Selasa, 30 Maret 2010

Mediasi Dalam Hukum Islam

A.    Pengertian dan Dasar Hukum

Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation yang berarti penyelesaian sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang yang jadi penengah.[7] Menurut Joni Emerzon mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.[8] Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui perundingan yang dipandu oleh seorang mediator yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri perkara.

Mediasi dalam literatur hukum Islam bisa disamakan dengan konsep Tahkim yang secara etimologis berarti menjadikan seseorang atau pihak ketiga atau yang disebut hakam sebagai penengah suatu sengketa. Bentuk  tahkim itu sudah dikenal oleh orang arab pada masa jahiliyyah. Hakamlah yang harus didengar pendapatnya. Apabila terjadi suatu sengketa, maka para pihak pergi kepada hakam. Kebanyakan sengketa yang terjadi di kalangan arab adalah tentang: siapa yang paling pandai memuji golongannya dan menjelekkan golongan lain.[9] 

Dalam sebuah kaidah ulumul qur’an yang masyhur suatu pengertian diambil karena keumuman lafal bukan karena kekhususan sebab. Jika kaidah ini diterapkan pada ayat tersebut diatas maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa hakam tidak hanya dapat difungsikan pada proses perkara perceraian saja seperti yang ditujukan secara eksplisit pada ayat alqur’an melainkan dapat bersifat secara luas pada semua bentuk sengketa. Metode pengambilan hukum ini didukung dengan memperhatikan metode lain berupa isyaroh annas[10] yang terdapat pada ayat tersebut dimana Allah lebih menghendaki penyelesaian sengketa diselesaikan damai oleh mereka sendiri.  

Pada ayat Alqur’an Allah menganjurkan kepada manusia agar dapat menyelesaikan sengketa melalui musyawarah. Hal ini sejalan dengan sifat tahkim yang sifat penyelesaian sengketanya bersifat konsensus (kesepakatan) dengan cara negosiasi. Agar dapat diselesaikan tanpa melalui proses litigasi. 

Dalam hadits Nabi SAW di atas beliau secara tegas mengajukan semua sengketa yang menyangkut permasalahan antar manusia (haq al adam) untuk diselesaikan sendiri secara damai, peradilan diformulasikan sebagai diri Rasulullah dalam jabatan hakim dan beliau melarang persengketaan sahabat sampai ke tangannya, karena apabila hal itu terjadi, maka beliau akan memutuskannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini juga sejalan dengan sifat mediasi yang tidak memutus (adjudikatif)

Juga terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rosulullah SAW bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara, lalu mereka datang kepadanya dan diapun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua pihak, mendengar itu Nabipun berkata “alangkah baiknya”

Dalam hal kewenangan seorang hakam, ulama fiqh berbeda pendapat, apakah jika dia gagal dalam mendamaikan antara keduabelah pihak yang ingin bercerai dia berhak memutuskan perceraian tanpa seijin sang suami. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa seorang hakam juga berhak memutus perceraian para pihak tanpa seijin suami, karena menurut mereka seorang hakam sama dengan pemerintah (pengadilan) yang putusannya harus dilaksanakan.[11] Dalam konteks ini tahkim sama dengan arbitrase. Secara umum arbitrase, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan di-equivalensi-kan dengan pemeriksaan sengketa oleh orang-orang yang ahli mengenai objek yang disengketakan dengan waktu penyelesaian yang relatif cepat, biaya ringan dan pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. arbitrase, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan mempunyai maksud untuk menyelesaikan sengketa bukan sekedar memutuskan perkara atau perselisihan.[12]

 

B.     Ciri Mediasi

Dari pengertian tahkim di atas bisa ditarik sebuah gambaran bahwa unsur atau ciri khusus tahkim sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi) adalah sebagai berikut.

a.       Tahkim sebagai sarana penyelesaian sengketa informal dipimpin oleh seorang mediator yang netral. Oleh sebab itu para pihaklah yang menentukan atau menunjuk orang yang menjadi mediator sesuai kesepakatan. Hakam yang ditunjuk tidak terbatas pada satu orang tetapi dapat lebih dari satu orang.

b.     Hakam bertugas membantu para pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan. Dalam upaya tertib dan lancarnya proses mediasi, maka hakam seharusnya terlebih dahulu menentukan waktu dan menyiapkan tempat dalam rangka mengadakan pertemuan-pertemuan, menyusun proposal persetujuan setelah memperoleh data dan informasi tentang keinginan-keingina para pihak yang bersengketa dalam rangka menemukan solusi yang memuaskan dan menguntungkan masing-masing pihak (win-win solution). Kelancaran dan ketertiban proses tahkim sangat menentukan berhasilnya proses tahkim dengan baik.

Hakam tidak mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Dengan demikian pada dasarnya mediasi merupakan pengembangan dari negosiasi (negosiasi juga salah satu bentuk sarana penyelesaian sengketa alternatif) yang dengan bantuan pihak ketiga yang netral sebagai mediator. Mediator tidak bertindak sebagai hakim karena mediator tidak mempunyai otoritas mengambil keputusan sendiri, yang berhak mengambil keputusan atau menentukan keputusan adalah pihak-pihak yang bersengketa yang disepakati selama berlangsungnya proses mediasi.[13]

C.    Mediator

Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Sebagai pihak ketiga yang netral, independen, tidak memihak, ahli di bidang yang disengketakan. 

Mediator ditunjuk oleh para pihak (secara langsung maupun melalui lembaga mediasi), dan berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walaupun demikian ada suatu pola umum yang dapat diikuti pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak diluar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba menyusun proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung.

Seorang mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi diantara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win).

Untuk melaksanakan tugasnya, seorang mediator dapat melakukan dua macam peran yaitu: peran pasif dan peran aktif. Kedua peran tersebut dapat dilakukan atau diterapkan oleh seorang mediator tergantung pola kondisi saat itu, apakah ia harus bersifat pasif atau aktif. Mediator bersifat pasif disebabkan apabila para pihak yang bersengketa memiliki kepedulian yang tinggi dan lebih aktif untuk menyelesaikan sengketanya yang mereka hadapi sehingga mediator hanya berperan sebagai penengah dan mengarahkan penyelesaian sengketa serta mengatur perundingan-perundingan, memimpin rapat dan sebagainya.

Christoper W. Moore menyebutkan ada tiga tipologi mediator yaitu; mediator hubungan sosial, (social network mediator), mediator autoritatif (authoritative mediator), mediator mandiri (independent mediator).[14] Tipe mediator hubungan sosial sering kita temui dalam masyarakat pedesaan, misalnya para pemuka adat, pemuka masyarakat dan alim ulama. Tipe mediator autoratif adalah mediator yang bekerja di instansi pemerintah. Mediator yang demikian sering kita temui dalam penyelesaian kasus-kasus tanah yaitu antara pengusaha dan masyarakat pemilik tanah, yang menjadi mediator adalah seorang atau tim yang bekerja di instansi pemerintah atau pengadilan.

Mediator mandiri adalah mediator yang dianggap paling baik atau profesional bila dibandingkan dengan dua tipe mediator diatas karena mediator mandiri tidak memiliki hubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan para pihak yang bersengketa. Pada umumnya orang-orang yang menjadi mediator mandiri bersifat profesional. Dia akan melayani para pihak sepenuhnya dengan menggunakan pendekatan sukarela dan tidak mempunyai sumber daya untuk memantau pelaksanaan kesepakatan.[15]

Sedangkan ahli fiqh menetapkan, bahwa hakam itu hendaklah orang yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat dijadikan saksi baik laki-laki atau perempuan, benar-benar mempunyai keahlian di waktu ia bertindak sebagai hakam hingga sampai ia menjatuhkan hukum. Dan hendaklah perkara yang ditahkimkan bukan perkara yang masuk dalam bidang pidana dan qishas. Karena dalam bidang ini penguasa yang berkewajiban melaksankannya dank arena hukum yang diberikan muhakkam tidak melibatkan kepada orang lain. Mengingat hal ini, maka tahkim itu dapat dilaksanakan dalam segala masalah ijtihadnya seperti talaq, nikah, kafaah dan jual beli.[16]

 

D.    Ruang Lingkup  Mediasi

Di dalam al Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan, bahwa hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku segala rupa perkara. Terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadhaf dan qishas. Dalam hal ini hanya penguasa yang memberi keputusan. Ibnu Farhun dalam at-Thabsirah mengatakan, bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang harta dan tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishas, qadhaf, talaq atau menentukan keturunan.

Pihak-pihak yang mentahkim itu boleh menolak putusan hakam, sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya. Hakam dipandang sebagai muqallid yang dituruti oleh kedua belah pihak. Karenanya mereka boleh memakzulkan (memecat) muqalladnya, sebelum muqaladnya itu menjatuhkan putusan. Tetapi apabila muqaladnya itu sudah menjatuhkan putusan itu, mka putusannya itu berlaku dan tidak dapat dibatalkan.

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak perlu adanya kerelaan dari belah pihak sampai pada ketika melaksanakan hukum. Apabila keduanya telah mengemukakan keterangan mereka masing-masing pada seorang hakim kemudian salah seorang ingin menarik kembali mentahkimnya sebelum memutuskan hukum maka hakam itu dapat terus memutuskan hukum dan sah hukumnnya.

Menurut pendapat Sahnun, masing-masing pihak dapat menarik pentahkimnya selama belum ada putusan. Menurut pendapat yang rajah dalam madhab Maliki tidak disaratkan terus diberikan hukum tetapi apabila masing-masing menarik pentahkimnya sebelum hukum diteteapkan maka penarikan itu dibenarkan dan tidak dapat lagi muhakkam memutuskan perkara tersebut.

Hakam boleh mendengarkan keterangan saksi dan dapat pula memutuskan perkara dengan nukul, juga dengan ikrar, karena semua itu adalah hukum yang sesuai dengan syara’

Apabila pihak yang dikalahkan mengingkari adanya ikrar padahal keterangan cukup, kemudian dia mengajukan perkaranya kepada hakim, maka hakim boleh menerima apa yang telah diteapkan oleh hakam selam orang yang berperkara itu masih dalam mentahkimkan diri kepadanya, sesudah hakam tidak berhak lagi memutuskan perkara, oleh hakim tidak harus didengar perkataan hakam itu.[17]

 

E.     Tahapan Mediasi

Sama halnya dengan proses penyelesaian konflik yang lain mediasi juga mempunyai beberapa tahapan yang harus dilalui. Secara global tahapan mediasi bisa dibagi ke dalam tiga tahap yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengambilan keputusan.

a.       Tahap Persiapan

Dalam sebuah proses mediasi dibutuhkan bagi seorang mediator untuk terlebih dahulu mendalami terhadap apa yang menjadi pokok sengketa para pihak yang akan dibicarakan dalam mediasi tersebut. Dan pada tahap ini juga mediator biasanya mengkonsultasikan dengan para pihak tentang tempat dan waktu mediasi, identisas pihak yang akan hadir, durasi waktu dan sebagainya.

b.      Tahap Pelaksanaan

Dalam tahap pelaksanaan yang pertama dilakukan adalah pembentukan forum yatu dimana sebelum dimulai antara mediator dan para pihak menciptakan atau membentuk forum. Setelah forum terbentuk diadakan rapat bersama dan mediator mengeluarkan pernyataan pendahuluan.

Setelah itu tahap kedua dilanjutkan dengan pengumpulan dan pembagian informasi, dimana mediator memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berbicara tentang fakta dan posisi menurut versinya masing-masing. Mediator bertindak sebagai pendengar yang aktif dan dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan harus juga menerapkan aturan keputusan dan sebaliknya mengontrol interaksi para pihak. Dalam tahapan ini mediator harus memperhatikan semua informasi yang disampaikan masing-masing pihak, karena masing-masing informasi tentulah merupakan kepentingan-kepentingan yang selalu dipertahankan oleh masing-masing pihak agar pihak lain menyetujuinya. Dalam menyampaikan fakta para pihak juga mempunyai gaya yang berbeda-beda, hal-hal seperti itulah yang harus diperhatikan oleh mediator. Setelah pengumpulam dan pembagian data maka langkah ketiga dilanjutkan dengan negosiasi pemecahan masalah. Yaitu diskusi dan tanggapan terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak. Para pihak mengadakan tawar menawar (negosiasi diantara mereka).

Menurut Cristoper W. Moore terdapat 12 faktor yang menyebabkan proses mediasi menjadi efektif:

1.      Para pihak memiliki sejarah pernah bekerja sama dan berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai beberapa hal.

2.      Para pihak yang bersengketa (terlibat dalam proses mediasi) tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan sebelum melakukan proses mediasi.

3.      Jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak yang berada diluar masalah.

4.      Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa telah sepakat untuk membatasi permasalahan yang akan dibahas.

5.      Para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah mereka.

6.      Para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut dimana yang akan datang.

7.      Tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal.

8.      Para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga

9.      Terdapat alasan-alasan yang kuat untuk menyelesaikan sengketa.

10.  Para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar menggangu hubungan mereka.

11.  Terdapat sumber daya untuk tercapainya sebuah kompromi.

12.  Para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai.[18]

Alokasi yang terbesar dalam mediasi biasanya terjadi pada tahap negosiasi, karena dalam negosiasi ini membicarakan masalah krusial yang diperselisihkan. Pada tahap ini terbuka kemungkinan terjadi perdebatan bahkan dapat terjadi keributan antara para pihak yang bersengketa. Seorang mediator harus bisa menjalin kerja sama dengan para pihak secara bersama-sama dan terpisah untuk mengidentifikasi isu-isu, memberikan pengarahan para pihak tentang tawar menawar pemecahan masalah serta mengubah pendirian para pihak dari posisi masing-masing menjadi kepentingan bersama.

     c. Tahap Pengambilan Keputusan

Pada tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk mengevaluasi pilihan, mendapatkan trade off dan menawarkan paket, memperkecil perdebatan-perdebatan dan mencari basis yang adil bagi alokasi bersama. Dan akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan bersama. Dalam tahap penentuan keputusan mediator dapat juga menekan para pihak, mencarikan rumusan-rumusan untuk menghindari rasa malu, membantu para pihak dalam menghadapi para pemberi kuasa (kalau dikuasakan).

F.     Keputusan Hakam tidak sama dengan Keputusan Qadli

Keputusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan oleh yang bersangkutan, menurut Ahmad dan Abu Hanifah dan menurut suatu riwayat dari As-Syafi’i. tetapi menurut riwayat yang lain, hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus diturutioleh pihak iyang bersangkuta. Apabila seseorang hakam telah memutuskan kemudian mereka pergi lagi mengajukan perkaranya ke hakam lain lalu hakam yang lain juga memberikan putusan tanpa mengetahui putusan yang pertama dan putusan itu berlawanan denga putusan yang pertama maka apabila urusan itu diajukan kepada hakim hendaklah hakim menerapkan hukum yang sesuai denga pendapatnya, apbila suatu perkara sudah ditetapkan oleh seorang hakam kemudian diajukan kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan hakam itu jika sesuai dengan madhabnya dan dia boleh membatalkan putusannya itu jika berlawanan dengan madhabnya.[19]

 

G.    Keuntungan Mediasi

Secara umum pihak yang bersengketa menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa dapat menemukan beberapa keuntungan[20] yaitu:

a.       Proses cepat. Persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-pusat mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan setiap pemeriksaan atau setiap kali pertemuan hanya berkisar satu sampai satu setengah jam saja. Hal ini sangat berbeda jauh dengan jangka waktu yang digunakan dalam proses arbiterase dan proses litigasi.

b.      Bersifat rahasia. Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses pemeriksaannya tidak dihadiri oleh publik. Hal tersebut sangat berbeda dengan pemeriksaan lewat proses litigasi. Untuk perkara-perkara yang pemeriksaannya atau persidangannya terbuka untuk umum dapat dihadiri oleh publik atau diliputi oleh pers sehingga sebelum pengambilan keputusan dan dapat bermunculan berbagai opini publik yang ada gilirannya dapat berpengaruh pada sikap para pihak yang bersengketa dalam menyikapi putusan majelis hakim.

c.       Tidak mahal. Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan pelayanan dengan biaya sangat murah dan juga tidak perlu membayar biaya pengacara karena dalam proses mediasi kehadiran seorang pengacara kurang dibutuhkan.

d.      Adil. Solusi bagi suatu persengketaan dapat diserasikan dengan kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan para pihak yang bersengketa dan oleh sebab itu pulalah keputusan yang diambil atau dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak.

e.       Pemberdayaan individu. Orang-orang yang menegosiasikan sendiri masalahnya sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang melakukan advokasi melalu wakil seperti pengacara.[21]

2 komentar:

please isi yupz