Kamis, 01 April 2010

Menimbang Islam Humanis

Peneliti The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia
Ada semacam stigma bahwa agama justru menimbulkan adanya gejala
dehumanisasi atas kondisi kehidupan kontemporer. Agama sering dituduh karena
menjadi faktor penyebab negatif atas tindak kekerasan dan ketidakadilan yang
terekam dalam memori kesadaran manusia modern. Stigmatisasi semacam ini
akan menghasilkan pemahaman yang keliru atas peran dan fungsi agama.
Apakah agama berlawanan dengan kemanusiaan? Bukankah sejarah pemikiran
dalam agama-agama juga menampilkan sisi di mana agama justru meneguhkan
cita kemanusiaan sebagai tema sentral dalam objek wacana dan praksis agama?
Sejarah perkembangan pemikiran kemanusiaan pernah mengalami "pertarungan"
antara peradaban agama (gereja) dan peradaban rasionalisme. Masing-masing
kubu melakukan justifikasi dan saling tuduh mana yang sesungguhnya lebih
berperan. Sejarah kemanusiaan mengalami proses kemunduran karena tidak ada
ruang dialog antara humanisme yang muncul di Barat dan peradaban lainnya,
yaitu agama dan kebudayaan lokal. Jarak antara humanisme dan agama inilah
yang menyebabkan kesan bahwa kemanusiaan jauh dari peran agama. Padahal,
pengembangan ajaran kemanusiaan bisa digali dari pendekatan agama.
Biasanya, tema-tema yang muncul dalam perdebatan antara Islam dan
humanisme adalah seputar: rekonsiliasi antara wahyu dan rasionalisme, tradisi
dan modernitas, sains modern dan Islam, dan sebagainya. Tulisan ini mencoba
mengangkat tema hubungan antara Islam dan humanisme dengan iktikad untuk
mencari konstruksi dialogis antarkeduanya. Sehingga, gagasan "Islam Humanis"
dapat dikembangkan sebagai tawaran baru atas reposisi wacana Islam dan
kemanusiaan.
Pijakan antroposentris
Penafsiran agama perlu diarahkan pada pembacaan yang lebih humanistik,
pluralistik, dan progresif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih,
dan tektualistik, akan mengarahkan sang pembaca menjadi berpikiran sempit
dalam mengamalkan agama sehingga yang terjadi adalah kecenderungan atas
tindakan kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme. Misalnya,
kasus takfir (pengkafiran) dan fatwa hukum mati adalah bentuk kepicikan dalam
pemikiran keagamaan model ini.
Umumnya, pemahaman agama selalu mengandaikan teosentrisme sebagai titik
awal dan akhir pijakan dalam memaknai agama. Agama dan Tuhan menjadi dua
term yang seakan sulit untuk dipisahkan. Ketika kita memahami agama ada
kecenderungan bahwa itu adalah apa yang maksudkan Tuhan kepada kita. Teksteks
agama yang termaktub dalam Alquran dianggap sebagai kata-kata Tuhan
yang sudah jelas dan pasti (mutlak). Padahal, perlu pemahaman secara
kontekstual.
Pemahaman agama yang kita yakini kebenarannya merupakan tafsiran yang
masih bersifat relatif. Agama adalah "jalan kebenaran" (syir'atan wa minhajan)
bagi umat beragama untuk memahami kehidupan ini dengan bayang-bayang
tuntunan dan pedoman dari kitab suci dan ajaran ilahi. Dengan agama,
penganutnya akan mendekati (kebenaran) Tuhan dalam ragam pemaknaan,
walaupun tidak bisa mendekatinya secara sempurna. Agama dan Tuhan harus
dipisahkan karena yang satu adalah jalan untuk mendekati Tuhan, sedangkan
yang kedua adalah tujuan akhir dari perjalanan. Klaim-klaim kebenaran hanya
dimiliki oleh Tuhan, manusia hanya berhak memahami dan menafsirkan agama,
dengan cara, bentuk, dan hasil apapun.
Pemahaman agama ada yang sifatnya masih melangit dan ada juga yang sudah
membumi. Secara transendental, penerjemahan agama ditujukan sebagai bentuk
penghambaan secara personal, vertikal, dan teosentris. Ibadah ritual dan
umumnya syariat merupakan bentuk penghayatan dan pengamalan agama
dengan orientasi pada Tuhan. Tapi, dalam sifat yang pertama ini tidak terjadi
keterputusan makna dengan sifat yang kedua, yaitu imanensi. Pembumian ajaran
agama memberikan ruang bagi manusia untuk secara kreatif berhak melakukan
kegiatan duniawi secara rasional dengan tidak melepaskan dari ikatan substansial
agama. Pembumian agama yang berpijak pada antroposentrisme akan
memberikan jalan pada humanisasi agama. Di sinilah terjadi dialektika, yaitu
manusia diberikan kebebasan untuk menjalani kehidupan dengan membumikan
ajarannya dalam ranah sosial-keduniawiaan.
Pemahaman yang rasional
Merumuskan kembali paradigma agama yang berorientasi pada pemenuhan citacita
kemanusiaan dan peradaban menjadi agenda yang sangat penting dalam
garapan Islam humanis. Kita bisa memastikan bahwa agama tidak kontra dengan
realitas kemanusiaan gara-gara secara empirik sering terjadi "devaluasi agama",
yaitu penurunan citra agama yang diakibatkan karena merebaknya fenomena
kekerasan dan politisasi agama yang dilakukan oleh beberapa oknum
pemeluknya.
Ajaran humanisme yang awalnya muncul di Barat, yaitu pada abad pencerahan
(Aufklarung), posisi agama terkesan tersisihkan dari wacana pencerahan
modernisme. Periode sekularisasi menghantui kehidupan masyarakat saat itu.
Sekularisme kemudian mengikis dan menghabisi otoritas gereja yang telah lama
menguasai atas kebebasan manusia, yaitu lewat penancapan simbol agama ke
dalam setiap wilayah kehidupan manusia. Hal demikian karena kehadiran agama
justru memasung kemanusiaan.
Tentunya, apa yang terjadi di Barat berbeda jauh dengan apa yang terjadi dalam
pengalaman sejarah Islam. Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki fondasi
kuat tentang ajaran humanisme (kemanusiaan). Ajaran agama yang sangat
respek dengan persoalan kemanusiaan mesti dibangun dengan penafsiran agama
yang kontekstual. Penafsiran demikian akan lebih melihat kenyataan kebutuhan
manusia hari ini. Relevansi penggalian pada aspek kesejarahan Islam dipahami
bahwa teks harus berdialog dengan realitas perubahan zaman.
Pandangan humanisme dalam Islam bisa dieksplorasi dengan mengembalikan
pemaknaan agama pada nilai-nilai kemanusiaan. Manusia perlu diperhatikan
sebagai subjek dan objek dalam proses humanisasi agama. Apa yang menjadi
kebutuhan dan keinginan manusia dan masyarakat adalah tujuan dari pembelaan
agama. Secara vertikal dan transedental, bisa saja pengamalan agama untuk
orientasi kepada Tuhan, tapi jangan dilupakan bahwa dalam agama juga
terkandung dimensi horizontal, imanental, dan humanistik, yaitu beragama untuk
manusia dan demi memenuhi harapan kemanusiaan. Tekstualitas Alquran
bertujuan untuk merekam kenyataan historis kemaslahatan umat manusia.
Artinya, manusia yang melakukan dan untuk manusia pula.
Pemahaman agama secara rasional menjadi kebutuhan sejarah (historical
necessity) bagi upaya humanisasi agama. Syariat, yang sering diposisikan
sebagai domain wacana agama mesti ditafsirkan secara rasional, menurut ukuran
kemaslahatan dan konteksnya. Rasionalisme dalam filsafat bisa membantu dalam
pembacaan yang humanistik, dengan terlebih dahulu meyakini bahwa antara
filsafat dan agama (syariat) bisa dikompromikan. Dalam at-Turats wa al-
Hadatsah: Dirasah wa Munaqasyah (1991), Al-Jabiry menyatakan bahwa agama
tidaklah menafikan metode burhani atau rasionalisme, justru malah
menganjurkannya sebagai cara yang efektif untuk memahami agama secara
rasional. Upaya untuk mengawinkan syariat dengan filsafat pernah dilakukan oleh
Ibnu Rusyd melalui tulisannya berjudul "Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-
Syari'ah wa al-Hikmah min al-Ittisal", dalam kitab Falsafah Ibn Rusyd (1968).
Rasionalisme dalam kaidah hukum Islam bisa dilihat melalui metode Maqashid
asy-Syari'ah" yang dikemukakan Asy-Syatibi, ketika memahami teks agama
(syariat) dengan mengedepankan kemanusiaan dan kemaslahatan umat
manusia.
Ketika sebuah teks berbenturan dengan realitas maka teks harus berdialog dan
terjadi tawar-menawar dalam memahaminya. Terjadi dialektika atau dialog
antara teks (wahyu) dan kebudayaan masyarakat. Tapi, tidak sepenuhnya teks
itu tunduk terhadap realitas. Keberadaan teks merupakan perekaman atas
maslahat kemanusiaan yang telah menjadi bagian utuh penampakan realitas.
Gagasan Islam humanis perlu dipertimbangkan. Pemahaman agama yang
cenderung terpolarisasi ke dalam kubangan fundamentalisme dan sekularisme
akan menyebabkan matinya potensi agama sebagai ajaran kemanusiaan.
Menegakkan cita-cita kemanusiaan tidak perlu melepaskan dari baju agama.
Tapi, dengan jalan mendialogkan antara wacana agama dan realitas kemanusiaan
dalam posisi yang berimbang sehingga dihasilkan pemaknaan baru atas agama
yang memang menjamin pemenuhan cita-cita kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz