tidak lagi memadai untuk menghadapi masalah-masalah yang di kemukakan oleh
lingkungan yang sebagian di ciptakan oleh lembaga-lembaga itu. Revolusi sains di bawa oleh kesadaran yang semakin tumbuh yang sering terbatas pada subdevisi yang sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam eksplorasi suatu aspek dari alam. Perkembangan politik maupun sains, kesadaran akan adanya fungsi yang dapat menyebabkan krisis merupakan prasyarat bagi revolusi.
Revolusi politik bertujuan mengubah lembaga-lembaga politik itu
sendiri. oleh sebab itu, keberhasilannya memerlukan pelepasan sebagian dari
perangkat lembaga untuk di ganti oleh yang lain, dan masyarakat tidak
sepenuhnya di perintah oleh lembaga tersebut. Mula-mula hanya krisis yang
mengurangi lembaga politik, seperti menurunnya peran paradigma. Hal ini
bertujuan berdemonstrasikan bahwa study historis tentang perubahan paradigma
menyingkap karakteristik yang mirip dalam evolusi sains. Seperti pemulihan
diantara lembaga-lembaga politik yang berkompetisi, pemilihan diantara
pemerintah paradigma yang bersaingan ternyata merupakan pemilihan diantara
modus-modus kehidupan masyarakat yang bertentangan. Karena yang memiliki
karakter itu, pemilihannya tidak dapat di tentukan dengan prosedur evaluatif yang
menjadi karakteristik yang normal, sebab tergantung pada paradigma tertentu dan
paradigma itu sedang di permasalahkan sebagaimana mestinya. Masuk pada debat
paradigma, maka perannya perlu sekuler untuk membela paradigma itu,
sekuleritas yang dilibatkan itu menyebabkan argumen-argumen salah bahkan
tidak berpengaruh.
Revolusi ilmu pengetahuan merupakan suatu revolusi yang menandakan
bengkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa mengenai cara bepikir keilmiahan.
Revolusi ilmu pengetahuan adalah sebuah revolusi mengenai perubahan cara
berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi dirinya.
Perubahan persepsi manusia tersebut adalah perubahan dari cara berpikir yang
ontologis ke cara berpikir matematis mekanistis. Pada abad pertengahan
diberlakukan hukum agama bagi segala-galanya, termasuk kegiatan ilmu
pengetahuan. Saat abad Renaissance manusia tidak lagi menjadi citra tuhan, tetapi
manusia juga memiliki rasio atau kesadaran manusia serta kreativitas keinginan
untuk maju, memperbaiki kebudayaan manusia. Pengetahuan dilandaskan
rasionalitas dan empiristis yang berkembang pesat dengan pendekatan matematis
yang diterapkan dalam kajiannya.
Cara berpikir mekanistis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang
dipelopori oleh Newton menjadi semacam gaya para intelektual untuk membuat
analisis dalam penelitiannya. Pendekatan yang bersifat kausalitas yang didukung
dengan percobaan atau eksperimen melalui usaha uji coba model tiruan dari objek
yang sesungguhnya membuat para peneliti dapat mengembangkan penelitiannya
dengan lebih sempurna.
Salah satu pemikir atau ilmuwan yang memberikan kontribusi besar
dalam revolusi ilmiah adalah Thomas Samual Kuhn, seorang tokoh yang lahir di
Cincinnati, Ohio. Munculnya buku beliau yang berjudul ”The Structure of
Scientific Revolutions” banyak mengubah persepsi orang tentang apa yang
dinamakan ilmu. Jika sebagian orang mengatakan pergerakan ilmu itu linierakumulatif,
maka Thomas Kuhn mengatakan, ilmu bergerak melalui tahapantahapan
yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian krisis karena
telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru.2
Thomas Kuhn, mula-mula sebagai seorang ahli fisika yang dalam
perkembangannya mendalami sejarah ilmu dan filsafat ilmu. Beliau lebih
mengutamakan sejarah ilmu sebagai titik awal segala penyelidikannya. Filsafat
ilmu diharapkan bisa semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah yang
sesungguhnya. Begitu urgensinya sejarah ilmu ini dalam membuktikan teori-teori
atau sistem, dapat menghantarkan kemajuan revolusi-revolusi ilmiah.
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi),
paradigma epistemologi positivistik telah mengakar kuat selama berpuluh-puluh
tahun, hingga akhirnya setelah sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini muncul
perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan sebagai bentuk upaya
pendobrakan atas teori-teori yang lama. Pendobrakan atas filsafat ilmu
pengetahuan positivistik ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti: Thomas Kuhn,
Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter, Stephen Toulmin, serta Imre
Lakatos.4 Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan modelmodel
terdahulu adalah adanya perhatian besar terhadap sejarah ilmu dan peranan
ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengonstruksikan bentuk ilmu pengetahuan
dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Thomas Kuhn sendiri dengan
latar belakang orang fisika mencoba memberikan wacana tentang sejarah ilmu ini
sebagai starting point dan kacamata utama dalam menyoroti permasalahanpermasalahan
fundamental dalam epistemologi yang selama ini masih menjadi
teka-teki. Dengan kejernihan dan kecerdasan pikirannya, ia menegaskan bahwa
sains pada dasarnya lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang
menyertainya.
Sementara itu dalam kajian hukum Islam kontemporer telah lahir gerakan
untuk mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk
mengembangkan hukum Islam yaitu gerakan yang muncul untuk menetapkan
ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru
yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dari uraian diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini
adalah :
1. Bagaimana pokok-pokok pikiran Thomas Kuhn dalam revolusi ilmiahnya?
2. Apa relevansi pemikiran Thomas Kuhn terhadap pemikir muslim dalam
pembaharuan Hukum Islam?
KERANGKA TEORI
benar dan baik sebagai nilai-nilai obyektif yang harus diterima dan dijunjung
tinggi oleh semua orang.
Ciri dunia modern ialah adanya hubungan timbal balik positif antara ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan mempercepat
kemajuan teknologi dan demikian pula sebaliknya. Sebagai akibatnya kedua
institusi itu berkembang dan tumbuh lebih cepat dari institusi-institusi sosial
lainnya, sehingga sering terjadi kesenjangan budaya yang juga diikuti oleh
sejumlah ketegangan-ketegangan sosial dan psikologis. Kesenjangan dan ketegangan itu disatu sisi karena keterlambatan manusia dalam mengantisipasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan disisi lain karena keterlambatan manusia
dalam menghadapi tantangan serta tuntutan sebagai akibat dari kemajuan
teknologi.
Seorang filsuf sekaligus negarawan Perancis, Andre Malraux,
meramalkan bahwa abad ke 21 adalah abad agama. Manusia tidak akan servive
diabad itu, apabila nilai-nilai agama tidak diaktualisasikan kembali. Ada beberapa
fakta penting yang akan mempengaruhi dan membentuk manusia masa depan
yang berkembang dalam proses sejarah kehidupan atau pergulatan hidup manusia
di dunia.
Seorang ahli study keislaman, Ibrahim Moosa, mengisyaratkan perlunya
integrasi keilmuan, beliau menyatakan :
”Setelah mengangkat permasalahan hubungan internasional, politik, dan ekonomi,
tidaklah berarti para ahli agama secara serta merta harus menjadi ahli ekonomi
atau ahli politik. Namun demikian study agama akan sungguh-sungguh menderita,
jika pandangan dan analisis-analisisnya tidak memahami, mempertimbangkan
atau menyertakan sama sekali bagaimana sesungguhnya diskursus tentang politik,
ekonomi dan budaya punya pengaruh yang luar biasa terhadap tampilan agama
dan begitu pula sebaliknya”.
Para ilmuwan pendukung budaya keilmuan yang bersumber pada teks
(hadlarah al-nash) tidak menyadari dan tidak mau peduli bahwa diluar entitas
keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yang bersifat praktis aplikatif yang
faktual-historis-empiris sehingga bersentuhan secara langsung dengan realitas
problem kemanusiaan (hadlarah al-’ilm) seperti social scienes, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlarah al-’ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis
(hadlarah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak
berdiri sendiri, karena tidak ada satu disiplin keilmuan yang tidak terkait dengan
disiplin keilmuan lainnya.
REVOLUSI SAINS MENURUT THOMAS KUHN
ilmu pengetahuan, dan mengembangkan beberapa gagasan penting dalam filsafat
ilmu pengetahuan. Ia sangat terkenal karena bukunya “The Structure of Scientific
Revolutions” di mana ia menyampaikan gagasan bahwa sains tidak "berkembang
secara bertahap menuju kebenaran", tapi malah mengalami revolusi periodik yang
dia sebut pergeseran paradigma. Analisis Kuhn tentang sejarah ilmu pengetahuan
menunjukkan kepadanya bahwa praktek ilmu datang dalam tiga fase; yaitu:9
1) Tahap pertama, tahap pra-ilmiah, yang mengalami hanya sekali dimana tidak
ada konsensus tentang teori apapun. Penjelasan fase ini umumnya ditandai oleh
beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap. Akhirnya salah satu dari
teori ini "menang".
2) Tahap kedua, Normal Science. Seorang ilmuwan yang bekerja dalam fase ini
memiliki teori override (kumpulan teori) yang oleh Kuhn disebut sebagai
paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas ilmuwan adalah rumit,
memperluas, dan lebih membenarkan paradigma. Akhirnya, bagaimanapun,
masalah muncul, dan teori ini diubah dalam ad hoc cara untuk mengakomodasi
bukti eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan dengan teori asli.
Akhirnya, teori penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan beberapa fenomena atau kelompok daripadanya, dan seseorang mengusulkan
penggantian atau redefinisi dari teori ini.
3) Tahap ketiga, pergeseran paradigma, mengantar pada periode baru ilmu
pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya bahwa semua bidang ilmiah melalui
pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti teori-teori baru menggantikan
yang lama.
Sebagi contoh fenomena adanya pergeseran paradigma ini adalah tentang
pendapat Copernicus bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, sebelumnya
Ptolemeus menyatakan bahwa matahari dan planet-planet lain serta bintangbintang,
berputar mengelilingi bumi. Contoh lainnya yang lebih baru adalah
penerimaan Einstein relativitas umum untuk menggantikan Newton tentang
gravitasi pada tahun 1920 dan 1930; dan lempeng tektonik Wegener tahun 1960
oleh ahli geologi.
Menurut Kuhn, ilmu sebelum dan sesudah pergeseran paradigma begitu
jauh berbeda melihat teori-teori mereka yang tak tertandingi, pergeseran
paradigma tidak hanya mengubah satu teori, hal itu akan mengubah cara bahwa
kata-kata yang didefinisikan, cara para ilmuwan melihat mereka subjek, dan
mungkin yang paling penting pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sah, dan
aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan kebenaran suatu teori tertentu.
Konsep sentral dari teori/epistemologi filsafat Thomas Kuhn adalah pada
istilah yang dinamakan “paradigma”. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten,
sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti. 10Ada
dua perbedaan fundamental terhadap istilah paradigma yang digunakan oleh
Kuhn, yaitu:
1) Paradigma ialah apa yang akan kita paparkan dari pengujian perilaku anggotaanggota
masyarakat ilmiah yang telah ditentukan sebelumnya.
2) Paradigma dipakai sebagai keseluruhan konstelasi keyakinan, nilai, teknik, dan
lain-lain yang telah dilakukan anggota-anggota masyarakat yang telah diakui.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal11,
dimana para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya secara
terperinci dan mendalam, karena disibukkan dengan hal-hal yang mendasar. Pada
Sains normal "memberi arti secara tegas penelitian yang berdasarkan satu atau
lebih melewati prestasi ilmiah, prestasi bahwa komunitas ilmiah tertentu
mengakui untuk sementara waktu sebagai menyediakan dasar untuk berlatih lebih
lanjut". Dalam tahapan ini, seorang ilmuan tidak bersikap kritis terhadap
paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset
ini, ilmuan bisa menjumpai berbagai fenomena yang tidak bisa diterangkan
dengan teorinya. Inilah yang disebut dengan anomali. Dalam konsep paradigma
membantu komunitas ilmiah untuk mengikat disiplin mereka dalam membantu
para ilmuwan untuk :12
1). Membuat jalan penyelidikan.
2). Merumuskan pertanyaan
3). Memilih metode yang digunakan untuk memeriksa pertanyaan-pertanyaan
4). Mendefinisikan bidang relevansi
5). Membangun / menciptakan makna.
Sebuah paradigma membimbing seluruh kelompok riset, dan inilah kriteria
yang paling jelas menyatakan bidang ilmu. Berbagai transformasi paradigma
adalah bagian fari revolusi sains, sedangkan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain melalui revolusi adalah
pengembangan yang biasa dan sains yang telah matang.
RELEVANSI PEMIKIRAN THOMAS KUHN TERHADAP PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM (KAJIAN TOKOH)
Sains ke depan dengan paradigmanya adalah sesuatu hal yang perlu guna
memahami tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Perlu adanya shifting
paradigm13 di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi
keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat pada sulitnya mengadopsi
dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru di bidang sains; ke epistemologi
keilmuan Islam kontemporer yang bercorak intuitif-spiritual-irfani (secara
aksiologis) yang banyak berkaitan dimensi etika bagi pengembangan sains;
maupun yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis) yang
berdampak pada adanya temuan baru (the context of discovery/qiro’ah
muntijah/production of meaning) di bidang sains.
Bangunan pemikiran Thomas Kuhn dengan jargonnya paradigma dan
revolusi sains, secara lebih komprehensif dapat diaplikasikan dalam menyoroti
essensi atau fondamental structure dari ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu fiqh
(hukum Islam). Berkaitan dengan gagasan Kuhn tersebut, banyak kritikan dan
kajian yang menilai bahwa kontruksi bangunan Ushul Fiqh klasik sebagai sebuah
metodologi istimbat hukum sudah tidak relevan lagi. Respon ini beragam baik
dari yang hanya bersifat sebuah kritikan, tawaran alternatif sampai upaya
rekontruksi dan dekontruksi terhadapnya.Berikut upaya pelacakan terhadap
contoh-contoh metodologi yang ditawarkan beberapa tokoh yang terkait dengan
kajian hukum Islam yang di kategorikan oleh Weil B. Hallaq pada kelompok
liberal.15
• Fazlur Rahman
Berbicara tentang alur pemikiran Rahman ada dua istilah metodik yang
sering disebutkan dalam buku-bukunya yakni historico-critical method (metode
kritik sejarah) dan hermeunetic method (metode hermeunetik). Kedua istilah
tersebut merupakan kata kunci untuk menelusuri metode-metode dalam
pemikirannya.16
Dalam memahami dan menafsirkan sumber utama Islam dalam hal ini Al
Qur’an, Rahman menggunakan teori doble movement (gerak ganda). Hubungan
yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam alqur’an yaitu wahyu
ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profane
disisi yang lain. Dua Unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman.
Permasalahannya ada pada bagaiman cara mendialogkan antara dua sisi tersebut
agar nilai-nilai kewahyuan bisa selalu sejalan dengan sejarah umat manusia.
Gerak pertama pada teori Rahman menghendaki adanya memahami
makna al-Quran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana
kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar
kejadian itu pada umumnya (makro). Dari sini bisa diambil pemahaman yang
utuh tentang konteks normative dan historisnya suatu ayat maka timbullah istilah
legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal)
Kemudian gerak Kedua yang dilaklukan adalah upaya untuk menerapkan
prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era
kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks
terhadap suatu permasalahan. Disini terlihat keberanjakan Rahman dari
metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan menurutnya perlunya
penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar
para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.17
• Muhammad Syahrur
Karya monumental Syahrur yang telah mencuatkan namanya adalah “al-
Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah al-Mu’ashirah” 18. Kitab tersebut merupakan hasil
perjalanan panjang intelektualnya sekitar 20 tahun. Pembacaan ulangnya
terhadap Islam menghasilkan pemahaman dan kesan yang kuat tentang akurasi
istilah-istilah yang digunakan dalam al-Kitab (al-Qur’an) dalam pembacaan
ulangnya ini teori yang cukup terkenal yang ditawarkannya adalah teori batas
(Nazariyyah al-Hudud). Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang
terdapat dalam al-Qur’an yang mutlak harus dimengerti untuk memahami
keistimewaan agama Islam, yakni hanifiyyah dan Istiqamah. Kedua sifat ini
selalu bertentangan tetapi saling melengkapi. Berdasarkan sejumlah ayat Syahrur
menyimpulkan bahwa makna hanafiyah adalah penyimpangan dari sebuah garis
lurus, sedangkan istiqanmah artinya sifat atau kualitas dari garis lurus itu sendiri
atau yang mengikutinya. Hanifiyyah adalah sifat alam yang juga terdapat dalam
sifat alamiah manusia.
Syahrur berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang
gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari elektron yang
paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus).
17 Rahman telah menyadari kemungkinan bahaya subyektifitas penafsir, untuk menghindarkan atau
setidaknya untuk meminimalkan bahaya subyektifitas tersebut rahman mengajukan sebuah metodologi tafsir yang
terdiri dari tiga pendekatan: Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pendekatan
kontekstual untuk menemukan sasaran dan tujuan yang terkandung dalam ungkapan legal spesifik dan ketiga,
pendekatan latar belakang sosiologis untuk menguatkan hasil temuan penedekatan kontekstual atau untuk
menemukan sasaran dan tujuan yang tidak dapat diungkapkan oleh pendekatan kontekstual,
Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan
dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan
hanifiyyah dalam hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan
sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat.
Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus
istiqamah menjadi keharuasan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang
dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam
ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk
mengatur masyarakat.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan
adanya enam bentuk dalam teori batas. Pertama, ketentuan hukum yang memiliki
batas bawah. Ini terjadi dalam hal macam-macam perempuan yang tidak boleh
dinikahi. Kedua, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas. Ini terjadi
pada tindak pidana pencurian. Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki batas atas
dan bawah, seperti hukum waris dan poligami. Keempat, ketentuan hukum yang
mana batas bawah dan atas berada pada satu titik (garis lurus) tidak boleh lebih
dan kurang, ini terjadi pada hukuman zina yaitu 100 kali jilid. Kelima, ketentuan
yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh
disentuh, karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan
Tuhan, hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan
Keenam, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah dimana batas
atasnya tidak boleh dilampaui dan batas bawahnya boleh dilampaui. Batas atas
Secara umum, teori batas (Nazariyyah al-Hudud) barangkali dapat digambarkan bahwa terdapat
ketentuan Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah yang mentapkan batas bawah yang merupakan
batas minimal ayng dituntut oleh hukum dan batas atas merupakan batas maksimal bagi seluruh perbuatan
manusia. Yang jika melanggar batas minimal dan maksimal tersebut dianggap perbuatan yang dilarang (haram)
dengan kata lain manusia bisa melakukan gerak dinamis dalam batas-batas yang telah ditentukan.
• Abdullah Ahmed an-Na’im
An-Naim Menawarkan metodologi baru alternative dalam menguak
pandangan Islam terhadap HAM. Perhatian utamanya adalah hukum Islam
kaitannya dengan isu-isu internasional modern seperti HAM, konstitusionalisme
modern, dan hukum pidana modern. Menurutnya hukum Islam saat ini
membutuhkan reformasi total “Dekontruksi.”.
Metode pembaharuan hukum Islam An- Na’im sebenarnya berangkat dari
metodologi yang diintroduksi dari gurunya sendiri, Mahmoud Muhammad Thaha
yakni teori evolusi yang memuat teori naskh (sebagaimana dikenal dalam ushul
Fiqh) namun substansi dalam penerapannya berbeda. Dalam pandangan Thaha,
teori Naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat (juga hadis) Madaniyah
menghapus ayat (juga hadis) makkiyah, harus dibalik, yakni ayat makkiyah lah
yang justru menghapus ayat madaniyyah. Keyakinan Thaha bahwa abad modern
ini ayat-ayat makiyah justru menasakh ayat-ayat madaniyah karena ayat-ayat
makkiyah bersifat lebih universal dan abadi karena menganjurkan kebebasan,
persamaan derajat tidak mendiskriminasi jender maupun agama dan
kepercayaan.
Dari kerangka berpikir sang guru inilah an-Na’im memformulasikan buah
pikirannya terhadap isu-isu global yang jadi perhatiannya. Menurut an-Na’im
pilihan Thaha terhadap abad ke-20 sebagai abad yang tepat untuk pemberlakuan
Metodologi yang digunakan syahrur adalah filsafat dengan titik berat pada filsafat materialisme. Hal ini terlihat pada pandangannya bahwa sumber pengetahuan yang hakiki adalah alam materi diluar diri manusia. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hermeunetik dengan penekanan pada asfek filologi dan ini tercermin jelas pada seluruh bagian pembahasannya. Adapun kerangka teoritik yang menjadi acuan Syahrur dalam
memformulasikan ide-idenya dalam ajaran islam membedakan antara yang berdimensi nubuwah yang merupakan kumpulan informasi kesejarahan yang dengan itu dapt dibedakan antara benar dan salah dalam relitas empirisnya dan risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi oleh manusia yang berupa ibadah, muamalah, akhlak dan
hukum halal-haram.
kembali ayat-ayat Makiyah memang subjektif meski dikemukakan secara
rasional. Namun, bagaimanapun menurut an-Na’im kita tidak memiliki
alternative ide yang lain untuk menggantikan pemikiran Thaha itu, dengan kata
lain, metodologi Thaha merupakan keniscayaan. Umat Islam dihadapkan kepada
dua pilihan yang tidak relevan khususnya dalam bidang hukum public. pertama,
tetap menggunakan piranti hukum klasik dengan berbagai macam kekurangan
dan kerancuan terminologisnya, dan yang kedua, menggunakan hukum barat
yang disebarkan melalui kolonialisme yang mau tidak mau harus diterima karena
tidak ada alternatif yang memadai.
Meskipun Piranti metodologis An-Naim lebih diproyeksikan pada bidang
hukum publik namun secara paradigmatik bisa saja diterapkan dalam bidang
hukum privat pada umumnya dan hukum keluarga pada khususnya, karena
kegelisahan hukum Islam pada umumnya adalah sama yaitu bagaimana
keberadaannya tetap relevan dalam perkembangan zaman.
F. APLIKASI METHODE PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA
KONTEMPORER
Untuk memperjelas uraian diatas maka berikut akan diuraikan sedikit
contoh aplikasi metode pembaharuan hukum khususnya hukum keluarga muslim
kontemporer. Contoh-contoh berikut diambil dari ijtihad-ijtihad para tokoh diatas
dalam mengaplikasikan metode yang mereka gagas sendiri khususnya teori gerak
gandanya Rahman dan teori batasnya Shahrur.
• Teori gerak ganda
Contoh sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal hak istri
untuk bercerai dalam keadaan tertentu (khulu’) dalam analisisnya terhadap ayat yang digunakan mayoritas ulama dalam peniadaan hak wanita ini adalah ayat al-
Qur’an IV : 3 dan II : 28, yang menerangkan superioritas lelaki atas wanita.
Pada gerak pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat
dengan latar belakang sosial budaya yang berlaku tentang status wanita pada
waktu turunnya ayat. Menurutnya masyarakat Arab ketika itu didominasi oleh
kaum lelaki dan posisi kaum wanita sangat lah rendah sehingga wajar saja ketika
bunyi teks al-Qur’an menyesuaikan dengan kondisi zaman dan konteks turunnya
ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat temporal. Dengan mengambil nilai yang
lebih universal dari gerak pertamanya yaitu tentang persamaan kedudukan antara
lakilaki dan perempuan Rahman beranjak ke gerakan kedua, Menurut Rahman,
adalah sangat pelik untuk mempertahankan keadaan berdasarkan ayat-ayat
tersebut bahwa masyarakat harus tetap seperti masyrakat Arrab abad ke-7 M,
atau masyrakat abad pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa
anggapan mayoritas ulama tentang monopoli kaum laki-laki atas hak cerai sama
sekali tidak dicuatkan dari al-Qur’an dan bahwa ketentuan mengenai hak cerai
kaum wanita adalah positif.
Contoh kedua yaitu tentang kedudukan cucu selaku pengganti
orangtuanya dalam menerima warisan dari kakeknya. Konsep hukum waris
klasik samasekali tidak memeberi bagian kepada cucu yatim yang ditinggal wafat
oleh kakeknya karena terhalang pamannya. Gerakan pertama Rahman dalam hal
ini dengan pendekatan historisnya mengemukakan bahwa prinsip waris semacam
itu besarkemungkinannya berasal dari praktek suku-suku Arab pada masa pra
Islam. Dalam masyarakat kesukuan, tetua-tetua suku, atau suku itu secara
keseluruhan, berkewajiban mengurus kepentingan anggota-anggota suku yang
tidak mampu. Pada sistem patriarkal abad pertengahan, pamanpaman berkewajiban mengurus keponakannya yang ditinggal wafat oleh ayahnya,
sehingga anak yatim itu tidak memperoleh bagian warisan dari kakeknya.
Setelah mendapatkan nilai Normatif universal dan temporalnya koteks
ketentuan ayat diatas gerak kedua Rahman adalah mengkontekstualkannya pada
zaman kekinian. Pada zaman modern ini situasi telah jauh berbeda dan semakin
akut, karena paman-paman semakin tidak menyukai tanggung jawabnya untuk
mengurus keponakannya yang yatim dan terhalang oleh mereka dalam menerima
waris. Berdasarkan pertimbangan ini Rahman berpendapat bahwa jika seorang
kakek wafat dan hanya meninggalkan seorang anak lelaki serta seorang cucu dari
anak lelaki lainnya yang telah wafat maka ia memeperoleh bagian warisan yang
sama dengan pamannya karena ia menempati kedudukan ayahnya saat menerima
waris.
• Teori batas
Beralih pada contoh aplikasi teori batasnya Shahrur dalam bidang hukum
keluarga dalam hal ini hukum kewarisan. Contoh terbaik dalam hal ini adalah
firman Allah: li Adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni. Kebanyakan para ahli
fiqih menganggap bahwa firman ini adalah batasan yang telah ditentukan dan
tidak boleh keluar darinya dalam seluruh kasus yang dialami anak-anak. Konsep
ini memukul rata semua kasus dan berpijak pada konsep yang lahir dari
pemahaman ayat diatas “satu bagi anak laki-laki dan setengah bagi anak
perempuan” Sedangkan menurut Shahrur batasan tersebut adalah batasan khusus
yang hanya bisa diterapkan dalam kasus ketika jumlah perempuan dua kali lipat
jumlah laki-laki.
Mengenai kewarisan anak ini lebih jauh Shahrur merumuskan teori
batasnya berangkat dari ayat al-Qur’an Surah an-nisa ayat 11 kemudian Shahrur
memberikan rumusan batas dimana setiap konteks hubungan antara anak laki-laki dan perempuan bisa saja berubah sesuai dengan jumlah perbandingan anak,
dan tidak melulu terpaku pada konsep “satu bagi anak laki-laki dan setengah
bagi anak perempuan” sebagaimana yang digeneralkan mayoritas ulama fiqh.
Adapun formulasi teori batasnya adalah sebagai berikut:
Batas pertama: li Adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni (lakilaki=1:
Perempuan=1/2).
Ini adalah batasan hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagianbagiana
(huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki
dan dua anak perempuan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang
bisa diterapkan pada semua kasus dimana jumlah perempuan dua kali lipat
jumlah laki-laki.
Batas kedua: fa ini kunna nisa’an fawqa ithnatayni (Lk=1/3: Pr=2/3).
Batas hukum ini membatasi seorang laki-laki dan tiga perempuan dan
selebihnya (lebih dari dua). Satu orang laki-laki+perempuan lebih dari dua, maka
bagi laki-laki adalah 1/3 dan bagi pihak perempuan adalah 2/3 berapapun jumlah
mereka (diatas dua). Batasan ini berlaku pada seluruh kondisi ketika jumlah
perempuan lebih dari dua kali jumlah lakilaki.
Batas ketiga: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (lk=1: Pr=1).
Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi
ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak perempuan, jadi masing
masing anak mendapatkan separuh dari harta peninggalan.
Menurut Shahrur Jika diperhatikan pihak laki-laki pada batas kedua yang
termasuk dalam kategori rumus ini tidak mengambil bagiannya berdasarkan
ketentuan batas yang pertama. Pada dasaranya pembagian ini sangat alami,
karena hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada kasus yang telah
ditetapkan Allah dan tidak dapat diterapkan pada kasus lainnya.
G. KESIMPULAN
1. Pengembangan epistemologi dari Thomas Kuhn telah membawa perubahann
besar dalam peradaban manusia dan mempunyai pengaruh terhadap para
pemikir Islam. Kuhn telah menarik fakta bahwa para filosof ilmu pada
umumnya tidak menghiraukan persoalan hermeneutik yang pokok seperti
persoalan tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh seorang ilmuan.
Menurut Kuhn rasioanalitas ilmiah yang sebetulnya ambigu itu pada dasarnya
bukanlah semata-mata perkara induksi atau deduksi atau juga rasioanalitas
objektif, melainkan lebih pada perkara interpretasi (hermeneutis) dan persuasi
yang cenderung lebih bersifat subjektif.
2. Methode pembaharuan hukum dan hukum keluarga Islam dalam pemikiran
Islam kontemporer meskipun nuansa perubahan memang cukup terasa namun
keberanjakan paradigma hukum dari metodologi hukum klasik ke sebuah
metodologi baru secara aplikatif memang masih jarang ditemui. Karena
menurut para ahli hukum yang masih menggunakan paradigma klasik metodemetode
baru yang ditawarkan tidak menawarkan sebuah solusi yang tuntas
selain itu masih kuatnya kungkungan dogmatis yang mengitari mengakibatkan
sikap apatis ini semakin kuat dan kebanyakan Negara Islam maupun Negara
non Islam yang memakai hukum Islam dan hukum keluarga khususnya
kebanyakan masih bercorak utilitarianistik.
Namun geliat pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir diatas
sedikit banyak membangkitkankan gairah baru dalam bidang kajian hukum
fiiiiffffff..............................
BalasHapusyupz.....
BalasHapus