Selasa, 30 Maret 2010

Khitbah dan Kafaah

Khitbah (Peminangan)

a. Pengertian Khitbah

Kata khitbah berasal dari bahasa Arab yang secara sederhana diartikan dengan penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan[1]. Semakna dengan definisi tersebut, Sulaiman Rasjid mendefinisikan khitbah ialah menyatakan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.[2] Sementara itu al-Hamdani mendifinisikan khitbah (meminang) dengan permintaan seorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seorang perempuan yang ada dibawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah[3]. Adapun menurut kompilasi hukum Islam bab 1 pasal 1 poin a yang dimaksud peminangan (khitbah) ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita[4].  

Dari definisi yang diajukan oleh Sulaiman Rasjid, dapat dipahami bahwa pihak yang melamar adalah laki-laki sementara pihak yang dilamar adalah perempuan dan bisa juga sebaliknya, yang melamar adalah perempuan dan pihak yang dilamar adalah laki-laki[5]. Berebeda dengan definisi yang diajukan oleh al-Hamdani yang seolah mengatakan hanya pihak laki-laki yang berkedudukan sebagai pelamar. Terlepas dari itu semua, menurut hemat pemakalah khitbah yang ideal ialah sebagaimana pendapat yang diutarakan oleh Amir Syarifuddin bahwa dalam tradisi Islam sebagaimana yang tersebut dalam hadis Nabi yang mengajukan pinangan itu adalah dari pihak laki-laki, boleh laki-laki itu sendiri yang datang kepada pihak perempuan untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus perempuan yang dipercaya untuk melakukannya, sedangkan pihak perempuan berada dalam status orang yang menerima pinangan[6]. Alhasil, sebagaimana yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 11, peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya[7]. Masalah siapa yang menempati posisi sebagai peminang dan yang dipinang itu tidak bisa lepas dari tradisi yang berlaku di daerah setempat.     

b. Landasan dan Status Hukum Khitbah

Ada beberapa ayat dan juga hadis yang menyinggung sekaligus menjadi landasan adanya khitbah. Salah satu ayat misalnya ialah surat  al-Baqarah ayat 235

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.

Adapun hadis yang menyinggung dan menjadi landasan hukum adanya khitbah salah satunya ialah

إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع ان ينظر منها ما يدعو الى نكاحها فليفعل[8]

Bila salah seorang diantaramu meminag seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.

Adapun mengenai status hukum khitbah, terjadi silang pendapat dikalangan ulama. Pendapat jumhur mengatakan bahwa khitbah tidaklah wajib, berbeda menurut Dawud adz-Dhahiri yang mengatakan bahwa khitbah adalah wajib. Pangkal perbedaan pendapat ini ialah adanya perbedaan dalam memahami dan menafsiri prilaku khitbah Rasulullah SAW , apakah hal tersebut itu merupakan kewajiban atau hanya sekedar anjuran[9]. 

c. Bentuk-Bentuk Khitbah

      Khitbah ditinjau dari segi cara penyampaiannya terbagi menjadi 2, yaitu khitbah shorih dan khitbah kinayah. Khitbah shoriih ialah cara peminangan dengan menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan “saya berkeinginan untuk mengawinimu”. Sedangkan khitbah kinayah ialah cara peminangan dengan menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang  yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan “ tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”[10]           

 Dasar pembagian khitbah ini diambil dari  surat al-Baqarah ayat 235

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.

 

عرّضتم  merupakan bentuk masdar dari التعريض  yang secara etimologi memiliki arti memberi isyarat tanpa menyingkap maksud dari isyarat tersebut. sedangkan secara terminologi memiliki arti suatu pemahaman yang ditujukan pada orang yang diajak bicara dengan salah satu bentuk isyarat tanpa menunjukkan kejelasan maksud dari isyarat tersebut. Dalam kamus al-Lisan dijelaskan bahwa التعريض  adalah kebalikan dari التصريح (menjelaskan)[11].

Perempuan yang belum pernah kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan shorih (terus terang) dan boleh pula dengan ucapan kinayah (sindiran). Adapun perempuan yang boleh dipinang tapi harus menggunakan ucapan kinayah ialah:

Ø  perempuan yang dalam masa ‘iddah karena ditinggal mati suaminya

Ø  perempuan yang sedang menjalani ‘iddah dari talak bain

 

 

Sedangkan perempuan yang tidak boleh dipinang baik dengan cara shorih atau kinayah ialah:

Ø       perempuan yang masih mempunyai suami

Ø       perempuan yang ditalak suaminya dan sedang menjalani talak raj’i

Ø  perempuan yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan[12].

Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:

v  Tidak dalam pinangan orang lain

v  Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.

v  Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i

v  Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendakalah meminag dengan cara kinayah.     

2. Kafaah  Dalam Perkawinan

a. Pengertian Kafaah

Kafaah sering juga disebut dengan istilah kufu yang berarti sama, setaraf, sederajat, sepadan atau sebanding. Sedangkan yang dimaksud dengan kufu dalam pernikahan adalah laki-laki sebanding atau sama dengan calon isterinya, dalam hal kedudukan, tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan[13]. Jadi tekanan dalam hal  kafaah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian terutama dalam agama yaitu tentang akhlak dan budi pekertinya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa  kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan.

b. Landasan dan Status Hukum Kafaah

Menurut al-Hamdani, sebenarnya soal kafaah adalah bukan dari syariat Islam. Artinya, Islam tidak menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh kawin dengan orang kaya, orang arab tidak boleh kawin dengan orang Indonesia, pedagang tidak boleh kawin dengan karyawan. Islam tidaklah mengajarkan demikian[14]. Lebih jauh, Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak ada kafaah dalam perkawinan. Menurutnya, setiap muslim selama dia tidak pernah melakukan zina berhak untuk menikah dengan seorang muslimah yang ia kehendaki selama dia juga bukan seorang pezina. Semua orang islam adalah bersaudara. Tidak ada larangan bagi seorang yang berasal dari kalangan rakyat biasa untuk menikah dengan seseorang yang berasal dari keturunan darah biru. Ibnu Hazm mendasarkan pendapatnya pada surat al-Hujarat ayat 10: 

orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Beliau juga mendasarkan pendapatnya pada surat an-Nisa’ ayat 3: 

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.

Dalam hadis pun dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah menikahkan Zaenab dengan Zaid yang merupakan hamba sahaya beliau[15].

Hemat pemakalah, dalam Islam dikenal adanya kafaah dan semua ulama pun mengakuinya. Hanya saja yang menjadi sumber perdebatan dikalangan ulama ialah mengenai cakupan kafaah itu sendiri yang akan menajadi topik pembahasan selanjutnya. Diantara ayat alquran yang dapat dijadikan dalil adanya kafaah dalam Islam ialah surat  an-Nur ayat 26

wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).

 

Adapun hadis yang dijadikan sandaran adanya kafaah dalam Islam ialah HR. Abu Hurairoh:

تنكح المرأة لأربع لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها, فاظفر بذات الدين تربت يداك

      Seorang perempuan (boleh ) dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena keturunanya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu dapatkan perempuan yang memiliki agama,(karena jika tidak), binasalah kedua tanganmu.

Pada ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa wanita yang keji itu berhak mendapatkan lelaki yang keji, begitu pula sebaliknya seorang wanita yang baik itu layak mendapatkan lelaki yang baik pula. Ini sesuai dengan definisi kafaah yang telah dipaparkan dimuka yang mempunyai arti kesetaraan dan kesepadanan. Begitu pula  pada hadis diatas yang menganjurkan untuk mencari pasangan yang memiliki kriteria sebagaimana yang dijelaskan. Akan tetapi seandainya kriteria-kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka minimal antara keduanya sebanding dalam hal agamanya.

Setelah memahami dalil-dalil yang ada, maka kafaah lebih tepat diposisikan sebagai anjuran demi menggapai kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga dan bukan merupakan suatu keharusan (rukun). Meskipun keberadaanya bukan merupakan keharusan dalam pernikahan, akan tetapi keberadaannya sangatlah penting demi terwujudnya keseimbangan, keharmonisan dan keserasian dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa Ibnu al-Qasim berpendapat bahwa boleh bagi seorang yang sholih untuk meminang seorang wanita yang masih dalam proses peminangan orang lain yang tidak sholih[16].

c. Cakupan Kafaah

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan mazhab fiqih mengenai cakupan kafaah. Ulama hanafiyah misalnya mengatakan bahwa kafaah itu meliputi: keterunan (an-nasab), dalam kaitan ini terutama Arab atau non-Arab, al-Islam, profesi (al-hirfah), merdeka (al-hurriyah), agama/kepercayaan (ad-diyanah). Mazhab Malikiyah hanya menghubungkan kafaah dengan satu hal saja yang pailng mendasar yakni beragama, dalam artian muslim yang tidak fasik dan sehat fisiknya dalam pengertian bebas dari cacat fisik seperti belang, gila dan lain-lain. Sedangkan harta, nasab dan status kemerdekaan itu merupakan kafaah yang tidak menjadi prasyarat utama bagi suatu akad pernikahan.

Bagi ulama Syafi’iyah, kafaah melipui empat hal, yakni nasab, addin, merdeka dan status sosial terutama pekerjaan (ekonomi). Adapun menurut mazhab Hanabilah, kafaah meliputi lima hal; agama (ad-diyanah) dalam konteksnya yang sangat luas, status sosial terutama profesi (as-shina’ah), kemampuan finansial terutama dihubungkan dengan hal-hal yang wajib dibayar seperti maskawin (mahar) dan uang belanja (biaya hidup, nafkah), merdeka (al-hurriyah), nasab dalam kaitan ini antara Arab dan non-Arab (‘ajam)[17].

Kafaah berlaku bagi seorang  laki-laki, dalam artian seorang laki-laki itulah yang dipersyaratkan sederajat dengan seorang perempuan dan tidak sebaliknya, seorang perempuan harus sederajat dengan seorang laki-laki[18]. Di samping itu, jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa kafaah adalah hak seorang perempuan dan walinya. Oleh karena itu, seorang wali tidak boleh menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang tidak sederajat dengannya tanpa adanya kerelaan dari perempuan itu sendiri  dan juga para wali yang lain[19].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz