Sabtu, 30 April 2011

Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem Hukum Nasional (Suatu Kajian dalam Perspektif Politik Hukum)

(Oleh : H. Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.).
Abstrak


. Penulis adalah wisudawan Terbaik Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Ekonomi Universitas Negeri Jember (UNEJ) Th. 2006 dan sekarang menjadi Hakim pada Pengadilan Agama Martapura.
1. Vide Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 jo. tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Sejak abad ke-16 Miladiyah, berbagai nama telah melekat pada lembaga ini, seperti: peradilan surambi, peradilan surau, mahkamah syar’iyah, mahkamah balai agama, majelis pengadilan agama Islam, badan hokum syara’, pengadilan penghulu, qadli syara’ , kerapatan qadli dan lain-lain.

3. Berdasarkan Surat Keputusan No. 24 Tanggal 19 Januari 1882 Stb. 1882 No. 152 dengan nama yang salah yakni Priesterraad atau “Pengadilan Pendeta”.

4. Terbagi dalam 4 Buku: Buku I Tentang Subyek Hukum dan Amwal, Buku II Tentang Akad, Buku III Tentang Zakat dan Hibah, Buku IV Tentang Akuntansi Syari’ah.
Sebagai salah satu pilar yudikatif1, sejatinya peradilan agama bukanlah lembaga “pupuk bawang”. Terlebih jika kita merekonstruksi lembaran historis, dinamika dan eksistensinya. Baik sejak zaman kesultanan, masa penjajahan, masa kemerdekaan hingga era reformasi, peradilan agama telah meniti rentang sejarah yang panjang, bahkan konon lebih tua dari usia republik ini2.
Menurut catatan sejarah, kendatipun Peradilan agama secara yuridis konstitusional telah dibentuk sejak tahun 18823, namun hingga kini belum memiliki kitab undang-undang sebagai buku standar (materiil) yang dijadikan sebagai rujukan bersama layaknya KUHPerdata atau KUHP. Hadirnya KHES4 memang prestasi monumental yang patut disyukuri dan dibanggakan, namun -tanpa mengecilkan eksistensinya-, secara jujur harus disadari bahwa kehadirannya tidak lebih hanya sebagai “pedoman” bagi para hakim dalam Lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Hampir sama dengan posisi saudara tuanya, yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni sebagai pintu darurat untuk menghindari kekosongan hukum, yang berbeda hanya pada payung hukumnya (umbrella provision)

5.Belum adanya instrumentasi hukum yang memadai bagi hakim dalam mengemban amanah tersebut, patut dikhawatirkan dalam menangani perkara yang sama muncul putusan yang
berdisparitas, seperti adegium different judge different sentence. Dalam perspektif teori hukum, hal ini berbenturan dengan prinsip kepastian hukum. Untuk meminimalisir kondisi di atas, maka perjuangan seyogyanya tidak hanya berhenti pada PERMA, perlu gagasan bagaimana KHES ini nantinya diusung menjadi “cikal-bakal”
undang-undang produk legislasi, bukan semata-mata subtansinya tetapi perlu pengakuan secara legal formal dan positif, sehingga tidak sekedar menjadi pedoman, tetapi
menjadi kitab undang-undang yang secara yuridis konstitusional mengikat.

A. Mukadimah

Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap
pembangunan hukum. Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.6 Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan dan pergumulan antarpentingan.
Badan pembuat undang-undang merupakan representasi konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan
pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan
membuat putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak
zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.
Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang
pembuatan dan penegakan hukum.9 Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang
bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.
Senada dengan pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar.11 Begitupula sebaliknya ketika menengok sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan. Hukum Islam hanya dipandang sebagai hukum apabila diresepsi ke dalam hukum adat, itu pun dalam strata ketiga setelah hukum Eropah dan hukum Adat orang timur asing (Arab, China dan India).12
Indonesia yang merupakan negara jajahan Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan sistem hukum asing ke dalam hukum masyarakat pribumi.

B. Refleksi Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia
Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun khusus dalam bidang ekonomi masih belum merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam khususnya, dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya.
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang
berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan
ekonomi syari’ah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah, skopnya hanya mengatur seputar struktur organisasi dan tehnis operasional
perbankan syari’ah. Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam -yang melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah.
Selanjutnya wajar pula dalam hubungan keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional.Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 107. Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh
Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 43.

Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya dapat mengakui
atau mempertahankan hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yang merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan kolonialis.16

C. Mengusung Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem Hukum Nasional

Dari perspektif sistem hukum nasional, bentuk negara kesatuan RI bukan sekedar fenomena yuridis-konstitusional, tetapi merupakan suatu yang oleh Friedman disebut sebagai “people attitudes” yang mengandung hal-hal seperti di atas yakni: beliefs, values, ideas, expectations. Paham negara kesatuan bagi bangsa Indonesia adalah suatu keyakinan, suatu nilai, suatu cita dan harapan-harapan. Dengan unsur-unsur tersebut, paham negara kesatuan bagi rakyat Indonesia mempunyai makna ideologis bahkan filosofis, bukan sekedar yuridis-formal. Dengan perkataan lain, sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan unsur budaya. Oleh karenanya, menurut Solly Lubis, dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat secara mendasar (grounded, dogmatie) dimensi kultur seyogyanya mendahului dimensi politik
dan hukum. Berkaitan dengan subtansi hukum, meskipun Pengadilan Agama telah lama diakaui eksistensinya, namun masih belum mempunyai kitab hukum yang dijadikan standarisasi bagi hakim dalam memutus perkara selevel KUHPdt. Suatu hal yang perlu dicatat adalah sejauhmana kesungguhan lembaga eksekutif maupun legislatif untuk merumuskan undang-undang bagi para hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Padahal justru melalui program legislasi nasional itu, hukum Islam tidak hanya mejadi hukum positif, namun kadar hukum itu akan menjadi bagian terbesar dari pelaksanaan hukum termasuk diantaranya hukum Islam yang mengatur masalah ekonomi syari’ah.

silahkan download disini

Perbedaan Syariah dan Fiqih adalah

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia,Baik Muslim maupun bukan Muslim.Selain berisi hukum dan aturan,Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini.Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam adalah sumber hukum Islam yang pertama kerana merupakan firman Allah yang disampaikan pada Nabi Muhammad SAW.Karena tidak semuanya dinyatakan secara zahiriah, terdapat pelbagai tafsiran tentang isi-isi Al-Qur’an namun tidak ada yang saling bertentangan.

Fiqih (bahasa Arab) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.

Fiqih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat empat mazhab dari Sunni,Satu mazhab dari Syiah, dan Khawarij yang mempelajari tentang fiqih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fiqih disebut Faqih.

Kamis, 28 April 2011

Perkawina Menurut Islam


Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.

PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).

A. Islam Menganjurkan NikahIslam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).

B. Islam Tidak Menyukai MembujangRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu).
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20).

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang IslamiDalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :
a. Harus Kafa’ah
b. Shalihah a. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat. 4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya
diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).

SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN 1. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk
menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram. 2. Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)
3. Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).
4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).
5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”.
‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah :
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”
Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
‘Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
6. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya. 7. Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.

KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum : 21).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya
masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.
Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.
Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).
“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74)
Amiin. Wallahu a’alam bish shawab.

Masa Depan Pemikiran Islam

Nara Sumber: Ulil Abshar-Abdalla, M Jadul Maula, Fachry Ali, Amin Abdullah
Moderarator Luthfi Assyaukanie

Luthfi Assyaukanie
Tema diskusi malam ini adalah masa depan pemikiran islam di Indonesia. Tema ini merupakan salah tema yang sangat seksis dan berbahaya karena di dalam wacana pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah tafkir itu bertukar kata dengan takfir. Jika tafkir berarti pemikiran, maka takfir artinya pengkafiran. Nashr Hamir Abu Zaid adalah satu contoh orang yang selalu berfikir yang kemudian dikafirkan karena pemikirannya itu. Ia menulis buku dengan titel Al-tafkir fi Zaman al-Takfir (Pemikiran pada Zaman Pengkafiran). Menurut Zaid, zaman pengkafiran terhadap orang yang menggerakkan pemikiran demikian kuat.
Saya pernah memberikan kata pengantar untuk buku Albert Hourani, “Pemikiran Liberal di Dunia Arab”. Saya menyebutkan bahwa pengkafiran merupakan sebuah fenomena belakangan, persisnya tahun 1930-an yang terjadi setelah gagalnya era liberal. Hourani membagi tiga zaman. Pertama, awal abad 19 sampai tahun 1920-an, Kedua, dari tahun 1920-an sampai tahun 1930-an. Ketiga, dari tahun 1930-an sampai tahun 1940-an. Memasuki tahun 1940-an muncul berbagai isu politik yang melanda dunia Arab, terciptanya negara Israel, banyaknya tuntutan kemerdekaan. Di situ terjadi distraksi pemikiran Islam yang bernuansa liberal dan sejak saat itulah fenomena pengkafiran itu mulai marak dan puncaknya adalah dua puluh tahun belakangan. Begitu banyak kasus pengkafiran di dunia Arab dan sudah banyak memakan korban. Di Indonesia ini, Ulil Abshar Abdalla merupakan orang yang terkena korban pengkafiran, karena dia banyak berfikir maka dia masuk dalam perangkap kafir.
Saudara sekalian saya tidak ingin memperpanjang lebar karena kita memiliki banyak pembicara di sini. Sedianya saya ingin memberikan atau membahas sejarah pemikiran isalam di Indonesia dan kurang baik kalau kita tidak mengaitkan faktor sejarah pemikiran Islam di Indonesia. Saya akan memberikan kronologi pembicara, di mulai dari Ulil Abshar-Abdalla, M. Jadul Maula, Fachry Ali, dan Amin Abdullah.

Ulil Abshar-Abdalla
Pada malam hari ini, kita akan berbicara mengenai masa depan pemikiran Islam. Ada dua hal yang harus dibedakan, antara pemikiran Islam dan aksi Islam. Kita di sini berbicara mengenai aspek yang berkaitan dengan pemikiran yaitu berkaitan dengan perkembangan intelektual dan kita tidak membicarakan tentang aksi umat Islam. Memang pemikiran islam tidak bisa dipisahkan dengan aksi umat Islam. Kita sengaja membatasi pada perkembangan pemikiran atau perkembangan intelektual di kalangan Islam, sementara pembicaraan mengenai perkembangan aksi umat Islam dalam bentuk organisasi, dalam bentuk gerakan, kita carikan forum yang lain.
Kalau kita lihat kilas balik ke belakang, saya kira pemikiran Islam di Indonesia mempunyai tradisi yang cukup beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang
diinspirasikan oleh pemikiran dari Barat. Mereka ini adalah orang orang yang dididik di dalam pendidikan Barat, dalam pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam yang berkembang di dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di Timur Tengah. Di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada debat antara orang orang tamatan Barat dan yang disebut tamatan Timur Tengah. Meskipun polarisasi tidak seseru yang dibayangkan, tetapi tetap ada perbedaan atau semacam gab di antara mereka. Ada asumsi, orang orang belajar Islam di Barat dianggap kurang valid. Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis dan seterusnya. Kemudian, orang orang yang di Timur Tengah merasa unggul karena mereka belajar di pusat pengetahuan Islam yang lebih murni.
Sejarah pemikiran Islam di Indonesia selain mengalami pola semacam itu, juga ada suatu perkembangan yang menarik. Tonggak pemikiran di Indonesia dimulai salah satunya dengan pembaharuan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), meskipun gerakan yang dimulai Cak Nur sebetulnya akar-akarnya sudah lama. Kalau kita lihat ke belakang, pemikiran Islam liberal misalnya sudah memiliki akar yang cukup panjang pada intelektual Islam didikan Barat pada tahun 30-an, seperti Agus Salim. Walau dia tidak pernah sekolah di Barat, dia sangat akrab dengan buku-buku Barat. Seperti juga orang-orang yang tergabung dalam Young Islamitten Bond. Kemudian juga kaum intelektual Muslim tahun 1930-an yang inspirasi pemikiran Islamnya diambil dari orang orang Ahmadiyah. Sangat menarik, pada tahun 1930-an para intelektuil Islam itu lebih banyak membaca buku Islam yang dikarang Ahmadiyah yang ditulis dengan bahasa Belanda. Dan memang tradisi pemikiran yang diajukan atau dikenalkan oleh kalangan Ahmadiyah jauh lebih rasional ketimbang pemikiran Islam yang berkembang di pesantren misalnya. Pada tahun 1930, kita melihat buku yang dikarang Maulana Muhammad Ali, salah satu penerjemah Alqur`an dalam bahasa Inggris pertama oleh seorang Muslim, dengan judul The Religion of Islam. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual pada saat itu. Buku ini memberikan eksposisi ataupun penjelasan tentang Islam secara rasional, dan lebih tepat jika dibaca oleh kalangan terdidik pada zaman itu.
Jadi, akar pemikiran Islam liberal sudah ada pada zaman itu. Cak Nur kemudian menandai suatu periode baru ketika dia mengenalkan gerakan pembaharuan Islam yang cukup kontroversial. Tentu di sini ada dua tokoh penting selain Cak Nur, yaitu Gus Dur. Kalau boleh kita bilang, Cak Nur adalah seorang yang meletakkan landasan tradisi pemikiran Islam liberal di luar pesantren, maka Gus Dur Gus Dur telah membuka dataran pemikiran baru di kalangan pesantren. Saya kira ini dua ikon besar yang susah diulang kembali. Peran mereka sangat signifikan dan saya kira hampir semua sarjana Islam belakangan jika mau membahas tentang pemikiran Islam Indonesia, umumnya merujuk pada dua tokoh ini. Tentu di sekitar mereka ada tokoh satelit. Tapi, saya pikir dua tokoh ini yang paling penting.
Namun, menurut saya, ada satu karakter penting di dalam dua pikiran dua tokoh ini. Apa yang membedakan antara generasi saya, Jadul dan yang lain lain dengan generasi Cak Nur dan Gus Dur? Salah satu karakter penting, bahwa pada saat Cak Nur dan Gus Dur muncul sebagai pemikir, ruang publik belum bebas seperti yang kita nikmati sekarang ini. Ketika Cak Nur melontarkan kritik terhadap fundamentalisme Islam sebetulnya kalangan fundamentalis tidak menikmati ruang publik yang sama, yang bebas seperti Cak Nur. Salah seorang teman kalau tidak salah Saiful Mujani pernah menulis pada tahun 1980an di majalah Prisma. Saiful mengatakan tentang ketidak-seimbangan ruang publik tersebut. Cak Nur
menikmati ruang publik yang disediakan oleh Orde Baru. Sebab, Orde Baru ketika itu secara implisit memberikan endorsement pada pemikiran yang toleran, moderat seperti Cak Nur. Sementara lawan-lawanya, yang disebut Cak Nur dengan kalangan fundamentalis, tidak menikmati ruang yang sama. Oleh karena itu, ada situasi yang tidak setara antara Cak Nur dan Gus Dur di satu pihak dengan kalangan fundamentalis di pihak lain. Gus Dur dan Cak Nur menikmati ruang publik yang disediakan Orde Baru. Ruang publik tidak diperbolekhkan dimasuki kalangan fundamentalis. Mereka ditekan dan dipinggirkan.
Nah, generasi saya dan Jadul sekarang ini berbeda. Kita menghadapi ruang publik yang berbeda. kalangan fundamentalis yang dulunya dilarang masuk ke ruang publik itu, sekarang bebas menikmati ruang publik. Orang-orang Hizbut Tahrir, FPI MMI, dll mempunyai status legal yang sama dengan Jaringan Islam Liberal. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka menikmati keuntungan yang lebih baik ketimbang kami. Saya tidak bisa membayangkan orang-orang Hizbut Tahrir dan MMI bisa berdiri pada tahun 1970-an, 1980-an. Jadi saya kira ada ruang publik yang berbeda atau karakter yang berbeda antara peride saya dengan periode Cak Nur. Sekarang rung publiknya jauh lebih terbuka, lebih egaliter, demokratis. Semua kelompok diberi kesempatan untuk berbicara.
Oleh karena itu, tantangan yang dialami generasi pasca-Cak Nur jauh lebih menantang. Saya tidak mengatakan jauh lebih berat, karena Cak Nur dan Gus Dur menghadapi tantangannya sendiri dan tentu juga berat. Tetapi, menurut saya ruang publik sekarang ini lebih menantang ketimbang periode Cak Nur dan Gus Dur. Kita menghadapi bukan saja kelompok kelompok yang bawah tanah tetapi juga kelompok-kelompok lain yang semuanya legal. Isu-isunya makin mangalami ramifisasi atau pencabangan kepada hal-hal yang lebih kecil. Kalau boleh saya memakai suatu periodesasi yang agak longgar, maka generasi Cak Nur dan Gus Dur berada dalam periode nation building. Mereka menghadapi isu-isu isu besar yang bersifat ideologis. Misalnya, persoalan besar yang menjadi perhatian umat Islam pada zaman Cak Nur adalah apakah Islam bisa menjadi dasar suatu partai; apakah Islam bisa menjadi ideologi yang setara dengan ideologi sosialisme dan yang lain lain. Itu masalah yang dihadapi Cak Nur. Masalah besar yang kemudian direspon oleh Gus Dur adalah masalah hubungan Islam dengan ideologi negara. Menurut saya kontribusi penting pada zaman itu adalah ketika mereka berhasil memberikan suatu argumen teologis keagamaan yang bisa memungkinkan orang Islam menerima Pancasila.
Generasi pasca-Gus Dur dan Cak Nur itu lain. Sekarang, isu yang kita hadapi bukan isu besar yang bersifat ideologis. Yang kita hadapi adalah isu yang jauh lebih kecil, yang bersifat mikroskopik. Persoalan ideologi Islam tidak ada lagi atau kurang menjadi perhatian umat Islam. Isu tentang hubungan antara negara dan agama tidak menjadi isu yang serius seperti pada generasi Gus Dur. Isu yang menjadi debat di kalangan umat Islam adalah lebih detil, misalnya tentang formalisasi syariat Islam, sebuah isu yang menurut saya benar-benar baru, karena tidak pernah dihadapi oleh generasi Muhammad Natsir tahun 50-an, dan generasi Cak Nur dan Gus Dur pada tahun 1970-an.
Formalisasi syariat Islam adalah isu khas yang kita hadapi sekarang ini. Isu penting yang berkaitan dengan itu misalnya adalah Counter Legal Draft yang disusun oleh sejumlah team di Departemen Agama. Isu tentang detail-detail hukum keluarga. Oleh karena isu-isu yang berkembang terkait dengan detail-detail agama, maka mau tidak mau para pemikir Islam liberal diharuskan untuk berbicara pada lefel yang spesifik. Poin inilah yang bisa menjelaskan kemunculan teman-teman seperti teman saya sendiri di Jaringan Islam Liberal, Abdul Moqsith Ghazali. Saudara Moqsith ini orang tamatan pesantren dan orang seperti dia itu cukup banyak di
belakangnya. Dia mencoba berhadapan dengan isu-isu detail seperti isu hukum keluarga itu, Kompilasi Hukum islam itu. Moqsith terpaksa harus masuk dalam isu-isu yang kecil dan harus merumuskan suatu kaidah atau ushul fikih baru. Jadi, perkembangan pemikiran Islam terakhir ini mulai menyentuh aspek yang berkaitan dengan metodologi ushul fiqh yang pada generasi Cak Nur dan Gus Dur tidak pernah disentuh. Memang Gus Dur atau Cak Nur sering mengunakan kaidah fiqh, tetapi ushul fiqh sebagai suatu tradisi legal teori yang menjadi landasan hukum Islam tidak pernah disentuh sama sekali. Baru sekarang ini orang mulai bicara tentang perlunya memperbaharui Ushul Fiqh.
Saya kira, kalau saya boleh berbangga bahwa sumbangan penting yang diberikan oleh generasi saya dan di bawahnya sekarang ini adalah tentang pentingnya merumuskan suatu ushul fiqh baru. Ini isunya sangat detail sekali, saya tidak bisa membicarakan secara detail disini tetapi buktinya bahwa ushul fiqh inilah yang menjadi batu sandungan kenapa hukum Islam yang selama ini beredar di kalangan umat Islam dianggap sakral dan dianggap sebagai sesuatu yang kedudukannya permanen dan harus dilaksanakan dalam segala zaman.
Abu Bakar Ba’asyir melalui grupnya MMI pernah mengajukan usulan tentang syariat Islam. Amat mengagetkan, sebab hampir semua pasal yang dicantumkan diambil secara mentah dari literatur fiqh lama, tanpa melalui penelaahan ulang. Itulah yang menjelaskan kenapa misalnya kalau kita lihat usulan hukum kriminal yang dibuat oleh MMI itu persis seperti usulan yang dibuat Malaysia. Hal semacam ini tidak pernah dihadapi oleh generrasi Gus Dur. Nah, bagaimana kita berhadapan dengan itu? Kalau kita mau menghadapi kelompok kelompok semacam ini, maka tidak bisa tidak kkita harus menghadapi masalah ini dengan cara yang mereka gunakan. Artinya kita harus berani melayani mereka di level yang sama yaitu pada level hukum Islam klasik itu sendiri. Dan ini berarti kita harus berani menelaah ushul fiqh lama.
Terakhir, saya akan sampaikan bahwa tentu masa depan pemikiran Islam cukup panjang. Tetapi tantangan di dalam pemikiran Islam ke depan lebih banyak berkaitan dengan isu-isu kecil semacam ini. Di dalam parlemen masih ada banyak sekali undang undang antri untuk disahkan, salah satunya isu yang akan menyita perhatian di masa depan adalah isu yang berkaitan dengan penyempurnaan KUHP. Di situ ada pasal tentang definisi zina. Juga ada pasal pasal yang berkaitan dengan penghinaan atas agama. Di Aceh ada kanon yang sudah dipersiapkan tetapi belum dibahas dan disahkan keburu ada sunami. Juga tentang pornografi. Artinya tantangan masa depan Islam adalah bagaimana memenangkan pertaraungan di level legal formal. Itu penting sekali, sebab di era demokrasi pada akhirnya semua kelompok bebas menyatakan pendapatnya dan arena pertarungan di arena demokrasi tidak bisa lain kecuali parlemen. Oleh karena itu, pertarungan paling penting adalah pertarungan menentukan suatu undang undang atau hukum.

Luthfi Assyaukanie
Tadi Ulil sudah memberikan banyak sekali nuansa dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dia menjelaskan akar-akar historis dari pemikiran Islam yang di antaranya bersumber pada dan Timur Tengah. Kalau kita melihat pemikiran Islam sejak masa kebangkitan atau awal abab 19 misalnya, maka kita menemukan sebuah keutuhan yang unik. Ini berkaitan dengan klaim keislaman dalam pemikiran Islam itu sendiri.
Dan saya kira tidak hanya dalam pemikiran Islam, di dalam pemikiran Barat pun itu kadang sebuah sumber pemikiran menghasilkan banyak percikan, yang satu sama lain saling berbeda. Kalau kita lihat sejarah filsafat modern juga begitu.
Hegel itu menurunkan dua mazhab yang saling bertolak belakang, Hegel kanan dan hegel kiri. Muhammad Abduh sebagai ikon penting pemikiran Islam abad 20 juga menghasilkan duz madzhab, yaitu Abduh kiri dan Abduh kanan. Abduh kiri diwakili oleh Ali Abdul Roziq yang kemudian memperkenalkan gagasan gagasan liberal dan termasuk gagasan sekulerisme. Sayyid Qutb semakin hari semakin ke kanan. Begitu juga dalam konteks Indonesia, kalau kita menganggap Muhammad Natsir sebagai salah satu ikon pemikiran pemikiran Islam pada awal kemerdekaan. Dari Muhammad Natsir misalnya telah lahir dua madzhab yang kontras. Cak Nur yang dahulu dijuluki sebagai Natsir muda mewakili Natsir kiri dan orang-orang yang di Dewan Dakwah yang mewakili Natsir Kanan.
Pembica selanjutnya adalah M. Jadul Maula. Saya berharap ia bisa mengelaborasi atau menjawab pertanyaan ini.
M. Jadul Maula
Sebelum saya menjawab pertanyaan Saudara Luthfi, saya ingin memberikan respons atas apa yang disampaikan Ulil menyangkut ruang publik yang berbeda antara periode Cak Nur-Gus Dur dan generasi Ulil dan kita sekarang. Ruang publik generasi sekarang memang lebih luas dan terbuka. Generasi sekarang tidak menghadapi isu dan ideologi besar, melainkan menghadapi isu yang mikroskopik, isu-isu kecil yang seolah olah berdiri sendiri.
Saya berbeda dengan Ulil. Justru dalam periode sekarang saya merasakan bahwa kita menghadapi isu besar, menyangkut nasib manusia per manusia yang riil menyangkut rasa rasa keadilannya. Kita merasa ruang publik demikian terbuka, padahal ada dominasi pasar di sana. Menurut saya, persoalan kenaikan BBM adalah sesuatu yang menyangkut rasa keadilan orang per orang. Saya yakin, ketika SBY kampanye dulu menyampaikan penaikan harga BBM ini, pasti ia tidak akan terpilih sebagai Presiden. Ini juga permasalahan yang dihadapi oleh pemikir Islam sekarang ini
Saya mempunyai isu lain yang cukup penting dan perlu didiskusikan, yaitu mengenai perkembangan pemikiran Islam ke depan. Basis metodologi dan epistemologi sejarah pemikiran Islam Indonesia harus betul-betul dicari. Misalnya pertanyaan yang sederhana, kapan sebenarnya masa pembentukan pemikiran Indonesia (‘ashrut takwin). Kalau Timur Tengah jelas memiliki asrut takwin pada abad ke 6 H-7 H. atau abad 11 M.-12M. Sehingga kalau mau merumuskan satu nalar Islam Arab, mereka akan merujuk pada teks teks otoritatif yang ditulis dan dicetak pada masa masa itu. Nah, Islam Indonesia kapan ‘ashrut takwinnya dan teks-teks otoritatif apa yang mesti dirujuk ketika kita ingin mendefinisikan dan merekontruksi pemikiran Islam Indonesia. Bagaimana metodologinya.
Kita akan sulit mengembangkan pemikiran ke depan ketika kita belum berhasil dan menemukan kaki pemikiran Islam Indonesia. Kaki pemikiran ini mseti ditemukan sehingga islam Indonesia dapat berdialog secara kreatif dan produktif dengan ilmu ilmu lain, yang mungkin dari Barat, China, Arab, India, atau lainnya. Ketika IAIN Jogjakarta mau diubah menjadi UIN, maka pengembangan pemikiran lebih diarahkan pada dialog antara dua sumber, yaitu Barat dan Arab. Selalu dibilang bahwa ramuannya hanya dua itu. Saya bertanya, basis Indonesianya mana? Tidak mempunyai kaki ke-indonesia-an. Dan sumbernya pun cukup terbatas pada Arab dan Barat, tidak dicoba untuk dicarikan di tempat-tempat lain. Padahal, Hamzah Fanshuri yang dari Aceh itu ketika menjelaskan hadits “uthlubul ilma walau Bisshin” (tuntuntulah ilmu walau ke negeri China) ditandai dengan “uthlubul ilma walau bisshin wal bulgaria” (Carilah ilmu walau samapi ke negeri China dan Bulgharia). Hamzah Fausuri juga memikirkan dialog Islam Aceh, Nusantara, China, dan
Bulgaria yaitu negara dekat Asia Tengah yang memberikan aspirasi besar buat perkembangan Islam Indonesia. Tokoh Islam dari Asia tengah ini salah satunya adalah Syaih Ibrahim al-Shamad atau al-Shamarra. Jadi, semejak abad abad 15 sebenarnya sudah ada dialog yang kuat antara pemikiran nusantara dan daerah-daerah lain yang mungkin kita tidak kenalnya. Dalam kaitan itu sebenarnya menarik, saya ingin memberikan salah satu contoh untuk menentukan ‘ashrut takwin.
Saya kira, satu kata penting yang berpengaruh dalam membentuk dan mengkreasi gerakan pemikiran Islam Indonesia adalah wihdatul wujud. Saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan satu naskah yang ditulis oleh Samsudin Al-Sumatrani. Kitab ini mau menjelaskan tentang muwahhid (orang yang bertauhid) dan mulhid (yang tidak bertauhid). Di dalam kitab itu juga dijelaskan tentang wihdatul wujud. Wihdatul wujud ini sebenarnya masuk ke Indonesia merupakan inspirasi dari kitab-kitab yang ditulis oleh Ibnu Arabi, Abdul Karil Al-Jili dan seterusnya.
Jadi ketika al-Jabiri berbicara tentang takwinul aqli al-Arab al-Islami (pembentukan nalar Islam Arab), dia mengatakan bahwa abad abad 12 itu merupakan masa bangkrutnya spirit jiwa nalar Islam yang tumbuh dilingkungan peradaban Arab yang disebut sebagai masa jatuh. Al Jabiri mengatakan, disebut masa jatuh karena terjadi pertikaian yang berlarut-larut antar-berbagai jenis sistem pengetahuaan; bayani, burhani, dan ‘irfani. Sistem bayani yaitu sistem pengetahuan yang bekerja untuk memaknai teks membaca teks Qur`an, Hadits, Fikih, Ushul Fikih. Mereka mengambil makna dari Qur`an dan Hadits, lalu bertikai merebut makna itu. Kelompok bayani ini juga bertikai dengan kelompok burhani, yaitu satu kelompok yang mengambil satu kesimpulan berdasarkan logika. Kedua kelompok ini kemudian bersitegang dengan kelompok ‘irfani. Sistem ‘irfani ini mengambil kesimpulan bukan dari teks, logika tetapi langsung dari Tuhan dengan menggunakan intiusi atau mukasyafah.
Ketiga sistem ini terjebak dalam pertikaiaan walau pada akhirnya ada kompromi. Celakanya, demikian al-Jabiri, pada perkembangan kemudian di Arab telah terjadi koalisi antara ‘irfani dan bayani dengan tokohnya al-Ghazali. Al-Ghazali yang mem-bayani-kan yang ‘irfani. Tasawuf ditaklukan dalam sistem bayani. Hasil koalisi ini kemudian dapat mengalahkan yang burhani sehingga burhani berpindah ke Eropa yang dikembangkan oleh orang-orang seperti Ibnu Rusyd. Yang lupa untuk dibicarakan adalah Ibnu Arabi. Bahwa ketika menulis kitab al-Futuhat al-Makiyah, Ibnu Arabi telah melakukan satu sintensi yang sangat berani dan kreatif serta produktif dan menurut saya sangat inspiratif terhadap semua pertikaian nalar itu; burhani, bayani dan ‘irfani. Dalam perkembangannya pemikiran Ibnu Arabi mengalami diaspora hingga sampai ke Nusantara. Yang salah satu buktinya terdapat di teks Samsudin Al-Sumatrani. Saya akan mengajukan satu tesis bahwa produk eksperimentasi dari wahdatul wujud Indonesia yang berlangsung pada abad 15, 16, dan 17 telah mengahasilkan kumpulan naskah. Disini kita bisa merumuskan nalar Islam Indonesia.

Fachry Ali
Saya mau menyatakan bahwa yang sebenarnaya menjadi pelopor dari gagasan gagasan liberal di Indonesia ini adalah mereka yang punya basis keislaman dan budaya yang kuat dan harus saya katakan itu dari kalangan NU atau kaum Nahdhiyin.
Memang saya sering mengatakan bahwa Muhamadiyah akar budayanya itu adalah perkotaan dan pertumbuhan Muhammadiyah itu juga merupakan refleksi dari--menurut hipotesa saya bahkan mungkin dari Mas Dawam Raharjo--sebuah usaha
masyarakat kota untuk menunjukan sikap paguyuban baru. Muhamadiyah itu refleksi dari gagasan itu. Persoalannya bahwa di wilayah perkotaan selalu saja budaya itu tidak pernah mendekam lama. Salah satu contohnya adalah pada budaya Betawi yang tidak bisa berkembang. Inilah yang menjadi persoalan struktural yang dihadapi Muhamadiyah. Sebaliknya, di kalangan nahdhiyin seluruh peradaban Islam itu tersangkut dan terpendam lama di dalam masyarakat dalam bentuk tradisi dan sebagainya. Mereka yang hidup di dunia nahdhiyyin atau dunia pesantren pada umumnya sudah merengguk begitu banyak gagasan spekulatif. Mereka menguasai bahasa Arab dengan sangat baik sehingga mengalami persambungan dengan sejarah pemikiran Islam yang klasik. Inilah yang kita lihat pada sosok Nurcholish Majid, Abdurrahman Wahid, hingga generasi Ulil Abshar-Abdalla, dan Ahmad Sahal. Ilmu spekulatif yang ada di pesantren itu kemudian mengalami pencanggihan setelah mereka berhijrah ke kota seperti Jakarta, maka muncullah Jaringan Islam Liberal.
Pikiran-pikiran yang berkembang di kalangan anak-anak NU itu tidak muncul dalam Muhammadiyah yang mengembangkan organisasi dengan sangat ketat, menerapkan daya kontrol terhadap anggotanya. Ini berbeda dengan NU yang pada dasarnya luwes, ada otonomi individual. Mereka dapat menyerap sekian banyak pikiran-pikiran spekulatif dalam sejumlah kitab kuning, sehingga dapat memperkaya khazanah, imajinasi. Maka, ketika terjadi perbenturan pemikiran mereka sudah memiliki modal. Inilah, menurut saya, mengapa orang seperti Ulil Abshar-Abdalla yang baru datang ke Jakarta itu tiba-tiba ketemu dengan panggung yang pas nan luas.
Ini yang pertama yang ingin saya katakan. Yang kedua, saya sebenarnya ingin juga mempertanyakan dasar struktural dari gerakan Islam liberal. Saya tidak sempat mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang liberal itu. Di dalam proposal dikatakan bahwa setelah empat tahun JIL berdiri sekaranglah saatnya menunjukan kepada publik bahwa kelompok Islam moderat bisa mengajukan gagasan. Gagasan demokratisasi dan HAM dikembangkan. Sayangnya, tokohnya adalah Amerika dan bukan JIL. Dan saya tidak pernah melihat komentar JIL tentang Amerika; apakah ada komentarnya tentang keadilan.

Amin Abdullah
Saya tidak akan memberikan klarifikasi terhadap pernyataan Fachry. Itu tidak perlu karena teks kalau sudah dilempar akan punya kaki sendiri. Fenomena JIL dan JIMM merupakan gerakan Post NU dan Post Muhammadiyah. Jadi, kalau uraiannya masih dalam kaca mata NU dan Muhammadiyah, saya kira sudah out of date. Di benak generasi muda Islam kini tidak ada lagi ide NU atau Muhammadiyah. Mereka telah membaca buku-buku yang tidak pernah dibaca generasi yang lebih tua, baik di NU maupun Muhammadiyah. Mereka hidup dalam era post-Muhammadiyah dan NU.
Hanya memiliki dua catatan terhadap JIL ini, pertama adalah terhadap kata sekuler dan kedua adalah kata liberal. Dua kata yang banyak disuarakan anak-anak JIL. Pertama, kata sekuler pertama kali diarabisasi oleh Jamaludin Al-Afghani dengan al-dahriyyun yang kemudian ditentang oleh Ahmad Khan dari India. Kata Jamaludin al-Afghani, yang ada itu adalah al-dahriyyun. Dalilnya adalah hal ataa ‘ala al-insan hinun min al-dahri. Lima puluh tahun kemudian ketika muncul Sayid Quthb, sekuler tidak lagi al-dahriyyun, tetapi diterjemahkan dengan alla-diniyyah, tidak terkait dengan agama. Pertanyaannya, apa benar sekuler itu tidak terkait dengan agama? Ini problem. Faktanya, sebagian orang sekuler itu beragama. Anehnnya lagi, sekarang tidak lagi al-dahriyyun dan tidak juga alla-diniyyah
kemudian berubah menjadi al-‘ilmaniyyah. Apa artinya? Kita yang mau mentransfer ide sekuler itu bingung menerjemahkannya ke dalam kultur kita. Untuk itu saya usul kepada kedutaan Perancis, karena dia yang mempunya ide sekuler itu dulu, untuk mengadakan seminar yang serius pos-30 tahun Cak Nur menyampaikan tentang sekularisme. Sudah tenggang waktu 30 tahun, saatnya kita benar-benar memahami itu dengan baik, gimana sejarah sekularisme.
Yang kedua, adalah kata liberal. Saya setuju saja dengan the idea of progress dari JIL ini. The idea of progress itu salah satu rukun dari liberalisme. Kemudian demokrasi, demokarasi itu memang problematik tapi memang itulah kenyataannya. Dan Indonesisa dikatakan paling bagus intitusi demokrasi umat Islam setelah Pakistan. Kemudian human rights. Sebenarnya rights dalam Islam tidak ada, yang ada adalah kewajiban. Pertanyaan saya, kenapa menggunakan kata liberal. Saya tidak tahu, apa itu kesalahan mengambil dari Binder dan Kurzman? Karena titelnya enak, maka dipakailah Islam liberal. Dalam katolik terjemahnya agak beda. Yaitu liberation theology dan bukan liberal theology. Liberation itu bermakna liberate, membebaskan dan transformasi. Kita mesti membebaskan diri dari dua dominasi, yaitu kapitalisme dan neo-kapitalisme bahkan dominasi dari lingkungan agama. Ini untuk direnungkan oleh teman-teman JIL.
Kenapa begitu? Arkoun mengatakan, apa ada religious concept, islamic concept? Jawabnya, tidak ada. Semua kata, dulunya adalah political concept. Political concept yang diagamakan, disublimasi sedemikian rupa sehingga seakan menjadi agama, biar lebih lebih kharismatik. Umpamanya taubat. Taubat itu akar-akarnya supaya kembali kepada kepemimpinan Nabi. Jangan menjadi desersi. Jadi harus dikembalikan kepada ketaatan kepada pimpinan. Itu taubat. Begitu juga dengan munafik. Munafik sebenarnya orang yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ide kita, golongan kita. Jadi sebetulnnya ada social interactions dan political interactions.
Politik Islam ini, mungkin juga di dalam Katolik, Protestan, bahwa yang paling pokok itu adalah akidah. Akidah dalam Islam itu kombinasinya dengan ghanimah, ekonomi atau materi. Baru kemudian persoalan kabilah, sekte. Pertemuan antara akidah (ideologi), ghanimah (ekonomi), akan melahirkan kepemimpinan poltik yang hegemonik.

Luthfi Assyaukanie
Kita telah mendengarkan empat pembicara. Kalau saya ringkas dari semuanya maka pertanyaan pertama saya adalah bagaimana kta melihat karakter Islam. Kita melihat dari Ulil bahwa sumber-sumber Islam itu berasal dari Barat dan Timur, lebih sefesisfik lagi dari Timur Tengah. Kalau kita melihat jawaban Jadul, maka Jadul mengatakan bahwa sumber-sumber itu harus dari ‘ashru tadwin dalam Islam Indonesia. Bang Fachri menyebutkan bahwa sumber-sumber liberal itu ada di dalam komunitas NU. Sementara Amin Abdullah menyanggah dan merujuk kepada post Muhamadiyah dan post NU. Saya kira post-Muhamadiyah dan post-NU merujuk kepada unsur unsur yang telah dijelaskan oleh tiga pembicara sebelumnya. Silakan yang mau memberikan tanggapan atau respon.

Franky Maramis
Saya dari Front Pemberdayaan Indonesia Timur. Kalau melihat dari dialog-dialog ini saya berkesimpulan bahwa melihat bahwa sistem kemasyaraktan di Madinah itu
sistem modern yang penuh aspirasi. Demokratisasi dan penancapan HAM itulah yang islami.

Saefuddin
Salam damai utuk kita sekalian. Memang mengikuti pemikiran orang-orang disini setengah mati. Inti yang saya tangkap, mestinya Islam selalu berfungsi sebagai rahmatan lil alamin.

Ulil Albab
Saya dari Ulumul Qur`an Institute. Ada beberapa point yang dapat saya tangkap dari beberapa ungkapan yang tadi dipresentasikan oleh para nara sumber. Tadi ada pandangan-pandangan untuk membongkar epistemologi, membuat ushul fikih baru, karena problem yang dihadapi oleh masyarakat yang hidup belakangan jauh berbeda dengan problem masyarakat terdahulu.

Sarifuddin
Saya dari Makasar. Pertanyaan saya tujukan pada Ulil dan Amin Abdullah; apakah mungkin memberikan gambaran yang dapat dijadikan acuan untuk menilai aksi atu pemikiran itu sebagai islami atau tidak. Contoh konkrit misalanya menaikan BBM. Bagaimana saya bisa menangkap persoalan itu Islami atau tidak.

Ulil Abshar-Abdalla
Saya sebenarnya lebih suka sebagai tuan rumah, mendengarkan para tamu berbicara. Tetapi oke lah. Beberapa minggu lalu, saya mendapatkan sebuah email dari seorang mahasiswi Surabaya jurusan arsitektur interior. Dia ingin menulis skripsi tentang spa yang Islami. Belum tahu spa kan? Spa adalah suatu tempat semacam rileksasi gitu. Dia akan menulis tentang spa yang Islami.Dia bilang, ”tolong Mas Ulil bagaimana definisi tentang spa yang Islami itu?” Saya tidak tahu, tapi saya jawab begini. Apakah pantas kita ini menyeret seluruh kata Islam ke dalam seluruh persoalan ? Maksud saya, apa ada spa Islami, HP Islami, ada JIL yang Islami ada yang tidak, dan macam-macam. Tapi memang kriteria sesuatu dianggap sebagai islami atau tidak memang menjadi obsesi semua orang dan menghantui banyak orang.
Nah kita bisa berdebat tentang jawaban masalah ini. Tapi menurut saya, yang menjadi pokok atau pangkal masalah, apakah semua kelompok dalam Islam itu bisa mencapai kata sepakat dengan kata islami. Menurut saya, tetap susah karena setiap kelompok mengambil pendekatan dan cara pandang yang berbeda-beda. Misalnya dulu di NU itu, tahun 1930-an memakai celana dianggap tidak Islami, yang Islami itu sarung. Tetapi ketika putranya Kiai Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, menjadi menteri, dia memaki celana dan berdasi, maka persoalan menjadi berubah. Dan sesungguhnya masalah islami dan tidak Islami itu perkara yang kontekstual, berkembang dan masing kelompok mempunyai pandangan yang berbeda. Kemudian untuk masalah BBM, saya tidak bisa membahasnya disini, dan kita bisa berbeda pendapat tentang masalah ini. Intinya, kriteria tentang islami dan tidak islami adalah salah satu yang menjadi perjuangan JIL. JIL memang menginginkan bahwa di dalam ruang publik ini, ada kemungkinan semua kelompok menyampaikan pendapatnya dan tidak usah khawatir disebut tidak Islami. Justru yang menjadi concern JIL adalah kalau ada suatu kecenderungan dalam suatu kelompok dengan mudah mengatakan tidak Islami, dan tadi disebut saudara Luthfi
di awal pembukaan diskusi ini, bahwa ada kecenderungan antara tafkir dan takfir, antara berpikir dan kekafiran. Itu yang ingin kira hindari. Perlu dihindari mengidentikan antara tafkir dan takfir; berfikir dan kekafiran.
Yang kedua yang hendak saya jawab adalah apakah JIL berkampanye pada liberalisme pemikiran keagamaan saja atau juga berkampanye liberalisme politik atau sekaligus liberalisme ekonomi? Ini pertanyaan ynag sering sekali ditujukan kepada JIL. Banyak orang menuduh bahwa dengan menggunakan nama liberal JIL berarti turut menyetujui proyek neoliberaisme Internasional. Saya tadi siang diskusi dengan Romo Magnis Suseno di Ciputat tentang buku yang ditulis Isaiah Berlin. Anda tahu bahwa Romo Magnis adalah salah satu yang ikut menandatangani iklan pro-kenaikan BBM. Di dalam diskusi itu ia mengatakan bahwa di dalam liberalisme politik terdapat liberalisme agama. Saya kira perjuangan JIL sebagian besar diarahkan pada isu ini.
Kita mendukung liberalisme politik yang unsur-unsurnya adalah kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebesan berkumpul buat semua warga negara. Dan kalau kita baca sesungguhnya fokus pemikiran dari kalangan liberal dunia Islam kebanyakan tercurah pada liberalisme pemikiran Islam yang berkaitan dengan isu-isu politik. Coba perhatikan pemikiran-pemikiran Arkoun dan Abu Zaid, itu banyak menyangkut kebebasan yang berkaitan dengan politik. Oleh kaena itu, Abu Zaid merasa perlu mengarang buku al-Takfir fiy Zaman al-Tafkir. Dengan buku itu, ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa di dunia Islam telah berlangsung satu kondisi yang membatasi kebebasan berfikir. Alhamdulilah kita di Indonesia dapat menikmati suatu sistem politik yang lebih demokratis ketimbang Timur Tengah. Delapan puluh prosen memang dunia Islam masih dikuasai oleh sistem yang otoriter. Namun, ada sedikit berita gembira bahwa Mesir akan mengadakan pemilihan presiden secara langsung, meskipun kita sudah tahu bahwa yang akan terpilih tetap Husni Mubarok. Tapi, itu tetap perkembangan yang menarik.
Di dalam sistem politik, saya kira seluruh pemikir Muslim liberal bisa bersetuju tentang liberalisme politik. Kini demokrasi telah diterima secara konsensus oleh umat Islam. Kalau kita melihat hasil survai di Indonesia, misalanya yang terakhir dilakukan oleh Saiful Mujani, menujukan bahwa 74% populasi Muslim Indonesia itu menyetujui sistem demokrasi. Demokrasi telah diterima sebagai sistem yang paling rasional.
Sementara di dalam pemikiran ekonomi ada perbedaaan yang cukup banyak. Luthfi misalnya setuju liberalisme di bidang ekonomi. Kalau anda baca misalnya tulisan-tulisan Nashr Hamid Abu Zaid yang diangap yang menjadi salah satu ikon pemikir Islam liberal saat ini. Saya kira dia mempunyai pemikiran yang lebih bernuaansa. Dia mempunyai kritik tajam terhaap kapitalisme global. Tapi, ada juga pemikir Muslim yang sangat liberal menyangkut isu-isu keagamaan tapi tidak liberal dalam pemikiran ekonomi. Kalau kita lihat tulisan-tulisan Chandra hampir semua isinya adalah kutukan terhadap Amerika. Bahkan, oleh sebagian kalangan ia diposisikan sebagai intelektual yang anti globalisasi, anti kapitalisme dunia. Farid Esack adalah pemikir yang sangat liberal (ia lebih suka disebut progresif) dalam bertafsir, tapi tidak liberal dalam ekonomi. Jadi, melihat Islam liberal tidak bisa digeneralisasi.

M. Jadul Maula
Kalau kita melihat organisasi yang didirikan para orang tua, NU atau Muhamadiyah, mereka tidak menyebut kata Islam. Mereka bikin saja NU dan Muhammadiyah, tidak seperti sekarang; ada Islam liberal, Islam kiri, dan sebagainya. Itu kearifan mereka. Nabi Muhammad membangun identitas pun dari dalam bukan dari luar. Nah di dalam akar Indonesia yang disebut wahdatul wujud, itu sebetulnya yang
dipentingnkan bukan identitas, tapi sejauh mana suatu pikiran itu mengantarkan manusia kepada Tuhan? Bisa manunggal atau tidak? Jangan lupa, ini bukan sesuatu yang mistik, tetapi sesuatu yang sangat masuk akal. Apakah manusia bisa menjadi manusia yang sempurna atau tidak. Itu ukurannya apakah dia bisa mencapai suatu dzat yang di dalamnya berkumpul semua potensi atau bagaimana. Jadi Allah itu ismul jami’. Itu luar biasa. Menurut saya, semakin ia bisa menyatu dengan Tuhan ia semakin kreatif, karena syahadat yang mengingkari adanya tuhan-tuhan lain selain Dia. Di dalam babad, ajaran Syeh Siti Jenar sama dengan ajaran Sunan Kali Jogo. Syahadatnya, “saya bersaksi di dalam dzat saya, tidak ada Tuhan selain aku, dan Muhammad itu utusanku, dst”. Ini menurut saya suatu maqom kesaksian yang sebetulnya.
Jadi ketika Muhammad bangkit di Arab lahir suatu bangsa Arab . Ketika kita masuk ke Jawa lahir bangsa Jawa, ketika kita masuk ke Aceh lahir bangsa Aceh. Jadi ada Islam Jawa, Islam Aceh, ada Islam Bugis, Islam Makassar, dst. Jadi yang dibangun itu adalah identitas. Identitas suatu bangsa dibangun dari perciptaan pertama yang berkualitas insan kamil.

Fachry Ali
Persoalan islami dan tidak islami adalah soal bagaimana kita memaknai. Memainkan logika. Jadi orang-orang yang ada di JIL itu jangan memandang orang lain sebagai tidak islami. Begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang tergabung dalam Front Pembela Islam mengidentifikasiakn diri sebagai Islam juga. Ini hanya soal, dimana sesungguhnya nilai-nilai itu terinternalisasikan pada diri seseorang. Ketika tahun 1999 dan 1999 hukum banyak yang tidak berjalan, maka Ja’far Umar Thalib kemudian menerapkan hukum rajam terhadap para pelaku zina, dan banyak orang yang gembira. Jadi, Islam Afaganistan pun, kalau kita mau konsisten dengan pemikiran Ulil yang liberal itu, juga jenis Islam. Kita juga harus mengatakan bahwa orang yang mau menegakan syariat Islam, dia punya hak asal secara konstitusional. Misalnya, PKS menang, maka mereka punya hak untuk mengajukan klausul hukum tertentu.
Saya ingin kembali pada soal kekayaan budaya kaum nahdhiyyin. Mereka memiliki kecerdasan untuk menyerap banyak informasi dari mana-mana. Kemunculan LkiS, saya kira adalah bukti untuk itu. Lihatlah buku-buku terbitan LkiS. Hanya orang-orang yang berlatar budaya yang luar biasa yang yang mampu menetukan pilihan dan tema-tema semacam itu . Di Muhammadiyah pun sudah muncul JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Walaupun tetap saja agak beda, gagasan yang muncul dari Muhammadiyah lebih kering ketimbang yang muncul dari NU. Ini tidak terlepas dari penyikapan Muhammadiyah terhadap tradisi. Coba perhatikan tulisan Abdurrahman Wahid di Majalah Prisma tentang hukum Islam jauh lebih bernuansa. Tampak bahwa Gus Dur sangat menguasai pelbagai khazanah keislaman yang klasik yang kemudian diramu dengan pengetahuannya kemodernan. Belakangan kita telah melihat lahirnya generasi seperti Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lain.

Amin Abdullah
Ia saya kira nggak ada seleseinya kita bicara ini, ekonomi saya nggak tau komentar seperti apa tapi fenomena-femonomena kapitalisme seperti MC Donaald, KFC, dan sebagainya.
Memang menarik tentang sistem ekonomi dalam Islam. Ada orang seperti Dawam Raharjo yang menyatakan bahwa Islam itu sosialis. Ada yang berkata sebaliknya
bahwa Islam itu kapitalis. Ada orang yang mengatakan bahwa Islam berada antara kapitalis dan sosialis. Menyangkut pengembangan ekonomi, dunia Islam sangat tertinggal jauh dibanding dengan dunia Barat. Karena itu, perlu ada usaha untuk mengembangkan perekonomian dalam Islam.
Berikutnya, persoalan tari dan jilbab. Ini memang soal yang tidak kunjung selesai di dalam tubuh umat Islam sendiri. Menurut saya, tari itu natural saja. Tidak ada yang namanya tari Islam dan bukan Islam. Kalau diam saja, tidak bergerak karena khawatir menimbulkan syahwat, itu namanya bukan tari lagi. Begitu juga menyangkut jilbab. Orang Aisyiyah Muhammadiyah hanya pakai kerudung saja, tidak memakai jilbab seperti yang sekarang lagi semarak. Bahwa belakangan ada fenomena orang memakai jilbab itu lebih karena interaksi internasional umat Islam yang tidak bisa ditunda. Perkembangan-perkembangn dan interaksi Internasional ini juga turut membentuk cara berpikir kita dan kita itu anak jaman dari itu.
Dengan itu, maka selalu dimungkinkan adanya perubahan-perubahan hukum akibat perubahan situasi dan kondisi. Bahkan, secara lebih jauh, Muhammad Syahrur mengatakan bahwa hukum juga bisa berubah karena perubahan epistemologi yang mendasarinya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Senin, 25 April 2011

Hukum Islam dan Perubahan Sosial

I. Perubahan Sosial

Istilah adaptabilitas, segera berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial. Perubahan sosial disini jelas bukan merupakan istilah teknis yang “tranformasi sosial” istilah ini lebih diperguanakan dalam pengertian umum untuk menandai bahwa perubahan dalam persoalan itu telah terjadi dalam rangka merespon kebutuhan-kebutuhan sosial.[1]
Kebutuhan-kebutuhan sosial yang berhubungan dengan hukum misalnya, sangat terkait dengan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial:
1. Hukum sebagai sarana kontrol sosial: sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang atau masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan harapan hukum yang sebenarnya.
2. Hukum sebagai sarana kontrol engineering : penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita dan perubahan yang diinginkan.[2]
Suatu perubahan dapat diketahui jika ada sebuah penelitian dari susunan kehidupan masyarakat pada suatu waktu dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, lapisan-lapisan dalam masyarakat dsb.
Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Dapat dikatakan kalau konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan, (2) pada waktu berbeda, dan (3) diantara keadaan system sosial yang sama.[3]
Sebagai suatu pedoman, maka dapat dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[4]

