Tampilkan postingan dengan label Tokoh Dunia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Dunia. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Mei 2013

Chairul Tanjung; Bukan Sekedar Anak Singkong


Nama Lengkap : Chairul Tanjung
Alias : Chairul Tandjung
Agama : Islam
Tempat Lahir : Jakarta
Tanggal Lahir : Sabtu, 16 Juni 1962
Zodiac : Gemini
Warga Negara : Indonesia

Anak : Rahmat Dwiputra, Putri Indahsari, Rahmat Dwiputra
Istri : Anita Ratnasari Tanjung
BIOGRAFI
Chirul Tanjung (CT) adalah konglomerat Indonesia yang namanya berada di urutan 937 dari 1000 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes dengan total kekayaan senilai USD 1 miliar. Ayah CT adalah A.G. Tanjung, wartawan Orde Lama yang dulu pernah menerbitkan lima surat kabar beroplah kecil.

Pekerjaan yang dilakukan CT berbeda jauh dengan disiplin ilmu yang ditekuninya di bangku kuliah. Ketika menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi UI tahun 1981, CT mengalami kesulitan finansial untuk biaya kuliah. Saat itulah kemampuannya berbisnis diasah. Ia mulai berbisnis kecil-kecilan menjual buku kuliah stensilan, kaos, dan sebagainya. Kemudian ia memiliki toko peralatan laboratorium dan kedokteran di bilangan Senen Raya, Jakarta Pusat, namun mengalami kebangkrutan.

Setelah itu ia mencoba membuka usaha kontraktor tetapi kurang berhasil sehingga ia bekerja di perusahaan baja. Lalu, ia pindah ke perusahaan rotan di mana ia bertemu dengan tiga orang rekan dan mendirikan PT. Pariarti Shindutama. Perusahaan ini memproduksi sepatu anak-anak untuk ekspor, dan CT beruntung usahanya kali ini menuai untung besar karena perusahaannya mendapat pesanan 160 ribu pasang sepatu anak-anak dari Italia. Seiring berjalannya waktu, akhirnya CT memutuskan untuk berkarya sendiri karena terjadi perbedaan paham dengan rekan-rekannya.

Lepas dari bisnis sepatu ekspor, CT mengarahkan usahanya ke konglomerasi dengan tiga bisnis inti, yaitu keuangan, properti, dan multi media. Di bidang keuangan, ia mengambil alih Bank Tugu yang sekarang menjadi Bank Mega yang kini merangkak naik menjadi bank kelas atas. Ia juga merambah ke bisnis sekuritas, asuransi jiwa, dan asuransi kerugian. Pada sektor sekuritas, CT memiliki perusahaan real estate dan membangun Bandung Supermall pada 1999.

Saat ini, CT berkecimpung di bisnis pertelevisian dengan mendirikan Trans Corp yang membawahi Trans TV dan Trans 7. Walaupun persaingan di industri pertelevisian semakin ketat, namun CT yakin Trans TV bisa terus berkembang melihat bahwa belanja TV nasional telah mencapai angka 6 triliun setahun dan 70% di antaranya akan diambil oleh televisi.
Selain Trans Corp., CT memiliki Para Group yang mengayomi 5.000 karyawan dengan Para Inti Holdindo sebagai kepala industri yang memiliki tiga anak perusahaan, yaitu Para Global Investindo (bisnis keuangan), Para Inti Investindo (media dan investasi) dan Para Inti Propertindo (properti).

CT melebarkan sayapnya di dunia bisnis dengan menggunakan Trans Corp untuk mengakuisi 40% saham PT Carrefour Indonesia senilai Rp 3 triliun melalui PT Trans Ritel. Setelah memiliki 40% saham Carrefour, ia kini menjadi komisaris utama PT Carrefour Indonesia didampingi oleh AM Hendropriyono (mantan Kepala BIN) dan S.Bimantoro (mantan petinggi Polri) sebagai komisaris.
Setelah akuisisi oleh Trans Corp, komposisi pemegang saham PT Carrefour Indonesia adalah Trans Ritel (40%), Carrefour SA 39%, Carrefour Netherland BV 9,5%, dan Onesia BV 11,5%. Dengan gurita bisnis seperti ini, CT menduduki posisi ke-13 dari total 40 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2009 versi majalah Forbes.

 CT mengaku lebih suka mengakuisisi dibandingkan membangun bisnis karena akusisi perusahaan membuat sinergi memperluas ladang usaha. Waktu saya memulai banyak waktu tapi enggak punya uang. Mulai dari nol. Lama-lama  jadi besar punya uang, tidak punya waktu. Maka yang dilakukan tidak perlu bangun tapi mengakusisi.

Riset dan analisa oleh Almas Adibah
PENDIDIKAN
  • SD Van Lith, Jakarta (1975)
  • SMP Van Lith, Jakarta (1978)
  • SMA Negeri I Boedi oetomo, Jakarta (1981)
  • Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia (1987)
  • Executive IPPM (MBA; 1993)
KARIR
  • Pendiri PT. Pariarti Shindutama
  • Pemilik Bandung Supermal
  • Pemilik Trans Corp.
  • Pemilik Para Group
  • Komisaris Utama PT Carrefour Indonesia
Buku:
  • Si Anak Singkong
PENGHARGAAN
  • Urutan 937 dari 1.000 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes
  • Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional (1984-1985) - Penghargaan sebagai anggota civitas akademika yang berjasa kepada fakultas dan universitas
  • Eksekutif Muda Berprestasi 1992-1993 dari Studio Seven Production, Jakarta (23 Mei 1993)
  • Soegeng Sarjadi Award

Jumat, 03 Mei 2013

Apakah Seorang Pemikir Bisa Bahagia?

Oktober 1968,  Soe Hok Gie pergi ke Honolulu.  Ia ingin menjadi turis dan sejenak berpikir untuk meninggalkan semuanya, melepaskan segala kepenatan dan berniat menjadi seorang turis semata. Lalu ia melihat dataran Fiji dan Sidney yang luas itu, ia tergelak, otaknya mampat, pikirannya meracau. Tiba-tiba ia merasa begitu sedih, sentimentil.

Soe pergi menuju kawan karibnya, Daniel-Lev, dan mendengarkannya berucap lirih kepadanya. Ia ingin berkeluh perihal otaknya tak bisa sejenak untuk beristirahat dari gelisah yang entah. Bayangan perihal karut-marutnya negeri membuatnya tak berhenti. 

“Soe, kau adalah seorang pemikir. Orang-orang seperti itu selalu menanyakan tentang nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka tidak pernah akan bahagia, dan tak akan pernah puas. Terimalah kenyataan ini.”

Soe,

Saya baru baca penutup tulisanmu yang bertajuk ‘Awal dan Akhir’ di harian Sinar Harapan (7 April 1969). Sebuah pertanyaan muncul di benak saya, apakah benar seorang pemikir itu tidak bisa bahagia? Lalu, apa yang kamu—dan orang-orang sepertimu cari?

Saya tidak bisa mendefinisikan apa itu kebahagiaan. Absurd. Tidak adanya kriteria mendasar perihal bahagia ini merupa lembah belukar yang terkadang tak bisa dilalui. Namun semua pasti sepakat, ada yang mampu untuk sekadar membelah belukar itu dan menjadikannya sebuah taman yang asri penuh bunga dan—konon—itulah kebahagiaan.

Seorang pemikir bukanlah mereka yang bekerja hanya dengan pikiran semata, berkehendak dengan otak dan bertutur laiknya nabi yang memberikan petuah. Toh, nabi saya kira bukanlah seorang pemikir. Ia adalah pewarta yang menjadi jembatan antara manusia dan  Tuhan kepada manusia.

Kita bisa berdebat panjang soal itu.

Tapi, seorang pemikir sering diasosiasikan sebagai orang yang murung, berjalan dengan ringkih dan berkacamata tebal, serta tak akan pernah lekang dari buku. Atau jika menemukannya ia termenung, ia akan terus berdiam dan enggan untuk sekadar disapa.

Pun kalau ia berbicara, orang-orang akan siap diberi amanah untuk menjadi kawan bercakap yang entah kapan akan berakhir dengan kesepaktan dan kesepahaman.  Sebab argumentasi yang ndakik dan mungkin serba awang-awang akan tersaji. Beruntung jika kawan bicara ini mempu mengimbangi. Berita buruk jika ia tidak sanggup, maka alamat sengsara.

Nah, seorang pemikir ini biasanya adalah orang yang hidupnya tidak bahagia, seperti kata Daniel Lev. Orang yang tidak pernah bisa berhenti memikirkan segala hal, tak akan usai untuk mengejar harapan, dan tak pernah lekang menimbang segala perbedaan. Itulah sikap atau semacam sembahyang yang dilakukan orang model dirimu.

Konon, seorang pemikir itu makanannya adalah segala yang berbau kericuhan, persoalan bangsa yang tak pernah tuntas. Itu adalah asupan gizi dari makanan saban hari yang harus ia terima seperti halnya Daniel Shilton yang harus terima mendapatkan gol dari Maradona—walaupun itu menggunakan tangan. Hidup bagi mereka adalah sebuah takdir magis yang harus dilalui.

Orang biasa kerap berkilah, bahagia itu sederhana. Misalnya, dengan mendapatkan keluarga yang hidup dengan berkecukupan atau tiba-tiba datang segepok dirham tanpa diduga. Toh, kebahagiaan memiliki bilang makna yang tak terkira.

Tapi bagi mereka yang suka berpikir tak akan pernah selesai dengan sederhana. Ia akan berhenti jika hidup ini berhenti berdenyut. Kamu telah meninggal, memang. Tapi, tidakkah kamu mengerti, bahwa hidup ini akan terus berputar.

Soe,

saya tahu, sekarang ini di dunia kamu saat ini, kamu pasti tidak bisa berhenti berpikir, memikirkan negaramu saat ini yang tambah kacau dan tak menentu; harga-harga yang kian tak terjangkau, pongah para pejabat yang kian tak masuk akal, serta rintih masyarakat yang begitu memekakan telinga.

Umur kita bertaut hampir 60 tahun. Tapi keadaaan saat itu saya yakin hampir serupa dengan jamanku saat ini. Reformasi ’98 tidak memberikan keamanan dan kenyamanan dalam hal ekonomi bagi masyarakat bawah. Tentu saja hal itu serupa saat kalian turun ke jalan memaksa diturunkannya harga-harga pada tahun ’66.

Apakah kamu bahagia di alam sana?

Saya tidak yakin. Tapi mungkin kamu akan sedikit lebih beruntung. Kamu bisa langsung bercakap dengan pelbagai orang yang tidak bahagia sepertimu. Saya membayangkan dirimu tiap pagi membaca koran dan berdiskusi dengan pemikir lintas generasimu seperti Gus Dur, Yap Thiam Thien, Romo Mangunwijaya, Pramodya Ananta Toer, WS Rendra dan mungkin juga dengan Mbah Surip.

Oh ya, Soe. Apakah kamu sudah berbaikan dengan Bung Karno? Saya yakin, kamu malah mengajaknya untuk berdebat. Tapi sejurus kemudian saling cekikian bersama.

Pastinya, sekarang ini Bung Karno tidak akan meledekmu gara-gara setelan safari yang kedodoran kala kamu seperti saat bertandang ke istana negara tempo itu.

Saya tidak bermaksud untuk menulis surat kepadamu, seperti halnya orang-orang yang  menuliskan surat kepada orang yang dikaguminya. Sebenarnya saya tidak terlalu mengagumimu selepas tahu bahwa dirmu adalah eksponen GMSos/PSi dan walaupun—akhirnya—kamu menyadari dan keluar sebab perjuangan mereka adalah lip service semata.

Tapi, apakah kamu sekarang bahagia? Saya tidak bisa menebaknya.

Sumber:  http://blogdedikpriyanto.blogspot.com/2013/04/apakah-seorang-pemikir-bisa-bahagia.html

Selasa, 30 Maret 2010

Al-Farabi

Digelar Aristotle kedua.
Tulisan ahli falsafah Yunani seperti Plato dan Aristotle mempunyai pengaruh yang
besar terhadap pemikiran ahli falsafah Islam. Salah seorang ahli falsafah Islam yang
terpengaruh dengan pemikiran kedua tokoh tersebut ialah Al-Farabi.
Nama sebenarnya Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlaq
Al Farabi. Beliau lahir pada tahun 874M (260H) di Transoxia yang terletak dalam
Wilayah Wasij di Turki. Bapanya merupakan seorang anggota tentera yang miskin
tetapi semua itu tidak menghalangnya daripada mendapat pendidikan di Baghdad.
Beliau telah mempelajari bahasa Arab di bawah pimpinan Ali Abu Bakr Muhammad
ibn al-Sariy.
Selepas beberapa waktu, beliau berpindah ke Damsyik sebelum meneruskan
perjalanannya ke Halab. Semasa di sana, beliau telah berkhidmat di istana Saif al-
Daulah dengan gaji empat dirham sehari. Hal ini menyebabkan dia hidup dalam
keadaan yang serba kekurangan.
Al-Farabi terdidik dengan sifat qanaah menjadikan beliau seorang yang amat
sederhana, tidak gilakan harta dan cintakan dunia. Beliau lebih menumpukan
perhatian untuk mencari ilmu daripada mendapatkan kekayaan duniawi. Sebab itulah
Al-Farabi hidup dalam keadaan yang miskin sehingga beliau menghembuskan nafas
yang terakhir pada tahun 950M (339H).
Walaupun Al-Farabi merupakan seorang yang zuhud tetapi beliau bukan seorang ahli
sufi. Beliau merupakan seorang ilmuwan yang cukup terkenal pada zamannya. Dia
berkemampuan menguasai pelbagai bahasa.
Selain itu, dia juga merupakan seorang pemuzik yang handal. Lagu yang dihasilkan
meninggalkan kesan secara langsung kepada pendengarnya. Selain mempunyai
kemampuan untuk bermain muzik, beliau juga telah mencipta satu jenis alat muzik
yang dikenali sebagai gambus.
Kemampuan Al-Farabi bukan sekadar itu, malah beliau juga memiliki ilmu
pengetahuan yang mendalam dalam bidang perubatan, sains, matematik, dan sejarah.
Namun, keterampilannya sebagai seorang ilmuwan yang terulung lebih dalam bidang
falsafah. Bahkan kehebatannya dalam bidang ini mengatasi ahli falsafah Islam yang
lain seperti Al-Kindi dan Ibnu Rusyd.
Dalam membicarakan teori politiknya, beliau berpendapat bahawa akal dan wahyu
adalah satu hakikat yang padu. Sebarang percubaan dan usaha untuk memisahkan
kedua-dua elemen tersebut akan melahirkan sebuah negara yang pincang serta
masyarakat yang kacau-bilau. Oleh itu, akal dan wahyu perlu dijadikan sebagai dasar
kepada pembinaan sebuah negara yang kuat, stabil serta makmur.
Al-Farabi banyak mengkaji mengenai falsafah dan teori Socrates, Plato, dan Aristotle
dalam usahanya untuk menghasilkan teori serta konsep mengenai kebahagiaan. Maka
tidak hairanlah, Al-Farabi dikenali sebagai orang yang paling memahami falsafah
Aristotle. Dia juga merupakan seorang yang terawal menulis mengenai ilmu logik
Yunani secara teratur dalam bahasa Arab.
Meskipun pemikiran falsafahnya banyak dipengaruhi oleh falsafah Yunani tetapi
beliau menentang pendapat Plato yang menganjurkan konsep pemisahan dalam
kehidupan manusia.
Menurut Al-Farabi, seorang ahli falsafah tidak seharusnya memisahkan dirinya
daripada sains dan politlk. Sebaliknya perlu menguasai kedua-duanya untuk menjadi
seorang ahli falsafah yang sempurna.
Tanpa sains, seorang ahli falsafah tidak mempunyai cukup peralatan untuk
diekspolitasikan untuk kepentingan orang lain. Justeru, seorang ahli falsafah yang
tulen tidak akan merasai sebarang perbezaan di antaranya dengan pemerintah yang
tertinggi kerana keduanya merupakan komponen yang saling lengkap melengkapi.
Dalam hal ini beliau mencadangkan agar diwujudkan sebuah negara kebajikan yang
diketuai oleh ahli falsafah.
Pandangan falsafahnya yang kritikal telah meletakkannya sebaris dengan ahli falsafah
Yunani yang lain. Dalam kalangan ahli falsafah Islam, beliau juga dikenali sebagai
Aristotle kedua. Bagi Al-Farabi, ilmu segala-galanya dan para ilmuwan harus
diletakkan pada kedudukan yang tertinggi dalam pemerintahan sesebuah negara.
Pandangan Al-Farabi ini sebenarnya mempunyai persamaan dengan falsafah dan
ajaran Confucius yang meletakkan golongan ilmuwan pada tingkat hierarki yang
tertinggi di dalam sistem sosial sesebuah negara.
Di samping itu, Al-Farabi juga mengemukakan banyak pandangan yang mendahului
zamannya. Antaranya beliau menyatakan bahawa keadilan itu merupakan sifat semula
jadi manusia, manakala pertarungan yang berlaku antara manusia merupakan gejala
sifat semula jadi tersebut.
Pemikiran, idea, dan pandangan Al-Farabi mengenai falsafah politik terkandung
dalam karyanya yang berjudul "Madinah al-Fadhilah". Perbicaraan mengenai ilmu
falsafah zaman Yunani dan falsafah Plato serta Aristotle telah disentuhnya dalam
karya " Ihsa* al-Ulum" dan "Kitab al-Jam".
Terdapat dua buku tidak dapat disiapkan oleh Al-Farabi di zamannya. Buku-buku itu
ialah "Kunci Ilmu" yang disiapkan oleh anak muridnya yang bernama Muhammad Al
Khawarismi pada tahun 976M dan "Fihrist Al-Ulum" yang diselesaikan oleh Ibnu Al-
Nadim pada tahun 988M.
Al-Farabi juga telah menghasilkan sebuah buku yang mengandungi pengajaran dan
teori muzik Islam, yang diberikan judul "Al-Musiqa" dan dianggap sebagai sebuah
buku yang terpenting dalam bidang berkenaan.
Sebagai seeorang ilmuwan yang tulen, Al-Farabi turut memperlihatkan
kecenderungannya menghasilkan beberapa kajian dalam bidang perubatan. Walaupun
kajiannya dalam bidang ini tidak menjadikannya masyhur tetapi pandangannya telah
memberikan sumbangan yang cukup bermakna terhadap perkembangan ilmu
perubatan di zamannya.
Salah satu pandangannya yang menarik ialah mengenai betapa jantung adalah lebih
penting berbanding otak dalam kehidupan manusia. Ini disebabkan jantung
memberikan kehangatan kepada tubuh sedangkan otak hanya menyelaraskan
kehangatan itu menurut keperluan anggota tubuh badan.
Sesungguhnya Al-Farabi merupakan seorang tokoh falsafah yang serba boleh. Banyak
daripada pemikirannya masih relevan dengan perkembangan dan kehidupan manusia
hari ini. Sementelahan itu, pemikirannya mengenai politik dan negara banyak dikaji
serta dibicarakan di peringkat universiti bagi mencari penyelesaian dan sintesis
terhadap segala kemelut yang berlaku pada hari ini.

Al-Ghazali’s Theory of Knowledge

Introduction
All approaches and studies, except empiricism, to either knowledge or truth claims
that are emerged in history seems have been referred in history of Islamic philosophy.
The fact that Islam can accept any concepts, either from inside or outside, has proved
an adaptive manner of the religion, even it is almost tend to be permissive. It is
understandable when all Muslim agree to the principle that is important to take as well
as to learn to hikmah from any places. The wave of Hellenism that consists of heritage
of Greek thought is not to prohibit, hence to be neglected. Many Muslims continues
this tradition and to be authoritative of it. The tradition, certainly, at last has been
luxurious. Nevertheless, it is not to be gained without hard effort. The tradition still
exist hitherto, although the sound seems has merely vague.
A lot of observers claimed that Al-Ghazali is the thinker that is to be responsible for
the situation. The question: is it fair the claim above? To answer the question, we
have to study the philosophical exploration of Al-Ghazali, until he reached his
epistemological standpoint. The favorite discourse in this theme is how human being
can reach the truth? Or, are both religion and philosophy voiced a same truth? And
what kind of way that is to be routed to reach the truth?
Some Epistemologies Before Al-Ghazali
Al-Ghazali lives in a main point of time when truth and reality seekers were lives. He
inherited and did the theologian’s (Mutakallimun) way of thinking for the first period.
The Mutakallimun known as master of intellectual speculation and group who used
free reason (ahl al-ra’y wa al-nazhr). Textual explicit proofs that are elaborated faith
deliberated according to logical measurement (rationalization); hence the faith
problems could be explained. In certain level, position of the party (Mutakallimun) is
beyond of faith of averages, which believe with taqlid (follow without reserved).
Although all implications of knowledge and belief level remains based on faith
commitment. The method is secure enough for kalam follower reaching knowledge
and certainty. In perceiving this, Al-Ghazali not delivers the detail differences in
Kalam schools, because he not concerns on doctrinal variants in the schools. The
reference is theologian methodology (Osman Bakar: 1998).
Another heritage that is also important is from truth seeker tradition through
philosophical method. Al-Ghazali inherited, at least, three philosophical traditions:
First, peripatetic tradition, motored by Al-Farabi and Ibn Sina who were based on
logic and burhan to know everything; second, follower of Pythagoras tradition and
Nicomachus in Ikhwan Shafa (community of holy brotherhood); and, the last,
philosophy of Ismailiyah that is follow Pythagorean hermeneutical tradition. Those all
sourced from outside of Islam, viz. Greek.
Generally, Al-Ghazali identified these schools of philosophy as party who relied
merely on reason to know everything. The method that is used in philosophical
thought, especially Peripatetic school is to follow the syllogistic-logic rules to know
all unknown based on the known one thing. Firstly, putting forward known major
premise so united with the minor that also has known. From both premises one can
reach conclusion, which is new premise (truth) (Osman Bakar: 1998).
Continually process of natural fact can results general concepts those are able to
construct material objects which can be connected to abstract ideas through
imagination sight. In the last, those ideas would be united in intelligences. Those are,
which by philosopher called as active reason (contained free concepts from material
trap) or agent of intellectual (al-‘aql fa’al), a quality that is enabled disclosing of veil
to perfect nature. Knowledge just actualized when active intellect emanated to
theoretical intellect that are summed up similar ideas with the existing. This
achievement often assumed most ideal since it can gain a truth through its instruments
(Oliver Leaman: 2001).
Beside of method of two schools above, Ta’limiyah is party who contribute in
searching Al-Ghazali’s epistemological tabulation. This school more popular as
esoteric. It carries out Shiite group, especially sect of Ismailiyah. The group believes
an authority of ma’sum as cadre of prophetic spirituality. The cadre can knows
essence of knowledge through interpreting verses of Qur’an that, for them, contained
knowledge about the true reality of everything. In Shiite theology, Imam is the only
who can interpret meaning of Qur’an essence; henceforth it is only him who has the
authority to teach spirituality (Osman Bakar: 1998). Then the group subordinated
exoteric reality of the esoteric. In this dimension Ismailiyah build up their religious
community.
Al-Ghazali’s Critic against
Mutakallimun's Epistemology, Philosophers and Ta’limiyah
Al-Ghazali criticized to all schools, except Ismailiyah, as whom then developing in
tradition that he criticized. His mapping of his predecessors into three mainstreams of
epistemologies is to criticize them as well. His critic, then, branched to two poles: in
one side he criticized since he initiated himself as a part of tradition he criticized, and,
in the other, he took his place as who seeks of spiritual knowledge and reality.
This attitude done by Al-Ghazali consciously when he criticized the weakness of
Mutakallimun. As a theologian in this stream, he got that Mutakallimun’s reasonable
thinking was not yet in optimal. Henceforth, it should be methodologically enriched in
order to overcome the weakness, that the group merely borrowed the premises to
construct argumentations from its ‘enemy’, viz. philosophers.
It is worsened when the premises, for instance Al-Baqillani’s atomism, not only to
support certain religious belief, but used as their essential creeds. For Al-Ghazali, it is
indirect searching and the lower level of reality’s searching process. Faith that is
source of light even contaminated with false syllogism, which was being veil of
darkness (Osman Bakar: 1998).
To philosophers, Al-Ghazali put his critic that philosophy has its justification to
explain metaphysical problems. Philosophers, according to Al-Ghazali, not
consequently used demonstrative thinking, hence discussing prophetic questions as
well as spiritual psychology whereby also applied to others Philosophical methode for
Al-Ghazali is not more than human virtue, hence it’s remain subordinated of
revelation. Nevertheless, he accept of genuine philosophy that is neutral and not in
opposition with religion. Meanwhile, his critic to Ta’limiyah seems more than Al-
Ghazali’s sectarian feeling (Osman Bakar: 1998).
In his Sunni position, Al-Ghazali not agree on necessary claim that faith is the only
which is knows ta’wil. His religious views that is influenced by Sunni socio-political
visions made his argument that ijtihad is always open to anyone, not exlusively to
Imam.
Andriansyah, Student at Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta.

Ibn Khaldun

Kemukakan teori ekonomi Islam
Ibn Khaldun atau nama sebenarnya Wali al-Din Abd al-Rahman bin Muhammad bin
Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan lahir di Tunis pada 1 Ramadan 732H
Keluarganya berasal daripada keturunan Arab Hadramaut yang pernah menetap di
Serville, Italy, dan SepanyoL Akhirnya berpindah dan menetap di Afrika Utara
semasa pemerintahan Hafs Abu Zakariyya, pemerintah Tunis pada waktu itu.
Seperti yang dinyatakan sebelum ini, Ibn Khaldun mendapat pendidikan dalam
pelbagai ilmu Islam seperti al-Quran, al'Hadith, perundangan Islam, kesusasteraan,
falsafah, bahasa, dan mantik. Antara gurunya ialah Muhammad Ibrahim al-Abili, Abu
Abd Allah al-Jayyani, Abd Allah Muhammad bin Abd al-Salam.
Ibn Khaldun menjadi cendekiawan yang agung sehingga disanjung oleh Barat kerana
buah fikirannya, Walau bagaimana pun jarang umat Islam mengkajinya. Sebenarnya,
sumbangan pemikiran Ibn Khaldun dalam ekonomi banyak dimuatkan dalam hasil
karya agungnya, al Muqaddimah. Antara teori ekonomi yang terdapat dalam karyanya
masih lagi relevan dengan masalah ekonomi semasa.
Ibn Khaldun telah membincangkan beberapa prinsip dan falsafah ekonomi seperti
keadilan (al adl), hardworking, kerjasama (cooperation), kesederhanaan (moderation),
dan fairness.
Berhubung dengan keadilan (Justice), Ibn Khaldun telah menekankan bahawa
keadilan merupakan tulang belakang dan asas kekuatan sesebuah ekonom. Apabila
keadilan tidak dapat dilaksanakan, sesebuah negara akan hancur dan musnah.
Menurut beliau, ketidakadilan tidak sahaja difahami sebagai merampas wang atau
harta orang lain tanpa sebarang sebab yang diharuskan. Malah, mengambil harta
orang lain atau menggunakan tenaganya secara paksa atau membuat dakwaan palsu
terhadap orang lain. Begitu juga kalau meminta seseorang melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan Islam.
Beliau mengkategorikan perampas harta orang lain secara tidak sah hingga memberi
kesan kepada kehidupan isteri dan keluarga sebagai paling tidak adil. Menurut beliau
lagi, seseorang yang membeli harta seseorang dengan harga yang paling murah
termasuk dalam kategori memiliki harta cara yang tidak betul.
Ketidakadilan seumpama di atas membawa kepada kejatuhan sesebuah negara dan
keruntuhan sesebuah tamadun dengan segera. Menurut Ibn Khaldun, atas sebab sebab
tersebutlah semua bentuk ketidakadilan dilarang oleh Islam.
Manusia dan Ekonomi
Berdasarkan analisis mendalam, didapati kesemua teori ekonomi dan idea Ibn
Khaldun tentang manusia berdasarkan kepada prinsip-prinsip dan falsafah Islam. Ibn
Khaldun tidak melihat fungsi utama manusia dalam aktiviti perekonomiannya
seumpama haiwan ekonomi (economic animal). Sebaliknya beliau menganggap
manusia itu sebagai manusia Islam (Islamic man/homo Islamicus) yang memerlukan
pengetahuan ekonomi untuk memenuhi misinya di atas muka bumi ini.
Dalam hal ini, Ibn Khaldun menekankan perlunya manusia menjauhi perbuatan jahat.
Sebaliknya manusia wajib mengikuti ajaran Islam sebagai model untuk memperbaiki
dirinya dan mesti memberikan keutamaan kepada kehidupan akhirat.
Teori Pengeluaran
Ibn Khaldun mengemukakan teori bahawa kehidupan perekonomian sentiasa
menghala ke arah pelaksanaan keseimbangan antara penawaran dengan permintaan.
Menurut beliau pengeluaran berasaskan kepada faktor buruh dan kerjasama
masyarakat. Bahkan beliau menganggap buruh merupakan faktor terpenting dalam
proses pengeluaran walaupun faktor-faktor lain seperti tanah tersedia, tenaga buruh
perlu untuk menghasilkan matlamat akhir.
Selain itu beliau berpendapat bahawa kenaikan yang tetap pada paras harga amat
perlu untuk mengekalkan tahap produktiviti. Dalam hal ini beliau menyarankan agar
masyarakat melakukan perancangan supaya setiap bidang pekerjaan dilakukan oleh
orang yang mahir dan cekap.
Walau bagaimanapun, pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pembahagian
tenaga buruh bergantung rapat dengan pasaran. Di sini dapatlah dinyatakan bahawa
teori pembahagian tenaga buruh, pengkhususan tenaga buruh, dan pertukaran yang
dikemukakan oleh Ibn Khaldun 100 tahun lebih awal daripada Adam Smith yang juga
mengemukakan teori yang sama.
Teori Nilai, Wang dan Harga
Ibn Khaldun tidak secara jelas membezakan antara teori nilai diguna (use value)
dengan nilai pertukaran (exchange value). Tetapi beliau dengan tegas berhujah
bahawa nilai sesuatu barangan bergantung kepada nilai buruh yang terlibat dalam
proses pengeluaran.
"Semua usaha manusia dan semua tenaga buruh perlu digunakan untuk mendapatkan
modal dan keuntungan. Tidak ada jalan lain bagi manusia untuk mendapatkan
keuntungan melainkan melalui penggunaan buruh, kata Ibn Khaldun.
Teori Pengagihan
Menurut Ibn Khaldun harga barangan terdiri daripada tiga elemen utama iaitu gaji
atau upah, keuntungan, dan cukai. Ketiga-tiga elemen ini merupakan pulangan kepada
masyarakat. Oleh sebab itu, beliau membahagikan ekonomi kepada tiga sektor iaitu
sektor pengeluaran, pertukaran, dan perkhidmatan awam.
Menurut Ibn Khaldun, nilai atau harga sesuatu barangan sama dengan kuantiti buruh
yang terlibat dalam pengeluaran barangan berkenaan. Harga buruh merupakan asas
kepada penentuan harga sesuatu barangan dan harga buruh itu sendiri ditentukan oleh
mekanisme permintaan dan penawaran dalam pasaran.
Manakala keuntungan terhasil daripada perbezaan yang diperoleh oleh peniaga antara
harga jualan dengan harga belian. Namun begitu perbezaan antara kedua-dua harga itu

Ibn Qayyim

Menghuraikan falsafah ekonomi Islam.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah (691/1292 - 751/1350) bukanlah tokoh yang asing dalam
kalangan orang Islam, tetapi ramai yang tidak tahu pemikiran dan sumbangannya
dalam falsafah ekonomi Islam. Ibn Qayyim banyak membincangkan konsep kekayaan
dan kemiskinan, ekonomi dan zakat, konsep faedah, riba al-fadi dan riba al-nasiiah,
dan mekanisme pasaran.
Ibn Qayyim atau nama asalnya Shams al-Din Abu 'Abd Allah Muhammad bin Abu
Bakr bin Sa'ad, lahir pada 7 Safar 691H bersamaan 9 Januari 1292M di Damsyik.
Beliau meninggal dunia pada tahun 751H/1350M ditempat yang sama. Beliau
dibesarkan dalam keluarga yang mementingkan ilmu pengetahuan. Ayahnya
merupakan guru pertama yang mengajar Ibn Qayyim tentang ilmu-ilmu asas Islam
termasuk ilmu al-fara'id.
Sebenarnya, beliau telah menuntut pelbagai bidang pengajian dengan beberapa orang
ulama terkenal pada waktu remajanya. Antara guru beliau ialah Qadi Sulayman bin
Hamzah (711H/1311M), Shaykh Abu Bakr (718H/1318M), al-Majd al-Tunisi (718
H), Abu al-Fath al-Ba'li (709H), al- Saffi al-Hindi (715H), al-Taqi al-Sulayman, Abu
Bakr bin 'Abd al-Da'im (718H), Abu Basr bin al-Shirazi (723H), 'Isa al-Mut'im
(719H), Isma'il Maktum (716H), dan Ibn Taymiyyah (661 - 728/1263 - 1328).
Antara bidang pengajian yang dipelajari daripada mereka ialah tafsir al-Quran, hadith,
usul al-fiqh, dan fiqh. Kesungguhan dan ketekunan Ibn Qayyim mempelajari ilmu dan
pelbagai bidang, akhirnya menjadikan beliau terkenal sebagai seorang tokoh dalam
bidang fiqh, usul al-fiqh, tafsir, bahasa Arab, ilmu kalam, dan hadith. Malah menurut
Ibn 'Imad, Ibn Qayyim merupakan seorang yang alim dalam bidang tasawuf.
Ibn Qayyim sangat terkenal sebagai seorang tokoh ilmuwan pada zamannya dan dapat
menguasai pelbagai bidang ilmu. Beliau merupakan salah seorang faqih yang
mempunyai autoriti dalam Mazhab Hambali. Ada sesetengah Ulama Sufi
menggelarkannya sebagai sufi agong. Beliau juga mempunyai personaliti dan peribadi
yang baik yang amat sukar ditandingi oleh orang lain yang semasa dengannya. Ibn
Kathir (774H/1373M), salah seorang anak muridnya pernah menyatakan bahawa Ibn
Qayyim kuat beribadat dan peribadinya disukai oleh orang ramai pada waktu itu.
Antara lain Ibn Kathir menulis, "Aku tidak pernah melihat pada zaman kami ini,
orang yang kuat beribadat seperti Ibn Qayyim. Apabila sembahyang, sembahyangnya
begitu lama. Beliau memanjang rukuknya dan juga sujudnya."
Selaku seorang ulama yang terkenal, Ibn Qayyim telah didampingi oleh ramai orang
yang berguru dan mempelajari pelbagai bidang ilmu dengannya. Antara anak
muridnya yang masyhur ialah Ibn Kathir tokoh dalam ilmu hadith dan sejarah, Zayn
al-Din Ibn Rajab al- Hambali (795H/1397M) seorang tokoh dalam Mazhab Hambali,
dan Ibn Hajar al-'Asqalani (852H/1449M) seorang tokoh hadith yang tidak asing lagi.
Menurut penyelidikan Dr. 'Iwad Allah Jad Hijazi penulisan Ibn Qayyim dalam
pelbagai bidang ilmu pengetahuan berjumlah 66 buah. Penulisan itu ada yang berjilidjilid,
ada yang tebal dan ada yang kecil serta ringkas. Dalam bidang tafsir Ibn Qayyim
menulis Kitab al'Tibyan fi Iqsam al'Qur'an, Tafsir al Muuawwizatayn, Tafsir Surah
al'Fatihah yang terdapat di awal Kitab Madarij al-Salikin, dan lain-lain lagi.
Dalam bidang Hadith, Ibn Qayyim menulis kitab-kitab seperti Tahdhib al-Siman oleh
Abu Dawud, al-Wabilal Sayyab min al-Kalam al-Tayyib, dan sebagainya. Dalam
bidang Fiqh dan Usul Fiqh beliau menyumbangkan kitab-kitab seperti, Ilam al-
Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alarum, al-Turuq al-Hukmiyyah fi al-Siyysah al-Shar'iyyah,
al-Solah wa Ahkam Tariqiha, Tuhfah al-Mawdud biAhkam al-Mawlud, Bayan al-
Dalil "An Istighna" al-Musabaqah 'an al-Tahlil, al-Tahlil Fima Yaaill wa Yaarum min
Libas al-Harir, dan sebagainya.
Dalam bidang tasawuf Ibn Qayyim menulis yang antaranya, kitab-kitab Madarij al-
Salikin, Rawdah. al-Muhibbin wa Nuzhah ai-Mushtaqin, al-Fawa'id li Ibn Qayyim,
'Uddah al-Sabirin wa Dhakhirah al-Shakirin, Taraq al-Hijratayn wa Bab al-
Sa'adatayn, dan sebagainya. Dalam bidang kalam dan falsafah Ibn Qayyim menulis
beberapa kitab seperti, Shifa' a-'Alil fi Masa'il al-Qada' wa Al-Qadar wa al-hikmah wa
al-Ta'lil, Kitab al-Ruh, Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah, dan Miftah dar al-Sa'adah
wa Manshur Wilayah al-'Ilm wa al-Iradah.
Dalam bidang sejarah, beliau menulis Kitab Zad al-Ma'ad fi Hady Khayr al-'Ibad. Ibn
Qayyim juga menulis al-Tibb al-Nabawi, Talbis Iblis, al-Jawab al-Kafi 'an Lima
Sa'ala 'An al-Dawa' al-Shafi, dan lain-lain lagi.
Ibn Qayyim dalam penulisannya juga telah menyentuh beberapa perkara berkenaan
dengan falsafah ekonomi Islam iaitu konsep manusia Islam (homo islamicus) dan
manusia bukan ekonomi (non homo economicus), konsep keadilan dan nilai-nilai
etika dalam ekonomi, aktiviti ekonomi, kerjasama dan pembahagian buruh, pemilikan
harta kekayaan oleh individu, dan peranan kerajaan dalam ekonomi.
Dalam hal ini, Ibn Qayyim menggariskan asas kepercayaan Islam bahawa setiap
manusia bertanggungjawab membimbing diri sendiri ke arah menjadi hamba Allah
yang baik dan Allah S.W.T merupakan sumber pedoman dan petunjuk.
Dalam pengajian ekonomi, manusia digambarkan sebagai makhluk yang sifat,
gelagat, dan tindakannya mementingkan diri sendiri, tamak, haloba, dan menjadikan
keuntungan sebagai asas penting dalam semua jenis aktiviti ekonomi. Jadi, setiap
manusia bertanggungjawab terhadap perbuatannya dan Allah S.W.T menjadi
pedoman dan petunjuk ke arah jalan yang betul.
Selain itu, Ibn Qayyim menekankan bahawa hidup di dunia ini merupakan ujian dan
cubaan daripada Allah S.W.T. Ujian yang dikenakan kepada manusia itu boleh sama
ada dalam bentuk anugerah harta kekayaan ataupun diberikan kehidupan yang susah.
Anugerah kekayaan kepada seseorang tidak bermaksud Allah S.W.T sayang
kepadanya. Demikian juga ujian kemiskinan tidak bermaksud Allah S.W.T benci
kepada seseorang. Harta kekayaan yang dimiliki oleh manusia bukanlah bererti hidup
ini penuh dengan kesenangan.
Ibn Qayyim juga ada menyentuh soal keadilan yang merupakan teras semua aspek
dalam kehidupan. Menurut Ibn Qayyim, keadilan merupakan objektif dan matlamat
utama Syariah. Hal ini demikian adalah kerana Syariah itu mengandungi keadilan,
keberkatan, dan kebijaksanaan. Perkara yang bercanggah dengan keadilan akan
menukarkan keberkatan dan kebajikan kepada laknat dan kejahatan, dan daripada
kebijaksanaan kepada sesuatu yang tidak berfaedah kepada Syariah.
Sehubungan dengan itu Ibn Qayyim menjelaskan nilai-nilai etika yang baik
seharusnya diamalkan oleh orang Islam dalam kegiatan ekonomi mereka. Antara nilai
etika yang baik ialah kepatuhan kepada Allah SWT, ketaatan
kepada agama, sifat baik, jujur, dan benar. Apabila nilai etika tersebut diamalkan
dalam kehidupan seharian terutamanya dalam kegiatan ekonomi, akan menjauhkan
nilai-nilai jahat seperti pembohongan, penipuan, dan korupsi.
Selanjutnya beliau menjelaskan bahawa akibat daripada sifat semula jadi yang suka
berbohong akan menyebabkan kejayaan tidak tercapai dalam kehidupan.
Apabila keadaan ini berlaku, kehidupan perekonomian akan cacat termasuk juga
aspek-aspek lain dalam kehidupan. Dalam perkataan lain, pembohongan memberi
impak yang besar dalam kehidupan orang-orang Islam.
Memandangkan akibat yang besar daripada ketidaktaatan dan kejahatan sosial, Ibn
Qayyim ada menulis bahawa kesan-kesan dosa akan membawa kepada tidak baik dan
dikutuk. Dosa-dosa ini mencacatkan jasad dan roh manusia yang merosakan
kehidupan di dunia ini dan selepas mati.
Sifat-sifat yang negatif seperti pembohongan, penipuan, dan pengeksploitasian serta
ketidakjujuran mendorong kepada keadaan yang tidak tenteram dalam kehidupan
masyarakat. Akan berlaku huru-hara, kecurigaan, ketidakstabilan, dan kekecewaan
dalam kalangan masyarakat. Apabila semua perkara ini berlaku, kegiatan ekonomi
akan menguncup.
Sebaliknya nilai-nilai etika yang diamalkan dalam masyarakat akan menyuburkan
suasana keyakinan dan jaminan keselamatan dalam masyarakat. Pada masa yang
sama, masyarakat akan bekerjasama dalam proses pengeluaran dan kestabilan
ekonomi. Dalam perkataan lain pengeluaran barang-barang dan perkhidmatan akan
meningkat, dan masyarakat akan hidup mewah.
Selain itu, Ibn Qayyim menganjurkan campur tangan kerajaan dalam pemilikan harta
kekayaan individu jika individu berkenaan menggunakan harta kekayaan berkenaan
pada jalan yang bertentangan dengan faedah masyarakat. Dalam hubungan ini, Ibn
Qayyim telah memetik sepotong hadith Rasulullah s.a.w. mengenai seorang hamba
(harta) yang dimiliki bersama oleh
beberapa rakan kongsi (tuan) yang hendak dibebaskan oleh salah seorang daripada
tuannya, sedangkan tuan-tuan yang lain tidak bersetuju dengan pembebasan tersebut.
Dalam kes ini Rasulullah s.a.w. memutuskan harga yang adil dan rakan-rakan kongsi
yang lain diminta menerima bahagian masing-masing. Selepas itu, hamba berkenaan
telah dibebaskan.
Hadith ini menjadi asas pada Ibn Qayyim dalam menentukan peraturan bahawa
sesuatu harta yang tidak boleh dibahagikan dan dimiliki bersama boleh dijual jika
salah seorang daripada para pemiliknya berhasrat untuk
menjualnya.
Jelas, beberapa aspek dalam falsafah ekonomi Islam yang dihuraikan oleh Ibn
Qayyim tersebut merupakan antara prinsip dan teras ekonomi Islam yang
membezakannya dengan falsafah ekonomi konvensional.

Ibn Rusyd

Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad lahir di
Kardova pada tahun 1126. Beliau ahli falsafah yang paling agung pernah dilahirkan
dalam sejarah Islam. Pengaruhnya bukan sahaja berkembang luas didunia Islam,
tetapi juga di kalangan masyarakat di Eropah. Di Barat, beliau dikenal sebagai
Averroes.
Keturunannya terdiri daripada golongan yang berilmu dan ternama. Bapanya dan
datuknya merupakan kadi di Kardova. Oleh itu, beliau telah dihantar untuk berguru
dengan Ibnu Zuhr yang kemudiannya menjadi rakan karibnya.
Ibnu Rusyd mempelajari ilmu fiqh dan perubatan daripada rakannya yang juga
merupakan tokoh perubatan yang terkenal di Sepanyol, Ibnu Zuhr yang pernah
bertugas di sebagai doktor istana di Andalusia.
Sebelum meninggal dunia, beliau telah menghasilkan bukunya yang terkenal Al
Taysir. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Inggeris
dengan judul Faclititation of Treatment.
Selain menjalin perhubungan yang akrab dengan Ibnu Zuhr, Ibnu Rusyd juga
mempunyai hubungan yang baik dengan kerajaan Islam Muwahidin. Hubungan ini
telah membolehkan Ibnu Rusy dilantik sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169.
Dua tahun kemudian, beliau dilantik menjadi hakim di Kardova.
Selepas beberapa waktu menjadi hakim, beliau dilantik sebagai doktor istana pada
tahun 1182 berikutan persaraan Ibn Tufail. Ramai yang berasa cemburu dan dengki
dengan kedudukan Ibnu Rusyd. Kerana desakan dan tekanan pihak tertentu yang
menganggapnya sebagai mulhid, beliau dibuang ke daerah Alaisano.
Setelah selesai menjalani tempoh pembuangannya, beliau pulang semula Kardova.
Kehadirannya di Kardova bukan sahaja tidak diterima, tetapi beliau telah disisihkan
oleh orang ramai serta menerima pelbagai penghinaan daripada masyarakatnya.
Pada lewat penghujung usianya, kedudukan Ibnu Rusyd dipulihkan semula apabila
Khalifah Al-Mansor Al-Muwahhidi menyedari kesilapan yang dilakukannya. Namun,
segala kurniaan dan penghormatan yang diberikan kepadanya tidak sempat dikecapi
kerana beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1198.
Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan umat
Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan ilmu
dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak, fiqh,
muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahu.
Antara karya besar yang pernah dihasilkan oleh Ibnu Rusyd termasuklah "Kulliyah
fit-Thibb" yang mengandungi 16 jilid, mengenai perubatan secara umum, Mabadil
Falsafah (Pengantar Ilmu Falsafah), Tafsir Urjuza yang membicarakan perubatan dan
tauhid, Taslul, buku mengenai ilmu kalam, Kasyful Adillah, yang mengungkap
persoalan falsafah dan agama, Tahafatul Tahafut, ulasannya terhadap buku Imam Al-
Ghazali yang berjudul Tahafatul Falaisafah, dan Muwafaqatil Hikmah Wal Syari'a
yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan agama.
Siri karya tulisan tersebut menunjukkan betapa penguasaan Ibnu Rusyd dalam
pelbagai bidang dan cabang ilmu begitu ketara sekali sehingga usaha untuk
menterjemahkan tulisan beliau telah dilakukan ke dalam bahasa lain. Buku "Kulliyah
fit-Thibb" telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1255 oleh
Bonacosa, orang Yahudi dari Padua.
Kemudian buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul General
Rules of Medicine. Hasil pemikiran yang dimuatkan dalam tulisannya, terutamanya
dalam bidang falsafah, telah mempengaruhi ahli falsafah Barat. Dua orang ahli
falsafah Eropah, iaitu Voltaire dan Rousseau dikatakan bukan sekadar terpengaruh
oleh falsafah Ibnu Rusyd, tetapi memperolehi ilham daripada pembacaan karyanya.
Pemikiran Voltaire dan Rousseau telah mencetuskan era Renaissance di Perancis
sehingga merobah wajah Eropah keseluruhannya sebagaimana yang ada pada hari ini.
Masyarakat Barat sebenarnya terhutang budi kepada Ibnu Rusyd keranapemikirannya,
sama ada secara langsung ataupun tidak langsung, telah mencetuskan revolusi di
benua Eropah.
Pemikirannya memungkinkan masyarakat di sana keluar daripada zaman kegelapan
menuju era kemajuan industri yang pesat. Hospital Les Quinze-Vingt yang juga
merupakan hopital pertama di Paris didirikan oleh Raja Louis IX berdasarkan model
hospital Sultan Nuruddin di Damsyik yang kaedah perubatannya merupakan hasil
daripada idea dan pemikiran Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd juga telah menulis sebuah buku mengenai muzik yang diberi judul "De
Anima Aristoteles" (Commentary on the Aristotle's De Animo). Hasil karyanya ini
membuktikan betapa Ibnu Rusyd begitu terpengaru dan tertarik oleh ilmu logik yang
dikemukakan oleh ahli falsafah Yunani, Aristotle.
Pembicaraan falsafah Ibnu Rusyd banyak tertumpu pada persoalan yang berkaitan
dengan metafizik, terutamanya ketuhanan. Beliau telah mengemukakan idea yang
bernas lagi jelas, dan melakukan pembaharuan semasa membuat huraianya mengenai
perkara tersebut.
Pembaharuan ini dapat dilihat juga dalam bidang perubatan apabila Ibnu Rusyd
memberi penekanan tentang kepentingan menjaga kesihatan. Beberapa pandangan
yang dikemukakan dalam bidang perubatan juga didapati mendahului zamannya.
Beliau pernah menyatakan bahawa demam campak hanya akan dialami oleh setiap
orang sekali sahaja.
Kehebatannya dalam bidang perubatan tidak berlegar di sekitar perubatan umum,
tetapi juga merangkum pembedahan dan fungsi organ di dalam tubuh manusia.
Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Ibnu Rusyd turut menjangkau bidang yang
berkaitan dengan kemasyarakatan apabila beliau cuba membuat pembahagian
masyarakat itu kepada dua golongan iaitu golongan elit yang terdiri daripada ahli
falsafah dan masyarakat awam.
Pembahagian strata sosial ini merupakan asas pengenalan pembahagian masyarakat
berdasarkan kelas seperti yang dilakukan oleh ahli falsafah terkemudian, seperti Karl
Max dan mereka yang sealiran dengannya.
Apabila melihat keterampilan Ibnu Rusyd dalam pelbagai bidang ini, maka tidak syak
lagi beliau merupakan tokoh ilmuwan Islam yang tiada tolok bandingannya. Malahan
dalam banyak perkara, pemikiran Ibnu Rusyd jauh lebih besar dan berpengaruh jika
dibandingkan dengan ahli falsafah yang pernah hidup sebelum zamannya ataupun
selepas kematiannya

Ibn Sina

Ibnu Sina merupakan doktor Islam yang terulung. Sumbangannya dalam bidang
perubatan bukan sahaja diperakui oleh dunia Islam tetapi juga oleh para sarjana Barat.
Nama sebenar Ibnu Sina ialah Abu Ali al-Hussian Ibnu Abdullah. Tetapi di Barat,
beliau lebih dikenali sebagai Avicenna.
Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 370 Hijrah bersamaan dengan 980 Masihi. Pengajian
peringkat awalnya bermula di Bukhara dalam bidang bahasa dan sastera. Selain itu,
beliau turut mempelajari ilmu-ilmu lain seperti geometri, logik, matematik, sains,
fiqh, dan perubatan.
Walaupun Ibnu Sina menguasai pelbagai ilmu pengetahuan termasuk falsafah tetapi
beliau lebih menonjol dalam bidang perubatan sama ada sebagai seorang doktor
ataupun mahaguru ilmu tersebut.
Ibnu Sina mula menjadi terkenal selepas berjaya menyembuhkan penyakit Putera Nub
Ibn Nas al-Samani yang gagal diubati oleh doktor yang lain. Kehebatan dan
kepakaran dalam bidang perubatan tiada tolok bandingnya sehingga beliau diberikan
gelaran al-Syeikh al-Rais (Mahaguru Pertama).
Kemasyhurannya melangkaui wilayah dan negara Islam. Bukunya Al Qanun fil Tabib
telah diterbitkan diRom pada tahun 1593 sebelum dialihbahasakan ke dalam bahasa
Inggeris dengan judul Precepts of Medicine. Dalam jangka masa tidak sampai 100
tahun, buku itu telah dicetak ke dalam 15 buah bahasa. Pada abad ke-17, buku
tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan asas diuniversiti-universiti Itali dan
Perancis. Malahan sehingga abad ke-19, bukunya masih diulang cetak dan digunakan
oleh para pelajar perubatan.
Ibnu Sina juga telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul Remedies for The
Heart yang mengandungi sajak-sajak perubatan. Dalam buku itu, beliau telah
menceritakan dan menghuraikan 760 jenis penyakit bersama dengan cara untuk
mengubatinya. Hasil tulisan Ibnu Sina sebenarnya tidak terbatas kepada ilmu
perubatan sahaja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti metafizik,
muzik, astronomi, philologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.
Penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh
sarjana yang serba boleh. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi berjaya mencapai
tahap zenith iaitu puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang yang diceburinya.
Di samping menjadi zenith dalam bidang perubatan, Ibnu Sina juga menduduki
ranking yang tinggi dalam bidang ilmu logik sehingga digelar guru ketiga. Dalam
bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk kumpulan
risalah yang mengandungi hasil sastera kreatif.
Perkara yang lebih menakjubkan pada Ibnu Sina ialah beliau juga merupakan seorang
ahli falsafah yang terkenal. Beliau pernah menulis sebuah buku berjudul al-Najah
yang membicarakan persoalan falsafah. Pemikiran falsafah Ibnu Sina banyak
dipengaruhi oleh aliran falsafah al-Farabi yang telah menghidupkan pemikiran
Aristotle. Oleh sebab itu, pandangan perubatan Ibnu Sina turut dipengaruhi oleh asas
dan teori perubatan Yunani khususnya Hippocrates.
Perubatan Yunani berasaskan teori empat unsur yang dinamakan humours iaitu darah,
lendir (phlegm), hempedu kuning (yellow bile), dan hempedu hitam (black bile).
Menurut teori ini, kesihatan seseorang mempunyai hubungan dengan campuran
keempat-empat unsur tersebut. Keempat-empat unsur itu harus berada pada kadar
yang seimbang dan apabila keseimbangan ini diganggu maka seseorang akan
mendapat penyakit.
Setiap individu dikatakan mempunyai formula keseimbangan yang berlainan.
Meskipun teori itu didapati tidak tepat tetapi telah meletakkan satu landasan kukuh
kepada dunia perubatan untuk mengenal pasti punca penyakit yang menjangkiti
manusia. Ibnu Sina telah menapis teori-teori kosmogoni Yunani ini dan
mengislamkannya.
Ibnu Sina percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri daripada empat unsur iaitu
tanah, air, api, dan angin. Keempat-empat unsur ini memberikan sifat lembap, sejuk,
panas, dan kering serta sentiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam
alam ini. Ibnu Sina percaya bahawa wujud ketahanan semula jadi dalam tubuh
manusia untuk melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan unsur-unsur yang
dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang kuat dalam tubuh bagi
mengekalkan kesihatan dan proses penyembuhan.
Pengaruh pemikiran Yunani bukan sahaja dapat dilihat dalam pandangan Ibnu Sina
mengenai kesihatan dan perubatan, tetapi juga bidang falsafah. Ibnu Sina berpendapat
bahawa matematik boleh digunakan untuk mengenal Tuhan. Pandangan seumpama itu
pernah dikemukakan oleh ahli falsafah Yunani seperti Pythagoras untuk
menghuraikan mengenai sesuatu kejadian. Bagi Pythagoras, sesuatu barangan
mempunyai angka-angka dan angka itu berkuasa di alam ini. Berdasarkan pandangan
itu, maka Imam al-Ghazali telah menyifatkan fahaman Ibnu Sina sebagai sesat dan
lebih merosakkan daripada kepercayaan Yahudi dan Nasrani.
Sebenarnya, Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku An-
Najah, Ibnu Sina telah menyatakan bahawa pencipta yang dinamakan sebagai "Wajib
al-Wujud" ialah satu. Dia tidak berbentuk dan tidak boleh dibahagikan dengan apaapa
cara sekalipun. Menurut Ibnu Sina, segala yang wujud (mumkin al-wujud) terbit
daripada "Wajib al-Wujud" yang tidak ada permulaan.
Tetapi tidaklah wajib segala yang wujud itu datang daripada Wajib al-Wujud sebab
Dia berkehendak bukan mengikut kehendak. Walau bagaimanapun, tidak menjadi
halangan bagi Wajib al-Wujud untuk melimpahkan atau menerbitkan segala yang
wujud sebab kesempurnaan dan ketinggian-Nya.
Pemikiran falsafah dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh Ibnu Sina dalam bab
"Himah Ilahiyyah" dalam fasal "Tentang adanya susunan akal dan nufus langit dan
jirim atasan.
Pemikiran Ibnu Sina ini telah rnencetuskan kontroversi dan telah disifatkan sebagai
satu percubaan untuk membahaskan zat Allah. Al-Ghazali telah menulis sebuah buku
yang berjudul Tahafat al'Falasifah (Tidak Ada Kesinambungan Dalam Pemikiran Ahli
Falsafah) untuk membahaskan pemikiran Ibnu Sina dan al-Farabi.
Antara percanggahan yang diutarakan oleh al-Ghazali ialah penyangkalan terhadap
kepercayaan dalam keabadian planet bumi, penyangkalan terhadap penafian Ibnu
Sina dan al-Farabi mengenai pembangkitan jasad manusia dengan perasaan
kebahagiaan dan kesengsaraan di syurga atau neraka.
Walau apa pun pandangan yang dikemukakan, sumbangan Ibnu Sina dalam
perkembangan falsafah Islam tidak mungkin dapat dinafikan. Bahkan beliau boleh
dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab menyusun ilmu falsafah dan sains
dalam Islam. Sesungguhnya, Ibnu Sina tidak sahaja unggul dalam bidang perubatan
tetapi kehebatan dalam bidang falsafah mengatasi gurunya sendiri iaitu al-Farabi.

