Sabtu, 29 Agustus 2009

Ta'arudl al Adiullah

PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang

Hukum fiqh mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Kholiqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.

Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun disana ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat islam dalam menentukan hukum adalah al Qur’an dan Hadits namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qias dan ijma’.

Dengan dasar itulah umat islam menjalankan roda-roda kehidupan dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketka seorang mujtahid itu menetukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka disini dikenal dengan ta’arudh al adillah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan seseorang terbatas dalam memahami sesuatu namun disana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.

  1. Rumusan masalah

Dari pengantar diatas maka disini pemakalah akan membahas tentang:

  1. Apa pengertian Ta’arudh

  2. Apa macam-macam ta’arudh

  3. Bagaimana cara penyelesaian ta’arudh menurut Hanafi dan Mutakallimin



PEMBAHASAN

A. Pengertian

Secara bahasa, kata ta’arudh berarti pertentangan antara satu dengan yang lain. Wahbah al- Zuhaili tidak setuju terhadap pendapat sebagian kalangan yang menyamakan antara ta’arudh dan tanaqudh. Menurut Wahbah antara kedua istilah ini terdapat perbedaan. Dengan mengutip para pendapat para ahli ushul fiqh, Wahbah menjelaskan bahwa tanaqudh membawa impikasi batalnya satu dari dua dalil. Sedangkan ta’arudh hanya menghalangi berlaku hukum yang dimaksud suatu dalil tanpa menggugurkan keberadaan dalil tersebut.

Definisi ta’arudh yang dikemukakan Khudhari Beik ini sejalan dengan definisi yang dirumuskan Ali Hasbalah, yaitu ta’arudh merupakan dua dalil yang sama tingkatannya menunjukkan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dikandung dalil yang lain dalam kasus yang sama.

Dari dua definisi itu diketahui bahwa pertentangan antara dua dalil terjadi dalam bentuk lahirnya dari segi penilaian mujtahid yang mengamatinya. Misalnya, satu dalil yang secara lahir menunjukkan hukum wajib dan dalil yang lain dalam kasus yang sama menunjukkan hukum haram.1

Diantara sesuatu yang seyogyanya mendapat perhatian, yaitu bahwasannya tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara dua ayat, atau antara dua hadits shahih, dan atau antara ayat dengan hadits shahih. Apabila tampak ada kontradiksi antara dua nash diantara nash-nash itu maka itu hanyalah kontradiksi lahir saja sesuai dengan yang tampak kepada akal kita. Bukan kontradiksi yang sebenarnya. Karena menurut Syari’ yang Esa dan Maha Bijaksana itu tidak mungkin jika keluar daripada-Nya dalil yang menghendaki hukum dalam suatu peristiwa dan keluar dari Dia juga dalil lain yang menghendaki dalam peristiwa itu, hukum yang bertentangan dengan hukum pertama dalam satu waktu.

Maka jika didapati dua nash yang lahirnya kontradiksi, wajib berijtihad untuk memalingkan dua nash itu dari lahirnya, dan memperhatikan hakikat pengertian keduanya. Ini untuk memahasucikan Syari’ yang Maha Mengetahui dan Bijaksana, dari kontradiksi dalam pembentuikan syari’at-Nya. Jika mungkin menghilangkan kontradiksi yang bersifat lahir antara dua nash itu dengan menghimpun dan mengkompromikan keduanya, maka dipadukanlah keduanya itu dan dilaksanakan keduanya. Ini penjelasan. karena sebenarnya tidak ada kontradiksi antara kedua nash itu2. Menurut Abdul Karim Zaidan, pada prinsipnya tidak mungkin terjadi pertentangan atara dalil-dalil syara’. Ta’arudh atau pertentangan dua dalil syara’ hanya terjadi dalam pandangan mujtahid. Atas dasar ini, dapat dipastikan bahwa ta’arudh hanya terjadi secara dhahir, bukan secara hakiki dan yang demikian hanya dalam pandangna mujtahid. Kadangkala sebagian mujtahid menilai suatu dalil bertentangan dengan dalil lain karena terkait degan kekuatan pemahaman mujtahid bersangkutan tentang maksud yang dikandung suatu dalil.

Berarti ta’arudh terjadi ketika mujtahid menetapkan hukum yang dikandung dalil, tetapi pada saat yang sama ada dalil lain yang menunjukkan pada hukum lain yang bertentangan dengan dalil pertama.

