Kamis, 01 April 2010

Takkan Pernah Berhasil Upaya Meruntuhkan Orisinalitas Al Quran

- Buku Christoph Luxenberg (nama samaran) yang berjudul "Die syro-aramaeische
Lesart des Koran" telah menarik banyak perhatian mayarakat Muslim, menyusul
publikasinya oleh beberapa media massa. Mulanya, Newsweek edisi 28 Juli 2003,
melansir tulisan berjudul "Challenging the Qur'an". Artikel yang ditulis Stefan Theil itu
kemudian memicu kontroversi dan akhirnya majalah itu dilarang beredar di Pakistan. Di
Indonesia, masalah ini menjadi ramai, setelah Majalah GATRA menampilkan masalah ini
sebagai cover story-nya pada No 37 edisi 4 Agustus 2003.
Bagi kaum Muslim, tentu, upaya untuk meruntuhkan orisinalitas al-Quran sebagai wahyu
Allah, bukan barang baru. Sepeninggal Rasulullah saw, Musailamah al-Kazhab sudah
melakukan upaya itu. Di setiap zaman, upaya itu selalu dijawab secara elegan dan
saintifik oleh ulama dan cendekiawan Muslim. Bagi sebagian kalangan, terutama
kalangan orientalis Barat, karya Luxenberg (nama samaran) ini dipandang sebagai
ancaman terhadap kajian al-Quran. Dalam analisisnya terhadap buku Luxenburg di Jurnal
HUGOYE, Journal of Syriac Studies, Robert R. Phenix Jr. dan Cornelia B. Horn, dari
University of St. Thomas, Summit Avenue St. Paul, mencatat implikasi metode kajian
filologi yang dilakukan Luxenberg terhadap al-Quran. Menurut mereka, "Any future
scientific study of the Qur'an will necessarily have to take this method into consideration.
Even if scholars disagree with the conclusions, the philological method is robust."
Apa pun metodenya, kesimpulan kajian Luxenberg sebenarnya tidak terlalu beda dengan
para orientalis dan misionaris Kristen yang melakukan kajian serupa terhadap al-Qur’an.
Intinya, mereka menggugat al-Qur’an sebagai "wahyu" yang diturunkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad saw. Bahwa al-Qur’an adalah "tanzil", "suci", bebas dari
kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an (QS 15:9). Menurut Luxenberg –
dengan melakukan kajian semantic terhadap sejumlah kata dalam al-Qur’an Arab yang
diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac -- Al Qur'an yang ada saat ini (Mushaf
Utsmani) adalah salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya. Teks asli
Al Qur'an, simpulnya, lebih mirip bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah asli itu
telah dimusnahkan Khalifah Usman bin Affan.
Dengan kata lain, al-Quran yang dipegang oleh kaum Muslim saat ini, bukanlah wahyu
Allah SWT, melainkan akal-akalan Utsman bin Affan r.a. Lunxenberg - seperti banyak
orientalis lainnya - mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melakukan kodifikasi al-
Qur’an. Ia menduga, teks al-Qur’an yang dimusnahkan Utsman bin Affan berbeda
dengan teks Mushaf Utsmani yang sekarang ini. Lebih jauh, Robert R. Phenix Jr. dan
Cornelia B. Horn menyatakan, jika analisis Luxenberg benar, maka isi al-Quran Mushaf
Utsmani secara substansi berbeda dengan al-Qur’an di masa Nabi Muhammad saw.
Tuduhan semacam ini salah sama sekali, sebab proses kodifikasi al-Qur’an di zaman
Utsman bin Affan sangat terbuka kerjanya, dan al-Qur’an selalu diingat oleh ratusan,
ribuan - bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliruan akan selalu dikoreksi oleh
kaum Muslim. Memang, dalam pendahuluan bukunya, Luxenberg memaparkan
signifikansi dari bahasa dan budaya Syriac bagi bangsa Arab dan al-Quran. Di masa Nabi
Muhammad saw, bahasa Arab bukanlah bahasa tulis. Bahasa Syro-Aramaic atau Syriac
adalah bahasa komunikasi tulis di Timur Dekat mulai abad ke-2 sampai 7 Masehi.
Bahasa Syriac dialek Aramaic merupakan bahasa di kawasan Edessa, satu negara kota di
Mesopotamia atas. Bahasa ini menjadi wahana bagi penyebaran agama Kristen dan
budaya Syriac ke wilayah Asia, Malabar dan bagian Timur Cina. Sampai munculnya al-
Quran, bahasa Syriac adalah media komunikasi yang luas dan penyebaran budaya
Arameans, Arab, dan sebagian Persia. Budaya ini telah memproduksi literatur yang
sansat kaya di Timur Dekat sejak abad ke-4, sampai digantikan oleh bahasa Arab pada
abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Satu hal yang penting, menurut Luxenberg, literatur the
Syriac-Aramaic dan matrik budaya ketika itu, praktis merupakan literature dan budaya
Kristen. Sebagian studi Luxenberg menyatakan, literature Syriac yang kemudian
menciptakan tradisi "Arab tulis" adalah ditransmisikan melalui media Kristen.
Pada akhirnya, Luxenberg menyimpulkan, transmisi teks al-Quran dari Nabi Muhammad
saw bukanlah secara oral, sebagaimana keyakinan kaum Muslim. Al-Quran tak lebih dari
turunan Bible dan liturgi Kristen Syria. Bahasa asli al-Quran bukanlah "Arab". Sebagai
contoh, nama surat al-fatiha, berasal dari bahasa Syriac ptaxa, yang artinya pembukaan.
Dalam tradisi Kristen Syria, ptaxa harus dibaca sebagai panggilan untuk berpartisipasi
dalam sembahyang. Belakangan, dalam Islam, surat ini wajib dibaca dalam salat. Katakata
lain dalam al-Quran, seperti quran, jaw, hur, dan sebagainya, juga berasal dari
bahasa Syriac dan disalahartikan dalam al-Quran sekarang ini.
Beda Konsep
Sebenarnya, soal banyaknya unsur bahasa Syriac dalam al-Quran bukanlah hal yang
aneh. Karena setiap bahasa - apalagi bahasa serumpun, seperti Arab, Hebrew, Syriac --
akan saling menyerap, sehingga banyak mengandung kosakata yang identik. Apalagi,
sebagai Nabi penutup, yang - diibaratkan oleh Rasulullah saw sendiri - beliau adalah
laksana "satu batu-bata yang menyempurnakan bangunan batu bata dari satu bangunan
risalah kenabian". Karena itu, wajar, banyak istilah dan nama dalam al-Qur’an yang
memang terdapat pada Bible atau Taurat. Bahkan, al-Quran mewajibkan kaum Muslim
untuk mengimani Kitab-kitab yang pernah diturunkan Allah SWT kepada para Nabi.
Soal tudingan bahwa al-Quran bukanlah wahyu Allah dan hanyalah jiplakan dari orang
non-Muslim, sudah disebutkan dalam al-Qur’an: "Dan sesungguhnya Kami mengetahui
bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia
kepadanya (Muhammad)". Padahal, bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya, adalah bahasa 'Ajam. Sedangkan al-Quran adalah dalam
bahasa Arab yang terang. ('Arabiyyun mubin)." (QS 16:103).
Jika dicermati, Al-Quran memang banyak menyerap istilah yang sama dengan istilahistilah
yang digunakan agama-agama sebelumnya, bahkan istilah dalam tradisi Quraish.
Shaum (puasa), misalnya, jelas-jelas ditegaskan dalam al-Quran (QS 2:183) merupakan
kewajiban yang dibebankan kepada kaum Muslim dan umat sebelumnya. Tapi, konsep
puasa dalam Islam, lain dengan konsep pada umat nabi sebelumnya. Begitu juga salat,
haji, nikah, dan sebagainya. Bahkan, sebutan "Allah" telah dikenal oleh kaum Quraish,
tetapi, konsep "Allah" dalam al-Quran sangat berbeda dengan konsep kaum jahiliyah
Quraish. Istilah "haji" sudah dikenal sebelum Islam.
