Kamis, 27 Agustus 2009

Islam dan Kebudayaan Jawa, Melayu dan Indonesia

PENDAHULUAN

Latar belakang
Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia dalam arus perubahan besar yang mempengaruhi segala dimensi kehidupan masyarakat, terutama kehidupan budaya. Pada hakekatnya perubahan itu merupakan proses historis yang panjang, yang berkembang dari masa ke masa. Didalam sejarah Indonesia proses tersebut terlihat sejak dari awal pembentukan masyarakat pada masa prasejarah, kedatangan pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, kedatangan agama dan kebudayaan Islam, serta hadirnya pengaruh Barat, sampai masa kini. Sudah difahami bahwa selama perjalanan sejarah tersebut diatas, bangsa Indonesia beberapa kali berada dalam situasi yang sama, yaitu berhadapan dengan kedatangan budaya lain yang berbeda sifatnya. Oleh karena itu, tidak dapat diingkari bahwa dalam proses yang panjang itu pernah terjadi pula ketegangan dan konflik. Akan tetapi, ketegangan dan konflik tersebut sebenarnya adalah bagian dari proses ke arah penyatuan.
Sebagai negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan, maka bagi generasi muda Indonesia modern tetap diperlukan pendidikan kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan dan peradaban bangsa. Hal ini ditekankan, karena upaya untuk pembangunan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas dan integritas tinggi dibutuhkan landasan pemahaman dan kesadaran akan sejarah budaya masyarakat dan bangsa yang mantap. Masyarakat Indonesia masa kini merupakan suatu mozaik yang kompleks, yang akan sulit difahami hakekatnya tanpa mengetahui latar belakang historisnya, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun kultural. Tanpa mengecilkan arti pengaruh budaya yang lain, harus disadari bahwa kebudayaan Islam Indonesia merupakan salah satu unsur pembentuk mozaik budaya Indonesia, dan sudah mulai muncul di Nusantara pada abad XI M.
Rumusan masalah
Dari makalah ini penulis telah menentukan suatu rumusan makalah yang akan dikupas pada bab pembahasan diantaranya:
Bagaimana kedatangan Islam di Indonesia?
Bagaimana perkembangan Islam di Indonesia?
Bagaimana pengaruh Islam terhadap kebudayaan Indonesia?
Bagaimana akulturasi serta sumbangan Islam bagi kebudayaan di Indonesia?


PEMBAHASAN

I. ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Kedatangan Islam
Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti, dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam dari pada daerah lain. Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita Cina dari dinasti Tang, Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII M. Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di Ho-ling sangat kuat. Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam belum menjejakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum terbentuk komunitas Muslim yang cukup signifikan.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad XI M di Indonesia, khususnya di Jawa. Leran, di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H. bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan Kadiri. Namun, tidak jelas betul apakah mereka bumiputera yang memeluk agama Islam, ataukah pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat. Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan. Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di kerajaan Kadiri. Setelah tahun 1082 M. data tentang keberadaan orang Islam di Nusantara baru muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra Utara). Prasasti itu memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga ia adalah seorang wanita bumiputera yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.

Institusi Politik
Pada tahapan berikutnya, terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam. Di Indonesia kerajaan Islam yang tertua adalah Samudra-Pasai yang terletak di pantai timur Aceh sekarang. Di situs tersebut ditemukan pemakaman kuno, yang nisan-nisannya memuat prasasti dengan bahasa dan huruf Arab. Pada salah satu nisan tersebut tercantum prasasti yang memuat nama al-sultan al Malik al Saleh yang wafat pada tahun 696 H (bertepatan dengan tahun 1297 M). Pencantuman sebutan al-sultan itulah yang menjadi dasar interpretasi keberadaan suatu institusi politik Islam di kawasan tersebut.
Tentunya sebelum terbentuk institusi politik Islam, terlebih dahulu sudah terjadi penyebaran agama Islam secara luas di kalangan masyarakat. Hal itu tersirat di dalam sumber-sumber tertulis yang terkait dengan kawasan tersebut. Marcopolo yang pada tahun 1292 berkunjung ke beberapa pelabuhan di kawasan itu, seperti Ferlec (= Perlak), mengatakan bahwa penduduk kota beragama Islam, sedang penduduk pedalaman masih kafir. Di sisi yang lain sumber tertulis lokal seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu hanya mengkisahkan bahwa Meurah Silu, pemimpin di Samudra-Pasai, di-Islam-kan oleh Fakir Muhammad yang datang dari atas angin. Setelah itu namanya diganti menjadi Malik al-Saleh.
Di Jawa institusi politik Islam yaitu kesultanan Demak baru lahir pada abad XV, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Majapahit. Pergantian pemegang kekuasaan politik dari Majapahit ke Demak pada tahun 1519 hakekatnya adalah usaha perebutan tahta di antara anggota keluarga raja. Dalam hal ini penguasa Demak yang juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa berhak pula atas kendali kekuasaan kerajaan Majapahit. Sekalipun demikian tidak dapat pula diabaikan bahwa perbedaan pandangan keagamaan juga memberikan kemungkinan kepada Demak untuk menaklukkan Majapahit. Harus dicatat pula bahwa sudah sejak masa kejayaan Majapahit sudah ada orang-orang Islam yang tinggal di kota kerajaan, sebagaimana tampak dari kubur-kubur Islam kuno di Tralaya. Nisan-nisan kuno tersebut memuat angka tahun tertua: 1290 C = 1368 M, dan angka tahun termuda 1533 C = 1611 M, tetapi tidak memuat nama sama sekali. Data itu menggambarkan bahwa pada tahun 1368 M , yang masih dalam masa keemasan Majapahit, sudah ada orang Muslim yang tinggal di kota kerajaan, sebab situs Tralaya diduga berada di selatan kraton Majapahit. Beberapa nisan di situs tersebut memuat relief surya majapahit yang diyakini merupakan lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang dikuburkan di tempat tersebut adalah keluarga dekat raja, dan beragama Islam.

Penyebaran Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun cara-cara penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu, beberapa di antaranya tergolong dalam Wali Sanga, penyebaran Islam juga ditujukan ke pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut dipelopori oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya di Kalimantan Selatan. Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII – XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara, serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua orang.
Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= ulama ahli tasawuf) mengandung persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam diterima oleh masyarakat Nusantara. Kecuali melalui perdagangan, perhikahan, dan tasawuf, penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan.
Cara penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra, seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno. Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara.
Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal sudah dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat, dan mendirikan pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah.
4. Perubahan dan Kesinambungan Budaya
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Caka dan Hijriyah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpor dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dan sebagainya.
Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.

II. ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA
1. Pengertian
Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun, sedangkan pengertian Jawa yang dimaksud adalah pulau yang terbentang diantara kepulauan Nusantara, yang konon banyak menghasilkan jewawut (padi-padian), dari kata itulah kemudian dikenal dengan jawa.
Kebudayaan jawa telah ada sejak zaman prasejarah, datangnya Hindu dengan kebudayaannya dipulau jawa melahirkan kebudayaan Hindu-Jawa, dan dengan masuknya islam, maka kebudayaan jawa menjadi sifat sinkretis yang memadukan unsur-unsur asli jawa, Hindu Jawa, dan Islam dalam satu kebudayaan Jawa.
Dalam segala perkembangannya, kebudayaan jawa masih tetap pada dasar hakikinya yang menurut berbagai kitab-kitab jawa klasik dan peninggalan lain-lainnya, dapat sebagai berikut:
Orang Jawa percaya dan berlindung kepada sang pencipta, Zat Maha Tinggi, penyebab segala kehidupan, penyebab adanya dunia dan alam semesta yang awal dan Yang akhir.
Orang jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia dan kodrat alam senantiasa saling pengaruh-mempengaruhi, namun manusia sekaligus harus sanggup melawan alam untuk mewujudkan kehendaknya, cita-citanya maupun fantasinya.
Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya sekaligus membangkitkan sifat luhur dan perikemanusiaan. Orang jawa menjunjung tinggi amanat yang terangkum dalam sasanti atau semboyan : mamayu hayuning bawana (Memelihara kesejahteraan dunia)
Sikap hidup seperti diatas berlandaskan pada pokok pemikirannya adanya keseimbangan hidup lahir dan batin, antara iman dan amal, antara kemauan dan kesanggupan, antara kemampuan dan kesungguhan, antara amal ibadah dan partisipasi dalam tata hidup lahir batin sampai pada kesimbangan antara Khalik dan makhluk.

2. Kepercayaan Masyarakat Jawa
Animisme dan Dinamisme
Salah satu ciri masyarakat jawa adalah berketuhanan, suku bangsa jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri, mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat untuk memuja nenek moyang, agar keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat, mereka menyiapkan sesajen dan membakar kemenyan atau bau-bau lainnya yang digemari nenek moyang dan disempurnakan dengan bunyi-bunyian dan tarian.
Seperti halnya upacara-upacara yang lainnya yakni slametan surtanah, slametan telung dino, slametan mitung dino sampai slametan ngewis-ngewisi atau peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya.
Sedangkan dinamisme masyarakat jawa beranggapan bahwa semua yang bergerak itu hidup dan mempunyai kekuatan gaib/ memiliki watak baik atau buruk, dan agar terhindar dari itu mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji, disamping itu merka percaya bahwa apa telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penetuan dari kehidupan seluruhnya.

Masa Hindu dan Budha
Bukti-bukti tertua mengenai adanya negara-negara Hindu Jawa berupa prasasti-prasasti dari batu yang ditemukan dipantai utara jawa barat. Dari tulisannya dapat diketahui bahwa prasasti itu merupakan suatu deskripsi mengenai beberapa upacara yang dilakukan oleh raja untuk meresmikan bangunan irigasi dan bangunan keagamaan abad ke-4, bukti yang lainnya bahwa banyak nama tempat dipulau Jawa yang berasal dari bahasa sansekerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi india yang dianggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya, tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya dipinjam dari Mahabarata.
Seperti halnya pada masa animisme dan dinamisme masyarakat Jawa maka pada masa hinduppun ada upacara-upacara, yakni wiwit yang diwujudkan pada pemujaan dewi sri, upacara kurban kerbau, pagelaran wayang kulit dan juga penjamasan dan perawatan pusaka serta grebeg, dan sebagainya.


Masa Islam
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang beragam. Bukti faktual barangkali adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maemun di Leran Gresik, bukti yang lain adalah adanya masjid yang menunjukkan adanya komunitas muslim yang pernah ada, dan juga adanya kaligrafi serta letak tata kota.
Sulit untuk mengetahui tokoh yang pertama kali memperkenalkan islam di Jawa dari fakta tradisional, akan tetapi hal itu dapat ditelusuri melalui alur hubungan negeri Cempa-Majapahit. Ditemukannya beberapa makam disitus istana Majapahit, yang pada kesimpulan bahwa makam tersebut adalah makam orang-orang muslim dan menunjukkan tahun kejayaan majapahit.
Diantara yang menyebarkan Islam di Jawa dikenal dengan Istilah walisanga, namun Istilah walisanga juga mengandung kontroversi. Disatu sisi adalah sebutan terhadap sembilan orang tokoh Islam di pulau Jawa yang menjadi penyebar islam yakni:
1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon),
Namun di sisi lain juga dinyatakan sebagai lembaga kewalian yang memang jumlahnya sembilan orang. Prof. Tjan sebagaimana dikutip Widji Saksono (1999:21-22) menyatakan bahwa walisanga adalah para wali yang datang dari delapan penjuru angin dan ditambah satu yang menjadi titik pusatnya. Akan tetapi menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid yang mengutip Kanz al-Ulum karya Ibnu Batutah dan diteruskan Syeikh Maulana Maghribi bahwa kata itu bermakna lembaga dakwah walisanga, yang mengalami empat kali periode perubahan.
Dan dikatakan pula kekuatan dagang dan hukum menunjukkan Kerala merupakan salah satu sumber Islamisasi Jawa, kesamaan arsitektur kian mengokohkan posisi ini. Di Kerala, Jawa dan Lombok, masjid-masjid lama lebih banyak terbuat dari kayu dari pada batu bata, mempunyai atap bersusun tiga sama dengan kuil-kuil Hindu Asia Selatan dan Jain.
Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula adalah sufi yang salah satu cirinya adalah sifatnya yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, namun hal ini disatu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisme dan pencampur adukan antara islam dan budaya asli, namun aspek positifnya, ajaran yang disinkretasikan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan Jawa dalam menerima Islam.
Konsep masuknya unsur-unsur simbolisme dan ikonografi Hindu dan Budha kedalam Islam Jawa sama seperti Islam di timur tengah menyerap unsur-unsur tradisi Hellenistik dan Persia.
Sebagai contoh upacara surtanah, nelung dino, mitung dino, matang puluh, nyatus, mendah, dan nyewu, tidak dihilangkan tetapi dibiarkan berlanjut diwarnai dan diisi dengan unsur dari agama islam. Midodareni yang merupakan upacara yang dilangsungkan pada malam hari pernikahan, yang mana dsimaksudkan agar keluarga pengantin lebih dekat dengan bidadari dan saat itu pengantin tidak boleh tidur sampai tengah malam maka saat islam datang diganti dengan pembacaan Al Barzanji, Kalimah Thoyyibah dan Tahlil. Dan sebagainya
Dalam menghadapi tradisi dan kepercayaan lama, para penyiar islam menyeleksi kepercayaan mana yang dapat diakomodasikan, serta mana yang harus ditolak dan dihilangkan, maka ketika melihat wayang purwa (kulit), yang merupakan gubahan dari epik Ramayana dan Mahabarata, Yang mana antara Wayang dan budaya Jawa ibarat sekeping uang logam yang tak terpisahkan, dan bagi masyarakat Jawa wayang tidak hanya sekedar hiburan, tetapi sebagai media dakwah dan pendidikan serta mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayangani urip), maka para Wali mengadakan perubahan secara halus sehingga tanpa terasa nilai-nilai islam dapat masuk dalam karya adi luhung yang dikagumi banyak orang ini.
Upacara-upacara dalam agama Hindu tampak memiliki kekuatan magis, yang diwujudkan dalam bentuk sesaji, sesaji merupakan warisan budaya Hindu sedangkan doa merupakan inti ibadah dalam Islam, keduanya menjadi tradisi dikalangan banyak islam Jawa
Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selametan, didalam upacara ini yang pokok adalah pembacaan doa.
Dari uraian diatas tentang hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan ritual diatas menunjukkan secara jelas, baik tersirat maupun tersurat, secara langsung maupun tidak langsung bahkan memang telah terjadi dalam kehidupan keberagaman orang Jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan Budaya Jawa pra-Islam.

III. ISLAM DAN KEBUDAYAAN MELAYU

1. Sejarah Islam dalam kebudayaan Melayu Indonesia
Sebenarnya yang disebut Melayu bukanlah suatu komunitas etnik atau suku bangsa. Namun dalam hal ini masyarakat merupakan kumpulan etnik-etnik serumpun yang menganut agama yang sama dengan menggunakan bahasa yang sama. Etnik-etnik serumpun yang lain pada umumnya menempati suatu daerah tertentu, tetapi arang Melayu tidak, dimanapun berada bahasa dan agama mereka sama, melayu dan islam. Karena itu tidak mengherankan apabila ke-Melayuan identik dengan ke-susastraan Islam.
Kepulauan melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ketimur. Karena itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan islam awal seperti samudra pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul disini.
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Baruspun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Abad ke-13 agama Islam mulai berkembang pesat dikepulauan Melayu, karena pada saat itu agama Hindu dan Budha mengalami kemunduran pada peranan politiknya. Yang ditandai dengan mundurnya kerajaan Sriwijaya dan Swarnabhumi, yang disebabkan rongrongan dua kerajaan Hindu Jawa-Kediri dan Singasari, kemudian disusul dengan krisis ekonomi yang membelitnya.
Agama Islam tidak mengenal sistem kasta dan kependetaan, oleh karena itu seluruh lapisan masyarakat dapat masuk dalam pendidikan dan intelektual, Islam adalah agama kitab, belajar menulis dan membaca diwajibkan bagi pemeluknya. Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa melayu dan kebudayaannya, dengan ilmu dan intelektual menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik secara mendasar.
Perubahan-perubahan tersebut seperti yang terjadi pada saat kerajaan Aceh Darussalam, Seperti halnya dalam tatanan politik khususnya dalam kewarganegaraan Islam juga memberikan warna tersendiri dengan adanya sistem kerajaan, dengan dasar negara adalah Islam dan hukum diambil dari Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ Ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah dan Qias, gelar raja adalah Sultan Imam Adil dan pejabat dengan bernama Wazir. Adapun lembaga-lembaga dalam pemerintahannya seperti Majelis Mahkamah Rakyat, Balai Furdhoh, Balai Majelis Mahkamah. Seperti halnya pada sistem pemerintahan pada sistem ekonomi juga seperti adanya Baitul Maal yang dipimpin oleh Wazir Derham dan membuat mata uang yakni Derham. Begitu pula pada kehidupan sosial dibentuklah lembaga sosial yakni Balai Baitul Musafir, Balai Baitul Fakir wal Miskin, Balai Silaturrahim dan Balai Darul Asyikin. Yang mana kesemua itu adalah pengaruh.
Abad ke-16 dikepulauan Melayudan pesisir Jawa tradisi intelektual Islam mulai terbentuk, kitab-kitab keagaamaan dan sastra Islam telah ditulis dengan produktifnya dengan bahasa Melayu dan Jawa Madya. Pengaruh tasawuf sangat dominan dalam pemikiran keagamaan dan penulisan karya sastra. Pokok-pokok yang dibahas dalam kitab-kitab melayu meliputi bidang fiqih, syari’ah, ushuluddin, kalam, falsafah, akhlak, tafsir qur’an, hadits dan lainnya.
Abad ke-18, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syari’ah. Beberapa tarikat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan pada aktivisme keduniaan.
Gerakan-gerakan keagamaan tumbuh menjadi gerakan kebangsaaan, seperti sarekat islam menekankan pada perjuangan politik dan juga Muhammadiyyah menekankan pada bidang sosial seperti pendidikan dan dakwah.
Penempatan pusat-pusat kajian dalam agama Islam yaitu istana, pesantren dan pasar. Istana sebagai pusat kekuasaan berperan dibidang politik dan penataan kehidupan sosial. Pesantren berperan dibidang pendidikan, sebagai pusat kegiatan tariqat sufi, pada saat itulah pesantren mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antar daerah.

2. Nilai budaya masyarakat Melayu
Usaha dalam menghidupkan kebudayaan Melayu akhir-akhir ini berlangsung cukup marak. Berbagai kegiatan dalam usaha menghidupkan kebudayaan Melayu kerap kali dilakukan, mulai dari penerbitan buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan dalam memajukan kebudayaan Melayu. Semua itu jelas menunjukkan adnya kesadaran genersi Melayu akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkam juga memajukannya sampai pada tingkat yang membanggakan, seperti yang telah dicapai kebudayaan Melayu pada masa lampau.
Etos kerja Melayu meliputi :
Hubungan manusia dengan Tuhan
sebelum dijelaskan lebih jauh, terlebih dahulu dijelaskan mengenai unsur-unsur penting dari kebudayaan Melayu yaitu :
1) Bahasa Melayu, sejak abad ke-7 bahasa Melayu sudah menjadi lingua-franca (bahasa penghubung) dalam dunia perdagangan, disamping itu bahasa Melayu juga menghasilkan corak atau watak dalam bahasa itu sendiri.
2) Beradat istiadat Melayu, hal ini terlihat dalam pepatah Melayu mengatakan ” Biar mati anak jangan sampai mati adat”. Artinya kalau mati anak ributnya hanya satu kampung, kalau mati adat akan ribut atau gempar satu negara.
3) Beragama Islam, Islam merupakan salah satu sumber isi sekaligus bentuk kebudayaan Melayu dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kebudayaan Melayu juga nengajarkan hal-hal yang dilarang maupun yang diperbolehkan, sebagaimana sesuai dengan ajaran Islam.
Pada hakekatnya manusia hidup didunia ini mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Artinya manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari itu harus berpegang pada dua sisi kebutuhan yaitu: kebutuhan jasmani (kebutuhan raga manusia) dan kebutuhan rohani (kebutuhan manusia dalam mencapai ketenangan jiwa) melalui jalur agama. Kedua kebutuhan tersebut harus saling melengkapi dan berjalan secara seimbang,. Sesuai dengan konsep atau sikap hidup masyarakat Melayu, berpegang teguh pada petuah lama yang mengatakan ”Bekerjalah kamu seakan-akan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan-akan mati esok”.
Dalam kebudayaan Melayu diberikan tuntunan hidup yang baik, yakni dengan diterapkannya berbagai kegiatan pada perilaku masyarakat Melayu sehari-hari, misalnya cara berpakaian, cara bergaul, cara memperoleh dan mempergunakan harta benda dan lain sebagainya. Perilaku diatas tidak terlepas dari ajaran-ajaran agama.

Hubungan manusia dengan lingkungan Masyarakat dengan lingkungan
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, artinya keberadaan mereka tidak dapat dilepaskan dari hubungan dengan manusia yang lain. Dalam kebudayaan Melayu hubungan antar manusia terbagi menjadi dua yakni :
4) Hubungan Vertikal, seseorang yang mengutamakan hubungan ini lebih bersifat individualitis, menilai tinggi anggapan bahwa manusia itu harus berdiri sendiri, namun dalam penyampaiannya tetap memerlukan bantuan orang lain.
5) Hubungan Horizontal antar manusia dengan sesamanya, seseorang yang mengutamakan hubungan ini akan sangat merasa kepada sesamanya.
Nilai budaya tradisional Melayu secara umum menggambarkan hubungan manusia dengan sesamanya lebih bersifat koleteral dan demokratis. Yakni sikap yang selalu dibina dan dipelihara adalah sikap yang mengutamakan persaudaraan dan rasa kekeluargaan. Salah satu sarana yang dapat memperluas dan mempererat jaringan kekeluargaan pada masyarakat Melayu adalah perkawinan.

Hubungan manusia pada lingkungan alam
Pada umumnya dalam kehidupan masyarakat Melayu, mereka membedakan wujud alam menjadi 2 yaitu :
6) Alam gaib, pada dasarnya pemikiran orang Melayu mengenai alam gaib merupakan sisa-sisa kepercayaan lama sebelum orang Melayu memeluk Islam yakni animisme dan dinamisme. Pemikiran tentang adanya alam gaib membuahkan kepercayaan adanya kekuasaan diluar kekuasaan manusia, seperti adanya gunung, laut, hutan dan sebagainya. Untuk menjembatani hubungan manusia dengan alam, masyarakat meminta bantuan kepada pawang, bomo atau dukun, yang mana dipercayai memiliki mantera-mantera tertentu.
7) Alam Nyata yakni alam semesta ciptaan Tuhan, yang keberadaannya bisa dilihat dan dirasakan oleh manusia.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima.
Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Faktor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan ciri-ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.

DAFTAR PUSTAKA


Sarjono, Agus R., 1999, Pembebasan Budaya-Budaya Kita, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Jakarta; Teraju.
Amin, Darori, 2000, Islam & Kebudayaan Jawa, Jakarta; Gama Media.
Woodward, Mark R, 1997, Islam Jawa (Kesalehan Normatif vs Kebatinan), Yogyakarta, LKiS
Harsono,T. Dibyo, 2000, Peranan Nilai Budaya Melayu, Riau; Departemen Pendidikan Riau
6. Inajati, Adrisijanti Romli, 1991, Makam-Makam Kesultanan dan Para Wali Penyebar Islam di Pulau Jawa, Jakarta; Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Damais, L.Ch., 1995, Makam Islam di Tralaya, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara , Jakarta: EFEO.
Guillot, Claude, (ed.), 2002, Lobu Tua. Sejarah Awal Barus, Jakarta; EFEO & Pusat Penelitian Arkeologi.
Hasjmy, Ahmad,1990, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta; Bulan Bintang
10. http ://www.melayuonline.com
11. http://www.rajaalihaji.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz