Rabu, 11 Mei 2011

Islam dan teknologi

Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw .
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-’Alaq [96]: 1-5).
Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra’ wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya.Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah SWT
Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya, atau apa yang diduga sebagai “kebetulan” yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran tersebut.

ILMU
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa (mengetahui)’ a’rif (yang mengetahui), dan ma’rifah (pengetahuan).
Allah SWT tidak dinamakan a’rif’ tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran menggunakan kata itu –untuk Allah– dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan kepada Allah: ya’lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan), ya’lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa (apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan), ma fi anfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khainat al-’ayun wa ma tukhfiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga ‘ilm yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.
Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat Al-Baqarah (2) 31 dan 32:
Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat seraya berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar (menurut dugaanmu).” Mereka (para malaikat) menjawab, “Mahasuci Engkau tiada pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah (2) 31 dan 32)
Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagaicara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan.
Menurut pandangan Al-Quran –seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama– ilmu terdiri dari dua macam.
Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai ‘ilm ladunni, seperti diinformasikan antara lain oleh Al-Quran surat Al-Kahfi (18): 65.
Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba dan hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dan sisi Kami.
Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai ‘ilm kasbi. Ayat-ayat ‘ilm kasbi jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘ilm laduni.
Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Quran terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain dalam firman-Nya:
Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).
Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan non-materi. fenomena dan non-fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.
Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS Al-Nahl [16]: 8) .
Dari sini jelas pula bahwa pengetahuan manusia amatlah terbatas, karena itu wajar sekali Allah menegaskan.
Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS Al-lsra’[17]: 85).

OBJEK ILMU DAN CARA MEMPEROLEHNYA
Berdasarkan pembagian ilmu yang disebutkan terdahulu, secara garis besar objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan alam non-materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam materi. Karena itu. objek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas, dan pengalihan antarbudaya.
Objek ilmu menurut ilmuwan Muslim mencakup alam materi dan non-materi. Karena itu, sebagai ilmuwan Muslim –khususnya kaum sufi melalui ayat-ayat Al-Quran– memperkenalkan ilmu yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud.
Kelima hal tersebut adalah:
(l) alam nasut (alam materi),
(2) alam malakut (alam kejiwaan),
(3) alam jabarut (alam ruh),
(4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan
(5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).
Tentu ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut.
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78).
Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu, pendengaran, mata (penglihatan) dan akal, serta hati.
Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung juga oleh Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan upaya mengetahui alam materi.
Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi … (QS Yunus [10]: 101).
Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan? (QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20).
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak Kami tumbuhkan di bumi itu aneka ragam tumbuhan yang baik? (QS Al-Syu’ara’ [26]: 7) Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi … (QS 12: 109; 22: 46; 35: 44; dan lain-lain).
Di samping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, Al-Quran pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati.
Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia. Sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih melalui penyucian hati. Dari sini para ilmuwan Muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka sadar terhadap kebenaran firman Allah:
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi dari ayat-ayat Ku … (QS Al-A’raf [7]: 146).
Berkali-kali pula Al-Quran menegaskan bahwa inna Allah la yahdi, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada al-zhalimin (orang-orang yang berlaku aniaya), al-kafirin (orang-orang yang kafir), al-fasiqin (orang-orang yang fasik), man yudhil (orang yang disesatkan), man huwa kadzibun kaffar (pembohong lagi amat inkar), musrifun kazzab (pemboros lagi pembohong), dan lain-lain.
Memang, mereka yang durhaka dapat saja memperoleh secercah ilmu Tuhan yang bersifat kasbi, tetapi yang mereka peroleh itu terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena). Bukan pula yang berkaitan dengan realitas di luar alam materi. Dalam konteks ini Al-Quran menegaskan:
… Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia sedangkan tentang akhirat mereka lalai (QS Al-Rum [30]: 6-7).
Para ilmuwan Muslim juga menggarisbawahi pentingnya mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi saw: “Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”.
Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 untuk memperkuat kandungan hadis tersebut.
Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah ayat 282)
Atas dasar itu semua, Al-Quran memandang bahwa seseorang yang memiliki ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu pula, antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyat (takut dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, .
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS Fathir [35]: 28).
Dalam konteks ayat ini, ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam.
Rasulullah saw menegaskan bahwa “Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah yang bermanfaat, dan ilmu sekadar di ujung lidah, maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan manusia”.

MANFAAT ILMU
Dari wahyu pertama, juga ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Melalui Iqra’ bismi Rabbika, digariskan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan akhirnya, haruslah karena Allah.
Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar, memahami Bacalah demi Allah dengan arti untuk kemaslahatan makhluknya. Bukankah Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan justru makhluk yang membutuhkan Allah SWT.
Semboyan “ilmu untuk ilmu” tidak dikenal dan tidak dibenarkan oleh Islam. Apa pun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai Rabbani. Sehingga ilmu yang –dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat scbagian ahli– “bebas nilai”, harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan Muslim.
Kaum Muslim harus menghindari cara berpikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi tidak memberikan hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah saw sering berdoa, “Wahai Tuhan, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”.
Atas dasar ini pula berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkap rahasia alam metafisika, tidak boleh dilakukan. Artinya, hati mesti dipergunakan untuk menjelajahi alam metafisika.
Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat-ayat Al-Quran vang berbicara tentang alam raya, menggunakan redaksi yang berlainan ketika menunjukkan manfaat yang diperoleh dan alam raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama.
Perhatikan misalnya ketika Al-Quran menguraikan as-samawat wal-ardh. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 164, penjelasan ditutup dengan menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya’qilun (sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal). Sedangkan dalam Al-Quran surat Ali-’Imran ayat 90, ketika menguraikan persoalan yang sama diakhiri dengan la ayatin li-ulil albab (pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab (orang-orang yang memiliki saripati segala sesuatu).
Inilah antara lain fashilat {penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang alam raya, yang darinya dapat ditarik kesan adanya beragam tingkat dan manfaat yang seharusnya dapat diraih oleh mereka yang mempelajari fenomena alam: yatafakkarun (yang berpikir) (QS 10: 24) ya’lamun (yang mengetahui) (QS 10: 5), yatazakkarun (yang mengambil pelajaran) (QS 16: 13), ya’qilun (yang memahami) (QS 16: 12), yasma’un (yang mendengarkan) (QS 30: 23), yuqinun (yang meyakini) (QS 45: 4), al-mu’minin (orang-orang yang beriman) (QS 45: 3), al-’alimin (orang-orang yang mengetahui) (QS 30: 22).

TEKNOLOGI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan sebagai “kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan berdasarkan proses teknis.” Teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia.
Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia.
Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai anugerah) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Penundukan tersebut –secara potensial– terlaksana melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan Allah dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Al-Quran menjelaskan sebagian dari ciri tersebut, antara lain:
(a) Segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri dan hukum-hukumnya.
Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (QS Al-Ra’d [13]: 8) .
Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga rumput yang hijau subur atau layu dan kering, semuanya telah ditetapkan oleh Allah sesuai ukuran dan hukum-hukumnya. Demikian antara lain dijelaskan oleh Al-Quran surat Ya Sin ayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3 .
(b) Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya:
Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra’d [13]: 15).
(c) Benda-benda alam –apalagi yang tidak bernyawa– tidak diberi kemampuan memilih, tetapi sepenuhnya tunduk kepada Allah melalui hukum-hukum-Nya.
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit yang ketika itu masih merupakan asap, lalu Dia (Allah) berkata kepada-Nya, “Datanglah (Tunduklah) kamu berdua (langit dan bumi) menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!” Mereka berdua berkata, “Kami datang dengan suka hati” (QS Fushshilat (41) : ayat 11).
Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciri dan hukum-hukum yang berkaitan dengan alam raya, sebagaimana diinformasikan oleh firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 31,
Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya. (QS. Al-Baqarah ayat 31)
Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan. Keberhasilan memanfatkan alam itu merupakan buah teknologi.
Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab. Ciri mereka antara lain disebutkan dalam surat Ali-’Imran (3) 190-191:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi. (QS. Ali-’Imran (3) 190-191)
Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab, yaitu tafakkur dan dzikir. Kemudian keduanya menghasilkan natijah yang diuraikan pada ayat 195:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka dengan berfirman, “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan …”.
Natijah bukanlah sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak, melainkan melampauinya sampai kepada pengamalan dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah mengomentari ayat Ali ‘Imran tadi sebagai berikut:
Maksudnya adalah bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadap alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama di antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji di alam raya ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan amal.
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa “Khalq As-samawat wal Ardh” di samping berarti membuka tabir sejarah penciptaan langit dan bumi, juga bermakna “memikirkan tentang sistem tata kerja alam semesta”. Karena kata khalq selain berarti “penciptaan”, juga berarti “pengaturan dan pengukuran yang cermat”. Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan kepada rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan kepada penciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi umat manusia.
Jadi, dapatkah dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Al-Quran.
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua catatan yang perlu diperhatikan.
Pertama, ketika Al-Quran berbicara tentang alam raya dan fenomenanya, terlihat secara jelas bahwa pembicaraannya selalu dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Perhatikan misalnya uraian Al-Quran tentang kejadian alam:
Dan Apakah orang-orang ingkar tidak mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka apakah mereka tidak beriman? (QS Al-Anbiya’ [21]: 30). .
Ayat ini dipahami oleh banyak ulama kontemporer sebagai isyarat tentang teori Big Bang (Ledakan Besar), yang mengawali terciptanya langit dan bumi. Para pakar boleh saja berbeda pendapat tentang makna ayat tersebut, atau mengenai proses terjadinya pemisahan langit dan bumi. Yang pasti, ketika Al-Quran berbicara tentang hal itu, dikaitkannya dengan kekuasaan dan kebesaran Allah; serta keharusan beriman pada-Nya.
Pada saat mengisyaratkan pergeseran gunung-gunung dari posisinya, sebagaimana kemudian dibuktikan para ilmuwan informasi itu dikaitkan dengan Kemahahebatan Allah SWT:
Kamu lihat gunung-gunung, yang kamu sangka tetap di tempatnya, padahal berjalan sebagaimana halnya awan. Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Naml [27]: 88).
Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu mengingatkan manusia terhadap Kehadiran dan Kemahakuasaan Allah SWT, selain juga harus memberi manfaat bagi kemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi Rabbik.
Kedua, Al-Quran sejak dini memperkenalkan istilah sakhkhara yang maknanya bermuara kepada “kemampuan meraih –dengan mudah dan sebanyak yang dibutuhkan– segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dari alam raya melalui keahlian di bidang teknik”.
Ketika Al-Quran memilih kata sakhhara yang arti harfiahnya menundukkan atau merendahkan, maksudnya adalah agar alam raya dengan segala manfaat yang dapat diraih darinya harus tunduk dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah manusia. Bukankah manusia diciptakcan oleh Allah sebagai khalifah? Tidaklah wajar seorang khalifah tunduk dan merendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allah kepadanya. Jika khalifah tunduk atau ditundukkan oleh alam. maka ketundukan itu tidak sejalan dengan maksud Allah SWT.
Di atas telah dikemukakan bahwa penundukan Allah terhadap alam raya bersama potensi yang dimiliki manusia –bila digunakan secara baik– akan membuahkan teknologi.
Dari kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa teknologi dan hasil-hasilnya di samping harus mengingatkan manusia kepada Allah, juga harus mengingatkan bahwa manusia adalah khalifah yang kepadanya tunduk segala yang berada di alam raya ini.
Kalaulah alat atau mesin dijadikan sebagai gambaran konkret teknologi, dapat dikatakan bahwa pada mulanya teknologi merupakan perpanjangan organ manusia. Ketika manusia menciptakan pisau sebagai alat pemotong, alat ini menjadi perpanjangan tangannya. Alat tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepada si Pemakai, melebihi tunduknya budak belian. Kemudian teknologi berkembang, dengan memadukan sekian banyak alat sehingga menjadi mesin. Kereta, mesin giling, dan sebagainya, semuanya berkembang, khususnya ketika mesin tidak lagi menggunakan sumber energi manusia atau binatang, melainkan air, uap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara, misalnya, adalah mesin. Kini, pesawat udara tidak lagi menjadi Perpanjangan organ manusia, tetapi perluasan atau penciptaan organ dan manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yang memungkinkannya mampu terbang? Tetapi dengan pesawat, ia bagaikan memiliki sayap. Alat atau mesin tidak lagi menjadi budak, tetapi telah menjadi kawan manusia.
Dari hari ke hari tercipta mesin-mesin semakin canggih. Mesin-mesin tersebut melalui daya akal manusia –digabung-gabungkan dengan yang lainnya, sehingga semakin kompleks, serta tidak bisa lagi dikendalikan oleh seorang. Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang dulu mesti dilakukan oleh banyak orang. Pada tahap ini, mesin telah menjadi semacam “seteru” manusia, atau lawan yang harus disiasati agar mau mengikuti kehendak manusia.
Dewasa ini telah lahir teknologi –khususnya di bidang rekayasa genetika– yang dikhawatirkan dapat menjadikan alat sebagai majikan. Bahkan mampu menciptakan bakal-bakal “majikan” yang akan diperbudak dan ditundukkan oleh alat. Jika begitu, ini jelas bertentangan dengan kedua catatan yang disebutkan di terdahulu.
Berdasarkan petunjuk kitab sucinya, seorang Muslim dapat menerima hasil-hasil teknologi yang sumbernya netral, dan tidak menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi manusia, baik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan unsur “debu tanah” manusia maupun unsur “ruh Ilahi” manusia.
Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan seseorang dari zikir dan tafakur, serta mengantarkannya kepada keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukan hasil teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harus memperingatkan dan mengarahkan manusia yang menggunakan teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat mengalihkan manusia darl jati diri dari tujuan penciptaan, sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam. Karena itu, menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenai cara memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi, dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana mengarahkan teknologi yang dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukan pikir dan zikir, ilmu dan iman?.
Al-Quran memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa, Rasul Allah Muhammad saw pun diperintahkan agar berusaha dan berdoa agar selalu ditambah pengetahuannya Qul Rabbi zidni ‘ilma (Berdoalah [hai Muhammad], “Wahai Tuhanku, tambahlah untukmu ilmu”) (QS Thaha [20]: 114), karena fauqa kullu zi ‘ilm (in) ‘alim (Di atas setiap pemilik pengethuan, ada yang amat mengetahui (QS Yusuf [12]: 72).
Manusia memiliki naluri selalu haus akan pengetahuan. Rasulullah saw bersabda: “Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta”.
Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan teknologi dengan memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Karena itu, laju teknologi memang tidak dapat dibendung. Hanya saja manusia dapat berusaha mengarahkan diri agar tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta dan ilmu/teknologi yang dapat membahayakan dinnya. Agar ia tidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan dirinya sendiri karena kepandaiannya.
Al-Quran menegaskan:
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya –karena air itu– tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya dan penghuni-penghuninya telah menduga bahwa mereka mampu menguasainya (melakukan segala sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, maka kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]: 24). .

Selasa, 03 Mei 2011

TRANSFERS OF INHERITANCE RIGHTS ACCORDING TO ISLAMIC LAW

One of the reforms of Islamic Inheritance Law as stipulated in Article 185 of the Compilations of Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam/KHI) is that the inheritance rights of heirs who predecease the testator may be transferred to their surviving children. The provision governs as follows:

(1) The inheritance rights of heirs who pre-decease the testator may be transferred to their children, unless stated otherwise in Article 173.
(2) The portion transferred to the substitute heirs cannot exceed that which would have been received by the original heir. This inheritance law reform is aiming at providing solutions to problems and preventing disputes. In this regard, Soepomo in his book says that the provision on substitute heirs is been based on the premise that family property is meant to provide for the family and the heirs. When a child dies before their parents, the children of the predeceased can replace the
rights to inherit their grandparent’s property.
However, according to Syahrizal, a law lecturer at IAIN University states that the substitute heirs can only be entitled to 1/3 of the portion of inheritance that their parent would have received. Reforms on inheritance law in other countries such as Egypt, Tunisia and Pakistan on the other hand, may allow grandchildren to receive the full portion of inheritance that their predeceased parent would have received (the law regarding inheritance from pre-deceased grandmothers is not positively stated). However, the Fiqhs (the science of deducing Islamic law) on Faraidh (inheritance), especially classical fiqhs, do not have provisions on such substitute heirs, except in determining the portion of the heirs that fall into the dzawil arham (kinship by blood) category according to the


madzhab (Sunni legal school) of Ahlut Tanzil in the absence of dzawil furud (Qur’anic) and ashabah (residual) heirs.
Before going into further detail, this article will discuss the meaning of transfers of inheritance rights from a number of perspectives. In Dutch law, transfer or substitution of inheritance rights is known as plaatsvervulling. Substitution refers to the substitute heirs, where a benefactor dies, leaving behind grandchildren with predeceased parent(s). The grandchildren will substitute their parent(s) rights to inherit the deceased grandparent’s property. The portion of the inheritance is the same as that which would have been received by their parent(s).

According to Alyasa’ Abubakar, a lecturer at the Post-graduate programme of the Ar-Raniry Islamic Public Institute (Institut Agama Islam Negeri/IAIN) in Banda Aceh, the concept of substitute heirs are only recognized under the Burgerlijke Wetboek (BW) law of inheritance from the West and under the customary law, but not under the Islamic law. However, reform in the interpretation of inheritance law has led to the incorporation of provisions on substitute heirs into the KHI, which to date have been used by the Mahkamah Syar’iyah (Islamic Court) in solving disputes.

Syahrizal, in his dissertation on the Substitution of Heirs according to Islamic Law writes that that classical fiqh in fact allows the transfer of a portion of inheritance to grandchildren, but under different circumstances than that found under the customary law. In his dissertation, Syahrizal further quotes a professor in Law, Ismuha, who explains that the fiqh recognises the concept of substitute heirs with a different form of substitution than that recognised by the customary law. In addition, the rights of the substitute heirs are not the same with those of the original heirs, as indicated in examples given in Khulasah Ilmu Faraidh by Amin al-Asyi and Nihayat al-Muhtaj by ar-Ramly.

In the Book of Nihayat al-Muhtaj, ar-Ramly notes down that a son can replace his predeceased father to inherit from his grandparent, while it is not the case with children of a predeceased daughter. The children of a predeceased benefactor’s son can replace their parent in the absence of another surviving benefactor’s son. However, if the benefactor still has surviving son(s), the substitute heir will not be entitled to any inheritance.

In addition, says Syahrizal, the only scholar who recognises the concept of substitute heirs in Islam is Hazairin. In fact, Hazairin’s views have encouraged other scholars in Islamic law as well as other legal scholars to carry out in-depth studies on this issue.

Hazairin provides an interpretation of the substitute heirs according to Islamic law based on Verse 33 of the Surah an-Nisa, which says: “And for everyone we have placed heirs (to inherit) of what parents and near relatives leave, and as for those with whom your right hands have made a covenant, give them their portion; verily Allah is ever witness over all things.” Hazairin freely interprets that this verse means that God allows anyone from the family concerned to become the mawali (someone who has the right to part of the inheritance), to inherit property of the parent and close relatives (allazina ‘aqadat aymanukum).

Anyone who is close with the person who died (Fulan) but is not a direct inheritor (ahli waris) can still benefit from the inheritance. According to Hazairin, when a parent (mother or father) becomes a benefactor, their children or the mawali of the children can inherit their parent’s property. If the children are still alive, they will be the ones to legally inherit the property in accordance with Verse 11 of Sura An-Nisa.

In Indonesia, especially in Aceh where customary law is so heavily embedded with Islamic law, this concept is still debated. Some ulamas (Islamic scholars), including those in Aceh, are still opposed to this very idea of reform by KHI because the concept of substitute heirs is not clearly found in the Qur’an and the Hadith of Mohammad the Prophet on faraidh (inheritance) law. However, some who accept the concept of the reform are basing their acceptance to the significant values that Islam brings, namely justice, ukhuwah (Islamic brother/sisterhood), equality, and highest respect to orphans, which they believe should be upheld and enforced in Indonesia.

However says Syahrizal, while Acehnese customary law does not recognise the concept of substitution of heirs, there are many practices where heirs distribute a little or some of their property to the orphans, whose parents are already predeceased.

Patah Titi or Putoh Tutu

The Vice Chairperson of the Consultative Council of Ulama (Majelis Permusyawaratan Ulama/MPU) Aceh, Tgk. Daud Zamzami, explains that there is no firm reason to terpret
further the concept of substitute heirs if there is not any clear provisions in the Quran. In addition, the customary law in Aceh does not recognise the concept of substitute heirs. Aceh holds strictly to its customary law, which is heavily embedded with Islamic law. Customary law in Aceh provides that when an heir dies, it severs the inheritance relationship between benefactor (or the parent of the deceased) with the children of the deceased (or the grandchildren of the benefactor). The inheritance rights of the grandchildren will be completely severed with the existence of male and female siblings of the deceased. This concept, according to Tgk. Daud Zamzami, is known as Patah Titi or Putoh Tutu among Acehnese, or Hijab in Islam. According to this concept, the deceased heir is the titi (bridge) between the
grandfather (benefactor) and the grandchildren. When the heirs predecease the benefactor, that lineage of inheritance is severed.

However, Islam still upholds respect for the welfare and justice of the grandchildren or the orphans left by their parents, for example by providing a little or some of the portion of inheritance to them. In addition, according to Acehnese customary law, the ulama who bears witness in the distribution of the property will also be provided with a small portion of the property. The right of the ulama to have this portion is known as the raheung right. It should be noted that the distribution of the portion to the grandchildren (or the orphans of the deceased) and the ulama is not considered a distribution of inheritance but merely a provision of gift.

Some ulamas in Aceh are still adhering to the concept of patah titi in terms of inheritance based on the classic fiqh books. Therefore, it is not uncommon that disputes on inheritance related to substitution of heirs in Aceh are rarely resolved using formal mechanism at the Mahkamah Syar’iyah.

Until now, patah titi is still a common practice in Aceh. Cases related to patah titi are usually resolved using adat (customary) and Islamic law by assembling village elders, ulamas and the surviving relatives. That is why there are only a few cases which are resolved at the Religious Court or Mahkamah Syar’iyah. During 2007 Mahkamah Syar’iyah of Aceh Province resolved 125 cases on inheritance and 292 cases on appointment of heirs (not appointment of heirs substitute). However, in cases related to patah titi, Mahkamah Syar’iyah will enforce Article 185 of the KHI in the resolution, namely by not recognising patah titi and therefore recognising the right of grandchildren to substitute the inheritance rights previously held by their predeceased parent.

The few numbers of cases on substitute heirs at the Mahkamah Syar’iyah is attributable to the lack of socialisation on substitution of heirs says Syahrizal. In practice, substitution of heirs is a great reform in Islamic law in Indonesia. If this reform is disseminated well, the concept of patah titi will hopefully no longer be applicable among the Acehnese.

in addition, there is a general lack of awareness regarding this concept and related cases among the community. Daud Zamzami says that the community are not fully aware of the provisions within the Compilations of Islamic Law (KHI) and do not really understand the teachings of the books of fiqh. The Community usually simply refer to their teachers (which in this case are the ulamas) to solve their problems.

Minggu, 01 Mei 2011

AKUNTANSI SYARI’AH


Pendahuluan
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Menurut Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada konsep Akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Allah SWT. Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada dosen saya tercinta Bpk. Aminul Fajri SE, Akt yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk membahas topik yang menarik ini.

Analisis dan Pembahasan
1.Dasar Hukum Akuntansi Syari’ah
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
2.Sekilas Tentang Akuntansi Syari’ah
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
3.Persamaan Akuntansi Syari’ah dengan Akuntansi Konvensional
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
a.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
b.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
c.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
d.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
e.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
f.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
g.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

4.Perbedaan Akuntansi Syari’ah dengan Akuntansi Konvensional
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
a.Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
b.Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
c.Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagai sumber harga atau nilai;
d.Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
e.Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
f.Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
5.Praktek Akuntansi Pemerintahan Islam
→Pada zaman Rasulullah SAW cikal bakal akuntansi dimulai dari fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuannya dan penunjukkan orang-orang yang kompeten (Zaid, 2000);
→Pemerintahan Rasulullah SAW memiliki 42 pejabat yang digaji, terspesialisasi dalam peran dan tugas tersendiri(Hawary, 1988);
→Perkembangan pemerintahan Islam hingga Timur Tengah, Afrika, dan Asia di zaman Umar bin Khatab, telah meningkatkan penerimaan dan pengeluaran negara;
→Para sahabat merekomendasikan perlunya pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaaan dan pengeluaran negara;
→Umar bin Khatab mendirikan lembaga yang bernama Diwan (dawwana = tulisan);
→Reliabilitas laporan keuangan pemerintahan dikembangkan oleh Umar bin Abdul Aziz (681-720M) dengan kewajiban mengeluarkan bukti penerimaan uang (Imam, 1951);
→Al Waleed bin Abdul Malik (705-715M) mengenalkan catatan dan register yang terjilid dan tidak terpisah seperti sebelumnya (Lasheen, 1973);
→Evolusi perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiah;
→Akuntansi diklasifikasikan pada beberapa spesialisasi seperti Akuntansi peternakan, Akuntansi pertanian, Akuntansi perbendaharaan, Akuntansi konstruksi, Akuntansi mata uang, dan pemeriksaan buku / auditing (Al-Kalkashandy, 1913);
→Sistem pembukuan menggunakan model buku besar, meliputi :
a.Jaridah Al-Kharaj (menyerupai receivabale subsidiary ledger), menunjukkan utang individu atas zakat tanah, hasil pertanian, serta utang hewan ternak dan cicilan. Utang individu dicatat di satu kolom dan cicilan pembayaran di kolom yang lain (Lasheen, 1973);
b.Jaridah Annafakat (Jurnal Pengeluaran);
c.Jaridah Al Mal (Jurnal Dana), mencatat penerimaan dan pengeluaran dana zakat;
d.Jaridah Al Musadareen, mencatat penerimaan denda / sita dari individu yang tidak sesuai syariah, termasuk korupsi.
→Laporan Akuntansi yang berupa :
a.Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat setiap bulan (Bin Jafar, 1981);
b.Al Khitmah Al Jame’ah, laporan keuangan komprehensif gabungan antara income statement dan balance sheet (pendapatan, pengeluaran, surplus / defisit, belanja untuk aset lancar maupun aset tetap), dilaporkan pada akhir tahun;
→Dalam perhitungan dan penerimaan zakat. Utang zakat diklasifikasikan pada laporan keuangan dalam 3(tiga) kategori yaitu collectable debts, doubtful debts, dan uncollectable debts (Al-Khawarizmi, 1984).

Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Selain dari itu melalui uraian di atas dapat kita ketahui bersama, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)
Akhir kata saya mohon maaf yang sebesar-sebesarnya bila dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan, wabillahi taufik wal hidayah wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Referensi
-Departemen Agama Republik Indonesia. 1989. Al Qur’an dan Terjemahannya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an. Jakarta.
-Triyuwono, Iwan dan Moh. As’udi. 2001. Akuntansi Syari’ah : Memformulasikan Konsep Laba dalam Konteks Metafora Zakat. Salemba Empat. Jakarta.
-http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/
-http://kiamifsifeui.wordpress.com/2008/04/18/essai-4-akuntansi-syariah-vs-akuntansi-konvensional/
-http://www.nofieiman.com