Selasa, 27 Desember 2011

Pengantar Mengenai Teori Marxis Tentang Hukum

Abstrak:
Pemikiran Karl Marx telah menjadi inspirasi bagi lahirnya aliran pemikiran kritis dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan juga hukum. Semangat yang dibawanya jelas, yaitu mengkritik sistem kapitalisme yang dianggap berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Begitupun ketika pemikiran itu merasuk ke dalam dunia hukum, teori marxis tentang hukum juga membawa kritik terhadap kehadiran hukum dalam tatanan masyarakat kapitalis. Dalam tatanan masyarakat kapitalis, hukum jelas tidak bebas nilai, tidak bersifat netral, dan terkait dengan faktor ekonomi serta politik yang ada.
Kata kunci: marxisme, hukum, faktor ekonomi, faktor politik.
I. Latar Belakang
Tulisan ini berupaya untuk memaparkan sedikit hal tentang hukum dari sudut pandang (perspektif) marxis. Oleh karena itu, tulisan ini lebih tepat didudukkan sebagai tulisan pengantar untuk membuka pemahaman mengenai teori marxis tentang hukum.
Yang patut mendapatkan perhatian pertama-tama ketika membicarakan masalah hukum dari perspektif marxis adalah, bahwa Karl Marx sendiri tidak pernah menghasilkan suatu karya yang dapat disebut sebagai “teori tentang hukum” yang utuh.[1] Marx sendiri lebih tepat dikatakan sebagai seorang pemikir, filsuf, sekaligus aktivis di bidang ekonomi dan politik.[2] Upaya untuk merancang secara lebih lengkap dan menyeluruh teori hukum dalam wilayah pemikiran marxis dilakukan oleh para pengikut teori Marx (para marxis).
Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan “Apa perlunya mempelajari atau mengetahui tema hukum dalam lingkup pemikiran marxis?”, yaitu:
Alasan pertama adalah untuk memperluas atau memperkaya pemahaman mengenai teori hukum itu sendiri. Terdapat kecenderungan dalam kegiatan (proses) pembelajaran ilmu hukum, bahwa masalah hukum itu dilihat dari sudut pandang yang legal positivism[3], hukum dilihat sebagai sesuatu yang bebas nilai atau tidak terkait sama sekali dengan faktor sosial dan kepentingan politik. Kritik terhadap sudut pandang seperti itu sudah banyak dilontarkan oleh para ahli hukum, misalnya seperti yang dilakukan oleh Satjipto Rahardjo melalui gagasan “Hukum Progresif”-nya atau juga oleh Roberto Unger serta Duncan Kennedy dengan Critical Legal Studies-nya (CLS).
Kritik-kritik tersebut pada intinya berpendapat bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat, seperti faktor nilai, moral, etika, ekonomi, bahkan politik. Literatur yang memuat kritik tadi sudah cukup banyak disebarluaskan, tetapi penulis masih melihat adanya kekurangan, yaitu terutama kritik yang membahas teori keterkaitan antara hukum dengan aktivitas ekonomi dan politik.
Kalaupun ada upaya yang telah memperkenalkan teori “hukum adalah politik”, seperti melalui beberapa tulisan yang mengangkat pemikiran CLS, menurut penulis upaya itu masih juga belum cukup. Perlu dipahami, bahwa CLS memiliki akar pemikiran pada tradisi kritis yang dikembangkan oleh para neomarxis.[4] Jadi cukup wajar apabila tulisan teori marxis tentang hukum diperkenalkan juga berdampingan dengan tulisan-tulisan tentang CLS. Tentu upaya seperti itu akan memberikan pemahaman yang lebih lengkap, baik bagi teori hukum pada umumnya, maupun bagi teori “hukum adalah politik” pada khususnya.
Alasan ke dua adalah untuk memberikan alternatif pisau analisis dalam memahami fenomena ketidakberdayaan hukum dalam memberikan rasa keadilan di masyarakat. Satjipto menyebutkan bahwa telah terjadi proses bekerjanya hukum yang justru “kontra-produktif”. Satjipto bahkan juga menyebutkan bahwa “Hukum yang membawa panji-panji keteraturan dan ketertiban, misalnya, ternyata dapat menimbulkan suasana yang sebaliknya. Ia tidak hanya bersifat ordegenik, melainkan juga kriminogenik.”[5]
Keadaan hukum seperti tersebut di atas tidak dapat dipecahkan apabila hanya bersandar pada analisis hukum yang positivis (positivisme hukum). Positivisme hukum menghendaki dilepasnya unsur nilai, moral, etika, sosial, dan politik dari sistem hukum. Positivisme hukum juga melihat hukum semata-mata dalam bentuk formalnya,[6] maka kemudian yang terjadi adalah reduksi terhadap proses hukum, yaitu semata-mata hanya sebagai “proses peraturan.”[7] Positivisme hukum akan menjawab masalah kemacetan hukum dalam menciptakan keadilan dengan kembali melakukan proses pembentukan peraturan yang baru. “Banjir” peraturanpun akhirnya terjadi, tidak peduli apakah peraturan-peraturan itu akan efektif di masyarakat atau tidak.
Sebagai kritik terhadap pendekatan positivisme hukum, maka yang perlu dilakukan adalah merubah sudut pandang terhadap proses hukum. Proses hukum harus dipandang sebagai proses yang melibatkan interaksi antarmanusia atau “proses perilaku”, yang di dalamnya terkait pula berbagai faktor, seperti faktor nilai, moral, etika, sosial, dan politik. Manusialah yang berperan dalam proses hukum, karena peraturan tidaklah akan mempunyai arti apa-apa kalau tidak ada faktor manusia yang menjalankannya.[8] Oleh karena itu, maka diperlukan pendekatan alternatif selain pendekatan yang positivis dalam menjawab permasalahan hukum di masyarakat, dan pendekatan itu sebaiknya juga ikut mempertimbangkan banyak faktor yang ada di dalam masyarakat. Pendekatan alternatif itu salah satunya adalah pendekatan marxis tentang hukum, yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. Pendekatan marxis tentang hukum bahkan diklaim oleh salah satu pemikirnya, Evgeny Pashukanis, sebagai sesuatu yang dibangun berdasarkan kenyataan sosial.[9]
II. Pokok Pembahasan
Sesuai dengan judul yang dipilih, maka yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah mengenai teori marxis tentang hukum. Sebagai tulisan pengantar, maka cukup tepat apabila pembahasan dilakukan secara deskriptif, dengan hanya memaparkan secara umum beberapa pokok pemikiran yang ada di dalam teori marxis tentang hukum.
III. Pembahasan
Dalam literatur-literatur teori hukum yang telah dipublikasikan, terutama yang ditulis dalam bahasa Indonesia, masih sedikit sekali ditemui pembahasan yang memadai mengenai teori marxis tentang hukum. Jika ada, teori marxis tentang hukum itu pun masih terbatas pada hanya salah satu pendekatan yang ada dalam teori marxis tentang hukum. Pendekatan yang lazim dijumpai adalah pendekatan “struktur dasar (bawah) dan struktur atas (base-superstructure)”.[10] Padahal dalam teori marxis tentang hukum masih terdapat beberapa pendekatan lainnya yang digunakan dalam membahas masalah hukum.
Menurut Alan Hunt, terdapat beberapa tema pokok yang dijelaskan oleh para pemikir marxis mengenai hakikat hukum, yaitu:[11]
  1. Hukum tidak dapat menghindar atau tidak dapat melepaskan dirinya dari politik, atau bahkan dapat dikatakan, bahwa hukum itu adalah salah satu bentuk (perwujudan) dari politik.
  2. Hukum dan negara memiliki hubungan yang dekat. Hukum memperlihatkan sifatnya yang “relatif otonom” dari negara.
  3. Hukum memberikan pengaruh, mencerminkan, atau mengekspresikan kuatnya (besarnya) hubungan ekonomi yang ada.
  4. Hukum selalu potensial bersifat memaksa dan memanifestasikan (mewujudkan) monopoli negara atas alat-alat pemaksa.
  5. Isi dan prosedur yang terkandung dalam hukum, baik langsung maupun tidak langsung, mencerminkan kepentingan-kepentingan kelas yang berkuasa.
  6. Hukum itu bersifat ideologis. Dengan demikian, hukum itu menunjukkan dan menyediakan legitimasi kepada nilai-nilai yang melekat pada (nilai-nilai milik) kelas yang berkuasa.
Tema-tema pokok di atas kemudian mengalami perkembangan lebih lanjut, sehingga melahirkan varian-varian baru dalam teori marxis tentang hukum.
Setidaknya terdapat beberapa macam pendekatan terhadap hukum yang digunakan oleh para marxis sehingga mereka menghasilkan tema-tema pokok hakikat hukum di atas.
Pertama, pendekatan “struktur dasar (bawah) dan struktur atas (base-superstructure)”. Pendekatan ini meletakkan hukum pada struktur atas, dan struktur atas ini merefleksikan apa yang menjadi struktur dasarnya, yaitu hubungan produksi kehidupan material (faktor ekonomi).[12]
Konsep base-superstructure mendeskripsikan masyarakat yang ada di dunia ini terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu: struktur dasar (bawah, basestructure) dan struktur atas (superstructure). Dalam pembagian seperti itu, faktor ekonomi diletakkan pada struktur dasar, sedangkan hal-hal lainnya, seperti sistem sosial, hukum, politik, agama, seni dan ilmu pengetahuan diletakkan pada struktur atas. Segala proses yang terjadi pada struktur atas akan dipengaruhi oleh struktur dasar.[13] Dalam kalimatnya Marx, “[adalah] cara produksi kehidupan material [yang] mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual pada umumnya”.
Konsep base-superstructure memiliki akar pada “teori materialisme historis (the materialistic conception of history)” dari Marx, yaitu bahwa: “Semua gerakan politik, sosial, intelektual dan etis dalam sejarah dideterminasi oleh cara-cara dengan apa masyarakat mengorganisasi lembaga-lembaga sosial mereka dalam hal melaksanakan aktivitas-aktivitas produksi, pertukaran, distribusi dan konsumsi barang-barang… setiap perkembangan historis penting pada dasarnya merupakan hasil perubahan-perubahan dalam cara bagaimana salah satu di antara aktivitas-aktivitas ekonomis tersebut dilaksanakan. Hal tersebut pada pokoknya merupakan penafsiran sejarah secara ekonomis”.
Ringkasnya, materialisme historis mengandung pemahaman bahwa perkembangan organisasi atau aktivitas sosial lainnya yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh faktor ekonomi. Karena ditentukan oleh faktor ekonomi seperti itu, maka pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan “determinisme ekonomi” atau sering disebut juga dengan “ekonomisme”. Determinisme ekonomi merupakan salah satu ciri khas marxisme klasik (marxisme ortodoks).
Determinisme ekonomi sudah banyak mendapatkan kritik. Para pengkritik determinisme ekonomi menganggap bahwa determinisme ekonomi tidak lain adalah reduksionisme, dan gagal memandang keberagaman. Salah satu di antara pengkritik itu adalah seorang marxis, Louis Althusser. Dia bahkan mengusulkan “otonomi relatif” superstruktur tanpa mengabaikan keberadaan struktur dasar, dan menilai adanya hubungan timbal balik antara superstruktur dengan struktur dasarnya.[14]
Ke dua, pendekatan “determinisme yang lebih lunak”. Pendekatan determinisme yang lebih lunak ini memandang bahwa faktor ekonomi akan menentukan “pada akhirnya” perkembangan organisasi atau aktivitas sosial lainnya yang ada dalam masyarakat.[15]
Apabila dikaitkan dengan proses pembentukkan hukum, misalnya, maka pendekatan determinisme yang lebih lunak tidak akan langsung menyatakan bahwa karakter dan isi dari hukum itu pasti ditentukan hanya oleh faktor ekonomi (struktur dasar). Dalam proses pembentukkan hukum, maka segala faktor yang ada, seperti faktor politik, agama, adat, dan ilmu pengetahuan, bisa saling berinteraksi ikut membentuk hukum bersama-sama dengan faktor ekonomi.
Jadi pendekatan determinisme yang lebih lunak ini masih menyediakan ruang bagi terjadinya proses saling mempengaruhi antarfaktor yang terdapat di struktur dasar dan struktur atas.
Proses saling mempengaruhi antarfaktor tersebutlah yang membedakan antara determinisme ekonomi yang “kuat” dengan yang “lunak”. Pada pendekatan determinisme ekonomi yang kuat, yang menjadi faktor penentunya adalah faktor ekonomi, yang juga berarti bahwa faktor-faktor lain yang berada dalam struktur atas (superstructure) tidak akan mempunyai daya pengaruh sama sekali ketika berhadapan dengan faktor ekonomi.
Ke tiga, adalah pendekatan yang dikembangkan oleh ahli hukum yang berasal dari Sovyet, Evgeny Pashukanis. Pashukanis melihat teori hukum sebagai sebuah permasalahan (pertanyaan) historis. Hal itu berarti, bahwa: pertama, pemahaman terhadap bentuk-bentuk hukum borjuis memerlukan sebuah pendekatan historis, karena hukum adalah hasil dari suatu tahap tertentu dari perkembangan masyarakat. Dan ke dua, Pashukanis melihat tugas dari teori marxis tentang hukum adalah untuk memperlihatkan (mendemostrasikan) keadaan alamiah yang bersifat sementara dari hukum.[16] Hukum ada tidak lain adalah untuk melenyap.
Teori hukum dari Pashukanis, yaitu yang dikenal dengan “teori pertukaran komoditas (the commodity-exchange theory)”, melihat kontrak (perjanjian) sebagai dasar dari semua bentuk hukum yang ada (contract as the foundation of all law). Kemudian menurutnya, hukum lahir (timbul) karena adanya kebutuhan akan komoditas[17] dari proses produksi. Semua bentuk hukum diarahkan untuk mendukung (memperlancar) proses pertukaran komoditas yang terjadi di antara subjek-subjek yang bertindak sebagai “penjaga” dari komoditas tadi.[18]
Menurut Pashukanis, pertukaran komoditas, dari perspektif historis, mendahului sistem hukum yang terbentuk darinya. Hanya dengan perkembangan yang maksimal dari suatu proses produksi komoditas, maka akan terbuka pula kemungkinan bagi perkembangan bentuk-bentuk hukum. Produksi komoditas berkembang melalui perdagangan, dan hukum tumbuh berkembang sebagaimana perdagangan tadi mengalami peningkatan.[19]
Dengan terus berkembangnya pertukaran komoditas tersebut, kemungkinan timbulnya sengketa akan semakin besar pula, dan sebuah sistem hukum haruslah hadir untuk mengatasi sengketa tadi. Pashukanis menyatakan, “It is disputes, conflicts of interest, which create the legal form, the legal superstructure”.[20]
Pashukanis percaya bahwa hukum akan mencapai tahap perkembangan tertingginya di bawah sistem kapitalisme. Di bawah sistem kapitalisme, hukum yang berkembang tentunya adalah juga sistem hukum yang mendukung kepentingan kaum borjuis.[21] Tetapi pada tahap selanjutnya, ketika tahap puncak masyarakat komunis tercapai, maka hukum itu akan ikut melenyap seiring dengan melenyapnya negara.
Pashukanis memang telah merancang teori marxisnya tentang hukum untuk mendukung (memenuhi) tujuan-tujuan politik kaum bolshevik.[22] Misalnya, ketika kaum bolshevik dengan ideologinya menyakini bahwa negara, termasuk hukum, akan melenyap, maka teori hukum yang dirancang dan dikembangkan oleh Pashukanis pun mendukung keyakinan tadi. Pashukanis berpendapat bahwa hukum pada akhirnya akan melemah dan melenyap, serta kemudian digantikan oleh suatu bentuk sistem administrasi. Melenyapnya hukum itulah yang kemudian menjadi simpulan dari teori pertukaran komoditas yang dirancang dan dikembangkan oleh Pashukanis.[23]
Ke empat, pendekatan yang mencoba membangun analisis mengenai hukum dengan menghubungkannya dengan ideologi. Bagaimanakah hubungan antara hukum dengan ideologi itu?
Collins, dalam karyanya Marxism and Law, mendefinisikan ideologi sebagai sekumpulan ide yang mendominasi yang timbul (lahir) dari dan dibentuk oleh praktik-praktik sosial dalam hubungan-hubungan produksi. Ideologi yang dominan akan muncul di antara kelas para pemilik alat-alat produksi yang secara bersama-sama memiliki pengalaman (pemahaman) dan memainkan peranan yang cenderung sama dalam hubungan-hubungan produksi. Kemudian hukum sebagai suatu bentuk peraturan bagi masyarakat, yang memang sengaja diciptakan, muncul dari dalam ideologi dominan itu.[24] Konkretnya, nilai-nilai yang ada di dalam ideologi dominan kemudian ditransformasikan (diwujudkan) ke dalam bentuk peraturan-peraturan hukum. Rangkaian proses tadi membawa konsekuensi, yaitu bahwa hukum menjadi pembawa nilai-nilai ideologi dominan.[25]
Sebelum Collins, seorang marxis asal Italia yang bernama Antonio Gramsci, telah pula memberikan pendapatnya mengenai ideologi dominan dalam kaitannya dengan hegemoni. Setiap ideologi dominan selalu berusaha untuk mempererat formasi sosial, yang di dalamnya terdapat kelas-kelas sosial, agar berada di bawah kepemimpinan mereka (kelas dominan). Upaya untuk menggiring kelas sosial lainnya agar mau tunduk di bawah kepemimpinan kelas dominan itulah yang disebut dengan hegemoni, dan hukum menjadi salah satu instrumen penting dalam proses hegemoni.[26] Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan penundukkan kelas-kelas sosial dengan cara-cara yang lebih bersifat konsensus (persetujuan) daripada penindasan (paksaan).[27] Kelas yang melakukan penundukkan itu adalah kelas hegemonik.
Apabila penjelasan mengenai hubungan hukum dengan ideologi dikaitkan dengan konsep base-superstructure, maka hukum ini akan hadir baik di struktur dasar maupun di struktur atas. Hukum hadir di struktur atas adalah karena hukum itu sendiri muncul dari bidang ideologi, yang merupakan salah satu unsur pada struktur atas. Sedangkan hukum hadir di struktur dasar adalah karena hukum itu berfungsi mengatur dan memperlancar terjadinya proses hubungan-hubungan produksi.[28]
IV. Penutup
Demikianlah pembahasan sekilas mengenai teori marxis tentang hukum. Simpulan sederhana yang dapat diambil dari pembahasan tersebut adalah, bahwa para pemikir marxis, setelah Marx, telah berupaya merancang dan mengembangkan teori hukum. Beragam pendekatan telah mereka gunakan dalam membahas hakikat hukum, dan walaupun dengan pendekatan yang beragam itu, teori hukum yang mereka hasilkan memiliki ciri khasnya tersendiri. Hal itu dapat dilihat, antara lain, pada adanya faktor-faktor ekonomi dan politik pada pendekatan mereka terhadap hukum, serta juga pada adanya muatan kritik terhadap sistem kapitalisme. Yang disebutkan terakhir, bahkan dapat dianggap sebagai sebuah semangat yang cenderung menjadi khas dalam pemikiran marxis[29] yang selalu mengkritik habis-habisan sistem kapitalisme beserta pengaruhnya dalam kehidupan manusia.
Masih banyak celah kekurangan yang diharapkan dapat menjadi bahan tulisan selanjutnya mengenai teori marxis tentang hukum. Pembahasan penulis melalui tulisan kali ini belum sampai memaparkan pengaruh teori marxis tentang hukum dalam mendorong timbulnya aliran-aliran pemikiran dalam ilmu hukum, belum sampai memaparkan kritik-kritik yang dilontarkan terhadap teori marxis tentang hukum, dan juga belum sampai pada bentuk-bentuk praktik teori marxis tentang hukum pada level negara. Setidaknya, 3 (tiga) hal itulah yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi tulisan-tulisan berikutnya mengenai teori marxis tentang hukum. Sebuah “undangan” menulis bagi penulis lainnya untuk berani mencoba ikut serta memperkaya pustaka ilmu hukum di Indonesia.  (oleh Endra Wijaya)
[1] Alan Hunt, “Marxist Theory of Law”, dalam Dennis Patterson ed., A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory (Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd., 2000), hlm. 356.
[2] Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme (Yogyakarta: Insist Press, 2003), hlm. 52.
[3] Qodri Azizy, “Menggagas Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Qodri Azizy, et al., Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo Semarang, dan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2006), hlm. vii.
[4] FX. Adji Samekto, Studi Hukum Kritis: Kritik terhadap Hukum Modern (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 35 dan 56. Lihat juga Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 124.
[5] Satjipto Rahardjo (a), Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 3.
[6] Firman Muntaqo, “Meretas Jalan bagi Pembangunan Tipe Hukum Progresif melalui Pemahaman terhadap Peranan Mazhab Hukum Positivis dan Non-Positivis dalam Kehidupan Berhukum di Indonesia”, dalam Satjipto Rahardjo (b), Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 162.
[7] Rahardjo (a), op.cit., hlm. 17.
[8] Satjipto Rahardjo (c), Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 69.
[9] Evgeny Pashukanis, “The General Theory of Law and Marxism” . Diakses pada 22 Juli 2008.
[10] Misalnya dapat dibaca pada: John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 97 dan 127-128; Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 72-74; dan Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 112, tetapi pada hlm. 171-172-nya sudah menyinggung sedikit pendekatan “determinisme yang lebih lunak”.
[11] Hunt, op.cit., hlm. 355.
[12] Ibid., hlm. 358.
[13] Ernest Mandel, Tesis-Tesis Pokok Marxisme, diterjemahkan oleh Ign. Mahendra (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hlm. 90.
[14] Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies [Essays on Ideology] (Bandung: Jalasutra, 2004), hlm. 12.
[15] Hunt, op.cit., hlm. 359.
[16] M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence (London: Sweet and Maxwell Ltd., 1994), hlm. 867.
[17] “Komoditas, oleh karena itu, adalah produk yang diciptakan untuk dipertukarkan di pasar, berbeda dengan produk yang dibuat untuk konsumsi langsung. Setiap komoditas harus memiliki nilai guna maupun nilai tukar”. Lihat Mandel, op.cit., hlm. 124.
[18] Freeman, op.cit., hlm. 868.
[19] Ibid.
[20] Pashukanis, loc.cit.
[21] Freeman, op.cit., hlm. 869.
[22] Ibid., hlm. 867.
[23] Ibid., hlm. 870.
[24] Costas Douzinas, Ronnie Warrington, dan Shaun McVeigh, Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in the Texts of Law (London: Routledge, 1991), hlm. 121.
[25] Hunt, op.cit., hlm. 361.
[26] Robert Bocock, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni (Bandung: Jalasutra, 2007), hlm. 27.
[27] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 120-121. Lihat juga Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 19-22.
[28] Douzinas, Warrington, dan McVeigh, op.cit., hlm. 122.
[29] Jonathan Wolff, Mengapa Masih Relevan Membaca Marx Hari Ini? [Why Read Marx Today?] (Yogyakarta: Mata Angin, 2004), hlm. xii dan 150.
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies [Essays on Ideology]. Bandung: Jalasutra, 2004.
Azizy, Qodri. “Menggagas Ilmu Hukum Indonesia”. Dalam Qodri Azizy, et al., Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo Semarang, dan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2006.
Bocock, Robert. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Bandung: Jalasutra, 2007.
Douzinas, Costas; Ronnie Warrington, dan Shaun McVeigh. Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in the Texts of Law. London: Routledge, 1991.
Freeman, M.D.A. Lloyd’s Introduction to Jurisprudence. London: Sweet and Maxwell Ltd., 1994.
Gilissen, John; dan Frits Gorle. Sejarah Hukum: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Hunt, Alan. “Marxist Theory of Law”. Dalam Dennis Patterson ed., A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory. Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd., 2000.
Kusumandaru, Ken Budha. Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme. Yogyakarta: Insist Press, 2003.
Mandel, Ernest. Tesis-Tesis Pokok Marxisme. Diterjemahkan oleh Ign. Mahendra. Yogyakarta: Resist Book, 2006.
Meuwissen. Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama, 2008.
Muntaqo, Firman. “Meretas Jalan bagi Pembangunan Tipe Hukum Progresif melalui Pemahaman terhadap Peranan Mazhab Hukum Positivis dan Non-Positivis dalam Kehidupan Berhukum di Indonesia”. Dalam Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2007.
Pashukanis, Evgeny. “The General Theory of Law and Marxism”. . Diakses pada 22 Juli 2008.
Patria, Nezar; dan Andi Arief. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Salman, Otje; dan Anton F. Susanto. Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: Refika Aditama, 2004.
Samekto, FX. Adji. Studi Hukum Kritis: Kritik terhadap Hukum Modern. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999.
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 1980.
———————–. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Kompas, 2007.
Wolff, Jonathan. Mengapa Masih Relevan Membaca Marx Hari Ini? [Why Read Marx Today?]. Yogyakarta: Mata Angin, 2004.
http://ilhamendra.wordpress.com/2009/04/16/pengantar-mengenai-teori-marxis-tentang-hukum/

Minggu, 25 Desember 2011

FILSAFAT DAN TEORI HUKUM POST MODERN


Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang Vietnam pada awal dekade 1960-an?Mengapa kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana? Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas menara gading itu? Semua ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi manusia di bumi ini.
                Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.

Science is an essentially anarchistic enterprise: Theoretical anarchism is more humanitarian and more likely to encourage progress than its law-and-order alternatives (Paul Feyerabend, 1982: 17).

                Bagi para penganut ajaran postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal, harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarah-musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
                Aliran postmodern ini masuk pula ke dalam bidang hukum, yang bersama-sama dengan paham terakhir di bidang hukum, saat itu, yaitu paham realisme hukum serta bersama pula dengan paham kritis radikal seperti aliran Frankfurt di Eropa, mereka bersama-sama mempolakan suatu aliran baru dalam bidang hukum, yang tentu saja radikal, yaitu yang disebut dengan aliran hukurn kritis (critical legal studies). Seorang pelopor utama dari aliran critical legal studies, yaitu Roberto Mangabeira Unger menyatakan bahwa:

the critical legal studies movement has undermined the central ideas of modem legal though and put another conception of law in their place
(Roberto Mangabeira Unger, 1986: 1).

                Dalam berbagai bidang ilmu terdapat berbagai variasi terhadap visi dan perkembangan aliran terakhirnya di abad kedua puluh itu. Ada yang secara langsung melawan paham sebelumnya berupa paham positivisme yang sangat dipengaruhi oleh pola pikir ilmiah – rasional berdasarkan ilmu dan teknologi. Aliran-aliran hukum yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dengan cara berpikir dengan menggunakan rasio yang abstrak-silogisme sebagaimana yang dilakukan paharn positivisme dari Agust Gornte, ajaran hukum. murni dan grundnorm dari Hans Kelsen dari Jerman, ataulbun ajaran hukum alam, bahkan ajaran-ajaran seperti dari Durkheirn, Von Jhering, Max Weber, dan Gustav Radbruch sebelumnya sudah dilabrak habis oleh aliran realisme hukum pada, sekitar dekade 1930-an. Jadi, tidak benar jika ilmu hukum selalu bersifat konservatif dan cenderung mempertahankan status quo sebagaimana yang dituding oleh banyak orang.
                Aliran realisme hukum ini melakukan pembangkangan terhadap teori dan konsep hukum yang ada dengan mengajukan banyak pertanyaan penting terhadap hukum. Hanya saja, eksistensi kehidupan aliran. realisme hukum tersebut kemuthan memang dalarn keadaan megap-megap dan dunia hukum menjadi semakin redup setelah meninggalnya para pelopor dari aliran realisme hukum itu, terutama dengan meninggalnya Karl Llewellyn, Joreme Frank, dan Felix Cohen.
                Akan tetapi, kemudian dunia hukum kembali bersinar lagi, terutama dengan munculnya aliran baru pada akhir abad ke~20 yang disebut dengan critical legal studies.
                Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti – liberal, antiobiektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodem, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu, di mana aliran critical legal studies ini dengan menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, mereka mengubah haluan hukurn untuk kernudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
                Modernisme mengakibatkan militerisme. Karena unsur religius dan moral tidak berdaya, manusia cenderung menggunakan kekuatan kekuasaan sehingga perang crengan senjata canggih, kekerasan, ataupun militerisme tidak terelakan. Meskipun penggunaan agama secara fundamentalis juga dapat mengakibatkan hat yang sama afas nama perjuangan menegakkan agama secara kaku.

Sebagai konsekuensi penggunaan kekuasaan secara koersif, maka timbullah kembali paham tribalisme, yang hanya mementingkan suku atau kelompoknya sendri.
(I. Bambang Sugiharto, 1996:30).

                Perkembangan dunia modern yang sarat dengan ilmu dan teknologi dan dengan cara berpikir yang sekuler dan kapital – liberalisme, ternyata telah membawa petaka berupa kehancuran planet bumi sekaligus merupakan ancaman terhadap kehidupan dan peradaban manusia. Karena itu, di mana-mana dewasa ini semangat menyelesaikan segala persoalan manusia dengan mengikutsertakan pertimbangan spiritual sudah mulai bergema lagi. Faktor agama yang suclah lama tidur lelap karena dipandang hanya sebagai candu yang meninabobokan masyarakat, diundang untuk turun tangan kembali. Jika pada masa-masa lalu ternyata agama dapat bersikap aktif dan komunikatif, dengan adaptasi-adaptasi tertentu, diharapkan tentunya agama tersebut dapat memainkan perannya kembali.

Relativisme
                Merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua putusan terhadap nilai bersifat relatif terhadap perspektif dan tujuan yang terbatas. Jadi, tidak ada tempat berpijak yang secara objektif menentukan bahwa sesuatu itu secara normatif benar atau tidak.sekarang zaman postmodern telah datang, yang akan menjungkirbalikkan hampir semua asumsi dan pola pikir zaman modern yang terkesan congkak (arogan) tersebut.
                Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis lainnya.         

BAB II
Sketsa Post Modern : Porak – Porandanya Pengetahuan

                Istilah “postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan. Itulah dia watak postmodem, suatu ungkapan sangat populer, tetapi tanpa definisi yang jelas.
                Di samping itu, bagi kaum postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
                Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
                Paham postmodem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu kebenaran baru ada jika adanya hubungan yang selaras antara. statement yang diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori korespondensi:

Jika Anda berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam lemari es itu untuk membuktikan apakah perkataan Anda benar. 
(Stanley J. Gren-i, 2001: 69).

                Oleh kaum realis, teori korespondensi ini dianggap berlaku universal dimana-mana. Menurut kaum realis, pikiran manusia, dapat mengetahui suatu realitas secara, utuh sehingga. dunia dapat digambarkan secara. utuh, lengkap, dan tepat termasuk menggambarkan rahasia alam semesta, melalui ilmu pengetahuan. Dan kesemuanya itu dapat digambarkan dengan suatu bahasa. yang tepat. Dengan demikian, menurut kaurn postmodem, bahasa. berfungsi sebagai permainan catur, yang memiliki aturan bagaimana seharusnya, suatu pion digerakkan. Jacli, bahasa. ticlak dapat begitu saja clihubungkan dengan suatu realitas karena bahasa ticlak menggambarkan realitas secara tepat clan objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan dunia. dengah berbagai cara. bergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa. tersebut.
                Dengan demikian, aliran critical legal studies, yang antara lain merupakan refleksi aliran postmodem ke dalam bidang hukum mencoba memberikan suatu jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa hukum pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis, filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di samping itu, dengan pendekatan secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam masyarakat, menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru, yang memporak-porandakan premis hukum yang lama.

BAB III
Pengaruh Dari Realisme Hukum

The life of the law has not been logic, it has been experience … the law can not dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics.,
(Oliver Wendell Holmes)

A.            Latar Belakang Lahirnya Aturan Realisme Hukum
                Gerakan critical legal studies, yang semula merupakan keluh kesah dari beberapa pernikir hukum di Amerika Serikat yang kritis, tanpa disangka ternyata begitu cepat gerakan ini nenemukan jati dirinya dan telah menjadi suatu aliran tersendiri dalam teori dan filsafat hukum. Dan ternyata pula bahwa gerakan ini berkembang begitu cepat ke berbagai negara dengan kritikan dan buah pikirnya yang cukup segar dan elegan..
                Sebagaimana biasanya suatu aliran dalarn filsafat hukurn, maka aliran realisme hukum juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan nonhukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
                Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktor perkembangan sosial dan politik.
                Walaupun begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari William James dan John Dewey itu sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap ajaran dari Roscoe Pound.
                Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam dunia filsafat sangat berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang dikembangkan dan dianut oleh William James dan John Dewey. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnya merupakan landasan filsafat terhadap aliran realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para penganut dan inspirator aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau Oliver Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme hukum ini.
                Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan atau overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran tersebut justru saling berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan penganut aliran sociological jurisprudence, merupakan, salah satu pengritik terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan namanya, aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih nyata dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence.

B.            Konsep Pemikiran Dari Realisme Hukum
                Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagaimana. memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada masa yang akan datang.
                Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari . aliran realisme hukurn dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal-sosial terhadap politik hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan dari mitos “hukurn yang netral” yang melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan menganalisis bagaimana sistern hukurn mentransformasi fenomena sosial yang sarat dengan unsur politik ke dalam simbol-simbol operasional yang sudah dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran critical legal studies dengan tegas menolak upaya-upaya dari ajaran realisme hukum dalam hal upaya aliran realisme hukum untvk memformulasi kembali unsur “netralitas” dari sistern hukum.
                Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya sendiri lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka. menyebutnya sebagai “gerakan” realisme hukum (legal realism movement). Nama populer untuk aliran tersebut memang “realisme hukum” (legal realism) meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain seperti: Functional Jurisprudence. Experimental Jurisprudence.Legal Pragmatism. Legal Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific Jurisprudence. Constructive Scepticism.
               
C.            Hubungan Realisme Hukum Dengan Critical Legal Studies
                Kaum realist hukum tidak percaya terhadap pendekatan pada hukum yang dilakukan oleh kaurn positivist dan naturalist, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa hakirn hanya menerapkan hukurn yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran formalisme hukurn bahwa penalaran hukum (legal reasoning) merupakan penalaran yang bersifat syllogism, di mana premis mayor berupa aturan hukurn dan premis minor berupa fakta-fakta yang relevan, sedangkan hasilnya berupa putusan hakim. Menurut ajaran realisme hukum, aliran positivisme maupun allran formalisme sama-sama meremehkan penerapan hukum oleh hakim, di mana menurut golongan ini, peranan hakirn hanya sebatas menerapkan hukum atau paling jauh hanya menafsirkan hukum seperti yang terdapat dalarn aturan perundangundangan. Sebaliknya, menurut aliran realisme hukum, hakim tidak hanya menerapkan atau menafsirkan hukum. Dalarn banyak hal, ketika hakirn memutuskan perkara, hakirn justru membuat hukum. Hukurn yAng dibuat oleh hakirn ini umumnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang politik dan perasaan dari hakirn yang memutuskan perkara tersebut.
                Aliran realisme hukurn pada prinsipnya me.mberikan beberapa tesis sebagai berikut:
1.             Tesis Pertama
Aturan hukurn yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan hakirn karena masing-masing fakta hukum dalarn masing-masing kasus yang bersangkutan bersifat unik.
2.             Tesis Kedua
Karena itu, dalarn memutus perkara, hakirn membuat hukum yang baru.
3.             Tesis Ketiga
Putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral d.ari hakim itu sendiri, bukan bbrdasarkan pertimbangan hukum.

                Karena masuknya ilmu-ilmu positif ke dalam bidang hukum menjadikan hukum seperti kerangka-kerangka yang mati dan tidak berjiwa, maka keadilan yang sebenarnya merupakan tujuan utama bagi hukum, semakin jauh dan kenyataan. Unsur-unsur antropologis sama sekali diabaikan. Nilai-nilai, termasuk nilai keadilan, kebenaran, perlindungan, rasa sayang, empati, dan. lain-lain tidak pernah lagi dipertimbangkan oleh hukum. Hakim dipaksa menjadi semacam robot-robot. Dari sini timbul gagasan untuk menggantikan hakim dengan mesin-mesin komputer saja.
                               
D.            Kritik Terhadap Realisme Hukum
                Sebagai sebuah aliran yang menjelajahi sampai ke dunia filsafat, adalah wajar jika terhadap aliran realisme hukum terjadi perbedaan pendapat dan kritikan-kritikan. Bahkan, pada awal-awal kelahirannya, tentang konsep – konsep dari aliran ini sempat menjadi perdebatan yang terbilang sengit di antara para ahli hukum. Sekitar tahun 1931, bahkah terjadi perdebatan yang cukup seru di antara para ahli hukurn kala itu, khususnya antara Roscoe Pound, Karl Llewellyn, dan Jorerne Frank. Polemik tersebut sangat membekas dan terus berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari aliran realisme hukurn ini.
                Kritik terhadap aliran realisme hukum juga diajukan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan pandangannya tentang proses judisial. Dalam hal ini kritik diajukan terhadap statement yang normatif dan terhadap konsep “logic”, sedangkan terhadap penekanan kaum realis hanya terhadap kasus-kasus yang susah saja.
                Mengenai logika hukum, kaum realisme hukum dikritik bahwa kaum realisme hukum tersebut, terutama Joreme Frank, gagal melihat bahwa logika bukan alat untuk menemukan sesuatu, melainkan lebih merupakan suatu demonstrasi, di mana dari premise yang tetap dapat ditarik kesimpulan tertentu dengan alasan yang logis. Sebagaimana diketahui bahwa kaum realisme hukum memang menentang penarikan kesimpulan hukum dengan menggunakan logika melalui silogisme. Akan tetapi, sebenarnya kaum realisme hukurn sudah membedakan antara alasan (reason) untuk suatu pendapat (opinion) dan logika (logic) untuk mengambil suatu keputusan hukum..

BAB IV
Critical Legal Studies :
Latar Belakang dan Perkembangan

A.            Latar Belakang Lahirnya Critical Legal Studies
                Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu., semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut. Maka, aliran critical legal studies datang pada saat yang tepat dengan menawarkan diri sebagai pengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin – doktrin baru dalarn hukum kontemporer.
                Aliran critical legal studies mengritik aliran-aliran hukum yang sedang berkembang saat itu yang diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern dalarn hukum. Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut memiliki -karakteristik yang liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku pada umumnya di bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam bidang hukum, aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran critical legal studies tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme hukum.
               
B.            Critical Legal Studies Sebagai Tanggapan Terhadap Ketidakberdayaan Hukum
                Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya memunculkan suatu aliran baru dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies). Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya. sejarah.
                Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).

C.  Critical Legal Studies, Formalisme, dan Pluralisme Hukum
                Sebagaimana diketahui bahwa aliran critical legal studies merupakan reaksi terhadap aliran-aliran hukum sebelumnya, di mana aliran hukum sebelumnya tersebut sangat berpegang pada. paradigma bahwa hukum terpisah dengan faktor politik dan moral, dengan mengagung-agungkan manusia sebagai pernegang hak individual dan penyandang kewajiban hukum, dan dengan mengabaikan hubungan politik dan sosial di antara para anggota masyarakat.
                Di samping itu, menurut paham formalisme hukum, hukum bersifat imperatif, karena hukum tersebut dibuat oleh negara. dan alat-alat pelengkapan negara bertugas untuk menjalankan hukum tersebut. Pemerintah bersama~sama dengan DPR mempunyai otoritas untuk membuat undang-undang, yang akan diterapkan oleh hakim di pengadilan. Pemikiran seperti ini membawa akibat bahwa validitas hukum tidak lagi dilihat pada aspek substantifnya. Yang dilihat hanyalah faktor formalnya, seperti keabasahan prosedur pembuatan dan penerapan hukum, kewenangan pejabat pembuat dan penerap hukum, dan lain-lain.

D. Critical Legal Studies dan Sejarah Hukum
                Aliran critical legal studies juga banyak memberikan pandangannya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum.
                Selanjutnya, kaum critical legal studies juga. Tidak percaya pada pandangan kaurn adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang deskriptif maupun terhadap pandangannya yang normatif.Pandangan yang deskriptif dari kaurn adaptationism menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya berisikan suatu daftar dari tema-tema umurn saja, sedangkan pandangannya yang normatif menyatakan bahwa. masa kini merupakan perbaikan yang terus-menerus terhadap masa lalu sehingga. apa yang terjadi masa kini harus disambut dengan baik.
                Sebenarnya, yang pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah mazhab frankfurt, yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social Research dari University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana berhaluan kiri. Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak begitu jelas batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di kembangkan antara lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk teori-teori sebagai berikut: Teori marxist dari Frankfurt School, Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan Roland Barthes, Teori psychoanalythic dari Jacquest Lacan, Critical legal studies dari Roberto Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori gender, Teori kultural, Teori critical race, Teori radical criminology.

E.. Critical Race Theory ( Race – Crits )
                Sebagaimana diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan critical legal studies ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin, Medison, dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran critical legal studies, yaitu aliran critical feminist jurisprudence dan aliran critical race theory.
               
F.  Respons dari Kaum Ortodoks Terhadap Critical Legal Studies
                Sebagai suatu ajaran dalarm filsafat, sudah barang tentu aliran critical legal studies ini mendapat resp6ns dan kritik dari berbagai sudut pandang. Di antara respons yang penting terhadap aliran critical legal studies tersebut adalah responsns dari kaum ortodoks, yang merupakan para penganut dari aliran liberal dalam hukum. Pada pnn.sipnya, mereka mengritik aliran critical legal studies ini, baik dari segi indeterminasi dan legitimasi maupun dari hasil yang didapati. Mernang banyak ahli hukum menyatakan bahwa karena posisi yang diambil oleh aliran critical legal studies ini sangat ekstrem, dalam, banyak hal malahan overstated, menyebabkan mereka sangat mudah dikritik oleh pihak yang tidak menyetujuinya.

BAB VI
Critical Legal Studies Tentang
Kekuasaan dan Masyarakat

A.            Peranan Hukum dalam Masyarakat

Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu, tentu saja, peranan hukum dalam’masyarakat yang teratur seharusnya cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapa kaeaunya masyarakat jika hukurn tidak berperan. Masyarakat tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah, sebagaimana pernah disetir oleh ahli pikir terkemuka, yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo Homini Lupus. Dan, yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan perkembangan alam akan tersisih dan dibiarkan tersisih, sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori seleksi alamnya (natural selection), di mana yang kuat yang akan survive (the fittest of survival). Karena itu, intervensi hukurn untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak), Dalam hal ini, hukum akan bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan manusia tersebut dijalankan sehingga tidak menggilas orang’lain yang tidak punya kekuasaan.


BAB VII
Critical Legal Studies Menurut Roberto Unger

A.            Kritik Terhadap Paham Formalisme dan Objektivisme
               Ketika paham formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum apa yang mereka lakukan hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian, apa yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah semacam permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak manusia dan masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan menggunakan analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum yang cerdas dengan mudah dapat membantah keputusan hukum.
                Roberto Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaurn critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, ~sebenarnya juga dalam rarigka mempertahankan ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga dalarn rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat (Roberto Unger, .1986: 11).
               
B.            Konsep – Konsep dari Aliran Critical Legal Studies
                Telaahan dari para penganut aliran critical legal studies terhadap hukum juga ikut membicarakan antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen konstruktif mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan pelaksanaan doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide, yang selalu dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai bentuk eksperimen kolektif. Para penganut aliran critical legal studies menganalisis dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn yang ada yang mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi penuh, dengan hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul argumentasi alternatif yang bersifat persuasif.
                Para pengritik memperbedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga mereka sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai suatu putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat memperjelas duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan dalam hidup adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Para pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif, akan sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk mensakralkan setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.

C.            Program – program Institusional dari Aliran Critical Legal Studies
                Para penganut aliran critical legal studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan hegara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.