II. Perubahan Dalam Hukum Islam
Hubungan teori hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu problem dasar bagi filsafat-filsafat hukum. Hukum yang karena memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus tidak berubah itu menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan adaptasi dirinya. Seringkali benturan perubahan sosial itu amat besar sehingga mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum, yang karenanya menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam.
Argumen bahwa konsep hukum Islam adalah absolute dan otoriter yang karenanya abadi, dikembangkan dari dua sudut pandang. Pertama mengenai sumber hukum Islam adalah kehendak Tuhan, yang mutlak dan tidak bisa berubah. Jadi hal ini pendekatan ini lebih mendekati problem konsep hukum dalam kaitan perbedaan antara akal dan wahyu. Yaitu: (1) hukum dan teologi, (2) hukum dan epistemology. Sudut pandang kedua berasal dari difinisi hukum Islam, bahwa hukum Islam tidak dapat diidintifikasi sebagai system aturan-aturan yang bersifat etis atau moral. Jadi hal ini membicarakan kaitan perbedaan antara hukum dan moralitas.
Argumen-argumen yang dikemukakan oleh para pendukung keabadian Islam diringkaskan dalam tiga pernyataan umum:
1. Hukum Islam adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan absolute dalam Islam tidak memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan institusi-institusi hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka sanksi yang diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.
2. Hukum Islam adalah abadi karena sifat asal dan perkembangannya dalam priode pembentukannya menjauhkannya dari institusi-institusi hukum dan perubahan sosial, pengadilan-pengadilan dan Negara.
3. Hukum Islam adalah abadi karena ia tidak mengembangkan metodologi perubahan hukum yang memadai.[5]
Dalam literature hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekontruksi, rekontruksi, tarjid, islah dan tajdid. Diantara kata-kata itu yang paling banyak digunakan adalah kata-kata islah, reformasi, dan tajdid. Islah dapat diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki, reformasi berarti membentuk atau menyusun kembali, tajdid mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyususn kembali atau memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.[6]
Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, social ekonomi dan lainnya. Menurut para ahli linguistic dan sematik, bahasa akan mengalami perubahan sehingga diperlukan usaha atau ijtihad. Tentu kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Namun, ini berarti bahwa hukum tidak akan berubah begitu saja, tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama hukum islam yaitu al-Quran dan Sunnah. Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke masa.[7]
Pendekatan secara historis, untuk memahami sifat dasar hukum Islam telah menyatakan hal-hal sebagai berikut, sebagai ciri khas hukum Islam:
1. Sifat idealistik
2. Religious
3. Kekakuan
4. Sifat kausistik

III. Ijtihad, ( Intiqa’I dan Insya’I )
Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para fuqaha, dimana masalah baru yang berkembang saat ini belum terjadi.
Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan atau perubahan hukum Islam terjadi, oleh beberapa faktor:
1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat akan hukum yang baru sangat mendesak untuk diterapkan.
2. Pengaruh glonalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya.
3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasioanal.
4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid tingkat Nasioanal dan Internasioanal.
Perubahan ini sejalan dengan teori Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I, bahwa hukum juga dapat berubah, karena perubahannya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan Maqasyidus syari’ah. Perubahan hukum perlu dilaksanakan secara terus menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relative, itulah sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus bersifat baru pula, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan Sunnah.[8]
Menurut DR Yusuf al-Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan untuk dilaksanakan dalam menghadapi era globalisasi saat ini yaitu:
Ijtihad Intiqa’I, ialah meneliti ulang hasil ijtihad para ulama dahulu dan secara komprehensif membandingkan dan mengambil pendapat yang kuat sesuai dengan kriteria dan kaidah tarjih dan alat pengukurnya. Alat-alat pengukur pentarjihan selain yang telah kita tetapkan, yakni dalil yang kuat, juga pendapat itu:
1. sesuai dengan jaman diperlakukannya.
2. sesuai dengan arti rahmatan li al-’alamin.
3. sesuai dengan prinsip taisir (kemudahan).
4. sesuai dengan kemaslahatan.

Ijtihad Insya’I, yakni mengambil konklusi pendapat baru dalam persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh mujtahid lain. Seperti dalam menghadapi masalah pentingnya penggunaan foto sebagai jati diri. Ada yang menganggap foto itu gambar. Padahal, ada Hadits yang melarang orang menggambar. Maka, ada pendapat baru bahwa foto itu bukan gambar yang dilarang. Karena Nabi melarang gambar membuat bandingan makhluk allah. Sedang foto adalah bayangan refleksi seperti dalam kaca, dan bayangan itu dengan alat modern direfleksikan dalam kertas. Di Qatar, foto itu disebut ‘aks (bayangan). Tukang foto disebut ’akkas. Seperti itu pendapat Syeikh Muh. Bakhit Al Mu’thi.
Jadi, dalam menghadapi masalah kontemporer, kita memang harus berpikir dan melakukan penelitian dan percobaan awal sebagai realisasi ijtihad.[9]

Sehubungan dengan metode ijtihad insya’i ini agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hokum yang dapat menyelesaikan suatu masalah maka perlu ditegakan ijtihad kolektif (jama’i) karena adanya tutuntan jaman , masalah-masalah terkait dan perelisihan bebagai mazhab. Istihad jama’I memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam pembaharuan hokum islam yang di perlukan oleh umat islam pada abad modern ini. Adapun urgensi diantaranya adalah :
1). Menerapkan prinsip syura
2). Lebih seksama dan akurat karena bisa saling memberi, melengkapi, bekerjasama antar ulama mujhahid dan para pakar dari berbagai disiplin ilmu
3). Dapat mengerti posisi ijma’ dalam arti mampu menggantikan kedudukan system tasyri’ yang untuk saat ini tidak lagi dapat diterapkan karena alasan tidak berfungsinya ijma’ dan ijtihad dalam waktu yang bersamaan, dalam keadaan ini ijtihad jamai akan mengembalikan fitalitas dalam potensi fiqih untuk menghadapi segala kesulitan yang dihadapi.
4). Mengatur ijtihad dan menghindari kebuntuannya.
5). Melindungi ijtihad dari berbagai ancaman yaitu ancaman dari orang-orang yang menjual agama, penerbitan buku-buku dengan fatwa dusta, mendekatkan masyarakat kepada orang-orang durjana dan mengabdi pada musuh-musuh islam.
6). Merupakan solusi bagi permasalahan baru, dimana sekarang masyarakat hidup dalam suasana yang tidak jelas arahnya, banyak permasalahan fenomena yang timbul dan belum pernah terjadi sebelumnya sebagai solusinya perlu dilakukan ijtihad.
7). Merupakan jalan untuk menyatukan umat, sebagaimana diketahui bahwa umat islam sangat mendambakan terciptanya kesamaan persepsi dan kesatuan cara pandang memecahkan segala masalah yang dihadapinya.
8) Mewujudkan sikap saling melengkapi antar berbagai pendapat para ahli dalam mengambil suatu pendapat hukum.[10]

Daftar Pustaka

Khalid Mas’ud, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: Al-Ikhlas,1995.
Dirdjosiswono, Sodjono, Sosiologi Hukum, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Soekanto, Soerjono , Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, 2006),
Huda, Miftahul, Filsafat Hukum Islam : Menggali Hakikat Sumber dan Tujuan Hukum Islam, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2006.
Abdurrachman, Asjmuni, “ Islam Autentik Menjawab Tantangan Zaman (2)”, artikel ini diakses pada tanggal 11 desember 2008 dari http//http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id/html.
[1] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Surabaya: Al-Ikhlas,1995), h. 44.
[2] Sodjono Dirdjosiswono, Sosiologi Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 76-77.
[3] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 3.
[4] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.100-101.
[5] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, h. 27.
[6] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2006), h. 218.
[7] Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam : Menggali Hakikat Sumber dan Tujuan Hukum Islam, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2006), h. 139-140.
[8] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, h. 226-227.
[9] Asjmuni Abdurrachman, “ Islam Autentik Menjawab Tantangan Zaman (2)”, artikel ini diakses pada tanggal 11 desember 2008 dari http// http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id/html.
[10] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, h. 243-245

Minggu, 24 April 2011

Sejarah Tahlilan

Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di pulau jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan wali songo.
Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (wali songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme.
Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reseve.
Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam.
Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam.
Maka para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman.
Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang radikal.
aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain.
Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana.
Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil.
Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu.
Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain.
Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna
yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.
Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : “Saya sangat dengan pendapat Sunan Kali Jaga”.
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran kleni / aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi pra raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”. Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kemagian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.