Court of Appeals for Federal Circuit (didirikan 1982) untuk memeriksa banding yang ditujukan terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan beberapa pengadilan khusus federal atau badan-badan semi yudisial, seperti U.S. Claims Court (menangani tuntutan terhadap pemerintah Amerika Serikat), Patent and Trademark Office (menangani kasus patent dan merek dagang), serta Court of International Trade (menangani kasus-kasus bea cukai).
Wewenang Pengadilan banding adalah memeriksa ulang keputusan-keputusan pengadilan distrik di wilayah mereka. Mereka juga memiliki wewenang untuk meninjau susunan perwakilan-perwakilan yang menangani pengaturan independen dalam kasus-kasus dimana mekanisme pemeriksaan dari dalam perwakilan-perwakilan tersebut telah menghabiskan tenaga dan masih terdapat perselisihan yang sengit mengenai pokok-pokok masalah hukum.
Dibawah pengadilan banding adalah pengadilan distrik. Kelimapuluh negara bagian AS dan wilayah AS dibagi ke dalam 94 distrik sehingga para penggugat bisa membawa perkaranya ke sidang pengadilan terdekat. Tiap pengadilan distrik setidaknya memiliki dua hakim. Kongres menetapkan batas-batas distrik berdasarkan banyak sedikitnya penduduk dan banyaknya bidang pekerjaan. Beberapa negara bagian kecil sekaligus menjadi distrik sementara wilayah yang lebih besar mempunyai empat distrik. Pengadilan distrik adalah satu-satunya pengadilan federal di mana juri “besar” mendakwa mereka yang dituduh melakukan kejahatan dan juri “kecil” memutuskan kasus tersebut.
c.      Pengadilan Khusus
Pengadilan khusus adalah pengadilan yang befungsi menangani masalah khusus. Pengadilan macam ini dikenal dengan nama pengadilan “legislatif” karena mereka dibentuk oleh Kongres. Hakim-hakim disini seperti halnya rekan-rekan mereka di pengadilan federal lainnya diangkat seumur hidup oleh presiden dengan persetujuan senat. Saat ini ada dua pengadilan khusus yang mempunyai hak yuridis nasional untuk kasus-kasus tertentu. Mahkamah Perdagangan Internasional menangani kasus-kasus menyangkut perdagangan internasional dan masalah bea cukai. Mahkamah Klaim Federal mempunyai hak hukum atas tuntutan ganti rugi terhadap AS, perselisihan mengenai perjanjian federal, pengambilan barang milik pribadi secara “tidak sah” oleh pemerintah federal dan macam-macam tuntutan lainnya terhadap AS.

C.    PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA DAN AMERIKA
1.     Kekuasaan Kehakiman sebagai Lembaga Independent
Baik Indonesia maupun Amerika Serikat adalah negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dalam pelaksanaan trias politika masing-masing berjalan sesuai dengan tugas masing-masing kekuasaan. Namun pada kenyataannya, terkadang fungsi antar kekuasaan terjadi percampuran sehingga diperlukan adanya pemisahan kekuasaan atau disebut Separation of Power.
Pemisahan kekuasaan merupakan ide yang menghendaki baik  organ, fungsi dan personal lembaga Negara terpisah sama sekali. Setiap lembaga Negara masing-masing menjalankan secara sendiri dan mandiri tugas, dan kewenangannya seperti yang ditentukan dalam ketentuan hukum. Separation of Power yang dimaksudkan oleh Montesquieu digunakan untuk mengukur demokrasi yang berlangsung di dalam suatu negara dan bukan diukur dengan trias politika yang ada. Pemisahan kekuasaan disini baik berupa organ maupun fungsi, dimana yang dimaksud dengan organ adalah “seseorang yang telah ada di dalam satu kekuasaan tidak boleh berada di dalam kekuasaan lainnya”. Sedangkan pemisahan fungsi maksudnya adalah “ satu badan hanya memiliki satu fungsi dan tidak boleh lebih”. Dalam hal pemisahan kekuasaan diperlukan check and balance (pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, yaitu setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.[2]
Di negara-negara yang menganut tradisi civil law maupun common law, baik yang menganut sistem pemerintahan parle­menter maupun presidensil, lembaga kekuasaan kehakiman bersifat tersendiri. Misalnya, di negara yang menganut sistem parlementer, terdapat percampuran antara fungsi legislatif dan eksekutif. Di Inggris, misalnya, untuk menjadi menteri seseorang justru disyaratkan harus berasal dari anggota parle­men. Parlemen dapat membubarkan kabinet melalui mekanisme “mosi tidak percaya”. Sebaliknya, pemerintah juga dapat membu­barkan parlemen dengan cara mempercepat pemilihan umum. Namun, meskipun demikian, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary tetap bersifat independen dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Bahkan dalam tradisi Amerika Serikat cabang kekuasaan kehakiman sering kali mengesampingkan berlakunya (setting aside) peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh parlemen dalam memutuskan sesuatu perkara konkrit demi menegakkan keadilan dalam penyelesaian perkara yang bersangkutan. Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara inde­penden dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Kekuasaan Kehakiman dalam konteks negara Indonesia adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggarannya negara Repubik Indonesia. Di Indonesia Kekuasaan Kehakiman yang merdeka termaktub berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, bahwa yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melakukan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman mengemban tugas pokok, yakni melaksanakan public service di bidang pemberian keadilan.[3]

2.     Struktur Lembaga Yudikatif di Indonesia dan Amerika Serikat
Lembaga yudikatif di Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Sesuai amandemen keempat UUD 1945 dikenal adanya 3 bidang yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
a.      Mahkamah Agung menurut Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945, Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini diimplementasikan dengan kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang. (Pasal 24 A ayat (1) Perubahan ke III UUD 1945). Selain itu, menurut Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang telah diamandemen terdapat beberapa badan peradilan yang berada dibawah lingkup Mahkamah Agung meliputi Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN);
b.     Mahkamah Konstitusi, sesuai Pasal 24C UUD 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
c.      Komisi Yudisial, sesuai pasal 24B UUD 1945, bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim.
Secara garis besar Indonesia dan Amerika Serikat memiliki perbedaan yang mendasar tentang bentuk negara, Indonesia menganut Negara Kesatuan sedangkan Amerika adalah negara federal, dalam bidang hukum pun Indonesia menggunakan sistem hukum civil law dan Amerika Serikat memakai sistem hukum common law. Perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan pula terhadap pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia maupun Amerika Serikat. Sesuai dengan lembaga yudikatif yang terdapat di Amerika Serikat, sesuai strukturnya dapat dijabarkan lebihlanjut dengan fungsinya masing-masing.
a.      Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi di dalam sistem peradilan federal. Mahkamah Agung berurusan dengan perkara-perkara yang berhubungan dengan Pemerintah Federal, sengketa antar-negara bagian, dan tafsiran Konstitusi Amerika Serikat, dan dapat mendeklarasikan bahwa legislasi atau tindakan eksekutif yang dibuat pada pemerintah pada tingkatan manapun sebagai tidak konstitusional, membatalkan undang-undang dan menciptakan preseden untuk undang-undang dan keputusan-keputusan pada masa depan;
b.     Pengadilan Distrik adalah sistem peradilan individual tiap-tiap negara bagian, masing-masing berkenaan dengan undang-undangnya sendiri (setingkat dengan Peraturan Daerah Provinsi di Indonesia) dan memiliki peraturan dan prosedur peradilan sendiri-sendiri. Pengadilan distrik Amerika Serikat adalah "pengadilan percobaan", maksudnya pengadilan pertama yang dapat digunakan untuk memasukkan dan memutuskan suatu perkara.
c.      Pengadilan Banding Amerika Serikat digunakan untuk memproses kembali putusan suatu perkara yang dikeluarkan oleh pengadilan distrik bila dianggap mengecewakan, juga untuk pengajuan banding dari badan-badan administratif lokal.
d.     Pengadilan Tertinggi Negara Bagian adalah otoritas terakhir yang dapat menafsirkan konstitusi dan undang-undang negara bagian di suatu negara bagian.




BAB IV
KESIMPULAN

Dari persamaan maupun perbedaan struktur dan fungsi lembaga yudikatif , dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kekuasaan kehakiman baik yang diterapkan oleh Indonesia maupun Amerika Serikat pada dasarnya dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu:
1.     Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian  kekuasaan (distribution of power) di antara badan-badan penyelenggara negara.
2.     Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat.
3.     Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
4.     Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.





[1] Rahardjo, Satjipto, “Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya”, Genta Press, Yogyakarta, Ct I, 2008, hal. 24
[2] Abu Bakar Elbyara. Pengantar Ilmu Politik. (Jember: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm.189
[3] Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari: Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 37