Rabu, 21 April 2010

KEBUTUHAN PENDIRIAN BANK ISLAM DAN TUJUANNYA

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan dunia perbankan telah terlihat kompleks, dengan berbagai macam jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Kekomplekan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing baru dalam dunia perbankan, bukan hanya persaingan antar bank tetapi juga antara bank dengan lembaga keuangan. Sebuah fenomena nyata yang telah menuntut manajer keuangan bank untuk lebih antisipatif terhadap perubahan yang terjadi dalam dunia perbankan. Beberapa tahun yang lalu, pertumbuhan lembaga keuangan dan bank muamalat dengan sistem syariah mulai bermunculan. Lembaga keuangan ini sudah sejak lama berkembang di negara Arab Saudi, Kuwait, Turki, Iran dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Perkembangan selanjutnya merebak ke wilayah negara Eropa, seperti Swiss dan London, serta wilayah Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. 
Dunia perbankan ternyata bukan berasal hanya dari dunia Barat sebagaimana selama ini kita kenal dan pelajari, akan tetapi dunia perbankan juga berasal dari dunia Timur. Suatu perkembangan yang boleh dikatakan sangat mengembirakan, khususnya bagi umat Islam yang selama ini menginginkan investasi dan pendanaan tanpa unsur riba. 
Satu hal yang sangat menarik, yang membedakan antara manajemen bank muamalat dengan bank umum (konvensional) adalah terletak pada pembiayaan dan pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun investor. Jika dilihat pada bank umum, pembiayaan disebut loan, sementara di Bank Syariah disebut financing. Sedangkan balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam prosentase pasti. Sementara pada bank muamalat dengan sistem syariah, hanya memberi dan menerima balas jasa berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil. Selanjutnya dalam perbankan syariah dikenal istilah mudharabah, murabahah dan musyarakah untuk program pembiayaan. 
Bank syari’ah akan memperoleh keuntungan berupa bagi hasil, dari proyek yang dibiayai oleh bank tersebut. Apabila proyeknya mandek, maka akan dicarikan solusi penyelesaian. Misalnya, dengan menjual aset proyek. Uang penjualan aset proyek yang dibiayai Bank Syariah, akan dibagi kepada bank dan nasabah sesuai penyertaan masing-masing pada usaha tersebut. Lalu bagaimanakah dengan mekanisme manajemen kredit yang dapat diberlakukan dalam bank muamalat, dimana dalam mekanisme ini terjadi tarik-menarik kepentingan antara peminjam, bank dan investor. 
Bagi peminjam dana (borrowers), hal ini merupakan kesempatan emas dimana peminjam tidak terlalu terbebani atas bunga pinjaman tersebut. Tetapi bagi kalangan investor (deposan atau penanam modal lainnya), sistem perbankan ini kurang menjanjikan. Para investor (lenders) menginginkan dana yang diinvestasikannya, memiliki pengembalian minimal sesuai dengan harapan mereka. Sebaliknya, bank sebagai media perantara (intermediasi) bisa mengalami kesulitan untuk menggalang dana masyarakat. Kegiatan operasional bank dalam bentuk penyaluran kredit, dapat terhambat jika mobilisasi dana tidak sesuai dengan jumlah permintaan pendanaan.
Berdasarkan fenomena diatas, ingin diungkapkan disini bahwa ada beberapa hal yang terkait antara mekanisme manajemen kredit bank muamalat dan bank umum.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari Bank Islam ?
2. Apa yang menjadi kebutuhan dalam pendirian Bank Islam ?
3. Apa saja tujuan dari pendirian Bank Islam ?

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bank Islam
Istilah lain yang digunakan untuk sebutan bank islam adalah bank syariah. Menurut ensiklopedia islam, bank islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat islam.
Berdasarkan pengertian tersebut bank islam berarti bank yang tatacara beroperasinya didasarkan pada tatacara bermuamalat secara islam, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan Hadist.
Sedangkan dalam operasionalisasinya bank islam harus mengikuti dan atau berpedoman kepada praktek-praktek usaha yang dilakukan dizaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau cendikiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan hadist. 
Bank islam sebagai bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah menurut ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, memiliki ciri-ciri yang brebeda dengan bank konvesioal yaitu: 
1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar menawar 
2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan karena persentase bersifat melekat, pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir
3. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank islam tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (fixed return) yang ditetapkan di muka
4. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito/ tabungan 
5. Bank islam tidak menerapkan jual-beli atau sewa menyewa uang dari mata uang yang sama
6. Adanya pos pendapatan berupa “Rekening Berupa Pendapatan Non Halal” sebagai hasil dari transaksi dengan bank konvensional
7. Adanya dewan pengawas syariah yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya
8. Produk-produk bank islam selalu menggunakan sebutansebutan yang berasal dari istilah arab
9. Adanya produk khusus yang tidak terdapat di dalam bank konvensional

2.2 Kebutuhan dalam Pendirian Bank Islam
Berdasarkan beberapa ayat dalam Al-Qur’an, terdapat konsensus di antara para ahli hukum dan para teologi muslim bahwa riba dilarang oleh islam. Di antara ayat dalam Al-Qur’an yang menentukan larangan riba yaitu QS. Al-Baqarah ayat 275-276:

“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak akan berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” 



Beberapa hadits Nabi juga mengemukakan mengenai larangan riba, dintaranya adalah:
Dari ‘Ubbadah, “saya mendengar Rasulullah SAW, melarang jual-beli (utang) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali sama dan seimbang. Barang siapa menambah atau meminta tambahan, ia telah melakukan riba.”
Arti harfiah dari riba ialah pertumbuhan (growth), naik (rise), membengkak (swell), bertambah (increase), dan tambahan (addition).
Penafsiran yang sempit mengenai riba yang berpendapat bahwa bunga perbankan modern adalah juga riba telah menimbulkan kebutuhan mengenai perlunya didirikan lembaga-lembaga keuangan yang kegiatan usahanya berdasarkan selain bunga. Perbankan islam merupakan pengganti dari sistim perbankan barat yang tradisional. Praktek-praktek perbankan islam harus dilaksanakan dengan mengguakan instrument-instrumen keuangan yang bertumpu pada asas pembagian keuangan dan kerugian bukan pada bunga. 
Menurut para teoritisi perbankan islam seperti Qureshi (1074), Uzair (1978), dan Siddiqi (1978) menjelaskan bahwa bagi hasil (profit and loss sharing) dijadikan sebagai ciri utama dari operasional pembiayaan perbanka islam.  
Sebagai Negara muslim yang terbesar di dunia, di Indonesia telah muncul kebutuhan akan adanya bank yang melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah. Keinginan tersebut kemudian tertampung dengan dikeluarkannya UU no. 7 tahun 1992 sekalipun belum dengan istilah yang tegas, tetapi baru dimunculkan dengan memakai istilah “bagi hasil”. Baru kemudian UU no. 7 tahun 1992 diubah dengan UU no. 10 tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut disebutkan dengan tegas prinsip-prinsip syariah, karena operasinya berpedoman ketentuan-ketentuan syariah islam maka bank islam disebut juga dengan istilah bank syariah.
Setelah industri perbankan Indonesia terpuruk, terdapat beberapa bank yang ingin mengonversikan diri dari bank umum menjadi bank syariah atau melakukan kegiatn perbankan berdasarkan prinsip syariah dengan membuka cabang-cabang yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Salah satu penyebab dari penderitaan perbankan Indonesia mengalami kerugian sebagai akibat negatif spread, karena disatu pihak harus membayar bunga deposito yang sangat tinggi (mencapai 62%) sedangkan dipihak lain bunga kredit (baik kredit baru maupun kredit yang sedang berjalan) hanya dapat dibebani tingkat bunga yang lebih rendah dari tingkat bunga deposito (kurang lebih 35%). Selain itu juga disebabkan karena kredit-kredit yang semula lancar akhirnya menjadi kredit-kredit yang bermasalah yang tidak menghasilkan bunga. Sehingga bank-bank mengalami kerugian yang luar biasa besarnya.
Dalam keadaan perbankan harus hidup dari bunga deposito yang sangat tinggi, maka hanya bank-bank yang tidak melakukan kegiatan berdasarkan bunga tetapi bedasarkan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing principle), yang tidak terkena negatif spread. 

2.3. Tujuan Pendirian Bank Islam
Adapun tujuan dari pendirian bank islam/perbankan syariah diambil dari nilai-nilai islam dan diwujudkan dalam masing-masing kegiatan operasionalnya. Tujuan-tujuan tersebut didefinisikan setelah mengakomodasi kondisi aktual dalam industri. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, bank Indonesia juga telah mendefinisikan gagasan dan paradigma untuk kebijakan-kebijakan yang diambil. Dan diantara tujuan-tujuannya yaitu :
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara islam, khususnya muamalah yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar atau tipuan, dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi umat.
2. Untuk menciptakan suatu keadilan dibidang ekonomi, dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama pada kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian berusaha.
4. Untuk membantu menanggulangi atau mengentaskan masalah kemiskinan, berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja, dan program pengembangan usaha bersama.
5. Untuk menjaga kestabilan ekonomi/moneter pemerintah. Dengan aktivitas-aktivitas bank islam yang diharapkan mampu menghindarkan inflasi akibat penerapan sistem bunga, menghindarkan persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan khususnya bank dan menanggulangi kemandirian lembaga keuangan, khususnya bank dan menanggulangi kemandirian lembaga keuangan khususnya bank dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun luar negeri.
6. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat islam terhadap bank-bank non-islam (konvensional) yang menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan bank, sehingga umat islam tidak bisa melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama dibidang kegiatan bisnis dan perekonomiannya. 
  Dari segi ontologi, tujuan pendirian bank-bank Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia adalah mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, khususnya memungut riba dalam pinjam-meminjam. Ini berbeda dengan tujuan pendirian bank-bank konvensional, yaitu menyediakan pinjaman dengan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, bank konvensional adalah lembaga perantara keuangan. Tujuan lebih lanjut adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisnis dengan memanfaatkan simpanan masyarakat yang memiliki dana surplus setelah dikurangi konsumsi. 
Dari segi aksiologi, bank syariah, yang semula disebut bank Islam, didirikan untuk menerapkan hukum Islam, sedangkan bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
 Secara epistemologi, pengelolaan bank konvensional berpedoman pada manajemen perbankan. Akan tetapi, dalam bank syariah, manajemen perbankan harus mengikuti hukum-hukum syariah. Itu sebabnya bank syariah memiliki lembaga pengawasan, disebut Dewan Syariah, dibentuk oleh otoritas keagamaan, Majelis Ulama Indonesia atau di Malaysia, Dewan Ugama. 

KESIMPULAN

Dari pembahasan mengenai beberapa kebututuhan serta tujuan pendirian bank islam diatas, maka secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat islam.
2. Riba telah menimbulkan kebutuhan mengenai perlunya didirikan lembaga-lembaga keuangan yang kegiatan usahanya berdasarkan selain bunga. Perbankan islam merupakan pengganti dari sistim perbankan barat yang tradisional. Praktek-praktek perbankan islam harus dilaksanakan dengan mengguakan instrument-instrumen keuangan yang bertumpu pada asas pembagian keuangan dan kerugian bukan pada bunga.
3. Tujuan pendirian Bank Islam antara lain :
- Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara islam.
- Menciptakan suatu keadilan dibidang ekonomi.
- Untuk meningkatkan kualitas hidup umat.
- Untuk membantu menanggulangi atau mengentaskan masalah kemiskinan.
- Untuk menjaga kestabilan ekonomi/moneter pemerintah. 
- Untuk menyelamatkan ketergantungan umat islam terhadap bank-bank non-islam (konvensional).

Sejarah Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Hukum Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum nasional , di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia.
Di Indonesia terdapat tiga hukum waris yang digunakan yakni hukum adat dengan corak patrilinial, matrilineal dan parental, kedua hukum Islam yang mempunyai pengaruh yang mutlak bagi orang Indonesia asli di pelbagai daerah dan hukum waris Burgerlijk Wetboek. Sejarah hukum Islam pada zaman Hindia Belanda dibagi atas dua periode yang disebut reception in complex dan receptive, pada era kemerdekaan pun dibagi dua periode yaitu penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive dan sebagai sumber autoritatif, hingga disusunnya Kompilasi Hukum Islam yang memuat Hukum Kewarisan serta tinjauan rencana Hukum Kewarisan Islam sebagai Hukum Kewarisan Nasional

B. Rumusan Masalah
Akan dibahas pada makalah ini mengenai kronologi sejarah Hukum Waris Islam ditinjau dari segi Historitas, dengan rincian sebagai berikut:
1. Historitas Hukum Kewarisan era kolonial
2. Historitas Hukum Kewarisan era pascakemerdekaan
3. Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam
4. Hukum Kewarisan Islam dalam Kewarisan Nasional
 


A. Hukum Islam di Indonesia Zaman Kolonial
Menyangkut sejarah masuk hukum Islam di Indonesia tentunya berkaitan erat dengan masuknya adanya Islam di Nusantara. Para ahli sejarah belum sependapat mengenai kapan Islam masuk Indonesia yakni pada abad ke-1 Hijriah (7 Masehi), dan ada yang berpendapat pada abad 7 (13 Masehi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama Islam telah terlebih dahulu berkembang dan dilakukan di Nusantara ketimbang kolonial Belanda menginjakkan kakinya di bumi Nusantara. Dalam perkembangan sejarah Indonesia tercatat bahwa pada abad keenam belas (1596 Masehi) organisasi perusahaan dagang Belanda yang dikenal dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie = Gabungan Perusahaan Dagang Belanda Hindia Timur) merapat di pelabuhan Banten Jawa Barat, semula maksudnya hanya untuk berdagang, namun perkembangan lebih lanjut tujuan tersebut berubah haluan yaitu ingin menguasai kepulauan Indonesia, sehingga VOC mempunyai dua fungsi, sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintahan.
Dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut, maka VOC mempergunakan hukum Belanda untuk daerah-daerah yang telah dikuasainya, dan tentunya secara berangsur-angsur VOC juga membentuk badan-badan peradilan. Walaupun badan-badan peradilan sudah dibentuk tentunya tidak dapat berfungsi efektif, sebab ketika hukum yang dibawa oleh VOC tersebut tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan diikuti oleh masyarakat. Hal ini patut terjadi, sebab dalam statute Jakarta 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat dibagi dalam dua preode; yaitu periode Teori Receptio in Complex dan periode Teori Receptei. Teori reception in complex adalah teori penerimaan Hukum Islam, sepenuhnya bagi orang-orang yang beragama Islam karena mereka telah memeluk agama Islam meskipun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh LWC Van Den Berg. Apresiasi pemerintah Hindia Belanda pada teori ini hanya terdapat dalam hukum kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yaitu dengan adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan peraturan Resulutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori Receptie adalah teori penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh C.Snouck Hurgronje berdasarkan penelitiannya di Aceh dan tanah Gayo. Teori ini merupakan reaksi menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya terlihat dalam IS (indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi: ”dalam hal terjadi masalah perdata antar sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinaya”. 
Secara pelahan dan sistematis pemerintah kolonial Belanda mencoba untuk menghilangkan pengaruh hukum Islam dalam lingkungan peradilan yang ada, sebab dengan pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan menguntungkan negeri Belanda karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya hubungan agama dengan pemerintahannya. Namun demikian usaha tersebut tidak berhasil, bahkan lebih lanjut Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap bumiputera sebagai pencegahan terhadap perlawanan yang akan terjadi, maka diberlakukan pasal 75 RR (Regeering Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2 memberikan instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. 
Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Pemerintahan Dai Nippon.

B. Hukum Waris Islam Pascakemerdekaan
Dengan dikumandagkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya berdasarkan kepada sistem hukum Nasional, sebab pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara. Menurut Hazairin, sejak diproklamasikan kemerdekaan Repubik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 29. Perumusan dasar Negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar Negara : Pancasila, Islam dan Sosialis Ekonomi. Namun Dalam lembaga legislatif yang dikenal de-Konstituante itu tidak berhasil memutuskan dasar Negara hingga kemudian keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945 termasuk di dalamnya dasar negara Pancasila.  
Sebelumya pada zaman kolonial Belanda, hukum Islam dipandang sebagai bagian dari sistem hukum adat (terutama sekali masalah hukum perkawinan), selain itu dalam hal kewarisan masyarakat sering mempergunakan hukum adat, oleh karena itu persoalan kewarisan dimasukkan ke dalam kekuasaan Pengadilan Negeri dan diadili berdasarkan hukum adat (pada waktu itu, bahkan sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1989 Nomor 49, keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum apabila keputusan ini telah diperkuat oleh Pengadilan Negeri).
Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 11 tanggal 3 Desember 1960. Sementara itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang disebut BPHN) dalam suatu keputusannya yang dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1962 mengenai hukum kekeluargaan telah pula menetapkan asas-asas hukum kekeluargaan Indonesia, yang mana dalam pasal 12 ditetapkan sebagai berikut;
a. Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
b. Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang memerlukannya.
c. Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum waris Islam.
d. Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-undangan. 
Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, RUU Hukum Waris. Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekati hukum Islam dari pada hukum adat.

C. Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia sebagai badan penentu haluan negara, badan pengarah kehidupan negara dan masyarakat Indonesia di masa lalu (1960) itu, pernah memberikan pengarahan soal hukum kewarisan di Indonesia. Dalam lampiran ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 pada penjelasan lampiran A dengan penegasan dibawah No.38 bahwa mengenai huruf c. 2 dan 4 dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lain-lainnya.
Dalam membicarakan ketetapan MPRS dan lampiran A-nya tersebut Hazairin menyimpulkan pendapatnya bahwa MPRS menuntut agar kewarisan di Indonesia diatur secara parental (patrilinial) yang sesuai dengan kehendak Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Begitupun adat dan lain-lain yang perlu diperhatikan itu adalah yang sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan disini sejauh mengenai hukum kewarisan Islam. 
Pada tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang isinya membentuk sebuah panitia untuk mengumpulkan bahan-bahan dan merancang Kompilasi Hukum Islammenyangkut hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang selanjutnya akan dipergunakan oleh Pengadilan Agama dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, panitia ini menggunakan empat jalur, yaitu:
1. Pengkajian kitab-kitab fiqih dengan bantuan beberapa tenaga pengajar Fakultas Syariah IAIN seluruh Indonesia
2. Menghimpun pendapat ulama fiqih terkemuka di tanah air
3. Menghimpun yurisprudensi yang terhimpun dalam putusan-putusan Pengadilan Agama seluruh Indonesia sejak penjajahan Belanda sampai dengan kompilasi tersusun.
4. Mengadakan studi perbandingan menyangkut pelaksanaan dan penegakan hukum Islam di Negara-negara muslim, terutama sekali Negara-negara tetangga yang penduduknya beragama Islam.
5. Konsep KHI hasil tim tersebut kemudian dibahas oleh para ulama dan cendekiawan muslim loka karya yang diadakan pada tanggal 2-5 Pebruari 1988 di Jakarta.  
Hasil Loka karya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1991 keluarlah Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991, yang memuat instruksi kepada Menteri Agama untuk menyebarkan KHI . kemudian pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 yang menyerukan kepad seluruh instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI tersebut, dan sedapat mungkin menerapkannya di samping peraturan perundang-undangan lainnya.
Kompilasi Hukum Islam terbagi atas tiga buku, dan masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, khusus bidang Kewarisan diletakkan dalam buku II dengan judul Hukum Kewarisan, yang terdiri dari 6 bab dengan 214 pasal dengan perincian sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan umum, 
Bab II : Ahli waris (pasal 172 sampai dengan pasal 175)
Bab III : Besarnya bagian (pasal 176 sampai dengan pasal 191)
Bab IV : Aul dan Raad (pasal 192 sampai dengan pasal 193)
Bab V : Wasiat (pasal 194 sampai dengan pasal 209)
Bab VI : Hibah (pasal 210 sampai dengan pasal 214) 

D. Hukum Waris Islam dalam Kewarisan Nasional
Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum. 
Setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.Berkaitan erat dengan berbagai keinginan umat Islam dewasa ini yang bukan saja tentang pengharapan pengembangan ide-ide pembaharuan hukum waris Islam tetapi juga keinginan agar hukum Islam dapat mewakili menjadi hukum waris nasional, setidaknya bukan hanya sekedar dipertimbangkan, tetapi pula dijadikan kerangka acuan yang terbaik dan kongkrit mewujudkan keadilan universal.
Di sisi lain, dalam hal tertentu dikalangan intern ummat Islam sendiri mengenai hukum kewarisan masih menjadi persoalan dan menjadi polemik yang berkepanjangan. Berbagai kritik dan ide pembaharuan merupakan fakta sosial aspirasi sebagian ummat Islam Indonesia. Baik ide Hazairin, Munawir Sjadzili ataupun lebih jauh berbagai tanggapan dan ijtihad di kalangan ulama sepanjang sejarah sejak masa sahabat yang secara kronologis diwarisi oleh para pengikut pemikiran mereka masing-masing.
Sebagian masyarakat Indonesia beragama Islam, hukum adat yang ada sudah dianggap mengakar menyulitkan menjadikan hukum waris Islam sebagai alternatif yang mana mana hukum adat terlahir karena adanya hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang secara sosiologis telah lama melembaga. Menurut Sukris Sarmadi dengan dijadikannya hukum adat sebagai realitas salah satu sumber dalam pembinaan hukum Nasional sebagaimana pula dengan hukum Islam, yang mana dianggap representatif sebagai preseden-preseden bagi hukum Nasional, dan dirancan serta diberlakukannya dua hukum itu dengan cara “tambal sulam” sebagai kebijakan Nasional, barangkali akan dianggap telah melenyapkan hukum kewarisan Islam karena hukum Islam mengenai kewarisan selama ini dipahami sebagai ajaran yang mutlak dengan cirri-ciri keadilan yang trasedental. Ditambahkan bahwa masyarakat yang beragama Islam walaupun dengan berlatar sosial budaya yang sebelumnya jauh berbeda dengan prinsip-prinsip Islam seperti masyarakat patrilinial, matrilineal ataupun bilateral tertentu dengan keberadaan sistem hukum adatnya yang mempengaruhinya, maka sangat sulit untuk diterapkan suatu unifikasi hukum dalam suatu kodifikasi yang bersifat nasional.  
 

PENUTUP

Di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 pada dasarnya telah dimulai untuk menjalankan sabda Rasulallah saw. Untuk mempelajari dan mengajarkan hukum waris, tinggal sekarang bagaimana penerapan ilmu tersebut (hukum waris Islam) dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia secara konsisten. Adalah merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum waris Islam bagi seorang muslim mempunyai kedudukan yang utama dibandingkan dengan hukum waris lainnya, sebab sudah hukum waris Islam tersebut telah disyariatkan dalam Al Qur’an maupun Sunnah.
Pada dasarnya penerapan kewarisan yang berasaskan Islam telah terjadi sejak sebelum kemerdekaan diperoleh rakyat Indonesia, dalam hal ini sistem kewarisan Islam terbingkai dalam kewarisan adat yang hidup dalam masyarakat. Namun hal ini tidak berlangsung maksimal karena multi sistem kewarisan Indonesia dengan latar belakang budaya yang berbeda pula. Sejak pendudukan Belanda di Indonesia kewarisan Islam diterapkan namun nampak setengah-setengah, karena dalam hal ini kolonial ingin menghilangkan nilai Islam dan menggantinya dengan agama mereka karena akan lebih memudahkan dalam penguasaan daerah Nusantara, tak berbeda dengan zaman pendudukan yang dilakukan oleh Jepang, secara fundamental hanya nama Institusi yang berwenang melaksanakan dan mengontrol penerapan kewarisan Islam diganti namanya. Meskipun mengalami berjibaku tantangan dan hadangan dari penjajah yang mencoba menghilangkan nilai Islam, hal itu dapat dilewati hingga masa kemerdekaan terjadi.
Realisasi dari aplikasi kewarisan Islam yang telah dilakukan orang Indonesia tempo penjajahan menuai semangat baru tatkala dilegimitasinya Hukum Kewarisan Islam dalam perundang-undangan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) era Munawir Sjadzili. Dengan disahnya kewarisan Islam ini membuka ruang yang sangat lebar untuk melaksanakan hukum waris yang berasaskan Islam. Perlu dikaji juga dalam lintas sejarah Indonesia yang mana berorientasi pada sistem kewarisan Islam sebagai tawaran untuk menjadi sistem yang legal bagi rakyat Indonesia tidak hanya terkhusus bagi muslim. Namun hal ini masih merupakan tawaran karena masyarakat Indonesia masih menerapkan kewarisan dengan sederhana dengan sistem adat. 

Rabu, 07 April 2010

Pelacuran Inteletual

Memberikan penilaian terhadap sikap seseorang bukanlah soal yang sederhana. Karena dunia bukanlah hitam dan putih. Setiap tindakan mempunyai motif yang bersumber pada pandangan hidup seseorang. Di dalam masyarakat, kita melihat ada dua sistem penilaian yang secara teoritis berbeda seratus delapan puluh derajat. Pertama, adalah mereka yang mempergunakan sistem nilai-nilai absolute. Untuk orang-orang ini penilaian dari setiap tindakan didasarkan atas pertanyaan-‘apakah ini benar atau salah?’. Jika salah maka kita tidak boleh melakukannya. Korupsi salah dan karena itu harus ditumpas di mana saja. Membunuh orang tanpa protes, salah, karena itu harus digugat mereka yang memang mau konsekuen terhadap sistem nilai absolute ini akan menggugat pemerintah karena menmbak mati Aidir, Njoto dan lain-lain tanpa proses pengadilan. Mereka akan menggugat ABRI, karena menempati gedung-gedung bekas PKI sebelum ada keputusan hakim. Bagi mereka pertimbangan satu-satunya adalah benar dan salah dan tidak mau memperdulikan situasi.
Tetapi ada kelompok lain yang tidak memakai sistem nilai ini. Mereka mempergunakan sistem nilai-nilai relative. Mereka sadar adan salah dan benar secara teoritik, tetapi mereka menggunakan pertimbangan-pertimabangan realistis. Mereka lebih mementingkan kemungknan-kemungkinan yang lebih berguna di masa depan, jika mereka bertindak sesuatu pada saat sekarang. Mereka bersedia melakukan kompromi-kompromi, karena mereka tahu bahwa hasil-hasil yang mungkin dicapai lebih besar di masa depan. Komandan militer yang membebaskan mata-mata musuh yang berkhianat (karena berpikir akan formasi-formasi dimasa kemudia) mempergunakan dasar-dasar relative . secara teoritis ia harus menembak mati setiap penghianat. Ia melanggar prinsip ‘keadila’karena pertimbangan-pertimabangan praktis.
Kedua sistem nilai ini diperlukakan dalam masyarakat. Secara teoritis pandangan ini bertentangan, tetapi batasannya juga amat kabur. Kita hanya bisa berkat (secara intuisi) bahwa setiap situasi dan jabatn harus dinilai secara proporsional. Seorang pastor hendaknya lebih banyak mempergunakan sistem nilai-nilai absolute (walaupun tidak mutlak-mutlakan). Ia tidak boleh berpikir bahwa demi sumbangan pada gereja, maka orang-orang miskin tidak usah dibela. Demikian pula seorang wartawan, guru, hakim dan lain-lain.
Tetapi seorang perwira lapangan hendaknya lebih banyak mempergunakan pertimabangan nilai-nilai relati. Saya bisa membayangkan bagaimana kacaunya sebuah operasi militer kalau komandannya bertindak sebagai pendeta yang maha adil.
Walaupun batas-batasnya tidak jelas, dasar sari setiap tindakan ini hendaknya selalu dialasi dengan motif-motif yang berdiri dibelakangnya. Batas yang jelas tidak ada dan penilaian terakhir diberikan oleh kata hati sendiri
Dan setiap orang yang mempergunakan nilai-nilai relative ini hendaknya mempunyai suatu batas, dan jika batas tadi dilanggar, ia harus berani bertindak lain, sebab ia akan terseret oleh arus, jika ia terlalu fleksibel. (Soe Hok Gie)

Senin, 05 April 2010

PENDUDUK DAN PENGANGGURAN

A. PENDUDUK
Salah satu perintang pembangunan ekonomi di negara-negara yang sedang
berkembang dan yang sekaligus merupakan ciri negara-negara tersebut ialah
adanya ledakan penduduk. Telah kita ketahui bahwa tujuan pembangunan
ekonomi adalah meningkatkan standar hidup penduduk negara yang
bersangkutan, yang biasa diukur dengan kenaikan penghasilan riil perkapita.
Penghasilan riil per kapita adalah sama dengan pendapatan nasional riil atau
output secara keseluruhan yang dihasilkan selamam satu tahun dibagi dengan
jumlah penduduk seluruhnya. Jadi standar hidup tidak dapat dinaikkan kecuali
jika output meningkat dengan lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah
penduduk. Untuk mempengaruhi perkembangan output total diperlukan
penambahan investasi yang cukup besar agar supaya dapat menyerap
pertambahan penduduk; yang berarti naiknya penghasilan riil per kapita.
Ada teori-teori yang memperbincangkan mengenai berapa jumlah
penduduk yang seharusnya atau yang cocok bagi suatu negara. Untuk itu ada
teori penduduk yang dikenal dengan “teori penduduk optimum” (optimum
population theory). Adapun yang dimaksud dengan penduduk optimum ialah
jumlah penduduk yang dapat memberikan/menghasilkan tingkat upah riil atau
tingkat penghasilan riil per kapita yang maksimum.
Peranan Penduduk dalam Pembangunan Ekonomi
Kapasitas yang rendah dari negara sedang berkembang untuk
meningkatkan output totalnya harus diimbangi dengan penurunan tingkat
perkembangan penduduk, sehingga penghasilan riil per kapita akan dapat
meningkat. Dengan kapasitas yang rendah untuk menaikkan output totalnya
dan tanpa diimbangi dengan turunnya tingkat perkembangan penduduk, maka
akan terjadi penundaan pembangunan ekonomi.
Ada 4 aspek penduduk yang perlu diperhatikan di negara-negara sedang
berkembang, yaitu:
· Adanya tingkat berkembangan penduduk yang relatif tinggi.
· Adanya struktur umum yang tidak favorabel.
· Tidak adanya distribusi penduduk yang seimbang.
· Tidak adanya tenaga kerja yang terdidik dan terlatih.
1. Tingkat Perkembangan Penduduk yang Tinggi
Tidak ada keragu-raguan terhadap sejarah di negara-negara yang
sudah maju bahwa pertambahan penduduk yang pesat justru menyumbang
terhadap kenaikkan penghasilan riil per kapita. Ini disebabkan karena
negara-negara yang sudah maju tersebut telah siap dengan tabungan yang
akan melayani kebutuhan investasi. Tambahan penduduk justru akan
menambah potensi masyarakat untuk menghasilkan dan juga sebagai
sumber permintaan yang baru. A. Hansen mengenai stagnasi secular, yang
mengatakan bahwa bertambahnya jumlah penduduk justru akan
menciptakan/memperbesar permintaan agregatif, terutama investasi. Para
pengikut Keynes tidak melihat tambahan penduduk sekedar sebagai
tambahan penduduk saja, tetapi juga melihat adanya suatu kenaikkan
dalam daya beli (purchasing power). Di samping itu para pengikut Keynes
juga menganggap adanya kemajuan, meningkatnya produktivitas tenaga
kerja dan permintaan tenaga kerja ini akan selalu mengiringi kenaikkan
jumlah penduduk.
Produktivitas penduduk di negara-negara sedang berkembang
adalah rendah sehingga mengakibatkan rendahnya produksi pula. Karena
sebagian besar penduduk tinggal di desa dan hidupnya sebagian besar
berasal dari sektor pertanian, maka hampir semua penghasilan yang
didapatnya akan dikonsumir seluruhnya. Seandainya ada sisa, hanya relatif
kecil jumlahnya. Akibatnya tingkat investasi juga akan rendah. Jadi
negara-negara sedang berkembang, dimana sudah terdapat perbandingan
yang tinggi antara jumlah manusia dan jumlah faktor-faktor produksi yang
lain, perkembangan penduduk yang cepat akan menimbulkan
diseconomies of scale. Di negara- negara sedang berkembang di amna
kepadatan penduduk yang cepat akan dapat pula mendorong
perkembangan ekonomi, apabila kapital dan kemampuan manajerial
termasuk organisasi dan administrasi dapat mengimbangi tantangan
penduduk tersebut.
2. Struktur Umur yang tidak Favorable
Negara sedang berkembang memiliki tingkat kelahiran yang tinggi
dan tingkat kematian yang rendah. Hal ini mengakibatkan adanya
segolongan besar penduduk usia muda lebih besar proporsinya daripada
golongan penduduk usia dewasa.Keadaan penduduk yang seperti ini
disebut sebagai penduduk yang berciri “expensive”.
Ini merupakan kebalikan dari keadaan di negara-nagara yang telah
maju. Pada tahun 1950, negara-negara yang sedang berkembang (Asia,
Afrika dan Amerika Latin), 40% atau lebih dari total penduduknya
berumur di bawah 15 tahun. Dengan adanya tingkat kelahiran yang tinggi
dan tingakt perkembangan penduduk yang cepat di negara-negara sedang
berkembang, maka negara-negara itu akan selalu memiliki struktur
penduduk yang sebagian besar adalah usia muda. Sehubungan dengan
struktur umur penduduk kita kenal konsep “angka beban tanggungan”
(dependency ratio) yang menyatakan perbandingan antara banyaknya
orang tidak produktif (penduduk umur di bawah 15 tahun dan di atas 65
tahun) dan orang yang produktif (penduduk umur 15 – 65). Umumnya
negara sedang berkembang memiliki angka beban tanggungan yang tinggi
karena besarnya jumlah penduduk usia muda. Proporsi yang besar dari
penduduk usia muda ini tidak menguntungkan bagi pembangunan
ekonomi, karena:
a. Penduduk golongan usia muda, cenderung untuk memperkecil angka
penghasilan per kapita dan mereka semua merupakan konsumen dan
bukan sebagai produsen dalam perekonomian tersebut.
b. Adanya golongan penduduk usia muda yang besar jumlahnya di suatu
negara akan mengakibatkan alokasi faktor-faktor produksi ke arah
“investasi-investasi sosial” dan bukan ke “investasi-investasi kapital”.
Oleh karena itu paling tidak ia akan menunda perkembangan ekonomi.
3. Distribusi Penduduk yang Tidak Seimbang
Tingkat urbanisasi yang tinggi pada umumnya telah dihubungkan
dengan daerah-daerah yang secara ekonomis telah maju dan berrsifat
industri. Tingkat urbanisasi ini mempunyai pengaruh dan akibat-akibat
yang berbeda di negara-negara yang sudah maju bila dibandingkan dengan
dinegara-negara yang seadng berkembang. Di negara-negara yang sudah
maju hanya sebagian kecil penduduk yang bekerja di sektor pertanian.
Urbanisasi biasanya terjadi karena adanya tingkat upah yang lebih menarik
di sektor industri (di kota) daripada tingkat upah di desa (sektor pertanian).
Untuk negara sedang berkembang, hal ini dapat mengakibatkan
adanya ketidakseimbangan perkembangan ekonomi anar sektor pertanian
dan sektor industri, yaitu bila urbanisasi terus terjadi sampai kekurangan
tenaga kerja muncul sebagai masalah di sektor pertanian. Dengan
demikian maka sektor pertanian tidak cukup dapat menyediakan barangbarang
ataupun jasa-jasa yang dibutuhkan oleh sektor industri. Akibatnya
perkembangan akan tergantung dari sektor perdagangan internasional.
Keinginan untuk mencapai perkembangan yang seimbang antara dua
sektor itu juga merupakan masalah yang tidak mudah diatasi, karena
adanya keharusan dalam membagi jumlah tabungan yang terbatas, di
antara investasi sosial dan investasi kapital yang produktif.
4. Kualitas Tenaga Kerja yang Rendah
Rendahnya kualitas penduduk juga merupakan penghalang
pembangunan ekonomi suatu negara. Ini disebabkan karena rendahnya
tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanya
perkembangan ekonomi, terutama industri, jelas sekali dibutuhkan lebih
banyak tenaga kerja yang mempunyai skill atau paling tidak dapat
membaca dan menulis. Dengan kata lain pendidikan merupakan faktor
penting bagi berhasilnya pembangunan ekonomi. Bahkan menurut
Schumaker pendidikan merupakan sumber daya yang terbesar manfaatnya
disbanding faktor-faktor produksi lain.
Ledakan Penduduk
Dari banyak penelitian kita mengetahui bahwa faktor utama yang
menentukan perkembangan penduduk adalah tingkat kematian, tingkat
kelahiran dan tingkat perpindahan penduduk (migrasi). Dua faktor pertama
yang sangat besar peranannya dalam mempengaruhi laju pertumbuhan
penduduk.
1. Tingkat Kematian (Death Rate)
Ada empat faktor yang menyumbang terhadap penurunan angka kematian
pada umumnya:
a). Adanya kenaikan standar hidup sebagai akibat kemajuan teknologi dan
meningkatnya produktivitas tenaga kerja serta tercapainya perdamaian
dunia yang cukup lama.
b). Adanya perbaikkan pemeliharaan kesehatan umum (kesehatan
masyarakat), maupun kesehatan individu.
c). Adanya kemajuan dalam bidang ilmu kedokteran serta diperkenalkannya
lembaga-lembaga kesehatan umum yang modern, sehingga dapat
mengurangi jumlah orang yang terserang penyakit.
d). Meningkatnya penghasilan riil per kapita, sehingga orang mampu
membiayai hidupnya dan bebas dari kelaparan dan penyakit, dan
selanjutnya dapat hidup dengan sehat.
2. Tingkat Kelahiran (Birth Rate)
Di negara-negara industri pertumbuhan penduduk berlangsung terus di
samping adanya penurunan tingkat kelahiran; misalnya di perancis, Amerika
Serikat dan inggris, tingkat kelahiran terus menurun sejak abad kesembilan
belas sampai awal abad ini. Hanya setelah perang dunia ke-II, tingkat
kelahiran meningkat dan mempercepat tingkat pertambahan penduduk.
Tingkat kelahiran lebih dihubungkan dengan perkembangan ekonomi
melalui pola-pola kebudayaan seperti: umur perkawinan, status wanitanya,
kedudukan antara rural dan urban serta sifat-sifat dari sistemfamili yang ada.
Di negara-negara yang sudah maju, terutama di negara-negara barat,
penurunan tingkat kematian sungguh-sungguh telah diikuti oleh suatu
penurunan tingakt kelahiran pula.
3. Migrasi
Migrasi mempunyai peranan juga dalam menentukan tingkat pertumbuhan
penduduk. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan penduduk tidak dapat
diperhitungkan hanya dari tingkat kelahiran dan tingkat kematian saja.
Bagi negara-negara sedang berkembang migarasi tidaklah berarti dalam
peningkatan jumlah penduduk ataupun dalam pengurangan jumlah
penduduk. Pemindahan penduduk ke luar negeri dari negara-negara yang
sedang berkembang tidaklah mungkin dapat terlaksana lagi guna
mengurangi kepadatan penduduknya. Hal ini disebabkan banyak negara
seperti Australia, Rhodesia dan Suriname tidak bersedia menerima
poerpindahan dari negara-negara sedang berkembang yang padat
penduduknya, dengan alasan kesulitan-kesulitan integrasi sosial dan
rendahnya tingkat skill di negara-negara yang mengalami tekanan penduduk
tersebut.
Akibatnya dengan penurunan tingakt kematian yang cepat dan tetap
tingginya tingkat kelahiran dan kurang efektifitas migrasi, maka
pertumbuhan penduduk akan nampak sangat cepat dan mengakibatkan
terjadinya ledakan penduduk di negara-negara sedang berkembang.
Pemecahan Masalah Kependudukan
Dari pembicaraan mengenai ledakan penduduk yang terjadi di negaranegara
sedang berkembang, dapatlah kita menyimpulkan bahwa masalah
penduduk merupakan masalah yang sangat sukar untuk diatasi. Sebenarnya kita
dapat menerapkan suatu kebijaksanaan dari sudut tingkat kematian untuk
mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk, yaitu dengan mencegah penurunan
tingkat kematian; atau dengan kata lain meningkatkan adanya kematian. Tetapi
tindakan ini jelas bertentangan dengan hati nurani manusia yang pada
umumnya ingin hidup lama di dunia. Cara lain yaitu dengan mengurangi
kepadatan penduduk di negara-negara sedang berkembang, tetapi karena
rendahnya tingakat skill dan adanya politik restriksi, maka hal ini sulit sekali
dilaksanakan. Oleh karena itu policy/kebijaksanaan terakhir yang nampaknya
akan dapat ditempuh dengan mempenagruhi tingkat kelahiran yang mana cara
ini sudah kelihatan diterima sebagai cara yang layak di negara-negara sedang
berkembang. Program keluarga berencana sudah banyak dilaksanakan oleh
sebagian besar negara-negara sedang berkembang.
Walaupun program keluaraga berencana telah diterima oleh hampir semua
negara yang sedang berkembang, tetapi belum semua penduduk atau semua
orang yang tinggal di negara-negara itu bersedia melaksanakan program
tersebut. Keadaan ini di sebabkan oleh beberapa hal:
1. Adanya kemelaratan dan buta huruf di negara-negara sedang berkembang,
bersama-sama dengan organisasi sosial yang masih bersifat tradisional,
bertindak sebagai penghambat pelaksanaan keluarga berencana tersebut
sekali mengenai pencegahan kehamilan.
2. Perkembangan ilmu obat-obatan dan ilmu kesehatan masih melupakan
faktor-faktor psychology dari orang-oarng yang akan menjadi akseptor.
Ilmu-ilmu tersebut belum dapat menciptakan alat pengontrol kehamilan
yang sungguh-sungguh dapat diterima dan dapat dipakai dengan baik
sehingga dapat mengurangi masalah di negara-negara sedang berkembang.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah dapat menyediakan metode kontrasetip
yang baru dan pemerintah nasional mendorong penduduk untuk memakainya
bukan merupakan masalah yang begitu sulit. Yang sulit adalah agar
pengendalian kelahiran/kehamilan itu dapat diterima oleh semua golongan.
B. PENGANGGURAN
Pengangguran merupakan masalah pokok dalam suatu masyarakat
modern. Jika tingkat pengangguran tinggi, sumber daya terbuang percuma dan
tingkat pendapatan masyarakat merosot. Dalam situasi seperti ini kelesuan
ekonomi akan berpengaruh pula pada emosi masyarakat dan kehidupan
keluarga sehari-hari. Di negara-negara sedang berkembang pengangguran dapat
digolongkan ke dalam 3 jenis yaitu:
Pengangguran yang kelihatan (visible underemployment)
Visible underemployment akan timbul apabila jumlah waktu kerja yang
sungguh-sungguh digunakan lebih sedikit daripada waktu kerja yang
sanggup/disediakan untuk bekerja. Tegasnya, ini merupakan suatu
pengangguran. Meskipun beberapa dari pengangguran itu terdapat di sektorsektor
kerajinan dan industri-industri sedang amupun besar, namun cukup
penting bagi negara-negara sedang berkembang karena adanya sifat-sifat khas
kegiatan sektor pertanian.
Pengangguran tak kentara (invisible underemployment)
pengangguran tak kentara terjadi apabila para pekerja telah menggunakan
waktu kerjanya secara penuh dalam suatu pekerjaan dapat ditarik (setelah ada
perubahan-perubahan sederhana dalam organisasi atau metode produksi tetapi
tanpa suatu tambahan yang besar) ke sektor-sektor/pekerjaan lain tanpa
mengurangi output.
Pengangguran potensial (potensial underemployment)
Pengangguran potensial merupakan suatu perluasan daripada disguised
unemployment, dalam arti bahwa para pekerja dalam suatu sektor dapat ditarik
dari sektor tersebut tanpa mengurangi output; hanya harus dibarengi dengan
perubahan-perubahan fundamental dalam metode-metode produksi yang
memerlukan pembentukan kapital yang berarti.
Memanfaatkan Tenaga-Tenaga yang Menganggur
Tenaga-tenaga yang menganggur merupakaan persediaan faktor produksi
yang dapat dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lain untuk
meningkatkan output di negara-negara sedang berkembang. Persediaan tenaga
kerja ini jelas lebih banyak terdapat di daerah-daerah yang padat penduduknya.
Masalah pemanfaatan tenaga menganggur ini menyangkut baik segi penawaran
maupun segi permintaan. Untuk memperluas permintaan akan tenaga kerja
diperlukan adanya pengorganisasian tenaga kerja seperti halnya dengan kapital.
Pembangunan masyarakat desa mungkin merupakan jalan yang baik, karena
hanya diperlukan kapital yang relatif tidak besar. Suatu keuntungan
penggunaan tenaga-tenaga yang menganggur secara musiman yakni tidak
mengurangi tenaga-tenaga yang diperluka untuk mengadakan panenan maupun
penanaman. Industri-industri kecil juga mungkin sekali akan menyerap tenagatenaga
yang menganggur karena musim atau memang secara kronis.
Masalah perluasan penawaran tenaga kerja menimbulkan akibat-akibat
yang lebih luas lagi. Seperti dinyatakan oleh Profesor Leibenstein, kemampuan
untuk menghasilkan lebih banyak tergantung pada kalori yang dimiliki oleh
tenaga kerja itu. Sehingga tidak begitu mudah nampaknya untuk menarik
tenaga kerja dari sektor pertanian yang kemudian ini akan diikuti oleh
penarikan bahan makanan dari sektor pertanian pula seperti dikemukakan oleh
Profesor Ragnar Nurkse. Ketidaksempurnaan pasar dapat menghambat alokasi
sumber-sumber/faktor-faktor produksi secara lebih efisien, jika dalam
masyarakat itu terdapat suatu susnan sosial yang kaku, kurang adanya
spesialisasi, adanya ketidakstabilan faktor-faktor produksi. Masalah-masalah
ini dapat diatasi dengan suatu perancangan dan pengelolaan yang baik, serta
diadakan survey yang mendalam mengenai kemungkinan-kemungkinan
investasi baru yang nantinya akan dapat mengubah sifat-sifat sosial dan
kebudayaan.
Dampak Ekonomis
Masyarakat sangatlah mendambakan tersedianya banyak lapangan
pekerjaan karena keadaan seperti ini berarti dapat dihasilkannya output yang
tinggi dan diperolehnya pendapatan yang tinggi pula. Di samping itu, banyak
kelompok masyarakat yang menganggap bekerja itu mempunyai nilai
tersensiri. Jika angka penganggguran tinggi, maka akan banyak output yang
hilang, pendapatan menurun, dan mmasyarakat menderita batin karena
hilangnya rasa harga diri. Pentingnaya masalah pengangguran tenaga kerja
(kesempatan kerja) dari segi ekonomi dan kerugian besar yang diakibatkan oleh
pengangguran merupakan segi-segi masalah yang ditinjau dalam analisis siklus
ekonomi.
Pengukuran Tingkat Pengangguran
Data mengenai jumlah orang yang bekerja dan orang yang menganggur
merupakan salah satu jenis data yang dirancang secara cermat dan data
ekonomi yang sangat kmprehensif. Data tersebut dikumpulkan setiap bulan
dengan menggunakan prosedur yang disebut sample acak (random samplingi)
dari seluruh populasi. Setiap bulan dilakukan Tanya jawab terhadap sekitar
60.000 rumah tangga terutama mengenai jenis pekerjaan yang mereka miliki.
Survey tersebut membagi penduduk yang berumur 16 atau lebih ke dalam
tiga kelompok, yaitu:
· Bekerja (employed). Dalam kelompok ini adalah orang-orang yang
melakukan jenis pekerjaan apa saja yang menghasilkan uang, termasuk di
dalamnya orang-orang yang mempunyai pekerjaan akan tetapi sedang tidak
bekerja karena sakit, melakukan pemogokan, atau sedang berlibur.
· Menganggur (unemployed). Dalam kelompok ini termasuk orang-orang
yang tidak bekerja akan tetapi secara aktif sedang mencari pekerjaan atau
orang-orang yang sedang menunggu untuk kembali bekerja. Lebih tepat
lagi, seseorang disebut menganggur jika ia tidak bekerja dan (a) telah
melakukan upaya-upaya tertentu untuk mendapatkan pekerjaan selama 4
minggu terakhir, (b) diberhentikan untuk sementara dan sedang menunggu
untuk dipanggil kembali bekerja, atau (c) sedang menunggu untuk
melaporkan diri siap bekerja bulan depan. Orang yang tergolong bekerja
atau menganggur dikelompokkan ke dalam angkatan kerja (labor force).
· Tidak termasuk angkatan kerja. Di dalamnya termasuk 34 persen dari
penduduk dewasa yang sedang sekolah, ibu rumah tangga, pensiunan, tidak
mampu bekerja, atau semata-mata tidak bermaksud untuk mencari kerja.
Definisi Pemerintah Mengenai Pengangguran
Orang-orang yang punya pekerjaan adalah tergolong bekerja; orang-orang yang
tidak mempunyai pekerjaan akan tetapi sedang dalam usaha mencari pekerjaan
tergolong pengangguran; orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetapi
tidak bermaksud untuk mecari pekerjaan tidak dimasukkan dalam kelompok
angkatan kerja. Tingkat pengangguran dihitung dari jumlah orang yang
menganggur dibagi dengan seluruh angkatan kerja.
Penangangguran Ditinjau dari Interpretasi Ekonomi
Sekarang kita beralih dari cara pemerintah menghitung banyaknya
pengangguran ke analisis ekonominya. Untuk menganalisis dan mengenal lebih
jauh struktur pasar tenaga kerja jaman sekarang ini, para ahli ekonomi telah
membagi tiga jenis pengangguran, yaitu: friksional, struktural, dan siklis.
Pengangguran friksional terjadi karena berpindahnya orang-orang dari satu
daerah ke daerah lain, dan dari satu jenis pekerjaan ke pekerjaan lain atau
melalui berbagai tingkat siklus kehidupan yang berbeda. Bahkan jika suatu
perekonomian berada pada tingkat di mana tidak ada pengangguran pun (full
employment), akan selalu terjadi perputaran (turnover) karena adanya orangorang
yang baru saja menyelesaikan sekolahnya dan mencari pekerjaan, atau
karena perpindahan dari satu kota ke kota lain. Para wanita kemungkinan akan
masuk kembali ke barisan pencari kerja setelah mereka melahirkan anak-anak.
Karean mereka yang tergolong ke dalam pengangguran friksional ini sering
berpindah dari satu tempat pekerjaan ke pekerjaan lain, atau mencari tempat
kerja yang lebih baik, maka mereka ini sering dianggap sebagai penganggur
“sukarela”.
Penganguran struktural menunjukkan terjadinya ketidaksesuain antara
penawaran dan permintaan tenaga kerja. Ketidaksesuaian ini terjadi karena
permintaan atas satu jenis pekerjaan bertambah sementara pemintaan atas jenis
pekerjaan lain menurun, dan penawaran tidak dapat melakukan penyesuaian
dengan cepat atas situasi tersebut. Kita sering melihat ketidakseimbangan
struktural antara berbagai jenis pekerjaan ataupun daerah, di mana sektorsektor
tertentu bertumbuh sementara yang lain mengalami penurunan.
Pengangguran siklis terjadi apabila permintaan tenaga kerja secar
keseluruhan rendah. Apabila total pembelanjaan dan output menurun, maka
pengangguran akn meningkat dengan segera di segala bidang. Dalam masa
resesi tahun 1982, tingkat pengangguran meningkat di 48 dari 50 negara
bagian. Kenaikan tingkat pengangguran ini telah memberikan pertanda bahwa
pengangguran ini sebagian besar bersifat siklis.
Perbedaan antara penganguran siklis dengan jenis pengangguran lainnya
membantu para ahli ekonomi untuk melakukan diagnosa terhadap tingkat
kesehatan pasar tenaga kerja. Tingkat penganguran friksional dan struktural
dapat terjadi meskipun pasar tenaga kerja secara keseluruhan berada dalam
tingkat keseimbangan, misalnya ketiak tingkat pertuakaran (turnover) sangat
tinggi, atau ketika ketidakseimbangan geografis sangat besar. Pengangguran
siklis terjadi apabila jumlah kesempatan kerja menurun sebagai akibat dari
terjadinya ketidakseimbangan antara penawaran agregat dan permintaan
agregat.
Pengangguran Ditinjau dari Sudut Teori Ekonomi Mikro
Tidak ada topik yang menimbulkan kontroversi tajam di kalangan para
ahli ekonomi selain pembahasan mengenai sebaba-sebab terjadinya
pengangguran dalam perekonomian pasar. Ilmu ekonomi mengajarkan bahwa
harga selalu naik atau turun untuk menyeimbangkan pasar kompetitif. Pada
tingkat harga yang telah ditetapkan oleh pasar, para pembeli akan mau membeli
apa yang mau dijual oleh para penjual.
Para ahli ekonomi berpaling ke teori mikro ekonomi untuk mencoba
memahami eksistensi pengangguran ini. Meskipun sampai saat ini belum
ditemukan satu teori yang diterima secara umum, akan tetapi banyak analisis
sseolah-olah bermuara ke satu pendapat bahwa pengangguran itu terjadi karena
tingkat upah tidak cukup fleksibel untuk menyeimbangkan pasar. Berikut ini
kita akn menelaah secara mendalam mengapa tingakat upah bersifat tidak
fleksibel(bersifat kaku) dan mengapa terjadi pengangguran yang tidak
dikehendaki. Kita mengawali analisis terhadap dasar-dasar mikroekonomi dari
teori pengangguran itu dengan melihat satu jenis pasar tenaga kerja tertentu.
Pengangguran sukarela. Adanya pengangguran sukarela ini menguakkan
satu konsep yang sangat penting mengenai penganggura. Satu pereokonomian
mungkin saja berada pada efisiensi puncak meskipunia menciptakan sejumlah
penganggura tertentu. Para pencari kerja yang menganggur secara sukarela
kemungkinan memang memilih untuk menikmati hidup denagn bersenangsenang,
atau melakukan kegiatan lain daripada bekerja dengan tingkat upah
yang berlaku dipasar. Atau mereka mungkin juga tergolong para pekerja yang
tingkat produktivitasnya rendah, yang lebih memilih untuk bersenangsenangdan
bermalas-malasan daripada bekerja dengan tingkat upah yang
berlaku. Ada sejumlah alasan yang tidak terhitung banyaknya mengapa orangorang
memilih secara sukarela untuk tidak bekerja pada tingkat upah yang
berlaku, akan tetapi sebagian dari orang-orang seperti ini akan secara resmi
dihitung sebagai orang yang sedang menganggur.
Perlu kiranya dicatat di sini bahwa pengangguran sukarela ini
kemungkinan akan efisien secara ekonomis, meskipun secara filsuf atau politisi
kemungkianan menyayangkan kenyataan dimana orang-orang tidak dapat
memperoleh pekerjaan yang mempunyai bayaran tinggi. Sama halnya sepertii
sebuah pabrik membutuhkan suku cadang apabila satu bagian penting dari
mesin mereka rusak, kemungkinan suatu perekonomian pun membutuhkan
juga suku cadang, yaitu para pekerja yang menganggur, yang mau langsung
bekerja apabila terdapat kebutuhan akan tenaga kerja secara mendadak.
Keadaan ini melukiskan mengapa perekonomian modern yang kompleks, yang
bekerja pada tingkat produktifitas puncak, dapat menimbulkan pengangguran.
Pengangguran terpaksa. Untuk memahami pengangguran siklis kita perlu
membangun suatu teri pengangguran terpaksa. Hasil pemikiran Keynes yang
amat cemerlang dibidang ini adalah berupa pendapat yang membiarkan fakta\-
fakta mencorongsatu teori yang indah tetapi tidak relevan. Ia menjelaskan
mengapa kita kadang-kadang melihat pengangguran terpaksa, yaitu periode di
mana para pekerja yang memenuhi kualifikasi tidak mampu untuk
mendapatkan pekerjaan dengan tarif gaji yang berlaku.
Sumber-sumber kekakuan. Teori pengangguran terpaksa mengandaikan
bahwa upah sama sekali tidak fleksibel (kaku). Satu hal yang sangat membantu
analisis ini adalah perbedaan antara pasar lelang (auction market) dan pasar
yang diatur (administered market). Pasar lelang itu merupakan satu pasar yang
sanagt terorganisir dan kompetitif dimana harga-harga naik atau turun untuk
menyeimbangkan penawaran dan permintaan.
Untuk pasar tenaga kerja yang berada dibawah pengaruh serikat buruh,
pola gaji dan upah jauh lebih kaku lagi,. Tingkat upah biasanya ditetapkan
untuk masa kontrak tiga tahun; di mana selama periode tersebut tingkat upah
tidak akan disesuaikan, walaupun terjadi kelebihan penawaran maupun
permintaan dalam jenis pekerjaan tertentu.
Teori kekakuan upah serta pengangguran terpaksa menyatakan bahwa
penyesuaian upah yang amat lamban menimbulkan terjadinya kelebihan dan
kekurangan dalam masing-masing pasar tenaga kerja. Akan tetapi, secara
perlahan-lahan pasar tenaga kerja akan memberikan reaksi terhadap kondisi
pasar; gaji untuk jenis pekerjaan yang permintaannya sangat tinggi secara
relatif meningkat lebih cepat dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang amat
sedikit peminatnya. Oleh karena itu, dalam jangaka pendek, pasar tenaga kerja
amat mirip dengan pasar tenaga kerja yang tidak seimbang (non-clearing).
Masalah-masalah yang Berkaitan dengan Pasar Tenaga Kerja
Orang-orang yang berumur belasan tahun pada umunya mempunyai
tingkat pengangguran yang paling tinggi dari seluruh kelompok demografis
yang ada. Orang-orang kulit hitam yang berumur belasan tahun dalam tahuntahun
terakhir ini mempunyai tingkat pengangguran antara 30 sampai 50
persen.
Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa, terutama untuk golongan kulit
putih, komponen terbesar dari pengangguran yang berumur belasan tahun
merupakan pengangguran friksional. Mereka masuk dan keluar dari angkatan
kerja dan frekwensi yang amat tinggi. Mereka cepat memperoleh pekerjaan dan
seringkali berpindah kerja. Rata-rata lamanya mereka menganggur hanya
setengah dari golonagn dewasa; sebaliknya, rata-rata lamanya satu jenis
pekerjaan adalah 12 kali lebih besar untuk orang-oarang dewasa dibandingkan
dengan mereka yang masih berumur belasan tahun. Dalam tahun-tahun
terakhir, setengah dari orang yang berumur belasan tahun yang menganggur
merupakan “pendatang baru” yang belum pernah bekerja sebelumnya. Semua
faktor ini mengungkapkan bahwa penganggur yang berumur belasan tahun ini
sebagian besar bersifat friksional; Hal ini berarti bahwa pencarian kerja dan
perputaran kerja diperlukan oleh orang-orang muda untuk menyalurkan bakat
mereka, serta untuk memperoleh berbagai pengalaman.
20
KESIMPULAN
A. Penduduk
Salah satu perintang pembangnan ekonomi dinegara-negara yang sedang
berkembang dan sekaligus merupakan cirri negara-negara tersebut adalah adanya
ledakan penduduk. Ada 4 aspek penduduk yang perlu diperhatikan di negaranegara
sedang berkembang, yaitu :
Adanya tingkat perkembangan penduduk yang relatif tinggi.
Adanya struktur umur yang tidak favorable.
Tidak adanya distribusi penduduk yang seimbang.
Tidak adanya tenaga kerja yang terdidik dan terlatih.
Produktifitas dinegara-negara sedang berkembang adalah rendah sehingga
mengakibatkan rendahnya produksi juga. Karena sebagian besar penduduk
tinggal di desa dan hidupnya sebagian besar berasal dari sector pertanian yang
didapatnya akan dikonsumir seluruhnya. Negara-negara berkembang mempunyai
tingkat kelahiran yang tinggi dan tingkat kematian yang rendah, hal ini
mengakibatkan adanya segolongan besar usia muda lebih besar proporsinya
daripada golongan penduduk usia muda.
B. Pengangguran
Para ahli ekonomi menggolongkan pengangguran ke dalam tiga kelompok,
yaitu: (a) pengangguran friksional, yaitu para pekerja yang berada di antara satu
pekerjaan dan pekerjaan lain; (b) pengangguran struktural, yaitu para pekerja yang
berada di kawasan-kawasan atau industri-industri yang sedang berada dalam
21
keadaan payah karena harga produk-produknya anjlok, dan (c) pengangguran
siklis, yaitu para pekerja yang di PHK apabila perekonomian secara keseluruhan
mengalami aktivitas yang menurun.
Tinjauan yang mendalam atas angka-angka statistik pengangguran
mengungkapkan beberapa keteraturan, seperti:
(a) Resesi selalu menimpa semua golongan dalam bentunya yang proporsional,
yaitu semua kelompok menaglami tingkat pengangguran naik dan turun dalam
proporsi yang sama dengan tingkat pengangguran dengan secara keseluruhan.
(b) Bagian yang paling besar dari pengangguran adalah bersifat jangak pendek.
Pada tahun-tahun dimana tingkat pengangguran sangat rendah (seperti tahun
1973) lebih dari 90 persen pekerja yang menganggur hanya mengalami
pengangguran selama kurang dari 26 minggu. Lamanya menganggur rata-rata
meningkat sangat tajam dalam resesi yang berat dan berkepanjangan.
(c) Hampir disemua situasi, jumlah yang paling besar dari pengangguran
dikarenakan oleh terjadinya perputaran (turnover), atas kasus-kasus friksional
di mana orang-orang memasuki angkatan kerja untuk pertama kali atau masuk
kembali ke angkatan kerja. Hanya selama masa resesi saja sebagian besar dari
penganggur tersebut orang-orang yang kehilangan pekerjaan.
ABSTRAK
A. Penduduk
Penduduk dinegara-negara sedang berkembang mempunyai tingkat
kelahiran yang tinggi dan mempunyai tingkat kematian yang rendah, sehingga
mengakibatkan adanya ledakan penduduk. Sedangkan produktivitas penduduk
dinegara-negara sedang berkembang adalah rendah sehingga mengakibatkan
rendahnya produksi pula. Karena sebagian besar peduduk tinggal di desa dan
hidupnya sebagian besar berasal dari sektor pertanian, maka hampir semua
penghasilan yang didapatnya akan dikonsumir seluruhnya. Dari banyak penelitian
bahwa faktor utama yang menentukan perkembangan penduduk adalah tingkat
kematian, tingkat kelahiran dan tingkat perpindahan penduduk (migrasi). Dua
faktor pertama yang sanagt besar peranannya dalam mempengaruhi laju
pertumbuhan penduduk.
B. Pengangguran
Dalam masalah pengangguran terdapat dua tafsiran yang berbeda. Menurut
pihak yang memandang upah fleksibel, orang menganggur karena ia memilih
untuk tidak bekerja dengan tarif yang sedang berlaku. Dalam hal ini, pekerja yang
menganggur lebih memilih pada kenikmatan atau kegiatan-kegiatan bukan-pasar
dari pada bekerja dengan tingkat upah yang berlaku.
Tafsiran yang lain adalah pandangan bahwa pengangguran merupakan
akibat dari tingkat upah yang kaku, tidak fleksibel, atau dari mekanisme pasar
yang tidak pernah bertemu. Pada tingkat upah yang tinggi, sebagian pekerja
memperoleh pekerjaan, tetapi yang alin tidak, walaupu kelompok kedua ini ingin
bekerja denagn tingkat upah tersebut. Pengangguran terpaksa ini jga tidak efisien,
dalam arti bahwa keadaan pekerja dan perusahaan masing-masing bias menjadi
lebih baik dengan jalan mengadakan perundingan kembali mengenai kontraknya.

Sabtu, 03 April 2010

REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Revolusi sains sebagai epesode perkembangan nonkomulatif yang di dalamnya paradigma yang lama di gantikan seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang tidak dapat didamaiakan dengan paradigma sebelumnya. Revolusi politik di bawa oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang sering terbatas pada suatu segmen dari masyarakat politik, bahwa lembaga-lembaga yang
tidak lagi memadai untuk menghadapi masalah-masalah yang di kemukakan oleh 
lingkungan yang sebagian di ciptakan oleh lembaga-lembaga itu. Revolusi sains di bawa oleh kesadaran yang semakin tumbuh yang sering terbatas pada subdevisi yang sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam eksplorasi suatu aspek dari alam. Perkembangan politik maupun sains, kesadaran akan adanya fungsi yang dapat menyebabkan krisis merupakan prasyarat bagi revolusi.
Revolusi politik bertujuan mengubah lembaga-lembaga politik itu
sendiri. oleh sebab itu, keberhasilannya memerlukan pelepasan sebagian dari
perangkat lembaga untuk di ganti oleh yang lain, dan masyarakat tidak
sepenuhnya di perintah oleh lembaga tersebut. Mula-mula hanya krisis yang
mengurangi lembaga politik, seperti menurunnya peran paradigma. Hal ini
bertujuan berdemonstrasikan bahwa study historis tentang perubahan paradigma
menyingkap karakteristik yang mirip dalam evolusi sains. Seperti pemulihan
diantara lembaga-lembaga politik yang berkompetisi, pemilihan diantara
pemerintah paradigma yang bersaingan ternyata merupakan pemilihan diantara
modus-modus kehidupan masyarakat yang bertentangan. Karena yang memiliki
karakter itu, pemilihannya tidak dapat di tentukan dengan prosedur evaluatif yang
menjadi karakteristik yang normal, sebab tergantung pada paradigma tertentu dan
paradigma itu sedang di permasalahkan sebagaimana mestinya. Masuk pada debat
paradigma, maka perannya perlu sekuler untuk membela paradigma itu,
sekuleritas yang dilibatkan itu menyebabkan argumen-argumen salah bahkan
tidak berpengaruh.
Revolusi ilmu pengetahuan merupakan suatu revolusi yang menandakan
bengkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa mengenai cara bepikir keilmiahan.
Revolusi ilmu pengetahuan adalah sebuah revolusi mengenai perubahan cara
berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi dirinya.
Perubahan persepsi manusia tersebut adalah perubahan dari cara berpikir yang
ontologis ke cara berpikir matematis mekanistis. Pada abad pertengahan
diberlakukan hukum agama bagi segala-galanya, termasuk kegiatan ilmu
pengetahuan. Saat abad Renaissance manusia tidak lagi menjadi citra tuhan, tetapi
manusia juga memiliki rasio atau kesadaran manusia serta kreativitas keinginan
untuk maju, memperbaiki kebudayaan manusia. Pengetahuan dilandaskan
rasionalitas dan empiristis yang berkembang pesat dengan pendekatan matematis
yang diterapkan dalam kajiannya.
Cara berpikir mekanistis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang
dipelopori oleh Newton menjadi semacam gaya para intelektual untuk membuat
analisis dalam penelitiannya. Pendekatan yang bersifat kausalitas yang didukung
dengan percobaan atau eksperimen melalui usaha uji coba model tiruan dari objek
yang sesungguhnya membuat para peneliti dapat mengembangkan penelitiannya
dengan lebih sempurna.
Salah satu pemikir atau ilmuwan yang memberikan kontribusi besar
dalam revolusi ilmiah adalah Thomas Samual Kuhn, seorang tokoh yang lahir di
Cincinnati, Ohio. Munculnya buku beliau yang berjudul ”The Structure of
Scientific Revolutions” banyak mengubah persepsi orang tentang apa yang
dinamakan ilmu. Jika sebagian orang mengatakan pergerakan ilmu itu linierakumulatif,
maka Thomas Kuhn mengatakan, ilmu bergerak melalui tahapantahapan
yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian krisis karena
telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru.2
Thomas Kuhn, mula-mula sebagai seorang ahli fisika yang dalam
perkembangannya mendalami sejarah ilmu dan filsafat ilmu. Beliau lebih
mengutamakan sejarah ilmu sebagai titik awal segala penyelidikannya. Filsafat
ilmu diharapkan bisa semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah yang
sesungguhnya. Begitu urgensinya sejarah ilmu ini dalam membuktikan teori-teori
atau sistem, dapat menghantarkan kemajuan revolusi-revolusi ilmiah. 
 
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi),
paradigma epistemologi positivistik telah mengakar kuat selama berpuluh-puluh
tahun, hingga akhirnya setelah sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini muncul
perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan sebagai bentuk upaya
pendobrakan atas teori-teori yang lama. Pendobrakan atas filsafat ilmu
pengetahuan positivistik ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti: Thomas Kuhn,
Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter, Stephen Toulmin, serta Imre
Lakatos.4 Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan modelmodel
terdahulu adalah adanya perhatian besar terhadap sejarah ilmu dan peranan
ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengonstruksikan bentuk ilmu pengetahuan
dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Thomas Kuhn sendiri dengan
latar belakang orang fisika mencoba memberikan wacana tentang sejarah ilmu ini
sebagai starting point dan kacamata utama dalam menyoroti permasalahanpermasalahan
fundamental dalam epistemologi yang selama ini masih menjadi
teka-teki. Dengan kejernihan dan kecerdasan pikirannya, ia menegaskan bahwa
sains pada dasarnya lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang
menyertainya.
Sementara itu dalam kajian hukum Islam kontemporer telah lahir gerakan
untuk mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk
mengembangkan hukum Islam yaitu gerakan yang muncul untuk menetapkan
ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru
yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dari uraian diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini
adalah :
1. Bagaimana pokok-pokok pikiran Thomas Kuhn dalam revolusi ilmiahnya?
2. Apa relevansi pemikiran Thomas Kuhn terhadap pemikir muslim dalam
pembaharuan Hukum Islam?

KERANGKA TEORI

Socrates (470 – 399 SM) mengembangkan pemikiran membela yang
benar dan baik sebagai nilai-nilai obyektif yang harus diterima dan dijunjung
tinggi oleh semua orang.
Ciri dunia modern ialah adanya hubungan timbal balik positif antara ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan mempercepat
kemajuan teknologi dan demikian pula sebaliknya. Sebagai akibatnya kedua
institusi itu berkembang dan tumbuh lebih cepat dari institusi-institusi sosial
lainnya, sehingga sering terjadi kesenjangan budaya yang juga diikuti oleh
sejumlah ketegangan-ketegangan sosial dan psikologis. Kesenjangan dan ketegangan itu disatu sisi karena keterlambatan manusia dalam mengantisipasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan disisi lain karena keterlambatan manusia
dalam menghadapi tantangan serta tuntutan sebagai akibat dari kemajuan
teknologi.
Seorang filsuf sekaligus negarawan Perancis, Andre Malraux,
meramalkan bahwa abad ke 21 adalah abad agama. Manusia tidak akan servive
diabad itu, apabila nilai-nilai agama tidak diaktualisasikan kembali. Ada beberapa
fakta penting yang akan mempengaruhi dan membentuk manusia masa depan
yang berkembang dalam proses sejarah kehidupan atau pergulatan hidup manusia
di dunia.
Seorang ahli study keislaman, Ibrahim Moosa, mengisyaratkan perlunya
integrasi keilmuan, beliau menyatakan :
”Setelah mengangkat permasalahan hubungan internasional, politik, dan ekonomi,
tidaklah berarti para ahli agama secara serta merta harus menjadi ahli ekonomi
atau ahli politik. Namun demikian study agama akan sungguh-sungguh menderita,
jika pandangan dan analisis-analisisnya tidak memahami, mempertimbangkan
atau menyertakan sama sekali bagaimana sesungguhnya diskursus tentang politik,
ekonomi dan budaya punya pengaruh yang luar biasa terhadap tampilan agama
dan begitu pula sebaliknya”.
Para ilmuwan pendukung budaya keilmuan yang bersumber pada teks
(hadlarah al-nash) tidak menyadari dan tidak mau peduli bahwa diluar entitas
keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yang bersifat praktis aplikatif yang
faktual-historis-empiris sehingga bersentuhan secara langsung dengan realitas
problem kemanusiaan (hadlarah al-’ilm) seperti social scienes, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlarah al-’ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis
(hadlarah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak
berdiri sendiri, karena tidak ada satu disiplin keilmuan yang tidak terkait dengan
disiplin keilmuan lainnya.

REVOLUSI SAINS MENURUT THOMAS KUHN

Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) menulis panjang lebar tentang sejarah
ilmu pengetahuan, dan mengembangkan beberapa gagasan penting dalam filsafat
ilmu pengetahuan. Ia sangat terkenal karena bukunya “The Structure of Scientific
Revolutions” di mana ia menyampaikan gagasan bahwa sains tidak "berkembang
secara bertahap menuju kebenaran", tapi malah mengalami revolusi periodik yang
dia sebut pergeseran paradigma. Analisis Kuhn tentang sejarah ilmu pengetahuan
menunjukkan kepadanya bahwa praktek ilmu datang dalam tiga fase; yaitu:9
1) Tahap pertama, tahap pra-ilmiah, yang mengalami hanya sekali dimana tidak
ada konsensus tentang teori apapun. Penjelasan fase ini umumnya ditandai oleh
beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap. Akhirnya salah satu dari
teori ini "menang".
2) Tahap kedua, Normal Science. Seorang ilmuwan yang bekerja dalam fase ini
memiliki teori override (kumpulan teori) yang oleh Kuhn disebut sebagai
paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas ilmuwan adalah rumit,
memperluas, dan lebih membenarkan paradigma. Akhirnya, bagaimanapun,
masalah muncul, dan teori ini diubah dalam ad hoc cara untuk mengakomodasi
bukti eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan dengan teori asli.
Akhirnya, teori penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan beberapa fenomena atau kelompok daripadanya, dan seseorang mengusulkan
penggantian atau redefinisi dari teori ini.
3) Tahap ketiga, pergeseran paradigma, mengantar pada periode baru ilmu
pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya bahwa semua bidang ilmiah melalui
pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti teori-teori baru menggantikan
yang lama.
Sebagi contoh fenomena adanya pergeseran paradigma ini adalah tentang
pendapat Copernicus bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, sebelumnya
Ptolemeus menyatakan bahwa matahari dan planet-planet lain serta bintangbintang,
berputar mengelilingi bumi. Contoh lainnya yang lebih baru adalah
penerimaan Einstein relativitas umum untuk menggantikan Newton tentang
gravitasi pada tahun 1920 dan 1930; dan lempeng tektonik Wegener tahun 1960
oleh ahli geologi.
Menurut Kuhn, ilmu sebelum dan sesudah pergeseran paradigma begitu
jauh berbeda melihat teori-teori mereka yang tak tertandingi, pergeseran
paradigma tidak hanya mengubah satu teori, hal itu akan mengubah cara bahwa
kata-kata yang didefinisikan, cara para ilmuwan melihat mereka subjek, dan
mungkin yang paling penting pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sah, dan
aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan kebenaran suatu teori tertentu.
Konsep sentral dari teori/epistemologi filsafat Thomas Kuhn adalah pada
istilah yang dinamakan “paradigma”. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten,
sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti. 10Ada
dua perbedaan fundamental terhadap istilah paradigma yang digunakan oleh
Kuhn, yaitu:
1) Paradigma ialah apa yang akan kita paparkan dari pengujian perilaku anggotaanggota
masyarakat ilmiah yang telah ditentukan sebelumnya.
2) Paradigma dipakai sebagai keseluruhan konstelasi keyakinan, nilai, teknik, dan
lain-lain yang telah dilakukan anggota-anggota masyarakat yang telah diakui.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal11,
dimana para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya secara
terperinci dan mendalam, karena disibukkan dengan hal-hal yang mendasar. Pada
Sains normal "memberi arti secara tegas penelitian yang berdasarkan satu atau
lebih melewati prestasi ilmiah, prestasi bahwa komunitas ilmiah tertentu
mengakui untuk sementara waktu sebagai menyediakan dasar untuk berlatih lebih
lanjut". Dalam tahapan ini, seorang ilmuan tidak bersikap kritis terhadap
paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset
ini, ilmuan bisa menjumpai berbagai fenomena yang tidak bisa diterangkan
dengan teorinya. Inilah yang disebut dengan anomali. Dalam konsep paradigma
membantu komunitas ilmiah untuk mengikat disiplin mereka dalam membantu
para ilmuwan untuk :12
1). Membuat jalan penyelidikan.
2). Merumuskan pertanyaan
3). Memilih metode yang digunakan untuk memeriksa pertanyaan-pertanyaan
4). Mendefinisikan bidang relevansi
5). Membangun / menciptakan makna.
Sebuah paradigma membimbing seluruh kelompok riset, dan inilah kriteria
yang paling jelas menyatakan bidang ilmu. Berbagai transformasi paradigma
adalah bagian fari revolusi sains, sedangkan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain melalui revolusi adalah
pengembangan yang biasa dan sains yang telah matang.

RELEVANSI PEMIKIRAN THOMAS KUHN TERHADAP PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM (KAJIAN TOKOH)

Beberapa Gagasan bagi Pengembangan wacana ilmu-ilmu Agama dan
Sains ke depan dengan paradigmanya adalah sesuatu hal yang perlu guna
memahami tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Perlu adanya shifting
paradigm13 di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi
keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat pada sulitnya mengadopsi
dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru di bidang sains; ke epistemologi
keilmuan Islam kontemporer yang bercorak intuitif-spiritual-irfani (secara
aksiologis) yang banyak berkaitan dimensi etika bagi pengembangan sains;
maupun yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis) yang
berdampak pada adanya temuan baru (the context of discovery/qiro’ah
muntijah/production of meaning) di bidang sains.
Bangunan pemikiran Thomas Kuhn dengan jargonnya paradigma dan
revolusi sains, secara lebih komprehensif dapat diaplikasikan dalam menyoroti
essensi atau fondamental structure dari ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu fiqh
(hukum Islam). Berkaitan dengan gagasan Kuhn tersebut, banyak kritikan dan
kajian yang menilai bahwa kontruksi bangunan Ushul Fiqh klasik sebagai sebuah
metodologi istimbat hukum sudah tidak relevan lagi. Respon ini beragam baik
dari yang hanya bersifat sebuah kritikan, tawaran alternatif sampai upaya
rekontruksi dan dekontruksi terhadapnya.Berikut upaya pelacakan terhadap
contoh-contoh metodologi yang ditawarkan beberapa tokoh yang terkait dengan
kajian hukum Islam yang di kategorikan oleh Weil B. Hallaq pada kelompok
liberal.15
• Fazlur Rahman
Berbicara tentang alur pemikiran Rahman ada dua istilah metodik yang
sering disebutkan dalam buku-bukunya yakni historico-critical method (metode
kritik sejarah) dan hermeunetic method (metode hermeunetik). Kedua istilah
tersebut merupakan kata kunci untuk menelusuri metode-metode dalam
pemikirannya.16
Dalam memahami dan menafsirkan sumber utama Islam dalam hal ini Al
Qur’an, Rahman menggunakan teori doble movement (gerak ganda). Hubungan
yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam alqur’an yaitu wahyu
ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profane
disisi yang lain. Dua Unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman.
Permasalahannya ada pada bagaiman cara mendialogkan antara dua sisi tersebut
agar nilai-nilai kewahyuan bisa selalu sejalan dengan sejarah umat manusia.
Gerak pertama pada teori Rahman menghendaki adanya memahami
makna al-Quran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana
kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar
kejadian itu pada umumnya (makro). Dari sini bisa diambil pemahaman yang
utuh tentang konteks normative dan historisnya suatu ayat maka timbullah istilah
legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal)
Kemudian gerak Kedua yang dilaklukan adalah upaya untuk menerapkan
prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era
kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks
terhadap suatu permasalahan. Disini terlihat keberanjakan Rahman dari
metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan menurutnya perlunya
penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar
para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.17
• Muhammad Syahrur
Karya monumental Syahrur yang telah mencuatkan namanya adalah “al-
Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah al-Mu’ashirah” 18. Kitab tersebut merupakan hasil
perjalanan panjang intelektualnya sekitar 20 tahun. Pembacaan ulangnya
terhadap Islam menghasilkan pemahaman dan kesan yang kuat tentang akurasi
istilah-istilah yang digunakan dalam al-Kitab (al-Qur’an) dalam pembacaan
ulangnya ini teori yang cukup terkenal yang ditawarkannya adalah teori batas
(Nazariyyah al-Hudud). Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang
terdapat dalam al-Qur’an yang mutlak harus dimengerti untuk memahami
keistimewaan agama Islam, yakni hanifiyyah dan Istiqamah. Kedua sifat ini
selalu bertentangan tetapi saling melengkapi. Berdasarkan sejumlah ayat Syahrur
menyimpulkan bahwa makna hanafiyah adalah penyimpangan dari sebuah garis
lurus, sedangkan istiqanmah artinya sifat atau kualitas dari garis lurus itu sendiri
atau yang mengikutinya. Hanifiyyah adalah sifat alam yang juga terdapat dalam
sifat alamiah manusia.
Syahrur berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang
gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari elektron yang
paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus).
17 Rahman telah menyadari kemungkinan bahaya subyektifitas penafsir, untuk menghindarkan atau
setidaknya untuk meminimalkan bahaya subyektifitas tersebut rahman mengajukan sebuah metodologi tafsir yang
terdiri dari tiga pendekatan: Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pendekatan
kontekstual untuk menemukan sasaran dan tujuan yang terkandung dalam ungkapan legal spesifik dan ketiga,
pendekatan latar belakang sosiologis untuk menguatkan hasil temuan penedekatan kontekstual atau untuk
menemukan sasaran dan tujuan yang tidak dapat diungkapkan oleh pendekatan kontekstual, 
Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan
dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan
hanifiyyah dalam hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan
sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat.
Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus
istiqamah menjadi keharuasan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang
dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam
ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk
mengatur masyarakat.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan
adanya enam bentuk dalam teori batas. Pertama, ketentuan hukum yang memiliki
batas bawah. Ini terjadi dalam hal macam-macam perempuan yang tidak boleh
dinikahi. Kedua, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas. Ini terjadi
pada tindak pidana pencurian. Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki batas atas
dan bawah, seperti hukum waris dan poligami. Keempat, ketentuan hukum yang
mana batas bawah dan atas berada pada satu titik (garis lurus) tidak boleh lebih
dan kurang, ini terjadi pada hukuman zina yaitu 100 kali jilid. Kelima, ketentuan
yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh
disentuh, karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan
Tuhan, hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan
Keenam, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah dimana batas
atasnya tidak boleh dilampaui dan batas bawahnya boleh dilampaui. Batas atas
Secara umum, teori batas (Nazariyyah al-Hudud) barangkali dapat digambarkan bahwa terdapat
ketentuan Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah yang mentapkan batas bawah yang merupakan
batas minimal ayng dituntut oleh hukum dan batas atas merupakan batas maksimal bagi seluruh perbuatan
manusia. Yang jika melanggar batas minimal dan maksimal tersebut dianggap perbuatan yang dilarang (haram)
dengan kata lain manusia bisa melakukan gerak dinamis dalam batas-batas yang telah ditentukan. 
• Abdullah Ahmed an-Na’im
An-Naim Menawarkan metodologi baru alternative dalam menguak
pandangan Islam terhadap HAM. Perhatian utamanya adalah hukum Islam
kaitannya dengan isu-isu internasional modern seperti HAM, konstitusionalisme
modern, dan hukum pidana modern. Menurutnya hukum Islam saat ini
membutuhkan reformasi total “Dekontruksi.”.
Metode pembaharuan hukum Islam An- Na’im sebenarnya berangkat dari
metodologi yang diintroduksi dari gurunya sendiri, Mahmoud Muhammad Thaha
yakni teori evolusi yang memuat teori naskh (sebagaimana dikenal dalam ushul
Fiqh) namun substansi dalam penerapannya berbeda. Dalam pandangan Thaha,
teori Naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat (juga hadis) Madaniyah
menghapus ayat (juga hadis) makkiyah, harus dibalik, yakni ayat makkiyah lah
yang justru menghapus ayat madaniyyah. Keyakinan Thaha bahwa abad modern
ini ayat-ayat makiyah justru menasakh ayat-ayat madaniyah karena ayat-ayat
makkiyah bersifat lebih universal dan abadi karena menganjurkan kebebasan,
persamaan derajat tidak mendiskriminasi jender maupun agama dan
kepercayaan.
Dari kerangka berpikir sang guru inilah an-Na’im memformulasikan buah
pikirannya terhadap isu-isu global yang jadi perhatiannya. Menurut an-Na’im
pilihan Thaha terhadap abad ke-20 sebagai abad yang tepat untuk pemberlakuan
Metodologi yang digunakan syahrur adalah filsafat dengan titik berat pada filsafat materialisme. Hal ini terlihat pada pandangannya bahwa sumber pengetahuan yang hakiki adalah alam materi diluar diri manusia. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hermeunetik dengan penekanan pada asfek filologi dan ini tercermin jelas pada seluruh bagian pembahasannya. Adapun kerangka teoritik yang menjadi acuan Syahrur dalam
memformulasikan ide-idenya dalam ajaran islam membedakan antara yang berdimensi nubuwah yang merupakan kumpulan informasi kesejarahan yang dengan itu dapt dibedakan antara benar dan salah dalam relitas empirisnya dan risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi oleh manusia yang berupa ibadah, muamalah, akhlak dan
hukum halal-haram. 
kembali ayat-ayat Makiyah memang subjektif meski dikemukakan secara
rasional. Namun, bagaimanapun menurut an-Na’im kita tidak memiliki
alternative ide yang lain untuk menggantikan pemikiran Thaha itu, dengan kata
lain, metodologi Thaha merupakan keniscayaan. Umat Islam dihadapkan kepada
dua pilihan yang tidak relevan khususnya dalam bidang hukum public. pertama,
tetap menggunakan piranti hukum klasik dengan berbagai macam kekurangan
dan kerancuan terminologisnya, dan yang kedua, menggunakan hukum barat
yang disebarkan melalui kolonialisme yang mau tidak mau harus diterima karena
tidak ada alternatif yang memadai.
Meskipun Piranti metodologis An-Naim lebih diproyeksikan pada bidang
hukum publik namun secara paradigmatik bisa saja diterapkan dalam bidang
hukum privat pada umumnya dan hukum keluarga pada khususnya, karena
kegelisahan hukum Islam pada umumnya adalah sama yaitu bagaimana
keberadaannya tetap relevan dalam perkembangan zaman.
F. APLIKASI METHODE PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA
KONTEMPORER
Untuk memperjelas uraian diatas maka berikut akan diuraikan sedikit
contoh aplikasi metode pembaharuan hukum khususnya hukum keluarga muslim
kontemporer. Contoh-contoh berikut diambil dari ijtihad-ijtihad para tokoh diatas
dalam mengaplikasikan metode yang mereka gagas sendiri khususnya teori gerak
gandanya Rahman dan teori batasnya Shahrur.
• Teori gerak ganda
Contoh sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal hak istri
untuk bercerai dalam keadaan tertentu (khulu’) dalam analisisnya terhadap ayat yang digunakan mayoritas ulama dalam peniadaan hak wanita ini adalah ayat al-
Qur’an IV : 3 dan II : 28, yang menerangkan superioritas lelaki atas wanita.
Pada gerak pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat
dengan latar belakang sosial budaya yang berlaku tentang status wanita pada
waktu turunnya ayat. Menurutnya masyarakat Arab ketika itu didominasi oleh
kaum lelaki dan posisi kaum wanita sangat lah rendah sehingga wajar saja ketika
bunyi teks al-Qur’an menyesuaikan dengan kondisi zaman dan konteks turunnya
ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat temporal. Dengan mengambil nilai yang
lebih universal dari gerak pertamanya yaitu tentang persamaan kedudukan antara
lakilaki dan perempuan Rahman beranjak ke gerakan kedua, Menurut Rahman,
adalah sangat pelik untuk mempertahankan keadaan berdasarkan ayat-ayat
tersebut bahwa masyarakat harus tetap seperti masyrakat Arrab abad ke-7 M,
atau masyrakat abad pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa
anggapan mayoritas ulama tentang monopoli kaum laki-laki atas hak cerai sama
sekali tidak dicuatkan dari al-Qur’an dan bahwa ketentuan mengenai hak cerai
kaum wanita adalah positif.
Contoh kedua yaitu tentang kedudukan cucu selaku pengganti
orangtuanya dalam menerima warisan dari kakeknya. Konsep hukum waris
klasik samasekali tidak memeberi bagian kepada cucu yatim yang ditinggal wafat
oleh kakeknya karena terhalang pamannya. Gerakan pertama Rahman dalam hal
ini dengan pendekatan historisnya mengemukakan bahwa prinsip waris semacam
itu besarkemungkinannya berasal dari praktek suku-suku Arab pada masa pra
Islam. Dalam masyarakat kesukuan, tetua-tetua suku, atau suku itu secara
keseluruhan, berkewajiban mengurus kepentingan anggota-anggota suku yang
tidak mampu. Pada sistem patriarkal abad pertengahan, pamanpaman berkewajiban mengurus keponakannya yang ditinggal wafat oleh ayahnya,
sehingga anak yatim itu tidak memperoleh bagian warisan dari kakeknya.
Setelah mendapatkan nilai Normatif universal dan temporalnya koteks
ketentuan ayat diatas gerak kedua Rahman adalah mengkontekstualkannya pada
zaman kekinian. Pada zaman modern ini situasi telah jauh berbeda dan semakin
akut, karena paman-paman semakin tidak menyukai tanggung jawabnya untuk
mengurus keponakannya yang yatim dan terhalang oleh mereka dalam menerima
waris. Berdasarkan pertimbangan ini Rahman berpendapat bahwa jika seorang
kakek wafat dan hanya meninggalkan seorang anak lelaki serta seorang cucu dari
anak lelaki lainnya yang telah wafat maka ia memeperoleh bagian warisan yang
sama dengan pamannya karena ia menempati kedudukan ayahnya saat menerima
waris.
• Teori batas
Beralih pada contoh aplikasi teori batasnya Shahrur dalam bidang hukum
keluarga dalam hal ini hukum kewarisan. Contoh terbaik dalam hal ini adalah
firman Allah: li Adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni. Kebanyakan para ahli
fiqih menganggap bahwa firman ini adalah batasan yang telah ditentukan dan
tidak boleh keluar darinya dalam seluruh kasus yang dialami anak-anak. Konsep
ini memukul rata semua kasus dan berpijak pada konsep yang lahir dari
pemahaman ayat diatas “satu bagi anak laki-laki dan setengah bagi anak
perempuan” Sedangkan menurut Shahrur batasan tersebut adalah batasan khusus
yang hanya bisa diterapkan dalam kasus ketika jumlah perempuan dua kali lipat
jumlah laki-laki.
Mengenai kewarisan anak ini lebih jauh Shahrur merumuskan teori
batasnya berangkat dari ayat al-Qur’an Surah an-nisa ayat 11 kemudian Shahrur
memberikan rumusan batas dimana setiap konteks hubungan antara anak laki-laki dan perempuan bisa saja berubah sesuai dengan jumlah perbandingan anak,
dan tidak melulu terpaku pada konsep “satu bagi anak laki-laki dan setengah
bagi anak perempuan” sebagaimana yang digeneralkan mayoritas ulama fiqh.
Adapun formulasi teori batasnya adalah sebagai berikut:
Batas pertama: li Adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni (lakilaki=1:
Perempuan=1/2).
Ini adalah batasan hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagianbagiana
(huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki
dan dua anak perempuan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang
bisa diterapkan pada semua kasus dimana jumlah perempuan dua kali lipat
jumlah laki-laki.
Batas kedua: fa ini kunna nisa’an fawqa ithnatayni (Lk=1/3: Pr=2/3).
Batas hukum ini membatasi seorang laki-laki dan tiga perempuan dan
selebihnya (lebih dari dua). Satu orang laki-laki+perempuan lebih dari dua, maka
bagi laki-laki adalah 1/3 dan bagi pihak perempuan adalah 2/3 berapapun jumlah
mereka (diatas dua). Batasan ini berlaku pada seluruh kondisi ketika jumlah
perempuan lebih dari dua kali jumlah lakilaki.
Batas ketiga: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (lk=1: Pr=1).
Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi
ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak perempuan, jadi masing
masing anak mendapatkan separuh dari harta peninggalan.
Menurut Shahrur Jika diperhatikan pihak laki-laki pada batas kedua yang
termasuk dalam kategori rumus ini tidak mengambil bagiannya berdasarkan
ketentuan batas yang pertama. Pada dasaranya pembagian ini sangat alami,
karena hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada kasus yang telah
ditetapkan Allah dan tidak dapat diterapkan pada kasus lainnya.
G. KESIMPULAN
1. Pengembangan epistemologi dari Thomas Kuhn telah membawa perubahann
besar dalam peradaban manusia dan mempunyai pengaruh terhadap para
pemikir Islam. Kuhn telah menarik fakta bahwa para filosof ilmu pada
umumnya tidak menghiraukan persoalan hermeneutik yang pokok seperti
persoalan tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh seorang ilmuan.
Menurut Kuhn rasioanalitas ilmiah yang sebetulnya ambigu itu pada dasarnya
bukanlah semata-mata perkara induksi atau deduksi atau juga rasioanalitas
objektif, melainkan lebih pada perkara interpretasi (hermeneutis) dan persuasi
yang cenderung lebih bersifat subjektif.
2. Methode pembaharuan hukum dan hukum keluarga Islam dalam pemikiran
Islam kontemporer meskipun nuansa perubahan memang cukup terasa namun
keberanjakan paradigma hukum dari metodologi hukum klasik ke sebuah
metodologi baru secara aplikatif memang masih jarang ditemui. Karena
menurut para ahli hukum yang masih menggunakan paradigma klasik metodemetode
baru yang ditawarkan tidak menawarkan sebuah solusi yang tuntas
selain itu masih kuatnya kungkungan dogmatis yang mengitari mengakibatkan
sikap apatis ini semakin kuat dan kebanyakan Negara Islam maupun Negara
non Islam yang memakai hukum Islam dan hukum keluarga khususnya
kebanyakan masih bercorak utilitarianistik.
Namun geliat pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir diatas
sedikit banyak membangkitkankan gairah baru dalam bidang kajian hukum