Wakaf secara bahasa, adalah al-habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai’i, yang berarti menahan sesuatu. Terdapat perbedaan pendapat tentang pengertian wakaf. Wakaf menurut para Fuqaha, yaitu : Menurut Hanafiyyah; Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja. Malikiyyah ; Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewakafkan. Syafi’iyyah: Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan menjaga utuhnya barang. Hanabilah : Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Disamping definisi diatas terdapat pula perbedaan terhadap mauquf bih, antara benda bergerak dan benda tidak bergerak sebagai mauquf bih, yang mana dalam hal ini Hanafiyyah tidak memperbolehkan mewakafkan benda bergerak karena mauquf bih yang tidak bergerak dipastikan ‘ain-nya memiliki sifat kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus, namun Madzhab Hanafi memberikan pengecualian pada benda yang bergerak dengan syarat bahwa benda bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua macam; barang tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam di tempat dan tetap, dan yang kedua benda bergerak yang digunakan untuk membantu benda tidak bergerak. Sedangkan menurut Ulama Syafiiyyah bahwa benda yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi.
Pedebatan boleh atau tidaknya mewakafkan aset bergerak semakin berkembang ketika aset bergerak tersebut berupa uang bukan berupa barang. Kajian mengenai wakaf uang atau biasa disebut dengan wakaf tunai ”cash waqf” diperdalam dan dimodifikasi produknya agar sesuai dengan perkembangan laju sistem ekonomi dan keuangan modern, ditambah lagi dengan adanya wakaf yang berupa surat-surat berharga seperti halnya saham, obligasi maupun SUN.
Dalam sejarah Islam, wakaf telah memerankan peran yang sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Institusi wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas pemerintah atau kementerian-kementerian khusus, seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Sosial.
Kondisi tersebut tentu sangat didukung oleh adanya paham dan orientasi wakaf yang memiliki pandangan sosial yang jauh ke depan. Wakaf dipahami secara dinamis, bahwa ajarannya tidak diposisikan sebagai ’barang mati’ yang terbebas dari reintrepetasi atau ijtihad, namun wakaf terus dikembangkan menjadi social capital yang terbuka bagi inovasi dan kreatifitas untuk dikembangkan demi kemajuan umat.
2. Rumusan Masalah
Menyikapi wakaf yang memunculkan permasalahan baru sesuai dengan deskripsi di atas, maka akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya;
1. Bagaimana status wakaf uang, serta bagaimana penjelasan para Ulama’?
2. Bagaimana korelasi wakaf uang dengan wakaf saham?
3. Bagaimana aplikasi dan interpretasi dari wakaf manfaat?
1. Kajian Teoritik
Secara teoritik tidak ada dalil baik dari Al Qur’an maupun hadits yang menjelaskan secara rinci mengenai perwakafan khususnya mengenai wakaf manfaat/uang bahkan saham, namun dalam hal ini konsensus Ulama menjadikan landasan bagi perwakafan diantaranya,
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. QS. Ali Imran : 92
Dari Ibn Umar, ia berkata: Umar mengatakan kepada Nabi SAW saya mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi SAW mengatkan kepada Umar: Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
Dari dua dalil di atas para ulama’ telah menetapkan hukum bagi masalah perwakafan, dalam hal ini akan dikutip beberapa pendapat ulama yang menjadi sentral bahasan dalam makalah ini; Al-Bakri mengemukakan pendapat Syafi’I tentang wakaf uang, yaitu tidak boleh. Karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya. Sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai. Oleh karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai. Kedua, uang seperti dinar dan dirham diciptakan sebagai alat tukar yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya. Begitu juga pendapat Kamal Ibn Hammam bahwa tidak boleh mewakafkan harta yang bermanfaa tetapi musnah dalam hal ini seperti emas, perak, makanan, dan minuman, berdasarkan pendapat fuqoha secara umum. Dan yang dimaksud dengan emas dan perak adalah (mata uang) dinar dan dirham.[2]
Jumhur ulama (Malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah) selain Syafiyah, membolehkan wakaf uang dan menjawab alasan Hanafiyah yang menyatakan bahwa dalam wakaf uang telah hilang makna wakaf yaitu “menahan asalnya” yang memiliki makna berkesinambungan sebagaimana hadits Umar dan Abi Tholhah. Dijawab oleh jumhur ulama bahwa wakaf uang tidak menghilangkan makna menahan dengan ungkapan mereka bahwa dalam setiap objek yang ditahan tentu ada batasannya, jika objek yang ditahan itu memiliki kelestarian yang berkesinambungan maka itulah batasannya, seperti tanah misalnya, tapi jika yang ditahan itu objek yang dalam kurun waktu tertentu akan punah, maka saat kepunahan itulah batasannya. Dan ulama Malikiyah menyatakan bolehnya wakaf uang sebagaimana yang diungkap oleh Ibn Rusd Al Jadd dalam Muqoddimahnya.
Imam Bukhari di dalam Shahih-nya meriwayatkan sebuah riwayat dari Az-Zuhri mengenai orang yang memberikan seribu Dinar untuk fi sabilillah yang ia berikan kepada anak laki-lakinya yang menjadi pedagang yang berdagang dengan modal uang tersebut serta menjadikan keuntungannya sebagai sedekah untuk orang-orang miskin dan kaum kerabat (Ibnu Hajar Al-'Asqallani¸ Fath Al-Bari 'ala Shahih Al-Bukharib.)
Benda apa saja sepanjang ia tidak dapat musnah setelah diambil manfaatnya, dapat diwakafkan. Uangpun termasuk benda yang dapat diwakafkan (wakaf tunai), sepanjang uang tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan akad wakaf dan tidak habis atau musnah. Jadi uang dapat saja diwakafkan dengan mekanisme membelanjakan uang tersebut pada benda-benda yang memiliki sifat tidak musnah. Namun, dalam kasus wakaf tunai yang bersifat temporer (temporary wakaf), uang diposisikan juga sebagai harta yang dapat diwakafkan. Dan harta yang diwakafkan bukanlah perpindahan kepemilikan fisik atau materi harta tapi hanya sekedar mewakafkan manfaat kegunaan uang tersebut, yang secara fisik atau materi kepemilikannya tidak berubah. Ta’rif yang cenderung diambil oleh mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i bahwa definisi harta tidak terbatas pada materi tapi juga pada manfaatnya, bahkan unsur manfaat inilah yang menjadi elemen penting dalam mendefinisikan harta. Sehingga konsekuensi pemahaman ini adalah munculnya perbedaan dalam aplikasi-aplikasi syariah yang melibatkan harta, misalnya dalam mekanisme wakaf yang kita bahas saat ini. Abu Hanifah bahkan secara spesifik berpendapat bahwa wakaf kemudian tidak harus ada perpindahan materi harta tapi cukup pemanfaatan kegunaan harta saja oleh pihak yang membutuhkan.
Begitupun masalah terkait saham yang merupakan selembar kertas yang merupakan bentuk sahnya kepemilikan terhadap suatu perusahaan dalam hal ini saham bisa dianalogikan seperti uang yang mana sama-sama memiliki nilai atau harga. Dalil syara’ tentang dibolehkannya wakaf saham ini bisa diklasifikasikan sebagai benda bergerak, sama saja halnya dengan uang.
2. Kerangka Konseptual
Dari kajian teoritik di atas telah dijelaskan bahwa wakaf memiliki dimensi yang lebih dari sekedar ibadah kepada Allah, dan saat ini lebih ditekankan dengan dihadapkannya pada isu-isu kontemporer yang memerlukan reinterpretasi wakaf, diantaranya isu ekonomi sosial yang bersentuhan langsung pada subyek wakaf. Untuk memecahkan hal tersebut perlu dibagun kerangka konseptual agar dimensi yang tertuju tepat sasaran.
3. Analisis
a. Wakaf Uang
Para ulama berijtihad mengklasifikasi dan merinci jenis-jenis benda mana yang dapat diwakafkan dan yang tidak dapat diwakafkan. Imam Muhyiddin al-Nawawi mensyaratkan agar benda wakaf itu mempunyai daya tahan agar manfaat dan keuntungan dari benda wakaf itu tetap terjaga. Menurutnya, benda wakaf itu tidak dapat berupa sesuatu yang dapat dimakan dan tidak pula dalam bentuk minyak wangi. Ia membolehkan mewakafkan binatang ternak dan benda-benda bergerak lainnya. Abu Ishaq al-Syirazi, dalam rangka menafsirkan potongan Hadits mengatakan bolehnya mewakafkan setiap sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara terus menerus. Senada dengan Muhyiddin al-Nawawi dan Abu Ishaq al-Syirazi, Sayyid Sabiq, seorang ulama kontemporer, mengatakan bahwa tidak sah mewakafkan benda yang berpotensi rusak dan musnah atau menjadi hilang jika dimanfaatkan semisal uang, parfum, makanan, minuman dan juga tidak sah mewakafkan benda-benda yang cepat rusak seperti yang terbuat dari parfum dan wewangian.
Maka, nyatalah klasifikasi dan rincian jenis benda-benda mana yang dapat diwakafkan dan yang tidak dapat diwakafkan di atas terkait erat dengan prinsip langgengnya manfaat (dawam al-intifa’). Dengan kemajuan teknologi barangkali benda yang dulu dianggap tidak ada manfaatnya akan menjadi sebaliknya dan itu berarti dapat diwakafkan. Dan bisa jadi, dengan kemajuan teknologi, benda yang dulu tidak tahan lama akan menjadi tahan lama dan itu berarti dapat diwakafkan. Barangkali dulu orang menganggap bahwa uang menjadi tidak ada lagi jika ditukarkan (dibelikan) karena uang dipandang sebagai alat tukar belaka. Berbeda halnya dengan kondisi kini dimana uang dapat dijadikan komoditi dagang yang menguntungkan, uang dapat didepositokan yang setiap jangka waktu tertentu dapat diambil keuntungannya, dan uang dapat diinvestasikan dalam bentuk saham-saham perusahaan yang dalam periode tertentu dapat menerima keuntungan. Persoalan ini dapat dikembalikan jawabannya pada prinsip langgengnya manfaat (dawam al-intifa’) di atas.[3]
b. Wakaf Saham
Saham adalah bentuk paling murni dan sederhana dari kepemilikan perusahaan. Saham adalah selembar kertas yang menyatakan kepemilikan dari sebagian perusahaaan. Saham merupakan tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan, selembar saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemiliknya (berapapun porsinya/jumlahnya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan kertas (saham) tersebut. Selembar saham mempunyai nilai atau harga.
Investasi finansial dalam ketentuan syariah Islam harus berkaitan langsung dengan sektor riel atau dalam istilah investasi disebut mempunyai underlying transaction. Investasi ini dapat dilakukan dalam bentuk penerbitan surat berharga yaitu saham dan obligasi. Saham merupakan salah satu sekuritas diantara sekuritas-sekuritas lainnya yang mempunyai tingkat risiko yang tinggi. Risiko tinggi tercermin dari ketidakpastian return yang akan diterima oleh investor di masa datang. Hal ini sejalan dengan definisi investasi menurut Sharpe bahwa investasi merupakan komitmen dana dengan jumlah yang pasti untuk mendapatkan return yang tidak pasti di masa depan.
Di atas telah dijelaskan hal ihwal pelarangan dan kebolehan mewakafkan uang, dalam hal ini terkait masalah mewakafkan saham bisa dianalogikan dengan wakaf uang karena pada dasarnya dalam sistem perekonomian masa lalu tidak keterangan yang menunjukkan wakaf saham. Perlu dicatat pula bahwa Prinsip dasar transaksi menurut syariah dalam investasi keuangan yaitu: (1) Transaksi dilakukan atas harta yang memberikan nilai manfaat dan menghindari setiap transaksi yang dzalim. Setiap transaksi yang memberikan manfaat akan dilakukan bagi hasil; (2) Setiap transaksi harus transparan tidak menimbulkan kerugian atau unsur penipuan disalah satu pihak, baik secara sengaja maupun tidak sengaja (gharar). Diharamkan praktek insider trading, cornering, netting dan short selling; (3) Risiko yang mungkin timbul harus dikelola sehingga tidak menimbulkan risiko yang besar atau melebihi kemampuan menanggung risiko (maysir); (4) Dalam Islam setiap transaksi yang mengharapkan hasil harus bersedia menanggung risiko; (5) Manajemen yang diterapkan adalah manajemen Islami yang tidak mengandung unsur spekulatif dan menghormati hak asasi manusia serta menjaga lestarinya lingkungan hidup.
Saham sebagai barang yang bergerak juga dipandang mampu menstimulus hasil−hasil yang dapat didedikasikan untuk kepentingan umat kebanyakan. Bahkan, dengan modal yang besar, saham malah justru akan memberi konstribusi yang cukup besar di banding jenis komoditas perdagangan yang lain Hukum mewakafkan uang tunai merupakan permasalah yang diperdebatkan di kalangan ulama fikih. Hal ini disebabkan karena cara yang lazim dipakai oleh masyarakat dalam mengembangkan harta wakaf, seperti tanah, gedung, rumah dan semacamnya.
Adapun jenis instrumen pasar modal yang jelas diharamkan syariah adalah sebagai berikut: (1) Preffered Stock (saham instimewa). Saham jenis ini diharamkan oleh ketentuan syariah karena terdapat dua karakteristik utama, yaitu: a. Adanya keuntungan tetap (pre-determinant revenue), hal ini menurut kalangan ulama dikategorikan sebagai riba; b. Pemilik saham preferen mendapatkan hak istimewa terutama pada saat likuidasi. Hal ini mengandung unsur ketidakadilan. 2. Forward Contract. Forward contract diharamkan karena segala bentuk jual beli utang (dayn bi dayn) tidak sesuai dengan syariah. Bentuk kontrak forward ini dilarang dalam Islam karena dianggap jual beli utang/piutang terdapat unsur-unsur ribawi, sedangkan terjadinya transaksi jual beli dilakukan sebelum tanggal jatuh tempo. 3. Option. Option merupakan hak, yaitu untuk membeli dan menjual barang yang tidak disertai dengan underlying asset atau real asset. Transaksi option ini bersifat exist dan dinilai oleh kalangan ulama bahwa kontrak option ini termasuk future mengandung unsur gharar (penipuan/spekulasi) dan maysir (judi). Kecuali jika transaksi option atau hak tersebut merupakan representasi dari nilai intangible asset tersebut, maka dianggap sebagai nilai real asset dan dapat dibenarkan menurut syariah. Misalnya, pentium intel yang merupakan intangible asset karena merupakan Hak Atas Karya Intelektual (HAKI) yang melekat pada produk komputer yang memanfaatkan teknologi tersebut, maka transaksi ini halal jika jual beli dilakukan juga pada aktiva berwujudnya. Jadi instrumen investasi syariah tersebut bebas dari jenis riba apapun, baik riba nashiah yaitu pinjam meminjam uang maupun riba fadl, yaitu riba dalam perdagangan, gharar (penipuan) dan maysir (judi).
c. Wakaf Manfaat
Pada dekade akhir-akhir ini hak harta dan manfaat semakin meluas dan itu merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam harta yang bisa diwakafkan. Mungkin hal inilah yang disinyalir oleh Rasulullah SAW dalam hadits أو علم ينتفع به yang memberikan isyarat –walaupun jauh- tentang adanya hak adabi.
Untuk memahami manfaat kontekstual wakaf dapat dilihat dari sistem pengelolaannya, apakah secara tradisional atau modern. Kalau pengelolaan tradisional hanya menempatkan kekekalan benda berada pada posisi teratas dengan mengesampingkan sistem pengelolaan. Sedangkan pengelolaan modern lebih mengedepankan pada aspek kemanfaatan benda melalui pengelolaan produktif dengan tetap menjaga eksistensi bendanya tetap ada dan tidak berkurang.
Substansi perintah Nabi adalah menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf dengan cara mengelola secara profesional, sementara hasilnya untuk kepentingan kebajikan umum. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud Nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut.
Kalau konsisten memegangi maksud hadits Nabi di atas, maka harusnya tidak ada benda-benda wakaf yang terbengkelai. Problemnya adalah karena ada sebagian ulama yang bersiteguh memahami wakaf lebih kepada keutuhan benda-benda wakaf, meskipun telah rusak atau tidak memberi manfaat sedikitpun untuk masyarakat banyak.
Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa benda-benda wakaf tidak boleh “diutak-atik” tanpa sentuhan pengelolaan dan pengembangan yang lebih bermanfaat harus kita mulai tinggalkan. Hal ini kita lakukan agar dapat menciptakan sebuah kondisi dimana segala sesuatu akan bisa memberikan nilai manfaat (ekonomi) apabila dikelola secara baik. Sejarah berdirinya masjid Nabawi di masa Rasulullah yang dulunya hanya terbuat dari pelepah kurma dan sekarang sudah dirombak sedemikian rupa hingga menjadi salah satu masjid termegah dan termewah di dunia dengan segala fasilitas modern lainnya merupakan gambaran betapa pentingnya pengembangan potensi (kekayaan) umat Islam untuk kemanfaatan yang lebih besar.
Terdapat tiga makna kontekstual bahwa benda wakaf akan mendapatkan nilai pahala yang terus mengalir karena kemanfaatannya, yaitu:
1. Benda tersebut dapat dimanfaatkan (digunakan) oleh orang banyak. Ketika seseorang mewakafkan tanah atau bangunan untuk mendirikan sekolah misalnya, maka masyarakat umum akan bisa memetik kemanfaatan yang begitu besar terhadap kehadiran sekolah itu. Terlebih jika biaya sekolah itu sangat murah atau gratis setelah disubsidi dari dana pengelolaan wakaf, maka masyarakat sekitar sangat terbantu dalam menyekolahkan anak-anaknya. Itu baru satu contoh kecil, masih banyak contoh-contoh lain dari benda wakaf yang memberikan manfaat lebih banyak lagi terhadap kepentingan kebajikan. Dengan kehadiran benda wakaf yang memiliki nilai guna sangat tinggi itu, maka paradigma baru wakaf harusnya didasari oleh aspek tersebut, sehingga jika ada benda wakaf yang hanya memberikan kemanfaatan kecil atau tidak sama sekali, sudah selayaknya benda tersebut diberdayakan secara produktif dalam rangka meningkatkan fungsi yang berdimensi ibadah dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana maksud wakifnya.
2. Manfaat immaterial benda wakaf melebihi manfaat materialnya. Atau bisa disederhanakan dengan bahwa nilai ekstrinsik benda wakaf melebihi nilai intrinsiknya. Karena titik tekan wakaf itu sendiri sejatinya lebih mementingkan fungsi untuk orang lain dari pada benda itu sendiri. Sehingga dengan demikian, orang yang mewakafkan tanah untuk mendirikan bangunan fasilitas ibadah, misalnya, harusnya bisa pula dimaknai secara lebih luas tentang ibadah sendiri itu apa, sehingga tidak hanya terfokus pada pendirian bangunan masjid semata. Sebagai contoh, tanah wakaf yang berada dalam lokasi yang sangat strategis tidak cukup hanya di bangun sebuah masjid atau musholla yang fungsinya hanya untuk sholat, tapi harusnya bisa dibangun dengan mempertimbangkan letak tanah tersebut. Paradigmanya, masjid tetap didirikan di atas tanah tersebut bersamaan dengan tempat-tempat usaha yang bisa menguntungkan dengan desain yang memungkinkan sesuai Syari’ah. Sehingga dengan demikian, nilai tanah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai immaterialnya, yaitu bisa untuk ibadah (ritual formal seperti shalat), pusat koordinasi dakwah, pusat perniagaan Islami, pusat santuan kaum lemah, pusat koordinasi pemberdayaan ekonomi lemah dan sebagainya.
3. Harta benda wakaf itu bukan berupa benda yang dapat menimbulkan bahaya (madharat) bagi orang lain (mauquf ‘alaih) dan juga wakif sendiri. Jadi tidak dinamakan wakaf jika ada seseorang yang menyerahkan sebagian hartanya untuk dibuat tempat perjudian, misalnya. Atau bisa jadi bukan tempat yang haram, namun bisa juga yang mengarah kepada kemaksiatan, seperti menyumbangkan tanah untuk dibangun tempat bilyard. Secara substansi hukumnya tempat bilyard tidak haram selama untuk sarana olah raga atau hiburan yang benar. Namun, kecenderungan saat ini tempat-tempat bilyard cenderung digunakan untuk arena perjudian (taruhan) atau tempat bercampurnya kaum laki-laki kepada kaum perempuan non muhrim. Oleh karena itu, benda wakaf harus yang memberikan manfaat bukan mendatangkan bahaya.
Paradigma yang melekat pada masyarakat mengenai wakaf perlu direinterpretasi karena pada dasarnya hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan kondisi sosial-ekonomi ataupun politik pada waktu tertentu, Para ulama’ terdahulu telah memberikan klasifikasi terhadap persyaratan pada mauquf bih bahwa harus dawam al intifa’. Di samping itu terdapat persyaratan pula bahwa mengenai benda mauquf bih haruslah benda tak bergerak, namun dari penjelasan di atas berdasarkan kerangka teoritik bahwa kita akan mendapatkan adanya kongklusi mengenai wakaf yang lebih menitikberatkan pada nilai guna benda yang diwakafkan, karena tidak terdapat dalil yang secara eksplisit menjelaskan mengenai wakaf uang ataupun saham. Dengan pengelolaan dan menejemen perwakafan yang lebih modern akan didapatkan suatu perbedaan mendasar wakaf sebagai hal yang tidak dapat di’utak-atik’ atau wakaf sesuai dengan tujuan Rosulullah yakni memberikan manfaat pada masyarakat yang membutuhkan, hari ini telah berkembang berbagai macam sistem perwakafan uang, disamping itu telah dijelaskan pula dengan kebangkitan sistem ekonomi yang berasaskan Syariah maka dari sini ditepis keraguan mengenai perwakafan yang berupa surat berharga atau dikenal dengan saham.
Sejalan dengan keterangan di atas berkembang pula perwakafan mengenai manfaat suatu benda yang mungkin saja tidak tergolong pada benda tidak bergerak ataupun benda bergerak, dan yang akhir-akhir ini telah ada, wakaf hak milik ma’nawi seperti hak cipta mengarang, hak nama atau merk dalam perdagangan, Wakaf pelayanan, seperti pelayanan pengangkutan mushhaf ke masjid, Dan jasa Pendidikan ataupun Pelatihan-pelatihan tertentu, yang mana semua itu telah menekankan pada kemanfaatan sesuai tujuan syariah. Maka, sudah saatnya pemahaman manfaat kontekstual wakaf yang lebih menekankan pentingnya aspek pengembangan manfaat menjadi semacam “gizi” baru untuk memberdayakan benda-benda wakaf secara produktif .
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama RI, 2006, Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta.
-----------------------------------------------------------, 2007, Fiqh Wakaf, Jakarta.
Muhammad Abid Abdullah al Kabisi, 2004, Hukum Wakaf, IIMAaN Press, Jakarta.
bagaimana kalau wakaf anak?
BalasHapus