Ibn Tufail

Ahli falsafah yang mendahului zaman.
Dunia Islam telah melahirkan ramai ahli falsafah yang hebat. Namun begitu, falsafah
Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran
manusia. Maka tidak hairanlah, sejarah lebih mengenali tokoh-tokoh falsafah Yunani
dan barat jika dibandingkan dengan ahli falsafah Islam.
Walaupun beberapa tokoh falsafah Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina
mendapat pengiktirafan dari Barat, tetapi mereka tidak mendapat tempat yang
sewajarnya jika dibandingkan dengan ahli falsafah Yunani seperti Plato dan Aristotle.
Kajian-kajian mengenai tokoh berkenaan masih belum memadai dan jauh daripada
memuaskan.
Walaupun para sarjana, ilmuwan, dan ahli falsafah Islam telah menghasilkan sejumlah
karya-karya yang besar tetapi kebanyakan tulisan mereka belum diterjemahkan.
Tidak kurang juga yang musnah disebabkan oleh peperangan dan penaklukan yang
dilakukan oleh kuasa asing. Malahan kajian yang dibuat terhadap pemikiran falsafah
beberapa tokoh terkenal seperti Ibnu Rusyd tidak diberikan penilaian yang adil.
Kajian dan terjemahan yang dibuat oleh S.Van den Berg terhadap kitab "Lima Baida
al-Thaan", tulisan Ibnu Rusyd mengenai metafizik misalnya tidak mendapat sorotan
yang meluas wahal kajian tersebut dapat membantu kita memahami dan mendekati
pemikiran ahli falsafah itu dengan lebih mendalam lagi.
Begitu juga dengan pemikiran falsafah Ibn Tufail tidak banyak diketahui oleh umat
Islam sendiri. Ibn Tufail yang lahir pada tahun 1106 Masihi di Asya, Granada lebih
dikenali sebagai ahli hukum, perubatan, dan ahli politik yang handal. Semasa
pemerintahan al-Mu'min ibn Ali, Ibn Tufail atau nama asalnya, Abu Bakr Muhammad
ibn Abdul Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tufail al-Qisi pernah dilantik
sebagai pembantu gabenor Wilayah Sabtah dan Tonjah di Maghribi.
Beliau juga pernah menjadi doktor peribadi kepada pemerintah al-Muwahidin, Abu
Ya'kub Yusuf. Selepas bersara, tempatnya digantikan oleh anak muridnya iaitu Ibnu
Rusyd. Semasa hayatnya, Ibn Tufail pernah dilantik sebagai menteri dan merupakan
ahli politik yang dihormati oleh pihak pemerintah.
Selain itu, beliau juga melibatkan dirinya dalam bidang pendidikan, pengadilan, dan
penulisan. Walaupun Ibn Tufail dikatakan telah menulis banyak buku tetapi hanya
sebuah sahaja kitab yang diwariskan kepada generasi umat Islam hari ini. Kitab itu
ialah "Hay ibn Yaqzan" yang memuatkan pandangannya secara umum, dengan gaya
bahasa yang menarik dan imiginasi yang indah. Buku ini dianggap sebagai warisan
paling unik yang ditinggalkan oleh seorang ahli falsafah Islam.
Buku ini kemudiannya diterjemahkan ke dalam berbagai-bagai bahasa dunia. Yang
menarik dalam buku itu, Ibn Tufail berusaha menerangkan bagaimana manusia
mempunyai potensi untuk mengenali Allah. Katanya, semua ini dapat dilakukan
dengan membuat penelitian terhadap alam sekitar dan sekelilingnya.
Menerusi buku itu, Ibn Tufail cuba merangka satu sistem falsafah berdasarkan
perkembangan pemikiran yang ada pada diri manusia. Beliau berusaha mengungkap
persoalan serta hubungan antara manusia, akal, dan Tuhan. Untuk itu, beliau telah
menggunakan watak Hayibn Yaqzan yang hidup di sebuah pulau di Khatulistiwa
sebagai gambaran percampuran empat unsur penting dalam kehidupan iaitu panas,
sejuk, kering, dan basah dengan tanah. Watak itu hidup terpencil dan dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan pimpinan akal dan bantuan
pancaindera. Langkah Ibn Tufail menggunakan analog! watak tersebut dalam
bukunya dianggap sebagai suatu perkara yang luar biasa dalam penulisan karya yang
berbentuk falsafah.
Watak itu tidak pernah mengenali kedua-dua ibu bapanya. Tetapi alam telah
memberinya seekor kijang yang menyusu dan memberinya makan. Setelah dewasa,
dia mengarahkan pandangannya terhadap perkara yang ada di sekelilingnya. Di sini
dia mulai membahaskan tentang kejadian dan rahsia perubahan yang berlaku
disekelilingnya. Pada anggapannya di sebalik alamnya terdapat sebab-sebab yang
tersembunyi yang mentadbir dan membentuknya. Hay bin Yaqzan selalu membahas
dan menganalisa sesuatu perkara sehingga dia mampu mengetahui bahawa
kebahagian dan kesengsaraan manusia itu bergantung kepada hubungannya dengan
Allah. Dengan watak "Hay" itu, Ibn Tufail berjaya membuat huraian yang menarik
sekaligus membantu kita memahami pemikiran falsafahnya.
Buku itu juga mengandungi pengamatan Ibn Tufail mengenai ilmu metafizik,
matematik, fizik, dan sebagainya. Ibn Tufail melihat alam ini sebagai baru dan
ditadbir oleh Tuhan yang satu dan berkuasa penuh. Dalam diri manusia pula terdapat
roh yang menjadi sumber dan asas kehidupan mereka di muka bumi ini. Falsafah Ibn
Tufail bukan sekadar menyentuh perkara yang berkaitan dengan metafizik tetapi juga
sains tabii seperti fizik. Ibn Tufail mendapati bahawa lapisan udara yang tinggi lebih
sejuk dan nipis daripada lapisan yang rendah. Hal ini disebabkan kepanasan berlaku
di permukaan bumi bukannya di ruang dan lapisan udara.
Beliau juga mendapati bahawa kepanasan boleh dihasilkan melalui geselan, gerakan
cahaya sama ada daripada apt ataupun matahari. Meskipun pandangan itu dianggap
sebagai satu perkara yang biasa pada hari ini tetapi pandangan ini sebenarnya telah
menyediakan landasan kepada ahli sains untuk melakukan kajian terhadap kepanasan
dan segala fenomena yang berkaitan dengannya. Pemikiran falsafah Ibn Tufail juga
meliputi perkara yang berhubung dengan masyarakat. Beliau menyifatkan masyarakat
terdiri daripada sebahagian besar anggota-anggota yang malas. Lantaran itu, mereka
mudah terpengaruhi dan terikut-ikut dengan nilai yang sedia ada tanpa mahu
memperbahaskannya.
Ibn Tufail hidup hampir sezaman dengan Ibnu Bajjah. Maka sebab itu beliau mudah
menerima pandangan falsafah Ibnu Bajjah, al-Farabi, dan beberapa ahli falsafah Islam
yang lain dengan baik. Menurut sesetengah pengkaji dan pemikir, Ibn Tufail banyak
dipengaruhi oleh falsafah Ibnu Bajjah sebagaimana yang dapat diperhatikan pada
pertengahan buku Hay bin Yaqzan yang banyak membawa saranan yang terdapat
dalam kitab "al-Mutawwahid". Dalam buku itu, Ibnu Bajjah telah melakukan
pembelaan terhadap tulisan-tulisan al Farabi dan Ibnu Sina.
Namun begitu, Ibnu Tufail tidak menerima sarangan itu bulat-bulat melainkan
selepas dibahaskan secara kritis. Selain itu beliau seorang yang berpegang kepada
logik dalam mengungkap realiti alam dan kehidupan manusia.
Barangkali bertitik tolak daripada sikapnya itu, beliau tidak menyepi dan
mengasingkan diri seperti mana yang dilakukan oleh segelintir ahli falsafah lain.
Sebaliknya beliau bergiat dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan
mengambil bahagian secara aktif dalam urusan pemerintahan serta kenegaraan.
Kegiatan ini dilakukannya sehingga beliau menghembuskan nafas yang terakhir pada
1185 Masihi.

Ibnu Maskawaih

Orang yang mengasaskan teori evolusi
Ibn Maskawaih atau nama sebenarnya Abu Ali bin Ahmad bin Muhammad bin
Yaakub bin Maskawaih merupakan ilmuwan Islam yang terpenting. Walaupun
pemikiran falsafahnya tidak banyak dibicarakan tetapi beliau telah
mengemukakan berbagai-bagai teori falsafah penting yang menjadi asas
kepada pemikiran falsafah tokoh-tokoh selepasnya.
Pandangannya mengenai manusia dan perkembangan masyarakat bukan
sahaja menjadi asas pemikiran ke-pada ilmuwan Islam yang lain seperti
Ibnu Khaldun dan Jamaluddin Al Rini tetapi juga para sarjana Barat.
Teori evolusi yang dikemukakannya telah dijadikan sebagai bahan kajian
oleh Charles Darwin yang kemudiannya menerbitkan buku Origin of
Species mengenai kejadian dan asal-usul manusia. Dalam buku
tersebut, Charles Darwin telah menyatakan bahawa manusia
berkembang secara evolusi daripada spesies hidupan yang paling
ringkas kepada yang kompleks. Perkembangan itu berlaku secara
perlahan-lahan dan mengambil masa yang lama.
Hasil daripada kajian dan pemerhatiannya terhadap pelbagai spesies
hidupan dan fosil di beberapa buah benua, beliau akhirnya membuat
keputusan bahawa manusia se-benarnya berasal daripada beruk melalui
proses evolusi. Teori evolusinya telah menjadi kontroversi dan
mendapat tentangan daripada pihak gereja kerana dia menafikan
peranan Tuhan dalam menjadikan kehidupan di muka bumi ini.
Namun begitu, teori berkenaan telah menjadikan Darwin terkenal dan
dianggap sebagai pelopor teori evo-lusi yang digunakan oleh para
sarjana dalam bidang antropologi dan sosiologi dalam menghuraikan
sejarah serta perjalanan manusia serta perkembangan masyarakat.
Padahal teori evolusi telah lama digunakan oleh Ibn Maskawaih dalam
kajiannya mengenai perabadan ma-nusia. Menurutnya, kecerdikan
manusia tidaklah mengatasi kepintaran yang dimiliki oleh beruk. Tetapi
manusia menjadi lebih cerdik kerana pengalaman yang mereka peroleh
dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi Ibn Maskawaih, manusia itu ialah sebuah dunia yang kecil dan
padanya terdapat gambaran mengenai segala yang ada di dunia ini.
Setiap manusia mempunyai peranannya yang tersendiri sama ada
sebagai individu ataupun anggota masyarakat. Pendapat beliau ini
menepati "Teori Fungsi" yang dikemukakan oleh seorang ahli sosio-logi
Perancis yang bernama Auguste Comte.
Sekiranya setiap anggota masyarakat melaksanakan peranan dan
fungsinya maka masyarakat itu akan berada dalam keadaan yang stabil
dan bersatu padu serta membolehkannya berkembang dengan teratur.
Manakala sebarang gangguan terhadap fungsi itu akan mengakibatkan
berlakunya konflik dan pergolakan dalam masyarakat. Secara tidak
langsung akan membawa keruntuhan kepada masyarakat tersebut.
Jadi, tidak keterlaluan kalau di katakan bahawa Ibn Maskawaih juga
merupakan pengasas kepada Teori Fungsi yang digunakan oleh para
penganalisis sosial yang menjalankan kajian tentang masyarakat kuno
dan moden. Walaupun beliau terdidik dalam bidang perubatan, tetapi
minatnya yang mendalam terhadap ilmu, telah mendorongnya
mempelajari kesusasteraan, falsafah, kimia, bahasa, dan ilmu klasik
yang lain.
Beliau menguasai dan mempunyai kepakaran setiap bidang yang
dipelajarinya. Ibnu Maskawaih juga ahli sejarah dan ilmuwan akhlak
yang handal. Semua ilmu pengetahuan itu tidak dipelajari sekali gus
seperti yang sering dilakukan oleh sarjana Islam yang lain. Beliau
mempelajarinya secara berperingkat-peringkat dan akhirnya mendapati
bidang falsafah sesuai dengan dirinya sebagai seorang pemikir.
Memulakan kerjayanya sebagai doktor sebelum dilantik menjadi
setiausaha kepada beberapa orang menteri seperti Mueiz al Daulah.
Pengalaman tersebut memberikan beliau peluang yang luas untuk
mendampingi masyara-kat dan orang ramai.
Selepas kematian Mueiz, beliau dilantik oleh Menteri Ibnu Amid menja-di
ketua perpustakaan. Kesempatan ini telah digunakan untuk menelaah
berbagai-bagai buku yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan Yunani.
Selepas itu, beliau dilantik pula sebagai Ketua Pemegang Amanah
Khazanah yang bertanggungjawab menjaga Perpustakaan Malik Adhdud
Daulah yang memerintah dari tahun 367-372H. Dengan pengetahuan
dan pengalaman yang ada padanya, Ibn Muskawaih telah berjaya
membina ketokohannya sebagai seorang ilmuwan yang mempunyai
pengetahuan yang luas dalam pelbagai bidang.
Banyak teori telah dihasilkan oleh beliau dan tidak terbatas kepada
bi-dang falsafah semata-mata. Beliau menulis berbagai-bagai kitab yang
membicarakan pelbagai persoalan. Antaranya Kitab al-Fauz al-Saghir
yang menumpukan pembicaraan kepada persoalan yang berkaitan
dengan metafizik iaitu tentang Allah, kerasulan dan jiwa.
Kebanyakan pandangannya mengenai perkara ini disesuaikan daripada
pandangan ahli falsafah Yunani. Kesan pemikiran falsafah Yunani
terhadap Ibn Muskawaih dapat dilihat pada pan-dangannya mengenai
jiwa. Semasa mengungkap persoalan ini, beliau menyatakan bahawa
jiwa merupakan roh yang berlainan daripada tubuh dan tidak mungkin
dapat dilihat dan disentuh oleh pancaindera. Baginya jiwa sesuatu yang
da-pat menerima dua perkara pada satu masa yang sama seperti
keadaan hitam dan putih pada satu waktu.
Beliau juga telah mengemukakan teori akhlak dalam kitabnya yang
berjudul kitab Tahzib al-Akhlaq. Dalam kitab itu, beliau menyebut
kemuncak akhlak ialah apabila lahirnya perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukan secara teratur. Oleh itu, akhlak yang baik hanya akan lahir
daripada jiwa yang bersih dan begitu juga sebaliknya.
Untuk mendapat jiwa yang bersih maka anak-anak sejak kecil lagi harus
didedahkan de-ngan nilai-nilai yang baik. Nilai-nilai buruk pula hanya
akan mengganggu proses tumbesaran dan menyebabkan mereka
membesar tanpa menghiraukan tatasusila. Anak-anak perlu dilatih pada
peringkat awal tumbesaran supaya bersikap dan bertindak mengikut
nilai-nilai ini agar sebati de-ngan diri serta sanubari mereka.
Ibn Maskawaih turut menulis beberapa buah kitab yang lain seperti
al'Adwiah al-Mufra-dah tentang ubat-ubatan, Uns al'Farid sebuah
antologi cerpen, Tajarub al'Umarn sebuah catatan mengenai sejarah,
al-Tabikh mengenai kaedah memasak, al'Asyribah yang membicaraka
tentang minuman, al'Fauz al-Kabir, dan Tajrib al'Um.
Berdasarkan banyak kitab yang ditulisnya maka ketokohannya sebagai
ahli falsafah dan pengarang tidak dapat dinafikan. Idea dan
pan-dangannya jelas mendahului zaman menjadikannya sebagai salah
seorang ilmuwan serta sarjana Islam yang tiada tolok bandingan pada
zamannya. Sesungguhnya Ibn Maskawaih yang dilahirkan pada 330H
(941M) di Kota Rhages itu akan terus dikenang sebagai seorang ahli
fal-safah yang kaya dengan teori-teorinya.

Jabir Ibn Haiyan Bapak

Jabir Ibn Haiyan (750-803 Masihi), yang lebih akrab
dipanggil "Si Geber dari Abad Pertengahan" juga dikenali
sebagai "Bapa Ilmu Kimia Dunia". Beliau yang nama
penuhnya Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, telah berhasil
menempatkan dirinya sebagai ilmuwan terkemuka sejak
dia mengamalkan bidang perubatan dan alkimia di Kufah
(sekarang Iraq) di sekitar tahun 776 Masihi yang silam.
Pada peringkat awal kerjaya Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, beliau pernah berguru pada
Barmaki Vizier iaitu semasa zaman Khalifah Abbasiah pimpinan Harun Ar-Rasyid.
Sumbangan terbesar beliau ialah dalam lapangan ilmu kimia. Beliau cukup terkenal
kerana hasil penulisan yang melebihi daripada seratus risalah yang telah diabadikan
sehingga kini. Terdapat sebanyak 22 risalah yang antaranya berkaitan dengan alkimia
(Al-Kimiya dari bahasa Arab) dan ilmu kimia.
Beliaulah yang memperkenalkan model penelitian dengan cara eksperimen didunia
alkimia. Maknanya, beliau yang menjana momentum bagi perkembangan ilmu kimia
moden.
Jabir banyak mengabdikan dirinya dengan melakukan eksperimen dan pengembangan
kaedah untuk mencapai kemajuan dalam bidang penyelidikan. Beliau mencu-rahkan
daya upayanya pada proses pengembangan kaedah asas ilmu kimia dan kajian
terhadap pelbagai mekanisme tindak balas kimia. Jadi, beliau mengembangkan ilmu
kimia sebagai cabang ilmu alkimia.
Beliau menegaskan bahawa kuantiti yang tepat daripada bahan kimia saling
berhubungan dengan wujudnya tindak balas kimia yang akan berlaku. Oleh sebab itu,
bolehlah dikatakan bahawa Jabir telah meletakkan dasar ke atas hukum nisbah tetap.
Sumbangan yang paling asas oleh Jabir dalam bidang ilmu kimia termasuk juga dalam
bidang penyempurnaan pendekatan saintifik, seperti pada proses penghabluran,
penyulingan, kalsinasi (penukaran logam kepada oksidanya dengan cara pembakaran),
pejalwap dan penyejatan serta pengembangan terhadap beberapa peralatan untuk
menjalankan eksperimen itu.
Pencapaian praktis utama yang disumbangkan oleh beliau ialah penemuan bahan
mineral dan asid, yang telah pun dipersiapkan pertama kali dalam penelitian tentang
alembik (Anbique). Rekaannya terhadap alembik membuatkan proses penyulingan
menjadi lebih mudah dan sistematik.
Antara beberapa kejayaannya yang lain dalam bidang kimia, salah satunya ialah
dalam penyediaan asid nitrik, hidroklorik, sitrik, dan tartarik. Penekanan Jabir dalam
bidang eksperimen sistematik ini diketahui umum tidak ada duanya didunia.
Oleh sebab itulah, mengapa Jabir diberi kehormatan sebagai "Bapa Ilmu Kimia
Moden" oleh rakan sejawatnya diseluruh dunia. Bahkan dalam tulisan Max
Mayerhaff, disebutkan bahawa jika ingin mencari susur galur perkembangan ilmu
kimia di Eropah maka bolehlah dijejaki secara langsung pada karya-karya Jabir Ibnu
Haiyan.
Tegasnya, Jabir merupakan seorang pelopor dalam beberapa bidang pengembangan
ilmu kimia gunaan. Sumbangan beliau termasuk juga dalam pembangunan keluli,
penyediaan bahan-bahan logam, bahan antikarat, tinta emas, penggunaan bijih
mangan dioksida untuk pembuatan kaca, bahan pengering pakaian, dan penyamakan
kulit.
Sumbangan beliau juga pada menyediakan pelapisan bahan anti air pada pakaian,
serta campuran bahan cat, dan gris. Selain itu, beliau juga mengembangkan teknik
peleburan emas dengan menggunakan bahan aqua regia.
Idea eksperimen Jabir itu sekarang telah menjadi dasar untuk mengklasifikasikan
unsur-unsur kimia, terutamanya pada bahan logam, bukan logam, dan penguraian
bahan kimia. Beliau telah merumuskan tiga bentuk berbeza daripada bahan kimia
berdasarkan unsur-unsurnya:
Cecair (spirit), yakni yang mempengaruhi pengewapan pada proses pemanasan,
seperti pada bahan kapur barus (camphor), arsenik, dan ammonium klorida.
Logam, seperti emas, perak, timah, tembaga, besi.
Bahan campuran, yang boleh ditukar menjadi serbuk.
Pada abad pertengahan, risalah-risalah Jabir dalam bidang ilmu kimia - termasuk
kitabnya yang masyhur, Kitab Al-Kimya dan Kitab Al-Sab'een, telah diterjemahkan
ke bahasa Latin. Bahkan terjemahan Kitab Al-Kimya telah diterbitkan oleh orang
Inggeris yang bernama Robert Chester pada tahun 1444, dengan judul The Book of
the Composition of Alchemy.
Buku kedua, Kitab Al-Sab'een diterjemahkan juga oleh Gerard dari Cremona.
Berthelot pula menterjemahkan beberapa buku beliau, yang antaranya dikenali
dalam judul Book of Kingdom, Book of the Balances, dan Book of Eastern Mercury.
Berikutnya pada tahun 1678, seorang berbangsa Inggeris, iaitu Richard Russel
mengalihbahasakan karya Jabir yang lain dengan judul Sum of Perfection. Berbeza
dengan pengarang sebelumnya, Richardlah yang pertama kali menyebut Jabir dengan
sebutan Geber. Dialah yang memuji Jabir sebagai seorang pendeta Arab dan juga ahli
falsafah.
Buku ini kemudiannya menjadi sangat popular di Eropah selama beberapa abad
lamanya dan telah member! impak dan pengaruh yang cukup besar kepada evolusi
ilmu kimia moden. Istilah alkali, pertama kali ditemukan oleh Jabir.
Sungguhpun begitu, daripada semua karyanya, hanya sedikit sahaja yang telah
diterjemahkan. Sebahagian besar karyanya tetap kekal dalam bahasa Arab.

Malik Ben Nabi

Tokoh pemikir yang setanding dengan Iqbal
Malik Ben Nabi dilahirkan di Constantine, sebuah kota di Algeria Timur pada tahun
1906. Beliau mendapat pendidikan awal di sebuah Madrasah al-Quran di Perancis.
Disebabkan kepintaran dan kepandaiannya, Malik mendapat biasiswa bagi
meneruskan pengajiannya dalam kelas persediaan selama dua tahun di sekolah El-
Djelis di Constantine.
Kemudian beliau memasuki sebuah madrasah yang melatih bakal hakim, guru, dan
pembantu rumah sakit. Setelah memasuki madrasah berkenaan beliau didedahkan
dengan kesusasteraan Perancis khususnya hikayat pengembaraan dan hikayat timur.
Beliau berasal daripada keluarga yang sederhana, namun berjiwa besar. Semasa
melanjutkan pengajian diperingkat tinggi di Constantine, beliau sempat bertemu
dengan Syeikh Abdul Majid dan Profesor Martin. Tokoh inilah yang banyak
mempengaruhi pemikiran dan pembentukan sahsiah diri.
Setelah tamat pengajian, beliau pernah beberapa kali berkunjung ke Perancis.
Seterusnya pada tahun 1930 beliau melanjutkan pengajian di Kolej Kejuruteraan.
Setahun kemudian beliau berkahwin dengan wanita Perancis yang telah memeluk
Islam. Semasa belajar, beliau terlibat dalam pelbagai Gerakan Pembaharuan. Di
sinilah beliau banyak mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam serta
mengikuti perkembangannya sama ada dari dalam atau luar Algeria seperti di Mesir,
Hijaz, dan Maghribi.
Malik juga pernah menjawat jawatan Pegawai Pendaftar Mahkamah di Huran. Dalam
tempoh itu beliau berpeluang bertemu dengan masyarakat untuk mengetahui masalah
mereka yang berada di bawah penjajahan Perancis. Setelah Algeria merdeka pada
tahun 1963, beliau menyandang jawatan Pengarah di Kementerian Pendidikan
sehingga tahun 1967.
Berdasarkan sejarah awalnya, Malik tidak berhasrat untuk menjadi seorang ahli
falsafah, namun perkembangan dan keadaan semasa mengubah segala-galanya.
Keadaan ketika itu telah memberi kesan mendalam dalam diri dan keperibadian
beliau. Pengalaman itu memberi inspirasi kepadanya dalam memperjuangkan Islam
dan meninggikan ummah dan bangsa.
Sebenarnya, perjalanan hidup beliau semasa penjajahan Perancis menyedarkannya
tentang kemunduran masyarakat Islam. Lebih-lebih lagi mereka cuba mengubah
identiti dan thaqafah atau nilai-nilai kebudayaan Islam dalam diri masyarakat Islam.
Keadaan ini menyebabkan beliau mahu membebaskan pemikiran penjajah dalam jiwa
rakyatnya.
Malik mempunyai minat yang mendalam dalam mempelajari dan membaca karya
yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh terkenal. Oleh sebab itu, karya-karya tokoh Islam
seperti Syeikh al-Maulud bin al-Mauhub, Ibn Hasib dari Algeria, dan pemimpin Mesir
seperti Muhammad Abduh secara tidak langsung telah mempengaruhi pemikiran
beliau.
Selain itu, buku Risalah Tauhid karya Muhammad Abduh dan Keruntuhan Akhlak
dalam Politik Barat oleh Rashid Redha, telah menyedarkan Malik tentang masalah
umat Islam. Masalah keruntuhan akhlak dan kemiskinan intelektual yang semakin
ketara perlu diselamatkan.
Beliau banyak meninggalkan koleksi karya, buku, dan esei ilmiah yang dapat
menyumbangkan ilmu pengetahuan dan dimanfaatkan oleh dunia Islam kini. Malik
sering memberi tumpuan kepada persoalan Tamadun Islam dan membuat
perbandingan dengan urutan peristiwa semasa, isu-isu ekonomi, dan sains
kemasyarakatan.
Karya beliau yang ditulis dalam Bahasa Arab telah diterjemahkan, antaranya ialah:
Lobbdyk, The Problem of Culture; The Ideological Struggle In Colonised Countries;
The New Social Editification; The Idea of an Islamic Commonwealth.
Manakala hasil tulisannya dalam Bahasa Perancis pula ialah:
The Qur'anic Phenomenon; Vocation De Li Islam; Reflections; Memoirs Malik; The
Work of Orientalistes; Islam et Democratic; Islam In History and Society.
Malik telah dianugerahkan oleh Allah S.W.T. ciri-ciri keistimewaannya tersendiri,
iaitu pemikiran yang amat tajam dan mendalam dari segi penghayatannya.
Pandangannya tentang Islam sentiasa mendapat tumpuan cendekiawan-cendekiawan
Islam di Timur Tengah dan Eropah kerana sering menyentuh sesuatu isu secara
global.
Menurut beliau, masyarakat Islam boleh membina tamadun dan peradaban di persada
alam Islam dengan kembali kepada fitrah diri mereka sendiri. Mereka perlu
menghayati Islam dan membina akidah dalaman yang mantap. Kemudian
mengangkat diri mereka ketahap peradaban yang terkini dengan memperlengkapkan
diri dengan pengetahuan teknologi semasa.
Isu-isu yang sering diutarakan oleh beliau adalah bersandarkan kepada nas-nas al-
Quran dan sirah Nabawi. Selain itu, beliau juga mengambil kira usul-usul Islam yang
bersesuaian dengan keadaan semasa.
Oleh hal yang demikian, Malik dianggap sebagai pemikir dan sarjana yang paling
menonjol di Algeria selepas Perang Dunia Kedua. Sebagai seorang ahli falsafah,
ketokohan beliau setanding dengan Iqbal. Nama beliau mula dikenali ramai kerana
kebanyakan karyanya berkisar mengenai masyarakat Islam. Pemikirannya banyak
menyentuh tentang penderitaan dan gejala sosial yang dialami masyarakat Islam.
Cetusan idea beliau tidak hanya dijadikan kajian oleh sarjana-sarjana Islam, malah
mula dipraktikkan oleh negara-negara Islam kini. Nama beliau mula dikenali di
kalangan graduan-graduan Islam sejak kebelakangan ini.
Peranan dan jasa beliau amat berharga kepada dunia Islam. Misi beliiau adalah sama
seperti ulama ulama silam Melayu. Antaranya ialah Syeikh Hadi al-Hadi dan Syeikh
Tahir Jalaluddin. Yang memperjuangkan bangsa mereka daripada belenggu
penjajahan. Tokoh yang berkaliber dan berwibawa ini meninggal dunia pada 31
Oktober 1973.

Sa'ad bin Abi Waqqash

Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan Kami wasiatkan (perintahkan) kepada
manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya
dengan menderita kelemahan diatas kelemahan dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu! Kepada-Ku tempat kembali. Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Luqman: 14-15)
Ayat-ayat yang mulia ini mempunyai latar belakang kisah tersendiri dan mengejutkan;
menyebabkan satu golongan diantara dua golongan yang bertentangan jatuh
terbanting, berhubungan dengan pribadi seorang pemuda lemah lembut. Akhirnya
kemenangan berada di pihak yang baik dan beriman.
Tokoh kisah ini ialah seorang pemuda Makkah, keturunan terhormat, dan dari ibu
bapak yang mulia. Nama pemuda itu Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu.
Tatkala cahaya kenabian terpancar di kota Makkah, Sa'ad masih muda belia, penuh
perasaan belas kasih, banyak bakti kepada ibu bapak, dan sangat mencintai ibunya.
Walaupun Sa'ad baru menjelang usia 17 tahun, namun dia telah memiliki kematangan
berpikir dan kedewasaan bertindak. Dia tidak tertarik kepada aneka macam permainan
yang menjadi kegemaran pemuda-pemuda sebayanya. Bahkan dia mengarahkan
perhatiannya untuk bekerja membuat panah, memperbaiki busur, dan berlatih
memanah, seolah-olah dia sedang menyiapkan diri untuk suatu pekerjaan besar. Dia
juga tidak puas dengan kepercayaan/agama sesat yang dianut bangsanya, serta
kerusakan masyarakat, seolah-olah dia sedang menunggu uluran tangan yang kokoh
kuat, penuh kasih sayang, untuk merubah keadaan gelap gulita menjadi terang
benderang.
Sementara itu, Allah 'Azza wa Jalla menghendaki akan menaikkan harakat
kemanusiaan yang telah merosot secara keseluruhan dan merata, melalui pribadi yang
belas kasih itu, yaitu melalui penghulu segala makhluk, Muhammad bin Abdillah.
Dalam genggamannya memancar sinar petunjuk keutuhan yang tidak tercela, yaitu
Kitabullah.
Sa'ad segera memenuhi panggilan yang berisi petunjuk dan hak ini (agama Islam),
sehingga dia tercatat sebagai orang ketiga atau keempat yang masuk Islam. Bahkan
dia sering berucap dengan penuh kebanggaan, "Setelah aku renungkan selama
seminggu, maka aku masuk Islam sebagai orang ketiga."
Rasulullah saw. sangat bersuka-cita dengan islamnya Sa'ad. Karena beliau melihat
pada pribadi Sa'ad terdapat ciri-ciri kecerdasan dan kepahlawanan yang
menggembirakan. Seandainya kini ia ibarat bulan sabit, maka dalam tempo singkat ia
akan menjadi bulan purnama yang sempurna.
Keturunan dan status sosialnya yang mulia dan murni, melapangkan jalan baginya
untuk mengajak pemuda-pemuda Makkah mengikuti langkahnya masuk Islam seperti
dirinya. Di samping itu sesungguhnya Sa'ad termasuk paman Nabi saw. juga. Karena
dia adalah dari Bani Zuhrah sedangkan Bani Zuhrah adalah keluarga Aminah binti
Wahab, ibunda Rasulullah saw.
Rasulullah saw. sangat membanggakan pamannya. Pernah diceritakan, suatu ketika
beliau sedang duduk-duduk beserta beberapa orang sahabat. Tiba-tiba beliau melihat
Sa'ad bin Abi Waqqash datang. Lalu beliau berkata pada para sahabat yang hadir,
"Inilah pamanku. Coba tunjukkan padaku siapa yang punya paman seperti pamanku!"
Tetapi, Islamnya Sa'ad tidak langsung memberikan kemudahan yang mengenakkan
baginya. Sebagai pemuda muslim, dia ditantang dengan berbagai tantangan, ujian,
serta cobaan-cobaan berat dan keras. Ketika cobaan-cobaan itu telah sampai
dipuncaknya, Allah SWT menurunkan wahyu mengenai peristiwa yang dialaminya.
Marilah kita dengarkan kisahnya.
Sa'ad bercerita, "Tiga malam sebelum aku masuk Islam, aku bermimpi, seolah-olah
aku tenggelam dalam kegelapan yang tindih menindih. Ketika aku sedang mengalami
puncak kegelapan itu, tiba-tiba aku lihat bulan memancarkan cahaya sepenuhnya lalu
kuikuti bulan itu. Aku melihat tiga orang telah lebih dahulu berada dihadapanku
mengikuti bulan tersebut. Mereka itu adalah Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib dan
Abu Bakar As-Shiddiq, aku bertanya kepada mereka, "Sejak kapan anda bertiga
disini?"
Mereka menjawab, "Belum lama."
Setelah siang hari, aku mendapat kabar, Rasulullah saw. mengajak orang-orang
mengajak kapada Islam secara diam-diam. Yakinlah aku sesungguhnya Allah SWT
menghendaki kebaikan bagi diriku, dan dengan Islam Allah akan mengeluarkanku
dari kegelapan kepada cahaya terang. Aku segera mencari beliau, sehingga bertemu
dengannya pada suatu tempat ketika dia sedang salat Ashar. Aku menyatakan masuk
Islam di hadapan beliau. Belum ada orang mendahuluiku masuk Islam, selain mereka
bertiga, seperti yang terlihat dalam mimpiku.
Sa'ad melanjutkan kisahnya, "Ketika ibuku mengetahui aku masuk Islam, dia marah
bukan kepalang. Padahal aku anak yang berbakti dan mencintainya. Ibu memanggilku
dan berkata, "Hai Sa'ad! Agama apa yang engkau anut, sehingga engkau
meninggalkan agama ibu bapakmu? Demi Allah Engkau harus meninggalkan agama
barumu itu! Atau aku mogok makan minum sampai mati….! Biar pecah jantungmu
melihatku, dan penuh penyesalan karena tindakanmu sendiri, sehingga semua orang
menyalahkan dan mencelamu selama-lamanya."
Aku menjawab, "Jangan lakukan itu, Bu! Bagaimanapun juga aku tidak akan
meninggalkan agamaku."
Ibu tegas dan keras melaksanakan ucapannya. Beliau benar-benar mogok makan
minum. Sehingga tubuh dan tulang-tulangnya lemah, menjadi tidak berdaya sama
sekali. Terakhir, aku mendatangi ibu untuk membujuknya supaya dia mau makan dan
minum walaupun agak sedikit. Tetapi ibu memang keras. Beliau tetap menolak dan
bersumpah akan tetap mogok makan sampai mati, atau aku meninggalkan agamaku,
Islam.
Aku berkata kepada ibuku, "Sesungguhnya aku sangat mencintai ibu. Tetapi aku lebih
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah! Seandainya ibu mempunyai seribu
jiwa, lalu jiwa itu keluar dari tubuh ibu sata persatu (untuk memaksaku keluar dari
agamaku), sungguh aku tidak akan meninggalkan agamaku karananya."
Tatkala ibu melihatku bersungguh-sungguh dengan ucapanku, dia pun mengalah. Lalu
dia menghentikan mogok makan sekalipun dengan perasaan terpaksa.
Maka Allah SWT menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad saw. yang
artinya, "Dan kalau keduanya memaksa engkau menyekutukan-Ku (dengan) apa yang
engkau tidak ketahui jangan diturut, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik."
Setelah Sa'ad masuk Islam, dia lantas berjasa terhadap Islam dan kaum muslimin
dengan prestasi baik dan tinggi. Dalam perang Badar, Sa'ad ikut berperang bersamasama
adiknya 'Umair. Ketika itu 'Umair masih muda remaja, belum lama mencapai
usia baligh. Tatkala Rasulullah saw. memerintahkan tentara muslimin berkumpul dan
bersiap sebelum berangkat perang, 'Umair bersembunyi-sembunyi, takut kalau-kalau
dia tidak diperbolehkan Rasulullah turut berperang, karena usianya yang masih kecil.
Tetapi Rasulullah tetap melihatnya, lalu tidak membolehkannya ikut. 'Umair
menangis, sehingga Rasulullah merasa kasihan, dan akhirnya membolehkan 'Umair
ikut berperang. Sa'ad mendatangi adiknya dengan gembira, lalu mengikatkan pedang
di bahu 'Umair, karena tubuhnya yang kecil. Kedua bersaudara itu pergi berperang,
berjuang bersama fi sabilillah.
Seusai peperangan Sa'ad kembali ke Madinah seorang diri. Sedangkan adiknya,
'Umair, tinggal di bumi Badar sebagai syuhada. Sa'ad merelakan adiknya ke pangkuan
Allah SWT dengan mengharap pahala dari-Nya.
Ketika tentara muslimin lari kocar-kacir dalam perang Uhud, Rasulullah saw. tinggal
di medan tempur dengan kelompok kecil tentara muslimin tidak lebih dari sepuluh
orang. Satu diantaranya adalah Sa'ad bin Abi Waqqash. Sa'ad berdiri melindungi
Rasulullah saw. dengan panahnya. Tidak satupun anak panah yang dilepaskan Sa'ad
dari busur melainkan mengenai sasaran dengan jitu, dan orang musyrik yang terkena,
langsung tewas seketika.
Tatkala Rasulullah saw. melihat Sa'ad seorang pemanah jitu, beliau berkata
memberinya semangat, " Panahlah, hai Sa'ad! Panahlah …! Bapak dan ibuku menjadi
tebusanmu!"
Sa'ad sangat bangga sepanjang hidupnya dengan ucapan Rasulullah itu. Sehingga
Sa'ad pernah pula berkata, "Tidak pernah Rasulullah berucap kepada seorang juapun,
mempertaruhkan kedua ibu bapaknya sekaligus sebagai tebusan, melainkan hanya
kepadaku."
Namun puncak kejayaan Sa'ad, adalah ketika Khalifah 'Umar Al-Faruq bertekad
menyerang kerajaan Persia, untuk menggulingkan pusat pemerintahannya, dan
mencabut agama berhala sampai keakar-akarnya di permukaan bumi. Khalifah 'Umar
memerintahkan kepada setiap Gubernur dalam wilayahnya, supaya mengirim
kepadanya setiap orang yang mempunyai senjata, atau kuda, atau setiap orang yang
mempunyai keberanian, kekuatan, atau orang yang berpikiran tajam, yang mempunyai
suatu keahlian seperti syi'ir, berpidato dan sebagainya, yang dapat membantu
memenangkan perang. Maka tumpah ruahlah ke Madinah para pejuang muslim dari
setiap pelosok. Setelah semuanya selesai melapor, Khalifah 'Umar merundingkan
dengan para pemuka yang berwenang, siapa kiranya yang pantas dan dipercaya untuk
diangkat menjadi panglima angkatan perang yang besar itu. Mereka sepakat dengan
aklamasi menunjuk Sa'ad bin Abi Waqqash, singa yang menyembunyikan kuku. Lalu
Khalifah menyerahkan panji-panji perang kaum muslimin kepadanya dengan resmi,
dalam pengangkatannya menjadi panglima.
Sewaktu angkatan perang yang besar itu hendak berangkat, Khalifah 'Umar berpidato
memberi amanat dan perintah harian kepada Sa'ad.
Umar berkata, "Hai Sa'ad! Janganlah engkau terpesona, sekalipun engkau paman
Rasulullah, dan sahabat beliau. Sesungguhnya Allah tidak menghapus suatu kejahatan
dengan kejahatan. Tetapi Allah menghapus kejahatan dengan kebaikan. Hai, Sa'ad!
Sesungguhnya tidak ada hubungan kekeluargaan antara Allah dengan seorangpun
melainkan dengan mentaati-Nya. Segenap manusia sama di sisi Allah, baik ia
bangsawan atau rakyat jelata. Allah adalah Rabb mereka, dan mereka semuanya
adalah hamba-hamba-Nya. Mereka berlebih-berkurang karena taqwa, dan
memperoleh karunia dari Allah karena taat. Perhatikan cara Rasulullah yang engkau
telah ketahui, maka tetaplah ikuti cara beliau itu".
Maka berangkatlah pasukan yang diberkati Allah itu menuju sasaran. Di dalamnya
terdpat 99 orang bekas pahlawan perang Badar, lebih kurang 319 orang para sahabat
yang tergolong dalam bai'at Ridwan, 300 orang pahlawan yang ikut dalam
penaklukan Makkah bersama-sama Rasulullah saw., 700 orang putra-putra para
sahabat, dan pejuang-pejuang muslim lainnya (yang keseluruhan berjumlah 30.000
orang).
Sampai di Qadisiyah, Sa'ad menyiagakan seluruh pasukannya dan bertempur hebat.
Pada hari Al-Harir kaum muslimin bertekad menjadikan hari itu sebagai hari yang
menentukan. Mereka mengepung musuh dengan ketat, lalu maju ke depan dari segala
arah, sambil membaca takbir.
Dalam pertempuran itu, kepala Rustam, panglima tentara Persia, berpisah dengan
tubuhnya oleh lembing kaum muslimin. Maka masuklah rasa takut dan gentar ke
dalam hati musuh-musuh Allah. Sehingga dengan mudah kaum muslimin menghadapi
para prajurit Persia dan membunuh mereka. Bahkan kadang-kadang mereka
membunuh dengan senjata musuh itu sendiri.
Sa'ad bin Abi Waqqash dikaruniai Allah usia lanjut. Dia dicukupi kekayaan yang
lumayan. Tetapi ketika wafat telah mendekatinya, dia hanya meminta sehelai jubah
usang. Ia berkata, "Kafani aku dengan jubah ini. Dia kudapatkan dari seorang musyrik
dalam perang Badar. Aku ingin menemui Allah 'Azza wa jalla dengan jubah itu".
Wallaahu a'lam bish showaab
Sumber: Shuwarum min Hayaatis Shahaabah, Abdulrahman Ra'fat Basya

Syuraih yang Bijaksana

Syuraih ditanya, "Bagaimanakah caranya Anda mendapatkan Ilmu?"
Beliau menjawab, "Dengan cara diskusi dengan ulama. Saya mendapatkan Ilmu dari
mereka dan mereka pun dapat mengambil pelajaran dari saya." (Sufyan al-Awsi).
Pada suatu saat, Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. membeli seekor kuda dari
seorang Arab Badui. Setelah beliau membayarnya, langsung menaiki kuda tersebut
dan pergi meninggalkan penjualnya. Namun, belum begitu jauh berjalan, beliau
mendapatkan suatu aib pada kuda tersebut, akhirnya beliau memutuskan untuk
kembali lagi kepada penjualnya untuk membatalkan transaksi dan mengembalikan
kuda tersebut. Akan tetapi, si penjual tidak menerima keputusan sepihak tersebut,
karena ia telah menjualnya dalam keadaan sehat (tidak ada aib).
Akhirnya, keduanya bersepakat untuk menyelesaikan masalah mereka di pengadilan,
dan mereka pun memilih Syuraih sebagai penengah (hakim) yang memutuskan
perkara mereka berdua.
Setelah Syuraih mendengarkan penjelasan dari si penjual, dia bertanya kepada Umar
bin Khattab, "Bukankah Anda telah menerima kuda tersebut dalam keadaan sehat
(tanpa aib)?"
Umar pun menjawab, "Ya, benar."
Kemudian Syuraih mengatakan lagi, "Kalau begitu Anda harus menerimanya menjadi
milik Anda atau Anda harus mengembalikan kuda tersebut dalam keadaan sehat
(tanpa aib) sebagaimana Anda menerima dari penjual pada awalnya."
Umar pun tercengang keheranan, dan mengatakan, "Inikah keputusan anda? Sungguh
suatu keputusan yang sangat adil, kalau begitu pergilah Anda ke Kufah dan Anda saya
angkat menjadi hakim di sana."
Ketika itu Syuraih bukanlah orang asing di kalangan para sahabat dan pembesar
Tabiin. Dia adalah orang yang terkenal dengan kecerdasan, akhlak yang mulia, dan
pengalamannya yang sangat banyak.
Dia dilahirkan di Yaman, dan sebagian hidupnya berada dalam kehidupan Jahiliyah.
Ketika Islam menyinari negeri Yaman, dia termasuk orang yang pertama menerima
dakwah Islam dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahaminya. Dia
berharap mudah-mudahan dapat pergi ke Madinah, untuk berjumpa dengan
Rasulullah saw., sebelum beliau menghadap Allah, sehingga dia menerima Ilmu
langsung dari sumbernya tanpa perantara dan juga mendapat gelar kemuliaan predikat
sahabat, sehingga dengan seperti itu berbagai macam kebaikan terkumpul dalam
dirinya. Akan tetapi, Allah telah menghendaki hal lain.
Keputusan Umar untuk mengangkat Syuraih sebagai hakim di Kufah, bukanlah suatu
keputusan yang tergesa-gesa, walaupun pada waktu itu masih banyak sekali para
sahabat Rasulullah saw. Realita perjalanan hidupnya membuktikan tajamnya firasat
Umar yang telah mengangkat Syuraih sebagai hakim, terbukti Syuraih selanjutnya
masih tetap menjadi hakim sampai hampir enam puluh tahun lamanya, yaitu pada
masa kepemimpinan Al-Hajjaj, sementara umurnya sudah mencapai seratus tujuh
tahun.
Sungguh suatu bukti sejarah yang tidak bisa dilupakan dari kehidupan umat Islam,
khususnya yang berkaitan dengan masalah peradilan Islam, apa yang telah ditempuh
oleh seorang hakim yang bijaksana yaitu Syuraih dalam berbagai macam
keputusannya, dalam menyelesaikan masalah yang sesuai dengan apa yang diridai
Allah dan Rasul-Nya.
Salah satu sejarah yang menunjukkan kebijaksanaan Syuraih adalah ketika suatu saat
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. kehilangan baju perangnya yang sangat berharga
baginya, kemudian beliau mendapatkan baju tersebut sedang dijual di pasar Kufah
oleh seorang ahlu dzimmah (orang kafir yang dilindungi karena membayar pajak).
Setelah mereka berdua saling merasa memiliki baju tersebut akhirnya mereka
menghadap kepada hakim Kufah, yang tidak lain adalah Syuraih.
Setelah mereka menghadap, Syuraih mempersilahkan Ali r.a. untuk mengemukakan
gugatannya yang selanjutnya disusul dengan bantahan ahlu dzimmah terhadap
gugatan tersebut. Akhirnya, dalam rangka menegakkan keadilan (bukan karena
keraguan terhadap gugatan Ali r.a.) Syuraih meminta Ali r.a. untuk menghadirkan dua
saksi yang menguatkan bahwa baju perangnya yang hilang adalah betul-betul yang
sekarang berada pada tangan ahlu dzimmah tersebut. Dan, Ali pun menyetujuinya dan
menunjuk budaknya yang bernama Qonbar dan anaknya yang bernama Al-Hasan
untuk menjadi saksi baginya. Namun, ternyata Syuraih menolak persaksian Al-Hasan
(walaupun Al-Hasan adalah orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw.),
lagi-lagi bukan karena meragukan persaksian Al-Hasan, namun dalam rangka
menegakkan keadilan, karena dalam peradilan Islam seorang anak tidak dapat
menjadi saksi untuk memenangkan perkara bapaknya.
Akhirnya Ali r.a. pun mengalah, karena beliau tidak mempunyai saksi kcuali dua
orang tersebut. Namun, kemudian ahlu dzimah tersebut angkat bicara dan mengataan,
"Saya yang menjadi saksi akan kebenaran gugatan Anda wahai Amirul Mukminin,
dan memang baju perang yang ada pada saya adalah milik Anda. Dan, saya bersaksi
bahwa Agama kalian adalah agama yang benar dan saya bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya."
Dengan keadilan Islam yang ditunjukkan oleh Syuraih, seorang ahlu dzimmah
mendapatkan hidayah untuk masuk Islam, yang akhirnya Khalifah Ali r.a. justru
menjadikan baju perang tersebut untuknya dan ditambah lagi dengan kuda perang.
Kemudian, belum begitu lama dari kejadian ini, orang tersebut ikut memerangi
Khawarij bersama Khalifah Ali r.a. dan Allah memberikan rezeki kepada orang
tersabut berupa mati syahid.
Satu kisah lagi yang menarik pada kehidupan Syuraih adalah ketika putranya
mengadu kepadanya bahwa dia mempunyai masalah dengan seseorang, putranya
mengatakan apabila bapaknya melihat bahwa masalah ini akan dimenangkan olehnya,
dia meminta bapaknya untuk mengadakan peradilan, dan apabila dimenangkan oleh
lawannya, dia (putranya) akan meminta damai saja.
Setelah anaknya menceritakan masalah tersebut, tidak lama kemudian bapaknya
(Syuraih) memerintahkan anaknya untuk mengangkat masalah tersebut kepada
pengadilan.
Dalam pengadilan tersebut Syuraih memerintahkan lawan anaknya untuk
menyampaikan argumentasinya, dan setelah itu dia pun memenangkan lawan anaknya
dalam masalah tersebut.
Dalam perjalanan pulang dari pengadilan, anaknya mengeluh akan tindakan bapaknya
tersebut, padahal sebelumnya anaknya telah meminta kalau dia menurut bapaknya
akan kalah, maka tidak perlu dibawa ke pengadilan, cukup dia akan berdamai saja.
Namun, mengapa bapaknya membawa masalah tersebut ke pengadilan dan
memenangkan lawannya. Untuk menjawab ini Syuraih mengatakan kepada anaknya,
"Wahai anakku, demi Allah kamu lebih saya cintai dari dunia dan seisinya, akan
tetapi Allah Azza wa-Jalla adalah Zat Yang Maha Perkasa. Saya khawatir kalau saya
beri tahu kamu sebelumnya bahwa kebenaran berada pada mereka, maka kamu akan
hanya sekadar meminta maaf saja (berdamai) sehingga dengan begitu kamu telah
merampas sebagian hak mereka. Oleh karena itu, saya lakukan apa yang telah kamu
saksikan."
Pernah juga salah seorang putranya menjadi jaminan seorang terdakwa, namun
ternyata orang tersebut lari dari pengadilan. Akhirnya Syuraih memenjarakan
putranya dengan orang yang ia jamin, dan setiap hari beliau mengirimkan makanan
untuknya dengan tangan beliau sendiri.
Terkadang datang keraguan dalam benak beliau tentang kebenaran para saksi, tteapi
beliau tidak punya alasan untuk menolak mereka karena mereka telah memenuhi
persyaratan. Untuk itu beliau selalu berkata kepada mereka sebelum memberikan
kesaksian, "Dengar, wahai para saksi! Sebenrnya kalianlah yang mengadili orang ini,
saya berlindung dari siksa neraka dengan kalian dan seharusnya kalian lebih sungguhsungguh
melindungi kalian sendiri, kalian masih saya beri kesempatan untuk
memilih: akan melanjutkan kesaksian atau tidak." Jika mereka tetap bersikeras untuk
bersaksi beliau beralih kepada terdakwa seraya berkata, "Ketahuilah bahwa saya
mengadilimu dengan kesaksian mereka, saya pribadi mengira kamu seorang yang
zalim, tetapi saya tidak akan memutuskan atas dasar praduga melainkan dengan
kesaksian, apa pun putusan saya nanti tidak akan menghalalkan apa yang telah Allah
haramkan atasmu."
Moto yang dijunjung tinggi oleh Syuraih dalam peradilannya adalah bahwa suatu
kezaliman pasti akan nampak nanti di akhirat, yang zalim pasti mendapatkan
akibatnya dan yang dizalimi pasti akan mendapatkan keadilan. Dia mengatakan,
"Saya bersumpah demi Allah, tidak ada seorang pun yang meninggalkan sesuatu
karena Allah Azza wa-Jalla kemudian dia merasa kehilangan."
Syuraih bukan sekadar melaksanakan nasihat karena Allah, Rasul-Nya ataupun kitab-
Nya, tetapi dia juga melaksanakan nasihat bagi seluruh kaum muslimin baik rakyat
ataupun pemimpinnya.
Seseorang pernah mengadu (mengeluh) kepada Syuraih tentang suatu masalah,
kemudian Syuraih menarik orang tersebut dan mendudukkannya di sisinya, lalu
dikatakan kepadanya, "Wahai saudaraku, janganlah kamu mengeluh kepada selain
Allah, karena orang tempat kamu mengeluh itu bisa jadi dia seorang teman atau justru
seorang musuh. Apabila dia seorang teman, kamu telah membuatnya sedih; apabila
dia seorang musuh, dia akan mencela kamu".
Kemudian, Syuraih mengatakan lagi kepadanya, "Lihatlah mata saya (sambil
menunjuk ke salah satu matanya), demi Allah saya tidak pernah melihat seseorang
ataupun suatu jalan dengan mata ini semenjak lima belas tahun lamanya, dan saya
tidak pernah memberitahukan hal ini kecuali kepada Anda, bukankah Anda pernah
mendengar seorang hamba yang saleh mengatakan, 'Sesungguhnya saya hanya
mengadukan nasib saya dan kesedihan saya kepada Allah.' Maka, jadikanlah Allah
Azza wa-Jalla sebagai tempat mengadukan nasib dan kesedihan yang Anda hadapi,
karena Dia adalah Zat Yang Mahamulia lagi sangat dekat dengan orang yang meminta
kepada-Nya."
Suatu hari dia melihat seorang laki-laki sedang meminta-minta, kemudian dia
mengatakan kepada orang tersebut, "Wahai saudaraku barang siapa yang memintaminta
kepada orang lain, dia telah menjerumuskan dirinya ke dalam kehinaan.
Apabila orang yang diminta mengabulkan permintaannya, dia telah memperbudaknya,
tetapi apabila tidak dikabulkan, keduanya terjerumus ke dalam kehinaan, kehinaan
bakhil dan meminta-minta. Oleh karena itu, apabila kamu hendak meminta suatu
kebutuhan, mintalah kepada Allah, apabila kamu minta pertolongan mintalah hanya
kepada Allah. Dan, ketahuilah bahwasanya tidak ada daya dan upaya dan tidak ada
pertolongan kecuali pada Allah SWT."
Pada akhir kehidupan Syuraih, negeri Kufah terserang wabah penyakit Tha'un.
Seorang sahabatnya pergi meninggalkan Kufah dan hendak tinggal di Najf guna
menghindari wabah tersebut, lalu Syuraih menulis surat kepada temannya tersebut
untuk menasihatinya, "Amma bakdu, sesungguhnya tempat yang Anda tinggalkan
tidak membuat Anda dekat dengan kematian, dan tempat yang Anda tuju tidak pula
dapat menjauhkan Anda darinya, saya dan Anda adalah sama-sama berada di bawah
penguasa yang satu, dan Najf adalah sangat dekat dari Zat Yang Maha Kuasa."
Selain dari kisah kebijaksanaan Syuraih dalam tugasnya sebagai hakim di
pemerintahan Islam di kufah, dia juga dikenal sebagai penyair yang dapat
menghadirkan ungkapan-ungkapan yang manis ....
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Syuraih mempunyai anak yang umurnya
sekitar sepuluh tahun yang sangat lucu dan suka bermain. Pada suatu hari dia tidak
melihat anaknya tersebut, yang ternyata anaknya tidak mengulang pelajarannya dan
malah bermain dengan anjing. Ketika anaknya pulang dia bertanya, "Apakah kamu
sudah melaksanakan salat?"
Lalu, anaknya menjawab, "Belum!"
Akhirnya Syuraih menulis surat kepada guru anaknya dengan bersyair.
Ia tinggalkan salat demi anjing-anjing
Mempermainkannya bersama teman yang buruk perangainya
Besok ia kan datang dengan secarik kertas
Tertuliskan seperti isi surat kematiannya
Andaikan ia datang kepadamu
Obatilah dengan cerca atau nasihat seorang sastrawan
Jika engkau ingin memukulnya pakailah cambuk
Jika telah sampai hitungan tiga hentikanlah
Ketahuilah bahwa engkau tidak sanggup melakukannya
Dia dan apa yang kuminum adalah hartaku yang paling berharga
Mudah-mudahan Allah meridai Umar al-Faruq yang telah menghiasi peradilan Islam
dengan mutiara-mutiara hakim yang jernih nan apik, di mana umat Islam hingga saat
ini masih saja menikmati cahaya dari kilatan kepahamannya terhadap syariat Allah
dan sunah rasul-Nya, yang pada akhirnya nanti di hari kiamat mereka akan bangga
dengan nikmat tersebut dibanding dengan umat sebelum mereka.
Mudah-mudahan Allah merahmati Syuraih yang bijaksana. Sungguh dia telah berbuat
adil di tengah-tengah masyarakat selama enam puluh tahun lamanya, dan selama itu
pula dia tidak pernah berbuat zalim, juga tidak pernah melenceng dari kebenaran dan
tidak pernah membedakan antara raja dan rakyatnya. Wallahu a'lam
Al Islam,7 Januari 2004