Namun, istilah haji dalam Islam berbeda maknanya dengan "haji" sebelum Islam. Begitu
juga nama-nama para Nabi. Ibrahim, Dawud, Isa, dan para Nabi lainnya, a.s., dalam
konsep al-Qur’an berbeda dengan konsep nabi-nabi dalam Bible dan Taurat (yang
sekarang). Misal, Al-Quran menggambarkan Nabi Daud a.s. sebagai sosok yang saleh
dan kuat. Berbeda, dengan Bible (2 Samuel 11:2-27) yang menggambarkan Daud sebagai
sosok yang buruk moralnya. Selain merebut dan menzinahi istri pembantunya sendiri
(Batsyeba binti Eliam), Daud juga menjebak suami si perempuan (Uria) agar terbunuh di
medan perang. Sedangkan al-Quran menyatakan: "Bersabarlah atas segala apa yang
mereka katakan, dan ingatlah hamba Kami, Daud, yang mempunyai kekuatan.
Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah." (QS 38:17)
Konsep Islam tentang "Isa" juga berbeda dengan konsep "Jesus" dalam Kristen,
meskipun keduanya merujuk kepada figur yang sama. Bahkan, jika ada yang menyebut
agama Islam, Kristen, dan Yahudi adalah rumpun "Abrahamic faith", maka konsep
Ibrahim dalam Islam jelas berbeda dengan konsep Ibrahim dalam Yahudi dan Kristen.
Al-Quran dengan tegas menyebut: "Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia
adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik." (QS 3:67).
Bukan Baru
Jadi, jika ditemukan banyak istilah atau terminologi dalam al-Quran yang sama dan
identik dengan istilah dalam Bible atau tradisi sebelum Islam, bukanlah berarti al-Quran
menjiplak dari Kitab agama lain. Sebab, salah satu fungsi al-Quran adalah sebagai
"parameter" dan korektor" terhadap penyimpangan terhadap Kitab sebelumnya. Al-Quran
banyak mengingatkan terjadinya penyimpangan dan perubahan pada Kitab para Nabi itu
(QS 4:46, 2:75, 2:79).
Maka, kesimpulan Luxenberg, bahwa "Al-Quran memuat artikel tertentu dari Bibel
(Perjanjian Lama dan Baru) yang dibacakan dalam kebaktian Kristen", masih sangat
dangkal dan sama sekali tidak meruntuhkan kewibawaan Mushaf Utsmani yang memiliki
kekuatan hujjah yang kuat sebagai wahyu Allah SWT. Apalagi, kesimpulan seperti ini --
meskipun menggunakan metode yang berbeda dengan para orientalis sebelumnya --
bukanlah barang baru dalam tradisi orientalis dan misionaris Kristen.
Itu bisa disimak misalnya, pada buku karya Samuel M. Zwemmer, misionaris Kristen
terkenal di Timur Tengah, yang berjudul "Islam: A Challenge to Faith" (terbit pertama
tahun 1907). Di sini, Zwemmer memberikan resep untuk "menaklukkan" dunia Islam.
Zwemmer menyebut bukunya sebagai "studies on the Mohammedan religion and the
needs and opportunities of the Mohammedan World From the standpoint of Christian
Missions". Dalam bukunya ini, Zwemmer menulis, unsur-unsur yang dipimjam oleh
Islam dari berbagai agama dan tradisi sebelumnya, seperti Sabeanism, Arabian Idolatry,
Zoroastrianism, Buddhism, Judaism, dan Christianity. Termasuk yang dipinjam dari
Christianity, menurut Zwemmer, adalah konsep puasa Ramadhan, cerita tentang Ashabul
kahfi, Lukman, Iskandar Zulkarnaen, dan sebagainya. Tentang al-Quran ini, Zwemmer
menyatakan:
(1) penuh dengan kesalahan sejarah (2) banyak mengandung cerita fiktif yang tidak
normal, (3) mengajarkan hal yang salah tentang kosmogoni (4) mengabadikan
perbudakan, poligami, perceraian, intoleransi keberagamaan, pengasingan dan degradasi
wanita. Di akhir penjelasannya tentang al-Quran, Zwemmer mencatat: "In this respect the
Koran is inferior to the sacred books of ancient Egypt, India, and China, though, unlike
them, it is monotheistic. It can not be compared with the Old or the New Testament."
(1985:91).
Semangat seperti Samuel Zwemmer dalam melecehkan al-Quran inilah yang tampaknya
ada pada kajian Luxenberg, meskipun dengan cara yang lebih halus dan sedikit canggih.
Kaum Muslim, tentu saja, perlu menelaah karya semacam ini dengan cermat, dan
memberikan argumentasi yang tepat dan ilmiah terhadap setiap upaya penghancuran al-
Quran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz