Rabu, 07 April 2010

Pelacuran Inteletual

Memberikan penilaian terhadap sikap seseorang bukanlah soal yang sederhana. Karena dunia bukanlah hitam dan putih. Setiap tindakan mempunyai motif yang bersumber pada pandangan hidup seseorang. Di dalam masyarakat, kita melihat ada dua sistem penilaian yang secara teoritis berbeda seratus delapan puluh derajat. Pertama, adalah mereka yang mempergunakan sistem nilai-nilai absolute. Untuk orang-orang ini penilaian dari setiap tindakan didasarkan atas pertanyaan-‘apakah ini benar atau salah?’. Jika salah maka kita tidak boleh melakukannya. Korupsi salah dan karena itu harus ditumpas di mana saja. Membunuh orang tanpa protes, salah, karena itu harus digugat mereka yang memang mau konsekuen terhadap sistem nilai absolute ini akan menggugat pemerintah karena menmbak mati Aidir, Njoto dan lain-lain tanpa proses pengadilan. Mereka akan menggugat ABRI, karena menempati gedung-gedung bekas PKI sebelum ada keputusan hakim. Bagi mereka pertimbangan satu-satunya adalah benar dan salah dan tidak mau memperdulikan situasi.
Tetapi ada kelompok lain yang tidak memakai sistem nilai ini. Mereka mempergunakan sistem nilai-nilai relative. Mereka sadar adan salah dan benar secara teoritik, tetapi mereka menggunakan pertimbangan-pertimabangan realistis. Mereka lebih mementingkan kemungknan-kemungkinan yang lebih berguna di masa depan, jika mereka bertindak sesuatu pada saat sekarang. Mereka bersedia melakukan kompromi-kompromi, karena mereka tahu bahwa hasil-hasil yang mungkin dicapai lebih besar di masa depan. Komandan militer yang membebaskan mata-mata musuh yang berkhianat (karena berpikir akan formasi-formasi dimasa kemudia) mempergunakan dasar-dasar relative . secara teoritis ia harus menembak mati setiap penghianat. Ia melanggar prinsip ‘keadila’karena pertimbangan-pertimabangan praktis.
Kedua sistem nilai ini diperlukakan dalam masyarakat. Secara teoritis pandangan ini bertentangan, tetapi batasannya juga amat kabur. Kita hanya bisa berkat (secara intuisi) bahwa setiap situasi dan jabatn harus dinilai secara proporsional. Seorang pastor hendaknya lebih banyak mempergunakan sistem nilai-nilai absolute (walaupun tidak mutlak-mutlakan). Ia tidak boleh berpikir bahwa demi sumbangan pada gereja, maka orang-orang miskin tidak usah dibela. Demikian pula seorang wartawan, guru, hakim dan lain-lain.
Tetapi seorang perwira lapangan hendaknya lebih banyak mempergunakan pertimabangan nilai-nilai relati. Saya bisa membayangkan bagaimana kacaunya sebuah operasi militer kalau komandannya bertindak sebagai pendeta yang maha adil.
Walaupun batas-batasnya tidak jelas, dasar sari setiap tindakan ini hendaknya selalu dialasi dengan motif-motif yang berdiri dibelakangnya. Batas yang jelas tidak ada dan penilaian terakhir diberikan oleh kata hati sendiri
Dan setiap orang yang mempergunakan nilai-nilai relative ini hendaknya mempunyai suatu batas, dan jika batas tadi dilanggar, ia harus berani bertindak lain, sebab ia akan terseret oleh arus, jika ia terlalu fleksibel. (Soe Hok Gie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz