Senin, 17 Mei 2010

Wakaf Uang, Saham dan Manfaat

Wakaf secara bahasa, adalah al-habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai’i, yang berarti menahan sesuatu. Terdapat perbedaan pendapat tentang pengertian wakaf. Wakaf menurut para Fuqaha, yaitu : Menurut Hanafiyyah; Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja. Malikiyyah ; Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewakafkan. Syafi’iyyah: Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan menjaga utuhnya barang. Hanabilah : Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Disamping definisi diatas terdapat pula perbedaan terhadap mauquf bih, antara benda bergerak dan benda tidak bergerak sebagai mauquf bih, yang mana dalam hal ini Hanafiyyah tidak memperbolehkan mewakafkan benda bergerak karena mauquf bih yang tidak bergerak dipastikan ‘ain-nya memiliki sifat kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus, namun Madzhab Hanafi memberikan pengecualian pada benda yang bergerak dengan syarat bahwa benda bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua macam; barang tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam di tempat dan tetap, dan yang kedua benda bergerak yang digunakan untuk membantu benda tidak bergerak. Sedangkan menurut Ulama Syafiiyyah bahwa benda yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi.

Pedebatan boleh atau tidaknya mewakafkan aset bergerak semakin berkembang ketika aset bergerak tersebut berupa uang bukan berupa barang. Kajian mengenai wakaf uang atau biasa disebut dengan wakaf tunai ”cash waqf” diperdalam dan dimodifikasi produknya agar sesuai dengan perkembangan laju sistem ekonomi dan keuangan modern, ditambah lagi dengan adanya wakaf yang berupa surat-surat berharga seperti halnya saham, obligasi maupun SUN.
Dalam sejarah Islam, wakaf telah memerankan peran yang sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Institusi wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas pemerintah atau kementerian-kementerian khusus, seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Sosial.
Kondisi tersebut tentu sangat didukung oleh adanya paham dan orientasi wakaf yang memiliki pandangan sosial yang jauh ke depan. Wakaf dipahami secara dinamis, bahwa ajarannya tidak diposisikan sebagai ’barang mati’ yang terbebas dari reintrepetasi atau ijtihad, namun wakaf terus dikembangkan menjadi social capital yang terbuka bagi inovasi dan kreatifitas untuk dikembangkan demi kemajuan umat.
2. Rumusan Masalah

Menyikapi wakaf yang memunculkan permasalahan baru sesuai dengan deskripsi di atas, maka akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya;

1. Bagaimana status wakaf uang, serta bagaimana penjelasan para Ulama’?

2. Bagaimana korelasi wakaf uang dengan wakaf saham?

3. Bagaimana aplikasi dan interpretasi dari wakaf manfaat?

1. Kajian Teoritik
Secara teoritik tidak ada dalil baik dari Al Qur’an maupun hadits yang menjelaskan secara rinci mengenai perwakafan khususnya mengenai wakaf manfaat/uang bahkan saham, namun dalam hal ini konsensus Ulama menjadikan landasan bagi perwakafan diantaranya,
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. QS. Ali Imran : 92
Dari Ibn Umar, ia berkata: Umar mengatakan kepada Nabi SAW saya mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi SAW mengatkan kepada Umar: Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
Dari dua dalil di atas para ulama’ telah menetapkan hukum bagi masalah perwakafan, dalam hal ini akan dikutip beberapa pendapat ulama yang menjadi sentral bahasan dalam makalah ini; Al-Bakri mengemukakan pendapat Syafi’I tentang wakaf uang, yaitu tidak boleh. Karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya. Sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai. Oleh karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai. Kedua, uang seperti dinar dan dirham diciptakan sebagai alat tukar yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya. Begitu juga pendapat Kamal Ibn Hammam bahwa tidak boleh mewakafkan harta yang bermanfaa tetapi musnah dalam hal ini seperti emas, perak, makanan, dan minuman, berdasarkan pendapat fuqoha secara umum. Dan yang dimaksud dengan emas dan perak adalah (mata uang) dinar dan dirham.[2]
Jumhur ulama (Malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah) selain Syafiyah, membolehkan wakaf uang dan menjawab alasan Hanafiyah yang menyatakan bahwa dalam wakaf uang telah hilang makna wakaf yaitu “menahan asalnya” yang memiliki makna berkesinambungan sebagaimana hadits Umar dan Abi Tholhah. Dijawab oleh jumhur ulama bahwa wakaf uang tidak menghilangkan makna menahan dengan ungkapan mereka bahwa dalam setiap objek yang ditahan tentu ada batasannya, jika objek yang ditahan itu memiliki kelestarian yang berkesinambungan maka itulah batasannya, seperti tanah misalnya, tapi jika yang ditahan itu objek yang dalam kurun waktu tertentu akan punah, maka saat kepunahan itulah batasannya. Dan ulama Malikiyah menyatakan bolehnya wakaf uang sebagaimana yang diungkap oleh Ibn Rusd Al Jadd dalam Muqoddimahnya.
Imam Bukhari di dalam Shahih-nya meriwayatkan sebuah riwayat dari Az-Zuhri mengenai orang yang memberikan seribu Dinar untuk fi sabilillah yang ia berikan kepada anak laki-lakinya yang menjadi pedagang yang berdagang dengan modal uang tersebut serta menjadikan keuntungannya sebagai sedekah untuk orang-orang miskin dan kaum kerabat (Ibnu Hajar Al-'Asqallani¸ Fath Al-Bari 'ala Shahih Al-Bukharib.)
Benda apa saja sepanjang ia tidak dapat musnah setelah diambil manfaatnya, dapat diwakafkan. Uangpun termasuk benda yang dapat diwakafkan (wakaf tunai), sepanjang uang tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan akad wakaf dan tidak habis atau musnah. Jadi uang dapat saja diwakafkan dengan mekanisme membelanjakan uang tersebut pada benda-benda yang memiliki sifat tidak musnah. Namun, dalam kasus wakaf tunai yang bersifat temporer (temporary wakaf), uang diposisikan juga sebagai harta yang dapat diwakafkan. Dan harta yang diwakafkan bukanlah perpindahan kepemilikan fisik atau materi harta tapi hanya sekedar mewakafkan manfaat kegunaan uang tersebut, yang secara fisik atau materi kepemilikannya tidak berubah. Ta’rif yang cenderung diambil oleh mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i bahwa definisi harta tidak terbatas pada materi tapi juga pada manfaatnya, bahkan unsur manfaat inilah yang menjadi elemen penting dalam mendefinisikan harta. Sehingga konsekuensi pemahaman ini adalah munculnya perbedaan dalam aplikasi-aplikasi syariah yang melibatkan harta, misalnya dalam mekanisme wakaf yang kita bahas saat ini. Abu Hanifah bahkan secara spesifik berpendapat bahwa wakaf kemudian tidak harus ada perpindahan materi harta tapi cukup pemanfaatan kegunaan harta saja oleh pihak yang membutuhkan.
Begitupun masalah terkait saham yang merupakan selembar kertas yang merupakan bentuk sahnya kepemilikan terhadap suatu perusahaan dalam hal ini saham bisa dianalogikan seperti uang yang mana sama-sama memiliki nilai atau harga. Dalil syara’ tentang dibolehkannya wakaf saham ini bisa diklasifikasikan sebagai benda bergerak, sama saja halnya dengan uang.
2. Kerangka Konseptual
Dari kajian teoritik di atas telah dijelaskan bahwa wakaf memiliki dimensi yang lebih dari sekedar ibadah kepada Allah, dan saat ini lebih ditekankan dengan dihadapkannya pada isu-isu kontemporer yang memerlukan reinterpretasi wakaf, diantaranya isu ekonomi sosial yang bersentuhan langsung pada subyek wakaf. Untuk memecahkan hal tersebut perlu dibagun kerangka konseptual agar dimensi yang tertuju tepat sasaran.
3. Analisis
a. Wakaf Uang
Para ulama berijtihad mengklasifikasi dan merinci jenis-jenis benda mana yang dapat diwakafkan dan yang tidak dapat diwakafkan. Imam Muhyiddin al-Nawawi mensyaratkan agar benda wakaf itu mempunyai daya tahan agar manfaat dan keuntungan dari benda wakaf itu tetap terjaga. Menurutnya, benda wakaf itu tidak dapat berupa sesuatu yang dapat dimakan dan tidak pula dalam bentuk minyak wangi. Ia membolehkan mewakafkan binatang ternak dan benda-benda bergerak lainnya. Abu Ishaq al-Syirazi, dalam rangka menafsirkan potongan Hadits mengatakan bolehnya mewakafkan setiap sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara terus menerus. Senada dengan Muhyiddin al-Nawawi dan Abu Ishaq al-Syirazi, Sayyid Sabiq, seorang ulama kontemporer, mengatakan bahwa tidak sah mewakafkan benda yang berpotensi rusak dan musnah atau menjadi hilang jika dimanfaatkan semisal uang, parfum, makanan, minuman dan juga tidak sah mewakafkan benda-benda yang cepat rusak seperti yang terbuat dari parfum dan wewangian.
Maka, nyatalah klasifikasi dan rincian jenis benda-benda mana yang dapat diwakafkan dan yang tidak dapat diwakafkan di atas terkait erat dengan prinsip langgengnya manfaat (dawam al-intifa’). Dengan kemajuan teknologi barangkali benda yang dulu dianggap tidak ada manfaatnya akan menjadi sebaliknya dan itu berarti dapat diwakafkan. Dan bisa jadi, dengan kemajuan teknologi, benda yang dulu tidak tahan lama akan menjadi tahan lama dan itu berarti dapat diwakafkan. Barangkali dulu orang menganggap bahwa uang menjadi tidak ada lagi jika ditukarkan (dibelikan) karena uang dipandang sebagai alat tukar belaka. Berbeda halnya dengan kondisi kini dimana uang dapat dijadikan komoditi dagang yang menguntungkan, uang dapat didepositokan yang setiap jangka waktu tertentu dapat diambil keuntungannya, dan uang dapat diinvestasikan dalam bentuk saham-saham perusahaan yang dalam periode tertentu dapat menerima keuntungan. Persoalan ini dapat dikembalikan jawabannya pada prinsip langgengnya manfaat (dawam al-intifa’) di atas.[3]
b. Wakaf Saham
Saham adalah bentuk paling murni dan sederhana dari kepemilikan perusahaan. Saham adalah selembar kertas yang menyatakan kepemilikan dari sebagian perusahaaan. Saham merupakan tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan, selembar saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemiliknya (berapapun porsinya/jumlahnya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan kertas (saham) tersebut. Selembar saham mempunyai nilai atau harga.
Investasi finansial dalam ketentuan syariah Islam harus berkaitan langsung dengan sektor riel atau dalam istilah investasi disebut mempunyai underlying transaction. Investasi ini dapat dilakukan dalam bentuk penerbitan surat berharga yaitu saham dan obligasi. Saham merupakan salah satu sekuritas diantara sekuritas-sekuritas lainnya yang mempunyai tingkat risiko yang tinggi. Risiko tinggi tercermin dari ketidakpastian return yang akan diterima oleh investor di masa datang. Hal ini sejalan dengan definisi investasi menurut Sharpe bahwa investasi merupakan komitmen dana dengan jumlah yang pasti untuk mendapatkan return yang tidak pasti di masa depan.
Di atas telah dijelaskan hal ihwal pelarangan dan kebolehan mewakafkan uang, dalam hal ini terkait masalah mewakafkan saham bisa dianalogikan dengan wakaf uang karena pada dasarnya dalam sistem perekonomian masa lalu tidak keterangan yang menunjukkan wakaf saham. Perlu dicatat pula bahwa Prinsip dasar transaksi menurut syariah dalam investasi keuangan yaitu: (1) Transaksi dilakukan atas harta yang memberikan nilai manfaat dan menghindari setiap transaksi yang dzalim. Setiap transaksi yang memberikan manfaat akan dilakukan bagi hasil; (2) Setiap transaksi harus transparan tidak menimbulkan kerugian atau unsur penipuan disalah satu pihak, baik secara sengaja maupun tidak sengaja (gharar). Diharamkan praktek insider trading, cornering, netting dan short selling; (3) Risiko yang mungkin timbul harus dikelola sehingga tidak menimbulkan risiko yang besar atau melebihi kemampuan menanggung risiko (maysir); (4) Dalam Islam setiap transaksi yang mengharapkan hasil harus bersedia menanggung risiko; (5) Manajemen yang diterapkan adalah manajemen Islami yang tidak mengandung unsur spekulatif dan menghormati hak asasi manusia serta menjaga lestarinya lingkungan hidup.
Saham sebagai barang yang bergerak juga dipandang mampu menstimulus hasil−hasil yang dapat didedikasikan untuk kepentingan umat kebanyakan. Bahkan, dengan modal yang besar, saham malah justru akan memberi konstribusi yang cukup besar di banding jenis komoditas perdagangan yang lain Hukum mewakafkan uang tunai merupakan permasalah yang diperdebatkan di kalangan ulama fikih. Hal ini disebabkan karena cara yang lazim dipakai oleh masyarakat dalam mengembangkan harta wakaf, seperti tanah, gedung, rumah dan semacamnya.
Adapun jenis instrumen pasar modal yang jelas diharamkan syariah adalah sebagai berikut: (1) Preffered Stock (saham instimewa). Saham jenis ini diharamkan oleh ketentuan syariah karena terdapat dua karakteristik utama, yaitu: a. Adanya keuntungan tetap (pre-determinant revenue), hal ini menurut kalangan ulama dikategorikan sebagai riba; b. Pemilik saham preferen mendapatkan hak istimewa terutama pada saat likuidasi. Hal ini mengandung unsur ketidakadilan. 2. Forward Contract. Forward contract diharamkan karena segala bentuk jual beli utang (dayn bi dayn) tidak sesuai dengan syariah. Bentuk kontrak forward ini dilarang dalam Islam karena dianggap jual beli utang/piutang terdapat unsur-unsur ribawi, sedangkan terjadinya transaksi jual beli dilakukan sebelum tanggal jatuh tempo. 3. Option. Option merupakan hak, yaitu untuk membeli dan menjual barang yang tidak disertai dengan underlying asset atau real asset. Transaksi option ini bersifat exist dan dinilai oleh kalangan ulama bahwa kontrak option ini termasuk future mengandung unsur gharar (penipuan/spekulasi) dan maysir (judi). Kecuali jika transaksi option atau hak tersebut merupakan representasi dari nilai intangible asset tersebut, maka dianggap sebagai nilai real asset dan dapat dibenarkan menurut syariah. Misalnya, pentium intel yang merupakan intangible asset karena merupakan Hak Atas Karya Intelektual (HAKI) yang melekat pada produk komputer yang memanfaatkan teknologi tersebut, maka transaksi ini halal jika jual beli dilakukan juga pada aktiva berwujudnya. Jadi instrumen investasi syariah tersebut bebas dari jenis riba apapun, baik riba nashiah yaitu pinjam meminjam uang maupun riba fadl, yaitu riba dalam perdagangan, gharar (penipuan) dan maysir (judi).
c. Wakaf Manfaat
Pada dekade akhir-akhir ini hak harta dan manfaat semakin meluas dan itu merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam harta yang bisa diwakafkan. Mungkin hal inilah yang disinyalir oleh Rasulullah SAW dalam hadits أو علم ينتفع به yang memberikan isyarat –walaupun jauh- tentang adanya hak adabi.
Untuk memahami manfaat kontekstual wakaf dapat dilihat dari sistem pengelolaannya, apakah secara tradisional atau modern. Kalau pengelolaan tradisional hanya menempatkan kekekalan benda berada pada posisi teratas dengan mengesampingkan sistem pengelolaan. Sedangkan pengelolaan modern lebih mengedepankan pada aspek kemanfaatan benda melalui pengelolaan produktif dengan tetap menjaga eksistensi bendanya tetap ada dan tidak berkurang.
Substansi perintah Nabi adalah menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf dengan cara mengelola secara profesional, sementara hasilnya untuk kepentingan kebajikan umum. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud Nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut.
Kalau konsisten memegangi maksud hadits Nabi di atas, maka harusnya tidak ada benda-benda wakaf yang terbengkelai. Problemnya adalah karena ada sebagian ulama yang bersiteguh memahami wakaf lebih kepada keutuhan benda-benda wakaf, meskipun telah rusak atau tidak memberi manfaat sedikitpun untuk masyarakat banyak.
Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa benda-benda wakaf tidak boleh “diutak-atik” tanpa sentuhan pengelolaan dan pengembangan yang lebih bermanfaat harus kita mulai tinggalkan. Hal ini kita lakukan agar dapat menciptakan sebuah kondisi dimana segala sesuatu akan bisa memberikan nilai manfaat (ekonomi) apabila dikelola secara baik. Sejarah berdirinya masjid Nabawi di masa Rasulullah yang dulunya hanya terbuat dari pelepah kurma dan sekarang sudah dirombak sedemikian rupa hingga menjadi salah satu masjid termegah dan termewah di dunia dengan segala fasilitas modern lainnya merupakan gambaran betapa pentingnya pengembangan potensi (kekayaan) umat Islam untuk kemanfaatan yang lebih besar.
Terdapat tiga makna kontekstual bahwa benda wakaf akan mendapatkan nilai pahala yang terus mengalir karena kemanfaatannya, yaitu:
1. Benda tersebut dapat dimanfaatkan (digunakan) oleh orang banyak. Ketika seseorang mewakafkan tanah atau bangunan untuk mendirikan sekolah misalnya, maka masyarakat umum akan bisa memetik kemanfaatan yang begitu besar terhadap kehadiran sekolah itu. Terlebih jika biaya sekolah itu sangat murah atau gratis setelah disubsidi dari dana pengelolaan wakaf, maka masyarakat sekitar sangat terbantu dalam menyekolahkan anak-anaknya. Itu baru satu contoh kecil, masih banyak contoh-contoh lain dari benda wakaf yang memberikan manfaat lebih banyak lagi terhadap kepentingan kebajikan. Dengan kehadiran benda wakaf yang memiliki nilai guna sangat tinggi itu, maka paradigma baru wakaf harusnya didasari oleh aspek tersebut, sehingga jika ada benda wakaf yang hanya memberikan kemanfaatan kecil atau tidak sama sekali, sudah selayaknya benda tersebut diberdayakan secara produktif dalam rangka meningkatkan fungsi yang berdimensi ibadah dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana maksud wakifnya.
2. Manfaat immaterial benda wakaf melebihi manfaat materialnya. Atau bisa disederhanakan dengan bahwa nilai ekstrinsik benda wakaf melebihi nilai intrinsiknya. Karena titik tekan wakaf itu sendiri sejatinya lebih mementingkan fungsi untuk orang lain dari pada benda itu sendiri. Sehingga dengan demikian, orang yang mewakafkan tanah untuk mendirikan bangunan fasilitas ibadah, misalnya, harusnya bisa pula dimaknai secara lebih luas tentang ibadah sendiri itu apa, sehingga tidak hanya terfokus pada pendirian bangunan masjid semata. Sebagai contoh, tanah wakaf yang berada dalam lokasi yang sangat strategis tidak cukup hanya di bangun sebuah masjid atau musholla yang fungsinya hanya untuk sholat, tapi harusnya bisa dibangun dengan mempertimbangkan letak tanah tersebut. Paradigmanya, masjid tetap didirikan di atas tanah tersebut bersamaan dengan tempat-tempat usaha yang bisa menguntungkan dengan desain yang memungkinkan sesuai Syari’ah. Sehingga dengan demikian, nilai tanah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai immaterialnya, yaitu bisa untuk ibadah (ritual formal seperti shalat), pusat koordinasi dakwah, pusat perniagaan Islami, pusat santuan kaum lemah, pusat koordinasi pemberdayaan ekonomi lemah dan sebagainya.
3. Harta benda wakaf itu bukan berupa benda yang dapat menimbulkan bahaya (madharat) bagi orang lain (mauquf ‘alaih) dan juga wakif sendiri. Jadi tidak dinamakan wakaf jika ada seseorang yang menyerahkan sebagian hartanya untuk dibuat tempat perjudian, misalnya. Atau bisa jadi bukan tempat yang haram, namun bisa juga yang mengarah kepada kemaksiatan, seperti menyumbangkan tanah untuk dibangun tempat bilyard. Secara substansi hukumnya tempat bilyard tidak haram selama untuk sarana olah raga atau hiburan yang benar. Namun, kecenderungan saat ini tempat-tempat bilyard cenderung digunakan untuk arena perjudian (taruhan) atau tempat bercampurnya kaum laki-laki kepada kaum perempuan non muhrim. Oleh karena itu, benda wakaf harus yang memberikan manfaat bukan mendatangkan bahaya.


Paradigma yang melekat pada masyarakat mengenai wakaf perlu direinterpretasi karena pada dasarnya hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan kondisi sosial-ekonomi ataupun politik pada waktu tertentu, Para ulama’ terdahulu telah memberikan klasifikasi terhadap persyaratan pada mauquf bih bahwa harus dawam al intifa’. Di samping itu terdapat persyaratan pula bahwa mengenai benda mauquf bih haruslah benda tak bergerak, namun dari penjelasan di atas berdasarkan kerangka teoritik bahwa kita akan mendapatkan adanya kongklusi mengenai wakaf yang lebih menitikberatkan pada nilai guna benda yang diwakafkan, karena tidak terdapat dalil yang secara eksplisit menjelaskan mengenai wakaf uang ataupun saham. Dengan pengelolaan dan menejemen perwakafan yang lebih modern akan didapatkan suatu perbedaan mendasar wakaf sebagai hal yang tidak dapat di’utak-atik’ atau wakaf sesuai dengan tujuan Rosulullah yakni memberikan manfaat pada masyarakat yang membutuhkan, hari ini telah berkembang berbagai macam sistem perwakafan uang, disamping itu telah dijelaskan pula dengan kebangkitan sistem ekonomi yang berasaskan Syariah maka dari sini ditepis keraguan mengenai perwakafan yang berupa surat berharga atau dikenal dengan saham.
Sejalan dengan keterangan di atas berkembang pula perwakafan mengenai manfaat suatu benda yang mungkin saja tidak tergolong pada benda tidak bergerak ataupun benda bergerak, dan yang akhir-akhir ini telah ada, wakaf hak milik ma’nawi seperti hak cipta mengarang, hak nama atau merk dalam perdagangan, Wakaf pelayanan, seperti pelayanan pengangkutan mushhaf ke masjid, Dan jasa Pendidikan ataupun Pelatihan-pelatihan tertentu, yang mana semua itu telah menekankan pada kemanfaatan sesuai tujuan syariah. Maka, sudah saatnya pemahaman manfaat kontekstual wakaf yang lebih menekankan pentingnya aspek pengembangan manfaat menjadi semacam “gizi” baru untuk memberdayakan benda-benda wakaf secara produktif .

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama RI, 2006, Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta.

-----------------------------------------------------------, 2007, Fiqh Wakaf, Jakarta.

Muhammad Abid Abdullah al Kabisi, 2004, Hukum Wakaf, IIMAaN Press, Jakarta.

Mekanisme Pengerahan Dana Perbankan Syari'ah

Latar Belakang

Pertumbuhan setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar, dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, maka dana merupakan masalah bank yang paling utama. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata lain, bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.

Dalam menjalankan aktivitas tersebut, bank syariah harus menjalankan sesuai dengan kaidah-kaidah perbankan yang berlaku. Utamanya adalah kaidah transaksi dalam pengumpulan dan penyaluran dana menurut Islam. Namun, bagi bank syariah di samping harus memenuhi tuntutan kaidah Islam, juga mengikuti kaidah hukum perbankan yang berlaku dan telah diatur oleh bank sentral. Mekanisme pengerahan dana yang dilakukan oleh perbankan islam tentunya berbeda dengan mekanisme pengerahan dana pada perbankan konvensional.

Selain itu, masyarakat masih kurang memahami bagaimana manajemen pengerahan dana yang dilakukan oleh perbankan islam. Oleh karena itu, mekanisme pengerahan dana perbankan islam perlu untuk dibahas.



A. Mekanisme Pengerahan Dana Perbankan Islam

Dalam pandangan syari’ah, uang bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan nilai ekonomis. Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga di mana “uang mengembangkan uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak.[1]

Berdasarkan prinsip tersebut bank syari’ah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk:

1. Rekening Giro (Current Account)

Menurut terminologi syari’ah giro dapat diklasifikasikan ke dalam konsep titipan atau wadi’ah.[2] Giro wadi’ah adalah titipan dana yang tiap waktu dapat ditarik pemilik atau anggota dengan cara mengeluarkan semacam surat berharga pemindahbukuan atau transfer dan perintah membayar lainnya. Tabungan wadi’ah dikenakan biaya administrasi namun oleh karena dana yang dititipkan diperkenankan untuk diputar maka oleh Bank Syariah kepada penyimpan dana dapat diberikan bonus sesuai dengan jumlah dana yang ikut berperan didalam pembentukan laba bagi Bank Syariah. Simpanan yang berakad wadi’ah ada dua:

a. Wadi’ah amanah, titipan dana zakat, infaq, shadaqah.

b. Wadi’ah yadhomanah, titipan ini akan mendapatkan bonus dari Bank Syariah, jika Bank Syariah mengalami keuntungan.[3]

Giro wadi’ah merupakan titipan murni (wadi’ah yad ad dhamanah) yang dengan seizin penitip dapat dipergunakan oleh bank. Sebagai konsekuensi dari yad ad dhamanah (menjamin keutuhan dana) apabila dari pengolahan uang tersebut bank memperoleh keuntungan, maka keuntungan tersebut sepenuhnya milik bank. Bank atas kehendaknya sendiri, tanpa perjanjian dan understanding di muka dapat memberikan semacam bonus kepada para nasabahnya.[4]

- Contoh perhitungan giro wadi’ah:

Saldo rata-rata rekening giro wadi’ah Tuan C di Bank Islam sebesar Rp. 1.000.000,- (saldo menimum untuk mendapatkan bonus). Bonus yang akan diberikan oleh Bnak kepada nasabah Giro Wadi’ah adalah 25%. Diasumsikan total saldo rata-rata dan Giro di bank Islam sebesar 200.000.000,- dan keuntungan yang diperoleh untuk dana giro wadi’ah adalah sebesar Rp. 6 juta. Maka pada akhir bulan nasabah akan memperoleh bonus dari bank sebesar :

Rp. 1.000.000 x Rp. 6 juta.,- x 25% = Rp. 7.500 (sebelum pajak)

Rp. 200.000.000

Tujuan dari current account (Giro) dan saving account adalah menawarkan penitipan yang aman kepada nasabah penyimpan dana untuk menghadapi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atau untuk menghadapi kerugian atas transaksi-transaksi yang dilakukan nasabah (save custody for precautionary and transaction purposes). Suatu bank Islam diperbolehkan untuk meminta kepada nasabah agar menyimpan dana dengan jumlah minimum tertentu sebagai syarat bagi pembukaan suatu rekening.[5]

Sesuai dengan perjanjian nasabah penyimpan dana, bank mempunyai hak untuk menggunakan dana tersebut guna kegiatan-kegiatan keuangan dari bank yang bersangkutan. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan dana tersebut adalah milik bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan alasan bahwa bank menawarkan suatu save custody kepada nasabah penyimpan dana tanpa membebankan fee. Namun demikian, tergantung kepada keuntungan yang diperoleh, bank dapat menentukan untuk membayar suatu premium, atau hibah, yang besarnya ditentukan sesuai dengan kebijakan bank itu, kepada nasabah penabung. Current account dari bank Islam adalah sama dengan rekening giro dari bank konvensional. Hanya saja tidak dibenarkan adanya pemberian bunga oleh bank kepada nasabah pemegang rekening. Di luar negeri, bank konvensional tidak memberikan bunga terhdap current account atau rekening giro. Pada Bank Syariah, tentu saja terhadap current account juga tidak diberikan bunga karena dilarang. Kalau semata-mata dilihat dari segi return antara current account pada bank konvensional dan Bank Syariah adalah sama-sama tidak memperoleh return.[6]

Berbeda halnya dengan di luar negeri, di Indonesia bank-bank konvensional memberikan bunga terhadap current account atau jasa giro. Dengan demikian, dilihat dari segi perolehan return, menjadi berbeda bagi seorang nasabah penyimpan dana apabila yang bersangkutan menyimpan dananya dengan membuka rekening giro di bank konvensional di Indonesia karena terhadap rekening itu ia dapat memperoleh bunga, yang bagi bank Islam merupakan riba dan apabila dia membuka rekening giro di Bank Syariah yang tiadak memberikan bunga. Seperti halnya pada bank konvensional, terhadap current account atau rekening giro Bank Syariah nasabah pemegang rekening diberi buku cek maupun maupun buku bilyet giro. Penarikan dana dari current account itu dilakukan dengan menerbitkan cek (untuk penarikan tunai) atau bilyet giro (untuk pemindahbukuan) oleh nasabah pemegang rekening yang bersangkutan. Nasabah boleh menarik dana simpanannya setiap waktu yang dikehendakinya dan jumlahnya tidak dibatasi sepanjang masih dalam atas jumlah saldo rekeningnya.[7]

2. Rekening Tabungan (Saving Account)

Saving account atau rekening tabungan diselenggarakan dengan berbagai cara. Pada beberapa bank, para penabung membolehkan bank yang bersangkutan untuk menggunakan dana mereka, namun mereka memperoleh jaminan (guarantee) untuk memperoleh kembali seluruh jumlah dana yang ditabung itu dari bank yang bersangkutan. Bank-bank tersebut menggunakan beberapa cara untuk merangsang para nasabah mereka untuk menyimpan dana di bank yang bersangkutan, tetapi bank tersebut tidak menjanjikan memberikan keuntungan atas penyimpanan dana itu.[8] Rekening tabungan tersebut terdiri dari:

a. Tabungan Wadi’ah

Prinsip wadi’ah yad dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah miliik bank, tetapi atas kehendaknya sendiri bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.[9]

Ciri-ciri rekening tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut:

· Menggunakan buku atau kartu ATM.

· Besarnya setoran pertama dan saldo minimum yang harus mengendap, tergantung pada kebijakan masing-masing bank.

· Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja.

· Tipe rekening:

- Rekening perorangan

- Rekening bersama

- Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum

- Rekening perwalian (yang dioperasikan oleh orang tua atau wali dari pemegang rekening)

- Rekening jaminan untuk menjamin pembiayaan

Berbeda dengan jenis tabungan mudharabah, Bank Syariah tidak menjanjikan bagi hasil atas tabungan wadi’ah, walaupun atas kemauannya sendiri bank dapat memberikan bonus kepada nasabah pemegang rekening titipan maupun tabungan wadi’ah adalah tergantung pada kebijakan menajemen bank. Bonus, “biasanya” hanya diberikan apabila bank mengalami surplus pendapatan, setelah dikurangi pembagian bagi hasil kepada pemegang rekening tabungan dan deposito mudharabah.[10]

Rumus yang digunakan dalam perhitungan tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut:

· Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo terendah bulan yang bersangkutan.

Tarif bonus wadi’ah x saldo terendah bulan yang bersangkutan

· Bonus wadi’ah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.

· Bonus wadi’ah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif.

Tarif bonus wadi’ah x saldo harian yang bersangkutan x hari efektif

Dalam memperhitungkan pemberian bonus wadi’ah tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

· Tarif bonus wadi’ah merupakan besarnya tarif yang diberikan bank sesuai ketentuan.

· Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan.

· Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya menurut kalender. Misalnya, bulan Januari 31 hari, bulan Februari 28/29 hari, dengan catatan satu tahun 365 hari.

· Saldo harian adalah saldo pada akhir hari.

· Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari tanggal pembukaan atau tanggal penutupan, tapi termasuk hari tanggal tutup buku.

· Dana tabungan yang mengendap kurang dari satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadi’ah, kecuali apabila perhitungan bonus wadi’ahnya atas dasar saldo harian.[11]

b. Tabungan Mudharabah

Prinsip mudharabah juga digunakan untuk jasa pengelolaan jenis tabungan. Salah satu syarat mudharabah adalah bahwa dana harus dalam bentuk uang (monetary form), dalam jumlah tertentu dan diserahkan kepada mudharib. Oleh karena itu, tabungan mudharabah tidak dapat ditarik sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi’ah. Dengan demikian tabungan mudharabah biasanya tidak diberikan fasilitas ATM, karena penabung tidak dapat menarik dananya dengan leluasa.[12]



Beberapa ketentuan umum tabungan mudharabah yaitu sebagai berikut:

· Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai mudharib atau pemilik dana, dan bank betindak sebagai mudharib atau pengelola dana.

· Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.

· Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

· Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam bentuk akad pembukaan rekening.

· Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.

· Bank tidak dipergunakan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.[13]

Rumus perhitungan bagi hasil tabungan mudharabah adalah sebagai berikut:

hari bagi hasil x saldo rata-rata harian x tingkat bagi hasil

hari kalender yang bersangkutan

Dalam hal pembayaran bagi hasil, bank syari’ah menggunakan metode end of month yaitu:

· Pembayaran bagi hasil tabungan mudharabah dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan.

· Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, tapi tidak termasuk tanggal pembukaan tabungan.

· Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.

· Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan.

· Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan nasabah.[14]


3. Rekening Investasi (Investment Account)

Pada rekening investasi ini bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.[15]

Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksudkan dengan investment account pada Bank Syariah adalah sama dengan deposito berjangka dalam bank konvensional. Dalam deposito mudharabah mutlaqah, pemilik dana tidak memberikan batasan atas persyaratan tertentu kapada Bank Syariah dalam mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana tersebut ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.[16]

Dalam menghitung bagi hasil deposito mudharabah mutlaqah, basis perhitungan adalah hari bagi hasil sebenarnya, termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukaan deposito mudharabah mutlaqah dan tanggal jatuh tempo. Sedangkan jumlah hari dalam satu bulan yang menjadi angka penyebut atau angka pembagi adalah hari kalender bulan yang bersangkutan.[17]

Rumus perhitungan bagi hasil deposito mudharabah mutlaqah adalah sebagai berikut:

Hari bagi hasil x nominal deposito mudharabah x tingkat bagi hasil

Hari kalender yang bersangkutan

Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah mutlaqah dapat dilakukan melalui dua metode yaitu:

a. Anniversary Date

· Pembayaran bagi hasil deposito dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal pembukaan deposito.

· Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.

· Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai dengan permintaan deposan.

b. End of Month

· Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah muqayyadah dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan.

· Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, tapi tidak termasuk tanggal pembukaan deposito.

· Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk tanggal jatuh tempo deposito. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.

· Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan.

· Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan deposan.[18]


4. Rekening Investasi Khusus (Special Investment Account)

Pada rekening investasi khusus ini bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu yang mereka setujui atau mereka kehendaki. Rekening ini dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah.[19]

Dalam menggunakan dana deposito mudharabah muqayyadah ini, terdapat dua metode, yakni:

a. Cluster Pool of Fund

Yaitu penggunaan dana untuk beberapa proyek dalam suatu jenis industri bisnis.

b. Spesific Product

Yaitu penggunaan dana untuk suatu proyek tertentu.[20]

Dalam hal ini, bank syari’ah melakukan pembayaran bagi hasil sesuai dengan metode penggunaan dana mudharabah muqayyadah, yakni:

a. Cluster Pool of Fund

Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah muqayyadah dilakukan secara bulanan, triwulan, semesteran atau periodisasi lain yang disepakati.

b. Spesific Project

Pembayaran bagi hasil disesuaikan dengan arus kas proyek yang dibiayai.[21]

Perhitungan bagi hasil dana mudharabah muqayyadah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Perhitungan Bagi Hasil Cluster Pool of Fund

Dalam memperhitungkan bagi hasil Cluster Pool of Fund, bank syari’ah dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

hari bagi hasil x nominal deposito muqayyadah x tingkat bagi hasil

hari kalender yang bersangkutan

Dalam hal ini pembayaran bagi hasi deposito mudharabah muqayyyadah dapat dilakukan melalui dua metode yaitu:

- Anniversary Date

· Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah muqayyadah dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal pembukaan deposito.

· Tingkat baagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.

· Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan deposan.

- End of Month

· Pembayaran bagian hasil deposito dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan.

· Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, tapi tidak termasuk tanggal pembukaan deposito.

· Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk tanggal jatuh tempo deposito. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.

· Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan.

· Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan deposan.[22]

b. Perhitungan Bagi Hasil Spesific Project

Dalam menghitung bagi hasil deposito, basis perhitungan hari bagi hasil deposito adalah hari tanggal pembukaan deposito sampai dengan tanggal pembayaran bagi hasil terdekat, dan menjadi angka pembilang atau numbers of days. Sedangkan jumlah hari tanggal pembayaran bagi hasil terakhir sampai tanggal pembayan bagi hasil berikutnya menjadi angka penyebut/angka pembagi.

Dalam hal nominal proyek yang dibiayai oleh lebih dari satu nasabah atau oleh bank dan nasabah, maka bagi hasil dihiutng secara proporsional.

Rumus perhitungan bagi hasil yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:[23]

hari bagi hasil x nominal deposito x return proyek

hari bagi hasil terakhir nominal proyek


Dalam hal pencairan deposito mudharabah muqayyadah, terdapat ketentuan sebagai berikut:

a. Khusus untuk cluster, apabila dikehendaki oleh deposan, deposito mudharabah muqayyadah dapat dicairkan atau ditarik kembali sebelum jatuh tempo yang disepakati dalam akad, bank mengenakan denda (penalty) sesuai kalusula denda yang disepakati dalam akad.

b. Khusus untuk spesific project, deposito tidak dapat dicairkan atau ditarik kembali sebelum jatuh temponya, tanpa konfirmasi dan persetujuan tertulis dari bank. Bank dapat menolak permohonan pencairan sebelum jatuh tempo bila memberatkan bank. Dalam hal bank menyetujui pencairan sebelum jatuh tempo, bank dapat mengenakan denda (penalty) sesuai kesepakatan.[24]


KESIMPULAN

1. Mekanisme Pengerahan Dana Perbankan Islam

Dalam pandangan syari’ah, uang bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan nilai ekonomis. Berdasarkan prinsip tersebut bank syari’ah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk:

a. Rekening Giro (Current Account)

Menurut terminologi syari’ah giro dapat diklasifikasikan ke dalam konsep titipan atau wadi’ah. Giro wadi’ah adalah titipan dana yang tiap waktu dapat ditarik pemilik atau anggota dengan cara mengeluarkan semacam surat berharga pemindahbukuan atau transfer dan perintah membayar lainnya. Tabungan wadi’ah dikenakan biaya administrasi namun oleh karena dana yang dititipkan diperkenankan untuk diputar maka oleh Bank Syariah kepada penyimpan dana dapat diberikan bonus sesuai dengan jumlah dana yang ikut berperan didalam pembentukan laba bagi Bank Syariah.

b. Rekening Tabungan (Saving Account)

Saving account atau rekening tabungan diselenggarakan dengan berbagai cara. Pada beberapa bank, para penabung membolehkan bank yang bersangkutan untuk menggunakan dana mereka, namun mereka memperoleh jaminan (guarantee) untuk memperoleh kembali seluruh jumlah dana yang ditabung itu dari bank yang bersangkutan. Bank tersebut tidak menjanjikan memberikan keuntungan atas penyimpanan dana itu. Rekening tabungan tersebut terdiri dari:

- Tabungan Wadi’ah

- Tabungan Mudharabah


c. Rekening Investasi (Investment Account)

Pada rekening investasi ini bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.

d. Rekening Investasi Khusus (Special Investment Account)

Pada rekening investasi khusus ini bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu yang mereka setujui atau mereka kehendaki. Rekening ini dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah.



DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim. 2006. Bank Islam. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada.

Karnaen A. Parwataatmaja & Muhammad Syafi’i Antonio. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta: AMP YKPN.

Muhammad. 2004. Teknik Penghitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press.

Sutan Remy Syahdeini. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Rabu, 05 Mei 2010

AYAT-AYAT TENTANG PRINSIP BEREKONOMI

1. Surat Al-Baqarah Ayat 168 - 169


" Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. 2:168)

" Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. 2:169


Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul :

Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakannya di dalam al-Quran.


Tafsir Ayat

Dalam surat Al-Baqarah ayat 168 dijelaskan bahwa manusia harus mencari makanan yang halal lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram; yang haram telah pula disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu yang tidak disembelih, daging babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala. Kalau tidak ada pantang yang demikian, halal dia dimakan. Tetapi hendaklah pula yang baik meskipun halal. Batas-batas yang baik itu tentu dapat dipertimbangkan oleh manusia. Misalnya daging lembu yang sudah disembelih, lalu dimakan saja mentah-mentah. Meskipun halal tetapi tidaklah baik. Atau kepunyaan orang lain yang diambil dengan tipu daya halus atau paksaan atau karena segan-menyegan. Karena segan diberikan orang juga, padahal hatinya merasa tertekan. Atau bergabung keduanya, yaitu tidak halal dan tidak baik; yaitu harta dicuri, atau seumpamanya. Ada juga umpama yang lain dari harta yang tidak baik; yaitu menjual azimat kepada murid, ditulis di sana ayat-ayat, katanya untuk tangkal penyakit dan kalau dipakai akan terlepas dari marabahaya. Murid tadi membelinya atau bersedekah membayar harga, meskipun tidak najis namun itu adalah penghasilan yang tidak baik.

Supaya lebih kita ketahui betapa besarnya pengaruh makanan halal itu bagi rohani manusia, maka tersebutlah dalam suatu riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Mardawaihi daripada Ibnu Abbas, bahwa tatkala ayat ini dibaca orang dihadapan Nabi SAW, yaitu ayat: ”Wahai seluruh manusia, makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik,” maka berdirilah sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Abu Waqash. Dia memohon kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja permohonan doa yang disampaikannya kepada Allah, supaya dikabulkan oleh Allah. Maka berkatalah Rasulullah SAW : ”Wahai Sa’ad ! Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang makbul doanya. Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empatpuluh hari. Dan barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka api lebih baik baginya.”

Artinya, lebih baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa juka dibandingkan dengan apai neraka. Biar hangus perut lantaran lapar daripada makan harta yang haram.

Penting sekali peringatan ini, kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit adalah hubunganya dengan perut asal berisi. Berapa perbuatan curang terjadi di atas dunia ini oleh karena mempertahankan syahwat perut. Maka apabila manusia telah mengatur makan minumnya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman modern ini dinamai korupsi, maka jiwa akan terpelihara daripada kekasarannya.

Kemudian diperingatkan pula pada lanjutan surat Al-Baqarah ayat 169 supaya jangan menuruti langkah-langkah yang digariskan oleh syaitan. Sebab syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Kalau syaitan mengajakkan satu langkah, pastilah itu langkah membawa ke dalam kesesatan. Dia akan mengajarkan berbagai tipu daya, mengicuh dan asal perut berisi, tidaklah peduli dari mana saja sumbernya. Syaitan akan bersedia menjadi pokrol mengajarkan bermacam jawaban membela diri karena berbuat jahat. Keinginan syaitan ialah bahwa engkau jatuh, jiwamu menjadi kasar, dan makanan yang masuk perutmu penambah darah dagingmu, dari yang tidak halal dan tidak baik. Dengan demikian rusaklah hidupmu.

2. Surat An-Nisa' Ayat 29


" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS.4 : 29)


Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul :


Menurut riwayat Ibnu Jarir ayat ini turun dikarenakan masyarakat muslim Arab pada saat itu memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil, mencari keuntungan dengan cara yang tidak sah dan melakukan bermacam-macam tipu daya yang seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at. Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas. menurut riwayat Ibnu Jarir seorang membeli dari kawannya sehelai baju dengan syarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikannya dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya. Padahal seharusnya jual beli hendaklah dilakukan dengan rela dan suka sama suka tanpa harus menipu sesama muslimnya.


Tafsir Ayat

Allah SWT melarang hamba-hambaNya yang mukmin memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil dan cara-cara mencari keuntungan yang tidak sah dan melanggar syari’at seperti riba, perjudian dan yang serupa dengan itu dari macam-macam tipu daya yang tampak seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at, tetapi Allah mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu hanya suatu tipu muslihat dari si pelaku untuk menghindari ketentuan hukum yang telah digariskan oleh syari’at Allah. Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas s.r. menurut riwayat Ibnu Jarir seorang membeli dari kawannya sehelai baju dengan syarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikannya dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya.

Allah mengecualikan dari larangan ini pencaharian harta dengan jalan perniagaan yang dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.

Bersandar kepada ayat ini, Imam Syafi’ie berpendapat bahwa jual beli tidak sah menurut syari’at melainkan jika disertai dengan kata-kata yang menandakan persetujuan, sedang menurut Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad cukup dengan dilakukannya serah terima barang yang bersangkutan. Karena perbuatan yang demikian itu sudah dapat menandakan persetujuan dan suka sama suka. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Maimun bin Muhran bahwa Rasulullah SAW bersabda : ”Jual beli hendaklah berlaku dengan rela dan suka sama suka dan pilihan sesudah tercapai persetujuan. Dan tidaklah halal bagi seorang muslim menipu sesama muslimnya”. Dan bersabda Rasulullah SAW menurut riwayat Bukhari dan Muslim: ”Bila berlaku jual beli antara dua orang, maka masing-masing berhak membatalkan atau meneruskan transaksi selama mereka belum berpisah”.

Allah SWT juga berfirman dalam ayat ini: ”Janganlah kamu membunuh dirimu” dengan melanggar larangan Allah, berbuat maksiat-maksiat dan memakan harta sesamamu dengan cara bathil dan curang. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang bagimu dalam apa yang diperintahkan dan dilarang bagimu.

Sehubungan dengan soal bunuh diri dalam ayat ini, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Jubair bahwa Amer Ibnul Assh bercerita tentang dirinya tatkala diutus oleh Rasulullah ke suatu tempat, pada suatu malam yang sangat dingin ia telah berihtilam (mengeluarkan mani ketika tidur) dan tanpa bermandi jenabat, ia mengimami shalat shubuh bersama sahabat-sahabatnya. Dan tatkala hal itu didengar oleh Rasulullah bertanyalah Beliau kepadanya: ”Hai Amer, engkau telah melakukan shalat shubuh dengan sahabat-sahabatmu sedang engkau dalam keadaan junub (belum bermandi jenabat)?”

Maka berkata Amer, ”Ya Rasulullah aku telah berihtilam pada malam yang sangat dingin itu, dan aku khawatir bila aku mandi jenabat akan matilah aku, maka teringat olehku firman Allah ”Janganlah kamu membunuh dirimu” lalu bertayamumlah aku, kemudian bershalat bersama sahabat-sahabatku.” Mendengar kata-kata Amer itu tertawalah Rasulullah tanpa mengucapkan sesuatu.

Dalam lanjutan ayat 29 ”Dan janganlah kamu bunuh diri-diri kamu.” Di antara harta dengan diri atau dengan jiwa, tidaklah bercerai-tanggal. Orang mencari harta untuk melanjutkan hidup. Maka selain kemakmuran harta benda hendaklah pula terdapat kemakmuran atau keamanan jiwa. Sebab itu di samping menjauhi memakan harta kamu dengan bathil, janganlah terjadi pembunuhan. Tegasnya janganlah berbunuhan karena sesuap nasi. Jangan kamu bunuh diri-diri kamu. Segala harta benda yang ada, pada hakikatnya ialah harta kamu. Segala nyawa yang ada, pun adalah pada hakikatnya nyawa kamu. Diri orang itu pun diri kamu.

3. Surat Al-Hadid Ayat 25


" Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa."(QS. 57:25)


Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul :

Ayat ini turun dikarenakan untuk menunjukkan kepada umat muslim pada saat itu agar mentaati Rasu-rasul Allah dan menyambut baik tuntutannya. Karena sebelumya umat muslim yang beriman merasa berat melaksanakan tuntutan agama, mereka ditegur agar tidak mengikuti sikap orang-orang Yahudi. Selain itu ayat ini turun sebagai nasihat kepada mereka yang selama ini belum bersungguh-sungguh menggunakan anugerah Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya

Tafsir Ayat :

Ayat ini telah memberitakan keterangan yang jelas tentang kedatangan Rasul-rasul, atau Utusan-utusan Allah ke dunia ini. Dalam ayat ini kita kaum muslimin sudah mendapat keterangan bahwa Rasul itu bukan satu, melainkan banyak, sebab itu disebut Rasul-rasul. Kedatangan beliau-beliau ke dunia diutus Allah untuk membawakan penjelasan bagi manusia untuk keselamatan hidup mereka di dunia dan akhirat. Manusia bisa saja memandang dengan akalnya bahwa memang ada Maha Kuasa yang mencipta alam, tetapi kalau tidak ada Rasul dari Allah sendiri, akan kacau balaulah pengertian manusia tentang Allah. Bersama Rasul-rasul itu selain diberi tugas memberikan penjelasan berbagai rupa, ada juga yang dengan mu’jizat, dan Allah juga menurunkan kepada mereka kitab-kitab. Sebagai Taurat untuk Musa, Injil untuk Isa, Al-Qur’an untuk Muhammad SAW dan beberapa Shuhuf untuk Ibrahim dan Nabi yang lain.

Setelah Allah menurunkan kitab kepada Rasul-rasul itu, Allah pun sekaligus menurunkan kepada mereka al-Miizaan, yaitu alat penimbang. Tentu saja dalam ayat ini yang dimaksudkan dengan alat penimbang bukanlah semacam neraca yang dikirim dari surga atau alam ghaib, melainkan kearifan dan kebijaksanaan Nabi-nabi itu sendiri. Sebab sesudah itu nyata sekali Allah berfirman: ”Supaya berdirilah manusia dengan keadilan.” jangan berbuat sewenang-wenang saja menjatuhkan suatu hukum. ”Dan Kami turunkan besi, di dalamnya ada kekuatan yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia.”

Di dalam simpulan ayat ini kita sudah dapat memahamkan bahwa pada hakikatnya, datangnya Rasul-rasul diutus Allah, selain daripada diberi wahyu dengan kitab-kitab suci, mereka juga diberi kewajiban memberikan pertimbangan. Tegasnya kebijaksanaan dalam memimpin umatnya. Sesudah itu dijelaskan lagi bahwa Allah pun bukan saja menurunkan kitab atau pertimbangan atau timbangan untuk menegakkan keadilan bahkan juga diberi besi. Dalam ayat ditegaskan kegunaan besi itu. Pertama karena di dalamnya ada persenjataan. Maka dapat difahamkan bahwa kedatangan Rasul-rasul itu bukan saja hendak mengejar-ngejar orang saja agar tunduk kepada Allah, tetapi wajib patuh, wajib tunduk. Barangsiapa yang melawan undang-undang Allah, bisa dihukum. Besi adalah untuk menguatkan hukum. Selain jadi senjata ada pula banyak manfaatnya yang lain. Sampai kepada zaman modern kita sekarang ini disebut bahwa suatu negara hendaklah mempunyai alat-alat besar. Dan alat-alat besar itu terdiri dari besi. Untuk kapal, untuk kereta api, untuk jembatan dan untuk seribu satu keperluan lain. Inilah yang disebut teknologi. Sebab itu dengan tegas pula dalam ayat ini dijelaskan bahwa suatu agama mestilah disokong dengan kekuasaan, atau pemerintahan. ”Dan supaya dibuktikan Allah barangsiapa yang menolongNya dan Rasul-rasukNya, dengan cara sembunyi.” Cara sembunyi itu ditafsirkan oleh Ibnu Abbas ialah dengan hati yang ikhlas, tidak usah gembar-gembur. Disebut di ujung ayat ini bahwa orang yang hendak membela tegaknya agama Allah, kadang-kadang terpaksa dengan sembunyi-sembunyi, dengan ghaib, karena hebatnya tantangan dari pihak musuh. Tetapi Allah tetap dalam Kebesaran dan KekuatanNya; ”Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Kuat, Maha Perkasa.” Maka dengan segala tenaga yang ada pada kita, kita pun wajib bekerja, berusaha menegakkan Kalimat Allah itu, membela Kebenaran Allah, walaupun satu waktu kita terpaksa melakukan dengan sembunyi, karena di samping kekuatan kita yang tidak seberapa, adalah Kekuatan Allah dan Kegagah-perkasaanNya, itulah yang berlaku.

Ayat ini menguraikan bahwa tujuan Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab suci dan neraca adalah agar manusia menegakkan keadilan dan hidup dalam satu masyarakat yang adil.

4. Surat Al-Ma'idah Ayat 2

" Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang al-hadya dan al-qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5 : 2)

Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul :

Ayat ini turun karena pada saat itu bangsa Arab tempo dulu memiliki semboyan yang populer yaitu ”Tolonglah saudaramu, baik ia menganiaya maupun dianiaya.” Semboyan ini sudah menjadi simbol kebanggaan jahiliah dan fanatisme kebangsaan. Tolong-menolonglah di dalam perbuatan dosa dan pelanggaran lebih dekat dan lebih kuat daripada tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Mereka juga biasa mengadakan janji setia untuk bantu-membantu di dalam kebathilan demi menghadapi kebenaran. Jarang terjadi di kalangan jahiliah yang mengadakan janji setia untuk membela kebenaran.

Begitulah tabiat lingkungan masyarakat yang tidak berhubungan dengan Allah. Yakni, masyarakat yang tradisi dan akhlaknya tidak berpijak pada manhaj Allah dan timbangan-Nya. Semua itu mencerminkan semboyan jahiliah yang tekenal itu. Sampai akhirnya islam datang dan turunlah ayat ini. Islam datang untuk mengeluarkan bangsa arab dan semua manusia dari kebanggaan jahiliah dan fanatisme golongan. Juga untuk menekan perasaan dan emosi pribadi, keluarga, dan golongan di dalam lapangan pergaulan dengan kawan dan lawan.

Tafsir Ayat :

Makna ’syiar-syiar Allah’ yang paling dekat dengan pikiran ketika membaca ayat ini adalah syiar-syiar haji dan umrah dengan segala sesuatu yang diharamkan atas orang yang sedang melakukan ihram haji dan umrah hingga hajinya selesai dengan menyembelih kurban yang dibawa ke Baitul Haram. Maka, semua itu tidak halal bagi orang yang sedang ihram, karena menghalalkannya pada waktu itu berarti menghina syiar Allah yang telah mensyariatkannya. Dinisbatkannya syiar-syiar ini oleh Al-Qur’an kepada Allah adalah untuk menunjukkan kegaungannya dan sebagai larangan dari menghalalkannya.

Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan haram adalah bulan Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijjah, dan Muharram. Allah telah mengharamkan berperang pada bulan-bulan ini. Bangsa Arab sebelum islam pun mengharamkannya, tetapi mereka mempermainkannya sesuai kehendak hawa nafsunya.

Al-hadyu adalah binatang kurban yang dibawa oleh orang-orang yang menunaikan haji atau umrah. Dengan demikian berakhirlah syiar-syiar haji atau umrahnya. Al-hadyu adalah unta, sapi, atau kambing.

Al-qalaa’id adalah binatang-binatang ternak yang dikalungi oleh pemiliknya pada lehernya sebagai pertanda bahwa binatang tersebut telah dinazarkan untuk Allah, dan dilepaskan merumput dengan bebas hingga disembelih pada waktu dan tempat nazar.

Allah juga mengharamkan mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah untuk mencari karunia dan keridhaanNya. Mereka adalah orang-orang yang mengunjungi Baitul Haram untuk melakukan perdagangan yang halal dan mencari keridhaan Allah dengan melakukan haji atau lainnya. Allah memberikan keamanan kepada mereka di Baitul Haram-Nya. Kemudian dihalalkanlah berburu setelah habis masa ihram, di luar Baitul Haram, sedangkan berburu di Baitul Haram tetap tidak diperbolehkan. Ini adalah kawasan keamanan yang ditetapkan Allah di Baitul Haram-Nya, sebagaimana Dia telah menetapkan masa-masa aman pada bulan-bulan haram. Ini adalah kawasan yang di sana manusia, binatang, burung-burung, dan pepohonan merasa aman dari gangguan, dan dipelihara dari pelanggaran-pelanggaran. Ini adalah kedamaian mutlak yang berkibar di rumah suci ini, sebagai pengabulan doa Nabi Ibrahim, dan berkibar di segala penjuru bumi selama empat bulan penuh dalam setahun di bawah naungan islam. Ini adalah keselamatan dan kedamaian yang dapat dirasakan hati manusia dengan manis, tenang, dan aman, agar hal ini diminati manusia dengan syarat-syaratnya. Juga agar mereka memelihara akad dan perjanjiannya dengan Allah, dan supaya mereka menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupannya sepanjang tahun dan di semua lokasi.

Inilah puncak pengendalian jiwa dan toleransi hati. Ini merupakan puncak yang harus didaki dan dicapai oleh umat yang ditugasi Allah untuk memimpin manusia dan mendidik kemanusiaan untuk mendaki ke ufuk kemuliaan yang cemerlang.

Inilah tanggung jawab kepemimpinan dan kesaksian atas manusia. Tanggung jawab yang menuntut orang-orang yang beriman untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dan melupakan deritanya sendiri untuk maju ke depan menjadi teladan di dalam mengaktualisasikan islam di dalam perilakunya., dan untuk bersikap yang luhur sebagaimana diciptakan oleh islam. Dengan demikian, mereka menjadi saksi yang baik bagi islam di dalam mengekspresikan dan mengaplikasikannya. Sehingga, akan menarik dan menjadikan hati manusia cinta kepada islam.

Ini merupakan tugas besar, tetapi di dalam bentuknya ini tidaklah memberatkan jiwa manusia, tidak memberinya beban melebihi kemampuannya. Islam mengakui bahwa jiwa manusia itu berhak untuk marah dan tidak suka. Akan tetapi, ia tidak berhak untuk berbuat aniaya pada waktu marah dan pada waktu terdorong rasa kebencian. Kemudian islam menetapkan agar orang yang beriman tolong-menolong dan bantu-membantu dalam berbuat kebaikan dan ketakwaan saja, tidak boleh bantu-membantu dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Al-Qur’an menakut-nakuti jiwa manusia terhadap adzab Allah dan menyuruhnya bertakwa kepadaNya, agar dengan perasaan-perasaan seperti ini dia dapat menahan kemarahan dan taat aturan, berperangai luhur dan toleran, takwa kepada Allah, dan mencari ridhaNya

Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an tentang prinsip berekonomi yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 168-169, An-Nisa’ ayat 29, Al-Hadid ayat 25 dan Al-Ma’idah ayat 2 yang telah dijelaskan diatas tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut perspektif Islam, ada beberapa prinsip dalam sistem ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai kerangka acuan dalam melakukan berbagai aktifitas perekonomian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

1. Asas Saling Menguntungkan. Seperti telah dijelaskan pada tafsir Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168 dan 169, setiap akad yang dilakukan oleh pihak yang satu dengan pihak yang lainnya harus bersifat menguntungkan semua pihak yang berakad. Tidak boleh menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak lain. Tidak merugikan dan mengeksploitasi manusia dalam berbagai bentuk bidang usaha. Prinsip ini dimaksudkan supaya para pelaku ekonomi dalam berusaha bergerak dalam batas-batas yang ditentukan syari’at. Penipuan (gharar), manipulasi, dan kecurangan-kecurangan, serta penimbunan barang oleh pedagang (ihtikar) tidak mewarnai aktifitas ekonomi. Dengan demikian setiap pihak merasakan ketenteraman berusaha dan menjamin kemaslahatan bersama.

2. Asas Manfaat. Asas ini juga dijelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 168. Maksudnya ialah bahwa akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak berkenaan dengan hal-hal (obyek) yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudharat/mafsadat seperti jual beli benda-benda yang diharamkan dan/atau benda-benda yang tidak bermanfaat apalagi yang membahayakan. Baik cara memperoleh input, pengolahannya dan outputya harus terbukti halal. Karena pada dasarnya seluruh yang baik itu dihalalkan, sedangkan yang akan merusak dan kotor-kotor diharamkan. Perdagangan minuman keras, babi, obat-obat terlarang dan yang sejenisnya seyogyanya dijauhi dan dihindari.

3. Asas Suka Sama Suka. Berdasarkan penjelasan tafsir Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29, kita menyimpulkan bahwa kegiatan mu’amalah atau ekonomi dapat dilakukan didasarkan atas adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Asas suka sama suka untuk melakukan kegiatan bisnis atau perniagaan sangat penting. Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini yang dapat menimbulkan kerugian masing-masing. Islam adalah syari’at yang benar-benar menghormati hak kepemilikan umatnya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi siapapun untuk memakan atau menggunakan harta saudaranya kecuali bila sudaranya benar-benar merelakannya, baik melalui perniagaan atau lainnya. Asas kerelaan (‘an taradhin minkum) dalam mu’amalah sangat penting. Keabsahan suatu aktifitas mu’amalah turut dipengaruhi oleh aspek ini. Sesungguhnya implementasi ijab-qabul mencuat dalam penerapan prinsip ini.

4. Asas Keadilan. Keadilan merupakan pilar terpenting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al-Qur’an dalam surat Al-Hadid ayat 25 sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah, termasuk penegakkan keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia. Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Allah, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumber daya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.

5. Asas Tolong Menolong. Prinsip tersebut dijelaskan dalam Al-qur’an surat Al-Ma’idah ayat 2 yang memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam melakukan aktivitas ekonomi pun dianjurkan untuk memegang asas tolong menolong ini. Dengan menanamkan terus asas tersebut dalam aktivitas ekonomi, maka kita telah membangun kemitraan dan solidaritas kita terhadap sesama. Akan terus terpupuk rasa persaudaraan dalam setiap aktivitas ekonomi yang kita lakukan dengan orang lain. Sebagai contoh, dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru’ pada berusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).

Seluruh aktifitas ekonomi didasarkan pada konfirmasi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pada prinsipnya, segala sesuatu yang ditolerir sudah pasti mengandung kemaslahatan. Apabila muatan atau indikator kemaslahatan (al-mashlahah) ada dalam bidang mu’amalah, maka itulah sebenarnya yang dituju oleh hukum syara’, karena Islam disyari’atkan memang untuk kemaslahatan manusia secara universal untuk kehidupan di dunia dan akhirat.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Maragi, Ahmad Mustafa, 1993. Tafsir Al-Maragi juz II. Cetakan ke-2. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.

Hamka, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz II. Jakarta; Panjimas

______, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz V. Jakarta; Panjimas

______, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz IIIXXX. Jakarta; Panjimas

Katsier, Ibn, 2003, Tafsir Ibnu Katsier Jilid 2, Surabaya; PT. Bina Ilmu.

Shihab, M. Quraish, 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 5. Jakarta: Lentera Hati.

_________________, 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 3. Jakarta: Lentera Hati.

Quthb, Sayyid. 2002. Tafsir Fi Zhilail-Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press.

http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002--al-baqarah/808-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-168.html

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=859