Pertentangan ini tidak terjadi hanya pada dalil-dalil dzanni dalalahnya, tetapi meliputi pula pertentangan antara dalil-dalil yang qath’i. bahkan pertentangan dalil ini terjadi pula antara dalil naqli (yang ditetapkan secara tekstual dalam al- Qur’an atau sunnah dengan dalil ‘aqli (dalil yang berdasarkan aqal, seperti qias)3


B. Macam-Macam Ta’arudh

Terdapat beberapa pembagian ta’arudh, diantaranya;

  1. Pertentangan al-Qur’an dengan al-Qur’an

Ketentuan yang menyatakan bahwa darah itu haram (QS. Al Maidah:3), ketenetuan itu masih umum jadi semua darah diharamkan, selanjutnya dalam QS. Al an’am ayat 145 dinyatakan bahwa darah yang haram hanya darah yang mengalir, selain darah yang mengalirkan diperboehkan.

  1. Pertentangan as Sunnah dengan as Sunnah

Hadits riwayat Bukhari-Muslim dari Aisyah dan ummi salamah menyatakan bahwa Nabi Saw. Masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena jima’ sedangkan beliau menjalankan puasa. Kemudian ahadits riwayat ahamad dan ibnu hibban dunyatakan bahwa nabi SAW. Melarang berpuasa bagi orang yang junub setelah subuh tiba.

  1. Pertentangan as Sunnah dengan Qiyas

Aqiqah untuk laki-laki lebih besar dari pada aqiqah anak wanita, namun dalam hadits dinyatakan 2 kambing untuk laki-laki dsn satu kambing untuk wanita. Jika diaanalogikan maka dua kambing sama dengan satu sapi.

  1. Pertentangan Qiyas dengan Qiyas

Perkawinan Nabi dengan Aisyah ketika berusia 6 tahun dan mengumpulinya usia 9 tahun. Bagi Hanafiyyah hadits itu memperbolehkan bagi orang tua punya hak ijbar. Sedangkan bagi Syafiiyyah mengaggap karena kegadisannya, jadi kalau ia Tasyyib sekalipun masih belum dewasa orang tua tak punya hak ijbar.4


C. Cara penyelesaian ta’arudh

Apabila dhahir (formal)-nya dua nash yang bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar diantara cara-cara mengumpulkan dan mengkompromikan dua nash yang kontradiksi. Jika tidak mungkin, wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah satunya dengan cara diantara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan diketahui sejarah datangnya, maka ditangguhkan dua nash itu.

Apabila dua qiyas atau dua dalil yang bukan termasuk dua nash yang bertentangan, dan tidak mungkin mengutamakan salah satunya, maka dihindarilah mengambil dalil kedua qiyas atau kedua dalil itu.

Kontradiksi diantara dua hal, artinya menurut bahasa arab, ialah kontradiksi salah-satu diantaranya kepada yang lain.dan kontradiksi dua dalil syara’, artinya menurut istilah ulama ushul ialah penetuan dari salah satunya dalam waktu terhadap suatu peristiwa, atas hukum yang bertentangan dengan hukum yang ditentukan oleh dalil lain mengenai peristiwa itu.

Kontradiksi antara dua dalil syara’ tidak akan terjadi kecuali apabila dua dalil itu sama kuatnya. Adapun salah satu dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti ialah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat, dan diabaikanlah huikum yang kontradiksi dengannya yang dikehendaki oleh dalil lain. Dengan Demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash qoth’i dan zhonni, antara nash dan ijma’ atau qiyas, dan antara ijma’ dan qiyas. Kontradiksi itu dapat terjadi antara dua ayat, atau dua hadits yuang mutawatir, atau antara ayat dan hadits mutawatir, atau dua hadits yang tidak mutawatir, dan atau antara dua qiyas.5


  1. Metode Hanafiyah

Ulama hanafiyah mengemukakan beberapa langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan pertentangan antara dua nash atau dalil.


  1. Naskh.

Untuk menerapkan metode ini, para mujtahid harus meneliti waktu turun nash atau dalil yang bertentangan tersebut. Apabila mujtahid mengetahui mana dalil atau nash yang dahulu turun dan yang kemudian turun, maka ketika itu diterapkan metode naskh dalil yang dahulu turun berarti menaskh dalil yang kemudian turun. Dalam contoh pertentangan antara ayat bahwa surat al Baqoroh, 2:234 yang menyatakan iddah wanita kematian suami 4 bulan 10 hari turun kemudian dari surat al Baqoroh, 2:240 yang menyatakan iddah wanita kemtian suaminya satu tahun. Jadi yang diambil dari pertentangan kedua dalil ini adalah yang kematian suaminya iddahnya 4 bulan 10 hari.

  1. Tarjih

Yaitu menguatkan satu dari dua dalil ang bertentangan dengan mempertimbangkan indikator yang mendukungnya. Metode ini baru digunakan mujtahid apabila ia tidak mengetahui sejarah yang menjelaskan perihal turunnya kedua nash atau dalil tersebut. Tarjih dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa ketentuan, seperti menguatkan muhkam dari mufassar, ibarat al nash dari isyarat al nash, menguatkan dalil yang mengandung hukum mubah dan menguatkan hadits ahad yang perawinya lebih dhabit dan adil dari perawi yang kurang dhabit dan adil.

  1. al Jam’u wa al Taufiq,

Menghimpun kedua dalil yang bertentangan untuk kemudian dikompromikan. Metode ini digunakan mujtahid apabila metode tarjih tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil. Hasil kompromi kedua dalil inilah yang diambil hukumnya.

Ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan dalam meerapkan al jamu wa al taufiq, hadits nabi SAW “Bukankah saya telah beritahukan kepadamu tentang sebaik-baik saksi? Yaitu orang-orang yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta kesaksian itu kepadanya.”

Hadits ini merupakan dorongan bagi seseorang untuk memberikan kesaksian terhadap kasus yang diketahuinya, baik menyangkut hak Allah maupun manusia. Dalam hadits lain , Nabi SAW, menyatakan: Sebaik-baik generasi adalah generasiku kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, setelah itu orang-orang akan memberikan kesaksian di depan hakim tanpa diminta sedangkan mereka tidak mengetahui peristiwa itu, mereka berkhianat dan tidak percaya. Hadits kini menginformasikan bahwa jauh sesudah generasi nabi SAW. Muncul orang-orang yang menjadi saksi dalam suatu perkara, dimana mereka sebenarnya tidak menyaksikan perkara yang dihadapinya.

Untuk menyelesaikan pertentangan antara kedua hadits ini digunakan metode al jamu wa al taufiq. Melalui metode ini ditetapkan bahwa hadits pertama ditujukkan untuk kesaksian-kesaksian yang berkaitan dengan hak Allah dan kesaksian pada hadits yang kedua dimaksudkan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan hak manusia.

  1. Tasaqu al Dalalain

Yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Metode ini digunakan mujtahid ketika ketiga metode sebelumya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil tersebut. Dengan mengguakan metode ini, berarti mujtahid menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan ia mencacri dalil lain yang secara kualitas berada dibawah dalil yang bertentangan itu.

Tegasnya, apabila bertentangan ayat al Qur’an dengan ayat al Qur’an lalu keduanya tidak bisa dinaskh atau ditarjih atau dikompromikan, maka mujtahid boleh beralih kepada dalil yang kualitasnya dibawah al Qur’an, yaitu hadits. Apabila bertentangan hadits dengan hadits, seorang mujtahid dapat beralih mengambil pendapat sahabat atau menggunkan qiyas bagi yang tidak memakai pendapat sahabat sebagai dalil.

Adapun contoh penggunaan metode ini dapat diamati dari kaifiyat shalat khusuf. Bahwa Nabi SAW. melakukan shalat khusuf sebagaimana kamu melakukan shalat sunat biasa, yaitu dengan satu rakaat dengan satu kali sujud (HR. Abu Daud dan Nasa’i), dalam hadits lain dicontohkan nabi SAW melalui sunnah fi’liyyah tentang cara shalat khusuf; Bahwa Rasulullah SAW, melakukan shalat khusuf dua rakaat dengan empat kali ruku’ dan empat kali sujud (HR. Imam yang Enam)

Dalam hadits ini tak ada murajjih (menguatkan) salah satu dari kedua hadits itu. Ulama’ Hanafi tidak memakai kedua hadits ini, tetapi mereka menggunakan qiyas untuk menetapkan tata cara shalat khusuf. Mereka mengqiyaskan pelaksanaan shalat kusuf kepada shalat-shalat lainnya.


  1. Metode Mutakallimin

Untuk menyelesaikan pertentangan antara dalil-dalil para ulama Mutakallimin menggunakan empat metode juga namun berbeda dalam pengutamaan metode-metode tersebut, yakni ;

    1. al Jamu wa al Taufiq

Menurut Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabillah dan Zahiriyyah bahwa metode pertama yang harus dipakai dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan adalah dengan menghimpun dan mengkompromikan antara dalil-dalil tersebut, meskipun hanya dilakukan dari satu sisi saja.mereka beralasan bahwa pada prinsipnya dalil itu harus diamalkan bukan untuk diabaikan.

Untuk menggunakan dalil-dalil yang bertentangan itu dapat dilakukan dengan tiga langkah berikut:

  1. Adakalanya hukum dari kedua dalil yang bertentangan dapat dibagi, maka boleh dilakukan pembagian secara baik.

  2. Adakala hukum dari dalil yang bertentangan merupakan sesuatu yang berbilang sehingga memungkinkan lahir hukum banyak.

  3. Adakalanya hukum yang terdapat dalam dua dalil yang bertentangan bersifat umum yang terkait dengan sejumlah hukum lain, sehingga memungkinkan menggunakan kedua dalil yang bertentangan.

    1. Tarjih

Menguatkan satu dari dua dalil yang bertentangan karena ada indikator yang mendukungnya. Metode ini digunakan mujtahid manakala pengkompromian antara dalil yang bertentagan tidak dapat dilakukan. Upaya mentarjih ini dapat dilakukan dengan empat cara; mentarjih dari sisi sanad, mentarjih dari sisi matan, mentarjih dari sisi hukum dan mentarjih dari sisi lain diluar nash. Mentarjih dari sisi sanad adalah khusus untuk menyelesaikan pertentangan dalil yang terjadi pada sunnah atau hadits. Sementara cara tarjih yang lainnya dapat digunakan untuk mengatasi pertentangan dalil yang terjadi pada al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.

    1. Naskh

Membatalkan hukum syara’ yang datang terdahulu dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian. Metode ini digunakan ketika ketika kedua metode sebelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dua dalil. Metode ini dapat digunakan apabila kedua dalil yang bertentangan dapat diketahui mana dalil yang lebih dahulu datang dan mana dalil yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian yang diambil dan diamalkan.

    1. Tasaqut al Dalilaini

Mengabaikan kedua dalil yang bertentangan dan beralih mencari dalil lain, meskipun kualitasnya lebih rendah. 6

Begitu luasnya pembahasan teori-teori tersebut maka akan dibahas juga tentang metode naskh dan juga tarjih

    1. Naskh

Tidak ada naskh (penghapusan) terhadap hukum syara’ yang ada di dalam al Quran atau as Sunah setelah wafat Rosulullah SAW. Sedangkan pada masa hidupnya maka terjadi pelaksanaan secara bertahap dalam membentuk syari’at, dan juga tuntunan dalam beberapa kemaslahatan telah menghendaki penghapuisan sebagian hukum yang ada di dalam al Qur’an dan as Sunnah dengan sebagian nash qur’an dan sunnah itu, secara keseluruhan atau sebagian.7

Dalam kitabnya al Idlah li Nasikh al Qur’an wa Mansukhih, Ubay Muhammad Makki ibn Abi Thalib al Qaysi menerangkan makna etimologis kata “naskh” ketiga macam arti. Al naql yang diambil dari kata naskh al kitab, menghapuskan sesuatu untuk kemudian menempati posisinya, Menghapuskan sesuatu tanpa pengganti

Naskh menurut istilah ulama ushul ialah membatalkan pelaksanaan hukum syara dengan dalil yang datang kemudian, yang menynjukkkan penghapusannya secara jelas atau implisit (dhimni). Baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau; melahirkan dalil yang datang kemudian yang implisit menghapus pelaksanaan yang lebih dulu.

Para sahabat dan tabi’in menggunakan kata “naskh” untuk takhsis dan taqyid. Selanjutnya para sahabat dan tabi’in memandang naskh sebagai perubahan mutlak yang terjadi atas sebagian hukum, baik untuk menghapusnya dan menempati tempatnya atau mengkhususkan yang umum, membatasi yang mutlak dan sebagainya yang merupakan metode penjelasan.

Dengan demikian, dari definisi itu naskh bisa diartikan dengan penghapusan suatu hukum syara’ oleh (dengan) dalil syara’ yang secara kronologis turun lebih lebih terkemudian ketika atara keduanya terdapat pesan hukum yang bertentangan yang tidak bisa dikompromikan.8

Keberadaan naskh dalam Al Qur’an terdapat pada;

                   

Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?(QS. Al Baqarah; 106)


        

Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (QS. Al Ra’d;39)


                  

Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui. (QS. Al Nahl; 101)


Kadang naskh itu berbentuk tegas, dan kadang berbentuk implisit. Naskh yang tegas yaitu jika syari’ memberi nash yang tegas dalam membentuk syari’atnya yang datang kemudian untuk membatalkan yang disyari’atkan yang terdahulu.

Naskh yang tegas inilah yang banyak terjadi dalam pembentukan hukum positif. Kebanyakan undang-undang yang dikeluarkan disamakan dengan undang-undang yang lebih dahulu.

Sedangkan naskh secara implisit yaitu jika syari’ tidak memberi nash secara tegas dalam pembentukan syari’atnya yang datang kemudian untuk membatalkan pembentukan syari’atnya yang lebuih dulu. Tetapi syari’ mensyariatkan hukum yang bertentangan dengan hukumnya yang dahulu.

Kadang naskh itu kully (totality) dan kadang juz’I (partly), Naskh kully yaitu jika syari’ membatalkan hukum yang telah disyariatkan sebelumnya secara kully dengan melibatkan setiap individu-individu mukallaf, seagaimana Syari’ membatalkan mewajibkan wasiat kepada orang tua dan sanak kerabat, dengan mensyari’atkan hukum-hukum pembagian harta pusaka, dan melarang wasiat bagi ahli waris

Naskh juz’i yaitu jika disyari’atkan hukum yang umum yang mencakup setiap individu-individu mukallaf. Kemudian hukum ini dibatalkan dengan melibatkan sebagian individu-individu itu. Atau disyariatkan hukum yang mutlak. Kemudian hukum yang mutlak ini didibatalkan dengan melibatkan seagian keadaa. Jadi nash yang mengahapus itu tidak membatalkan pelaksanaan hukum yang pertama sama sekali, tetapi membatalkan dengan melibatkan sebagian individu atau sebagian keadaan.

Pembagian Naskh

  1. Naskh Qur’an dengan Qur’an. Bagaimana ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakn adanya naskh.

  2. Naskh Qur’an dengan Sunnah. Naskh ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing adalah wahyu, namun Syafi’i, ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini. Seperti halnya dibatalkan ayat ayat tentang waris dengan hadits “ketahuilah tidak boleh berwasiat terhadap ahli waris.

  3. Naskh Sunnah dengan Qur’an. Ini dibolehkan oleh sebagian jumhur, contohnya Firman Allah SWT

                      

Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.


Ayat ini membatalkan hukum yang ditetapkan sunnah yaitu menghadap ke bait al maqdis dalam melaksanakan shalat.

  1. Naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk; naskh mutawatir dengan mutwatir, naskh ahad dengan ahad, naskh ahad dengan mutawatir, naskh mutwatir dengan ahad. Namun untuk yang terakhir terdapat silang pendapat. Contohnya nabi pernah melarang berziarah kubur maka hadits itu dibatalkan pula dengan hadits yang sama. “Aku pernah melarang kamu menziarahi kubur, sekarang ziaralah kubur (HR. Muslim)”

Adapun naskh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menaskh keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.9


    1. Tarjih

Secara bahasa, kata tarjih berarti menguatkan, secara terminologi, ada sejumlah definisi yang dikemukakan oleh para ulama’, diantaranya yang dikemukakan oleh al amidi, tarjih adalah ungkapan mengenai diiringi salah satu dari dua dalil yang pantas menujukkan kepada apa yang dikehendaki disamping disamping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk mengamalkan satu diantaranya dan meninggalkan yang lain, sedangkan kalangan hanafiyyah mendefinisikan bahwa tarjih menjelaskan ada tambahan pada salah satu dari dua dalil yang sederajat, dimana dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri. Kalangan Syafi’iyyah bahwa menguatkan salah satu indikator dalil zanni atas yang lain untuk diamalkan.

Dari ketiga definisi itu dapat disimpulkan beberapa syarat tarjih;

  1. Ada dua dalil yang bertentangan dan tidak mungkin untuk mengamalkan keduanya.

  2. Kedua dalil yang bertentangan itu memiliki kualitas yang sama untuk memberi petnjuk kepada yang dimaksud.

  3. Ada indikator yang mendukung untuk mengamalkan salah satu diantara dua dalil yang betentangan dan meninggalkan dalil yang satu lagi.

Cara melakukan tarjih

  1. al Tarjih Bain al Nushus adalah menguatkan salah satu nash, ayat atau hadits, yang saling bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu dari nash yang bertentangan dapat diamati dari beberapa segi, yaitu segi sanad, matan, hukum yang dikandung nash dan dengan menggunakan dalil lain di luar nash.

  2. al Tarjih Bain al Aqsiyyah, Al Suhaili mengelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu tarjih dari segi hukum asal, hukum furu’, illat dan dari segi faktor luar.10

PENUTUP

    1. Kesimpulan

Ta’arudh merupakan pertentangan antara satu dengan yang lain. Namun tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara dua ayat, atau antara dua hadits shahih, dan atau antara ayat dengan hadits shahih. Apabila tampak ada kontradiksi antara dua nash diantara nash-nash itu maka itu hanyalah kontradiksi lahir saja sesuai dengan yang tampak kepada akal kita. Bukan kontradiksi yang sebenarnya. Karena menurut Syari’ yang Esa dan Maha Bijaksana itu tidak mungkin jika keluar daripada-Nya dalil yang menghendaki hukum dalam suatu peristiwa dan keluar dari Dia juga dalil lain yang menghendaki dalam peristiwa itu, hukum yang bertentangan dengan hukum pertama dalam satu waktu. Berarti ta’arudh terjadi ketika mujtahid menetapkan hukum yang dikandung dalil, tetapi pada saat yang sama ada dalil lain yang menunjukkan pada hukum lain yang bertentangan dengan dalil pertama.

Pertentangan ini tidak terjadi hanya pada dalil-dalil dzanni dalalahnya, tetapi meliputi pula pertentangan antara dalil-dalil yang qath’i. bahkan pertentangan dalil ini terjadi pula antara dalil naqli (yang ditetapkan secara tekstual dalam al- Qur’an atau sunnah dengan dalil ‘aqli (dalil yang berdasarkan aqal, seperti qias). Dalam hal ini para ulama’ menetapkan empat metode dalam penyelesaian ta’arudl ini.

  1. Hanafiyyah mengutamkan metode naskh dari pada tarjih, al jam’u wa al taufiq dan tasyaq al dalilaini.

  2. sedangkan mutakallimin mengutamakan al jam’u wa al taufiq, namun disamping itu juga digunakan metode naskh, tarjih dan tasyaq al dalilaini.

Penetepan hukum dalam islam dengan berijtihad bukanlah pembuatan syariat, tetapi merupakan pengungkapan hukum Allah terhadap suatu kejadian. maka dari uraian yang panjang diatas dapat diketahui kontradiksi antara dalil dan bagaimana cara penyelesaiannya.



Daftar Pustaka


  1. Firdaus, 2004, Ushul Fiqh, Jakarta; Zikrul Hakim

  2. Al Qatam, Manna Khalil, 2007, Mabahits fi Ulumil Qur’an, Bogor; PT Pustaka Linera Antar Nusa,

  3. Khallaf, Abdul Wahab, 1993, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta; Rajawali Pers.

  4. Baidhhowi, Ahmad, 2005, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh, Bandung; Nuansa.

  5. Usman, Muhlish, 1997, Kaidah-Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Jakarta; PT. Rajawali Grafindo.

1 Firdaus M. Ag, Ushul Fiqh, hal. 188

2 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, hal 383

3 Firdaus, Ushul, hal. 190

4 Drs. H. Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, hal 77

5 Abdul, Kaidah, hal 382

6 Ibid, hal.193-201

7 Ibid, hal 367

8 Ahmad Baidhhowi, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh, hal 68-71

9 Manna Khalil Al Qatam, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, , hal 334-335

10 Ibid, 225-231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz