Jumat, 08 Januari 2010

concursus

 Latar belakang masalah

Hukum tertulis telah menjadi tanda cirri dari hukum modern yang harus mengatur serta melayani kehidupan modern. Kehidupan yang kompleks, bidang-bidang yang beraneka ragam, serta perkembangan  masyarakat dunia yang semakin menjadi masyarakat yang tersusun secara organisatoris.[1]diantara kodifikasi hukum di Indonesia adalah adanya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan pidana itu terbagi menjadi dua macam yaitu kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Menurut M.v.T. (Smidt I hlm 63 dan seterusnya) pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan prinsipiil. Dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdelliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.[2] Dari segi kodifikasinya, kejahatan diatur dalam buku kedua KUHP, sedangkan pelanggaran diatur tersendiri dalam buku ketiga KUHP.  Dari sisi akibat hukumnya, kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara bagi pelakunya.  Adapun untuk perbuatan yang masuk kategori pelanggaran, pelakunya dijatuhi hukuman berupa kurungan dan denda.[3]

Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut perbarengan.[4] Namun, arti praktis dari seluruh ketentuan tentang perbarengan makin lama makin berkurang dengan berjalannya waktu. Arti praktis justru sebaliknya sebanding dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam yurisprudensi dan ilmu pengetahuan untuk menjernihkan persoalan-persoalan yang timbul.[5]

2.      Rumusan masalah

Dari latar belakang diatasa maka dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal sebagai berikut;

1.      Apa pengertian dari ajaran perbarengan dalam hukum pidana?

2.      Berapa macam dan bagaimana dampak dari ajaran perbarengan dalam hukum pidana?

3.      Apa yang menjadi ukuran ajaran perbarengan dalam hukum pidana?

4.      Bagaimana Ajaran perbarengan terhadap hukum pidana umum dan hukum pidana khusus?

 

 1.      Pengertian

Dalam Kamus Hukum, perbarengan juga disebut samenloop (Belanda) atau disebut juga dengan concursus (Inggris)[6] Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan samenloop dengan gabungan tindak pidana.[7]  Maka dalam pengambilan keputusan kita menjumpai keadaan bahwa ada beberapa orang dan satu peristiwa pidana, dan dalam keadaan kebersamaan  ada beberapa peristiwa dan seorang. Yang terakhir ini juga terdapat pada revcidive (pengulangan kejahatan). Perbedaan antara keadaan kebersamaan dan recidive adalah, bahwa dalam hal recidive terjadi peristiwa pidana itu dihentikan oleh putusan hakim, tetapi biarpun begitu si terhukum masih melakukan lagi suatu peristiwa pidana. [8] Dalam keadaan kebersamaan si pembuat melakukan beberapa peristiwa tanpa adanya kesempatan bagi hakim untuk memberi peringatan. Adanya perbarengan apabila ada beberapa perbuatan pidana yang dilakukan, dan diantara berberapa perbuatan pidana itu si pembuat tidak diadili bertalian salah satu perbuatan pidana yang dilakukan. Adanya recidive, apabila ada beberapa perbuatan pidana. Setelah si pembuat diadili, ia melakukan pembuat pidana lagi.[9]

Masih ada perbedaan lain antara pengambilan bagian dan keadaan kebersamaan. Pengambilan bagian seperti percobaan memperluas berlakunya peristiwa pidana. Tanpa aturan mengenai keadaan kebersamaan mungkin bahwa hakim menjatuhkan pidana yang seberat-beratnya untuk tiap peristiwa pidana yang dilakukan. Ini dianggap hal melampaui batas oleh pembentuk undang-undang, yang menyebabkan ia mengadakan pembatasan pada pemberian pidana dalam keadaan kebersamaan. Maka ketentuan mengenai keadaan kebersamaan ialah ketentuan mengenai penerapan pidana.[10]

2.      Bentuk-bentuk perbarengan

Ada tiga bentuk concursus yang dikenal dalam ilmu hukum pidana, yang biasa juga disebut dengan ajaran, yakni sebagai berikut:

1)     Concursus idealis (eendaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. 

2)     Concursus realis (meerdaadsche samenloop):apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus.

3)     Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling): apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan. [11] Yang mana akan dijelaskan sebagai berikut;

  1. Concursus Idealis

Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan  pidana.  Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan (eendaadsche samenloop), yakni suatu perbuatan meliputi lebih dari satu pasal ketentuan hukum pidana.[12]  Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat.[13]  Dalam KUHP bab II Pasal 63 tentang perbarengan peraturan disebutkan:

·         Jika suatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.

·         Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Berdasarkan rumusan pasal 63 KUHP tersebut, para pakar berusaha membuat pengertian tentang perbuatan ( feit ). Prof. Mr. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang dimuat dalam pasal 63 KUHP sebagai berikut :
“Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukan, atau karena tempatnya, atau karena orang yang melakukannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang lain.”  Hoge Raad menyatakan pendapatnya mengenai concursus idealis. Yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana, dalam hal yang demikian yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman hukumannya terberat. Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa keadilan.[14] Begitu juga dengan VOS membuat pula satu perumusan jelas tentang ‘feit’ sebagai satu perbuatan fisik. Perbuatan materiil atau perbuatan fisik adalah perbuatan yang dilihat terlepas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu, terlepas dari unsur-unsur subyektif (kesalahan) dan terlepas pula dari semua lain yang menyertai.[15]

Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosa perempuan, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 karena melanggar kesusilaan di muka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.

Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan pembunuhan terhadap bayinya, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya (kinderdoodslaag), maka ibu tersebut dikenai ancaman hukuman selama-lamanya tujuh tahun sebagaimana diatur dalam pasal 341.[16]

Pada dasarnya menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo peristiwa hukum adalah suatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur.[17]  Dari pasal diatas menurut Jonkers bahwa  peristiwa dalam pasal ini bukanlah berarti peristiwa pidana karena suatu peristiwa pidana mempunyai aturanya sendiri. Peristiwa mula-mula diartikan secara materialistis, sebagian orang berpendapat bahwa yang diartikan peristiwa adalah perbuatan jasmani, kelakuan materil. Keberatan daripada pendapat yang materialistis adalah, bahwa berlakunya undang-undang pidana dibatasi dengan cara yang luar biasa. Dalam hal ada peristiwa-peristiwa yang sangat berbeda, yang tidak ada hubungannya satu sama lain, dalam sistem ini tidak mungkin menjatuhkan hukuman pidana yang khusus bagi tiap-tiap peristiwa yang sama sekali berbeda, tetapi peristiwa yang lebih berat menutupi peristiwa yang lebih ringan karena hanya ada suatu perbuatan jasmani. Sistem ini tidak memuaskan rasa keadilan. Memang hukum pidana tidak hanya mengenai perbuatan-perbuatan jasmani yang murni. “Peristiwa” dalam pasal 63 KUHP harus dipandang sebagai “peristiwa” dalam arti menurut hukum pidana. Dengan diterapkannya sistem ini yaki diberlakunya satu ketentuan hukum, yaitu, yang menentukan hukuman pokok terberat. Jadi hanya satu kali diberi pidana, apabila atas satu peristiwa yang lebih berat menutupi yang lebih ringan. Buah pikiran yang merupakan dasar dari pada ketentuan ini ialah bahwa, pada satu peristiwa hanya boleh diberi pidana satu kali.[18]

 

  1. Concursus Realis

Concursus realis atau gabungan beberapa perbuatan (meerdaadsche samenloop) terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana.[19] Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: 

·         Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam.   Misalnya A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara.  Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun.

·         Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem Komulasi diperlunak.  Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.

·         Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem Komulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.

·         Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem Komulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.

·         Untuk concursus realis , baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: “Jika seseorang, setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.”[20]  Misalkan A tanggal 1 Januari melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5 Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351, pidana penjara 2 tahun 8 bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480, pidana penjara 4 tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378, pidana penjara 4 tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata A pada tanggal 14 Januari melakukan penggelapan (Pasal 372, pidana penjara 4 tahun), maka putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahun (putusan I), yaitu 8 bulan penjara.

Dengan demikian Pasal 71 KUHP itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Putusan II = (putusan sekaligus) - (putusan I)[21]

  1. Perbuatan Berlanjut

Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.  Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:

·         Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan.

·         Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya..

·         Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.[22]

Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.  Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.[23]

 

3.      Ukuran Pidana dalam tindak pidana Concursus

Struktur pasal 63 KUHP dst. Dirumuskan sebagai berikut: pasal 63 ayat 1 KUHP mengatur suatu kejadian atau perbuatan yang meskipun dicakup dalam lebih dari satu perumusan perbuatan pidana, namun secara yuridis pun dipandang sebagai satu perbuatan : jadi ada “eendaadse sameenloop” (perbarengan peraturan). Pasal diatas menetapkan bahwa dalam kasus tersebut diterapkan stelsel absorbsi: hanya ketentuan pidana yang paling berat yang dijatuhkan.

Pasal ayat 62 ayat 2 KUHP mengatur bilamana diperkirakan ada perbuatan atau kejadian yang memenuhi lebih dari satu perumusan perbuatan pidana. Namun, hubungan pada perumusan perbuatan pidana itu sedemikian sehingga hanya ada satu saja yang diistimewakan dari yang lain yang memenuhi perumusan perbuatan pidana yang umum. Pasal ini memberlakukan asas “lex specialis derogat legi generali”.

Pasal 65 KUHP membicarakan “meerdaadse sameenloop”. Ada beberapa perbuatan pidana yang berbeda yang harus diajukan ke pengadilan seperti yang telah disebut dalam sub A naupun sub B. pasal tersebut menentukan bahwa untuk kejahatan dengan ancaman pidana penjara, diterapkan stelsel Komulasi terbatas.[24] Persoalan pokok dalam masalah perbarengan adalah mengenai ukuran pidana yang dikaitkan dengan stelsel atau sistem pemidanaan.  Dalam sameenloop KUHP menurut Van Hamel mengenal empat ukuran untuk menetapkan beratnya hukuman, yaitu:

1.      Sistem absorbsi

2.      Sistem absorbsi yang diperberat

3.      Sistem Komulasi yang diperingan

4.      Sistem Komulasi (yang murni, yang tidak terbatas) sedangkan menurut Jonkers hanya ada 3 macam, yakni dengan menghilangkan poin pertama terhadap pendapat Van Hamel.[25]

Lebih lanjut dalam Hukum Pidana Prof. Dr. D. Schaffmeister dijelaskan bahwa Stelsel absorbsi murni atau stelsel penyerapan murni.
bahwa stelsel ini, hanya maksimun ancaman pidana yang terberat yang dikenakan dengan pengertian bahwa maksimum pidana lainnya (sejenis atau tidak sejenis) diserap oleh yang lebih tinggi.  Stelsel Komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni. yakni, untuk setiap tindak pidana diancamkan/dikenakan pidana masing-masing tanpa pengurangan. Stelsel Komulasi terbatas, atau stelsel komulasi terhambat atau reduksi. Stelsel ini dapat dikatakan sebagai bentuk antara atau bentuk tengah dari tersebut pertama dan kedua.  Artinya untuk setiap tindak pidana dikenakan masing-masing ancaman pidana yang ditentukan pidananya, akan tetapi dibatasi dengan suatu penambahan yang lamanya/jumlahnya ditentukan berbilang pecahan dari yang tertinggi.  [26]

 

4.      Ketentuan pidana khusus dan pidana umum

Kemungkinan seperti itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam pasal 63 ayat 2 KUHP yang berbunyi: “Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan  pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan “.[27]

Dalam hal semacam itu apabila ketentuan pidana yang disebutkan terakhir itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara lebih khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang diberlakukan.  Atau dengan perkataan lain, dalam hal semacam itu berlakulah ketentuan hukum yang mengatakan : lex specialis derogat legi generali (undang-undang khusus meniadakan undang-undang umum).[28]

Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang dapat diperlakukan terhadap setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja.[29] Terdapat dua cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu untuk dapat mengatakan apakah ketentuan pidana itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau bukan.  Pertama, menurut pandangan secara logis, suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabila ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum.  Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara logis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut suatu logische specisliteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis. 

Kedua, menurut pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara sistematis seperti itu di dalam doktrin juga disebut suatu juridische specialiteit atau suatu systematische specieliteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis.

 

 

KESIMPULAN

Ajaran perbarengan perbuatan pidana (concursus atau samenloop) adalah perbuatan seseorang yang melakukan beberapa perbuatan pidana sekaligus, atau melakukan satu perbuatan yang diatur dalam beberapa ketentuan pidana. Hal ini terdapat pada KUHP dalam buku kedua pasal 63-71. Concursus terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu:

1.      Concursus idealis (eendaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. 

2.      Concursus realis (meerdaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus.

3.      Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling): apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan.

Dengan adanya ajaran perbarengan terhadap akibat hukum yang ditimbulkan adalah sebagai berikut:

1.      Concursus idealis, sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.

2.      Concursus realis, jika hukuman pokoknya sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan.  Sedangkan apabila hukuman pokoknya tidak sejenis, maka setiap hukuman dari masing-masing perbuatan pidana itu dijatuhkan. 

3.      Perbuatan berlanjut, dikenai ancaman pidana yang terberat atau yang mengandung ancaman hukuman yang lebih berat.  


DAFTAR PUSTAKA

 

Bahiej, Ahmad, Hukum Pidana, Yogyakarta, Teras, 2009

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2005

Eutrecht, Hukum Pidana, Surabaya; Pusaka Tinta Mas, 1987

Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta; Sinar Grafika, 2007

 

Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta; Radar Jaya Offset, 1978

Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta; Sinar Grafika, 2006

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; PT.Rineka Cipta, 2002

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta; PT.Bumi Aksara, 2008

Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, Semarang; Aneka Ilmu, 1977

Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor; Politeia, 1995

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 2000

Schaffmeister, Keijzer,Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta; Liberty, 1995

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung; PT. Refika Aditama, 2003

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung; PT.Refika Aditama, 2003

 



[1] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal.72

[2] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,(Jakarta; PT. Rineka Cipta, 2002),hal.71

[3] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal.124 

[4] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), hal.32

[5] Schaffmeister, Keijzer,Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta; Liberty, 1995), hal.180

[6] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang; Aneka Ilmu, 1977), hal. 235

[7] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung; PT.Refika Aditama, 2003), hal.142

[8] Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, (), hal. 235

[9] Schaffmeister, Keijzer,Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta; Liberty, 1995), hal.179

[10] Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, (), hal. 235

[11] Leden, Asas, hal.32

[12] Wirjono, Asas, hal.149

[13] Ahmad Bahiej, Hukum Pidana, (Yogyakarta, Teras, 2009), hal. 57

[14] Ibid, hal.34

[15] Eutrecht, Hukum Pidana, (Surabaya, Pusaka Tinta Mas, 1987), hal.140

[16] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung; PT.Refika Aditama, 2003), hal.72

[17] Satjipto, Ilmu, hal.35

[18] Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, (), hal. 235

[19] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor; Politeia, 1995), hal.82

[20] Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hal.30

[21]Ahmad, Hukum, hal. 57

[22] Soesilo, Kitab, hal.81-82

[23] Ibid

[24] Schaffmeister, Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta; Liberty, 1995), hal.179-180

[25] Eutrecht, Hukum, hal.140

[26]Ibid

[27]Ibid,  hal.27

[28] Ibid

[29] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta; Sinar Grafika, 2007), hal.  18

1 komentar:

  1. kasus apriani dan icw neloe harusnya pakai ajaran kekhususan sistematis, menurut abang?

    BalasHapus

please isi yupz