Jumat, 23 Desember 2011

Teori Kritis Madzhab Frankfurt


Oleh : Chabib Musthofa


I.Pendahuluan
Mazhab Frankfurt merupakan kumpulan beberapa pemikir Jerman yang mengangap bahwa pemikiran Marx telah didistorsi oleh Engels an para pemikir Lenin-Marxis yang diakibatkan oleh kegagalan revolusi kaum pekerja di Eropa Barat setelah Perang Dunia I dan oleh bangkitnya Nazisme di negara yang secara ekonomi, teknologi, dan budaya maju yaitu Jerman. Oleh Karena itu, mereka merasa harus memilih bagian mana dari pemikiran-pemikiran Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi-kondisi yang Marx sendiri tidak pernah lihat. Pada awalnya pemikiran Marx dijadikan tolak ukur pemikiran sosial aliran tersebut. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa aliran Frankfurt merupakan perwujudan usaha untuk kembali mengkaji pemikiran pemikiran Hegelian Kiri (Hegelian Leftism), yaitu pemikiran hegel sekitar tahun 1840-an. Sama halnya dengan generasi awal pencetus teori kritis, seperti Hegel dan Immanuel Kant, tokoh-tokoh Frankfurt tertarik degan kajian mengenai kajian filsafat dan ilmu-ilmu non alamiah seperti sociologi , ekonomi, musikologi, psikologi, Ilmu politik dan lain-lain.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini
berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat.

II.Pembahasan
II.1.Setting Historis Madzhab Frankfurt
Aliran Frankfurt atau dikenal dengan Madzhab Frankfurt merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institute Of Sosial Reserch Universitas Frankfurt, yang dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Latar belakang didirikannya lembaga pendidikan itu adalah karena terjadinya kemenangan Revolusi Bolhesvick, kegagalan-kegagalan Revolusi di Eropa Tengah khususnya di Jerman. Peristiwa itu membangkitkan semangat Intelektual Kiri Jerman untuk melakukan kajian kembali secara serius teori- teori marxis khususnya yang berkaitan dengan akal budi dan praktik dalam kondisi-kondisi sosial yang baru. Misalnya, melakukan kajian mengenai cara bagaimana agar teori marxis dapat terus relevan dan cocok untuk setiap perkembangan sosial.
Walaupun pada awalnya menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Akan tetapi, seperti yang penulis tulis diatas bahwa madzhab Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir madzhab Frankfurt berdialog dengan Marx, Hegel dan Kant. Oleh karena itu mereka mengadopsi dari madzhab-madzhab pemikiran lain untuk mengisi apa yang dianggap kurang dari Marx. Max Weber, Sigmund Freud memberikan pengaruh yang besar terhadap aliran ini. Penekanan mereka terhadap komponen "Teori Kritis" banyak meminjam dari upaya mereka untuk mengatasi batas-batas dari positivisme materialisme yang kasar, dan fenomenologi dengan kembali kepada filsafat kritis Kant dan penerus-penerusnya dalam idealisme Jerman, khususnya
filsafat Hegel, dengan penekanannya pada negasi dan kontradiksi sebagai bagian yang inheren dari realitas.

Sebuah pengaruh penting juga datang dari penerbitan Manuskrip Ekonomi-Filsafat dan Ideologi Jerman karya Marx tahun 1930-an yang memperlihatkan kesinambungan dengan Hegelianisme yang
mendasari pemikiran-pemikiran Marx: Marcuse adalah salah satu orang yang pertama mengartikulasikan secara signifikan teoretis dari teks-teks ini.
Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H.
Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya. Pada saat itu ,Horkheimer pelan-pelan
memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap
marxis orthodox.

II.2. Fase- fase Perkembangan Madzhab Frankfurt
Untuk memahami gagasan teori kritis Aliran Frankfurt kita perlu memahami perkembangan aliran itu. Ada beberapa fase penting perkembangan aliran tersebut. Pertama, fase pembentukan aliran,
yaitu sekitar tahun 1923-1933 ketika penelitian-penelitian pertama dilakukan di lembaga penelitian Frankfurt. Direktur pertama lembaga itu adalah Carl Grunberg, seorang ahli ekonomi, sejarahwan
sosial. Grunberg berhasil mengarahkan kajian-kajian teoritis Aliran Frankfurt lebih berorintasi empiris .dan menekankan pentingnya pendekatan ekonomi maupun dlam mengkaji mfenomena-
fenomena sosial. Fase kedua, fase pengungsian anggota Aliran Frankfurt ke Amerika Utara pada tahun 1933-1950. Dimasa pengungsian ini, gagasan-gagasan teori kritis Neo Hegelian mulai dijadikan dasar pemikiran
kegiatan berbagai lembaga Frankfurt. Horkhemeir menjadi direktur pada fase ini. Dialah yang melakukan reorientasi teoritis dan pendekatan yang kemudian menjadikan kajian-kajian teoritis
para pendahulunya. Pada fase kepemimpinan Mark Horkheimer, Aliran Frankfurt mengubah orientasi aliran dari yang bersifat ekonomis historis versinya Grunberg menjadi orientasi filosofis. Hal
tersebut mengagasi atau menjadi dasar teori kritis aliran Frankfurt yang mulai terbentuk secara jelas ketika tokohnya kembali ke Jerman pada tahun 1950-an.
Fase ketiga, perkembangan aliran Frankfurt mulai pada awal 1950 sampai 1973. pada fase ini, pengaruh aliran ini mulai memudar dengan meninggalnya Adorno tahun 1969 dan Horkheimer
tahun 1973. Dengan kematian dua tokoh terkemuka praktis aliran Frankfurt terhenti. Aliran itu tidak lagi berperan dalam dunia pemikiran sosial. Pamornya sebagai
avant garde intelektual nyaris berahkir. Aliran ini mulai menapaki masa-masa jayanya kembali dengan munculnya Jurgen Habermas, seorang teoritisi terkemuka yang tetap melestarikan dan mengembangkan teori dan
metodologi para pendahulunya.

II.3. Asumsi Dasar Teori Kritis.
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia
dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :
a) Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat
yang rapuh ini harus diubah.
b) Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial
tertentu, misalnya material-ekonomis.
c) Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran
filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk
mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
d) Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh
dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai
adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.

Pada dasarnya Teori Kritis Aliran Frankfurt ingin memperjelas struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri serta melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan
kebudayaan secara rasional. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan
konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.
Frankfurt School merupakan istilah populer untuk menyebut kelompok cendekiawan yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of Sosial Reaseach yang berpusat di Universitas Frankfurt Jerman. Lembaga
ini didirikan oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923 dan mendapat dukungan dari sekelompok intelektual Marxian yang berlatarbelakang berbagai disiplin ilmu pengetahun. Di antara
mereka yang terkenal adalah Max Hokheimer, Theodore Adorno, Herbert Marcuse dan yang paling kontemporer adalah Habermas. Meskipun mereka sangat dipengaruhi oleh Marx namun mereka
berpendapat bahwa teori Marx sudah tidak mampu mengungkapkan sifat masyarakat secara akurat, sehingga mereka memandang perlu dikembangkan lebih lanjut.
Cendekiawan yang tergabung dalam aliran ini memiliki ciri khas yaitu kritis terhadap berbagai aspek kehidupan sosial untuk mengungkapkan sifat masyarakat modern secara lebih akurat. Tak heran
jika kemudian aliran mereka disebut sebagai teori kritis. Mereka mengembangkan pemikirannya dengan bertolak dari keinginan untuk memperoleh teori sosial dan epistemologi alternatif terhadap
paradigma positivisme yang dianggap sudah tidak relevan lagi.

Madzhab Frankfurt menolak pandangan Marxisme yang terlalu menekankan pada determinisme ekonomi. Karena pandangan determinisme ekonomi berangkat dari asumsi pemikiran positivistik
yang menganggap bahwa metode ilmu alam dan prinsip ilmu alam dapat diterapkan dengan tepat pada bidang ilmu pengetahuan sosial budaya. Mereka memandang ilmu pengetahuan sosial budaya
tidak bisa disamakan dengan ilmu alam, karena alam secara mendasar sangat berbeda dengan manusia dan kegiatannya. Dalam pandangan Habermas paradigma positivisme itu mengabaikan
peran manusia sebagai aktor yang memiliki karakteristik khas dan unik tidak seperti robot. Teori yang berusaha dibangun oleh Madzhab Frankfurt ingin melepaskan kehidupan dari model cara
berpikir positivisme (rasionalitas instrumental) dimana terjadi penjajahan dunia kehidupan (labenswelt) oleh sistem.
Berangkat dari paradigma di atas maka Madzhab Frankfurt lebih menekankan kajiannya pada persoalan kultural. Mereka berkeyakinan bahwa ramalan Marx tentang akan hancurnya sistem
kapitalisme tidak akan terbukti. Karena kapitalisme telah mengkonsolidasikan dan mengembangkan mekanisme efektif seperti pemenuhan hak-hak pekerja secara lebih proporsional, sehingga revolusi
sosial yang akan menghancurkan kapitalisme tidak akan terjadi. Bentuk penindasannya pun tidak dengan cara fisik melainkan sangat halus sehingga kaum pekerja menganggapnya sebagai sesuatu
yang normal. Atas dasar pertimbangan itu maka para eksponen madzhab Frankfurt mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi kapitalistik ke kritik atas penggunaan rasio intrumental pada
masyarakat modern.

Menurut Madzhab Frankfurt, rasio instrumental telah menghasilkan budaya industri (culture industry) yang telah menghalangi perkembangan individu secara otonom. Penindasan yang
dilakukan oleh budaya industri lebih dominan dari sekedar dominasi ekonomi. Adorno dan Hokheimer mengatakan dalam Dialectical Imagination
, bahwa budaya industri telah membuat manusia tereifikasi. Manusia menjadi seperti robot yang dideterminasi oleh iklan yang ditampilkan
oleh media massa. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih lagi karena semuanya telah ditentukan, distandarkan oleh budaya industri. Kostumer tidak lagi menjadi raja, tidak lagi
menjadi subjek, tapi menjadi budak dan objek.

Sementara itu dalam analisis Herbert Marcuse, rasionalitas instrumental dan kungkungan industri budaya yang demikian massif telah menjadikan manusia menjadi manusia satu dimensi (
one dimensional man). Hampir semua eksponen Mazhab Frankfurt pesimis terhadap budaya massa.Nada pesimis Marcuse lebih tampak dalam analisanya terhadap budaya massa yang ditampilkan oleh
media massa: The means of... communication..., the irresistible output of the entertainment and information industry carry with them prescribed attitudes and habits, certain
intellectual and emotional reactions which bind the consumers... to the producers and, through the latter to the whole [sosial system]. The products indoctrinate and
manipulate; they promote a false consciousness which is immune against its falsehood... Thus emerges a pattern of one-dimensional thought and behaviour.
(Marcuse, cited in Bennett 1982: 43). Dalam bukunya yang paling berpengaruh One-Dimensional Man, Marcuse berkeyakinan bahwa
dengan adanya kebudayaan massa, aspek progresif dari seni klasik telah dihapus hanya sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan keinginanya akan kebahagiaan diganti
dengan kebutuhan yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat konsumtif ini. Itulah sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir madzhab Frankfurt (Frankfurt School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer (popular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan populer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam masyarakat kapitalis ini.

Mengenai budaya populer Adorno memberikan karakteristiknya. Menurutnya karakteristik fundamental dari budaya populer, khususnya dalam musik populer, termasuk di dalamnya musik rock adalah standarisasi (standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan bentuk high culture yang dianggap adiluhung. Mengapa para eksponen Mazhab Frankfurt tampak pesimis dengan budaya massa? Karena budaya
massa yang komersial dan universal merupakan sarana utama untuk memonopoli modal. Budaya massa ini mencakup di dalamnya segala hal yang diproduksi dan disebarluaskan secara massal.
Tokoh lain dari Madzhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas. Habermas memberikan jalan keluar untuk mengatasi patologi modernitas itu, yaitu dengan beralih dari rasionalitas instrumental menuju rasionalitas komunikatif yang mengandaikan adanya situasi pembicaraan yang ideal. Habermas beralih ke paradigma komunikasi dengan mengintegrasikan
linguistic-analysis dalam Teori Kritis.
Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas untuk mengatasi kemandekan Teori Kritis para pendahulunya. Kegagalan para pendahulunya adalah karena teori kritis yang dilandasi rasio kritis akhirnya berubah menjadi mitos atau ideologi baru. Emansipasi yang diperjuangkan mereka hanya menjadi mitos yang tak kunjung selesai.
Hebermas berusaha mengatasi kebuntuan itu dengan beralih ke paradigma komunikasi. Sebenarnya menurut Habermas, dalam pemikiran Hegel sendiri yang menjadi induk dari teori sosial kritis, praksis bukan hanya dimaknai sebagai kerja tetapi komunikasi. Karena praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja melainkan juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari.
Selanjutnya bagaimana mencapai konsensus dalam komunikasi? Menurut Habermas dalam komunikasi setiap komunikator ingin membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan
berusaha mencapai apa yang disebutnya klaim-klaim kesahihan (validity claims). Karena itu dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menyebut empat macam klaim.
Pertama, klaim kebenaran (claim of truth) yaitu ketika kita sepakat kepada dunia alamiah dan objektif. Kedua, klaim ketepatan (claim of rigtness), kala kita sepakat pada pelaksanaan norma-norma dalam kehidupan sosial. Ketiga, klaim kejujuran (claim of sincerity) yaitu kalau kita sepakat tentang kesesuaian antara bathiniah dengan ekspresi seseorang.
Keempat, klaim komprehensibilitas (claim of comprehensibility) jika kita sepakat dan mampu menjelaskan ketiga klaim sebelumnya. Komunikasi yang efektif melibatkan keempat klaim tersebut karena merupakan standar kompetensi komunikatif.
Mengikuti alur pikir diatas maka untuk mencapai konsensus segala persoalan harus didialogkan dalam ruang yang bebas dari dominasi. Dialog dalam hal ini mengandaikan adanya kedudukan yang setara. Karena itu Habermas menekankan pentingnya etika dalam komunikasi seperti yang disebut di atas. Etika tersebut yaitu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi individu melalui kemampuan emansipatoris sehingga menghasilkan pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.
Terkait dengan dialog tersebut, Habermas memandang, salah satu mediumnya yaitu media massa.Media massa sebagai tempat untuk mengungkapkan pendapat dalam
public sphere. Karenanya Habermas mengandaikan media massa mestinya menjadi ruang yang bebas dari dominasi sehingga segala macam pemikiran dapat didialogkan tanpa ada paksaan. Namun, sepertinya idealisasi Habermas terhadap media massa sangat utopis dalam masyarakat kapitalisme lanjut sekarang. Apalagi media massa umumnya cenderung berada dalam genggaman para pemilik modal yang lebih
menekankan pada keuntungan dari budaya yang ditampilkannya.

III.Penutup
Sebagai sebuah aliran pemikiran kontemporer, madzhab Frankfurt telah memberikan sumbangsih yang tak kalah pentingnya dengan pemikiran–pemikiran kontemporer lainnya. Dimulai dari konteks historis berkembangnya aliran tesebut, yang berkembang di eropa barat akibat situasi perang dunia ke II memaksa orang-orang yang tergabung di dalam madzhab tersebut untuk merevisi ulang alur pemikiran marx untuk menjelaskan situasi yang mereka alami. Perjalanan tersebut mengakibatkan mereka untuk mensintesiskan pemikiran Marx dengan teori psikoanalisinya Sigmund Freud.
Akan tetapi walaupun demikian mereka tetap berpedoman kepada alur pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisi ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritis historis dialektisnya Hegel. Imbas dari kolaborasi tersebut melahirkan teori kritis yang mengedepankan pencerahan yang menyadarkan orang terhadap proses penindasan dan ekploitasi manusia dalam tatanan sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz