Pendekatan sosiosemantik terhadap al-Qur’an, sangat dimungkinkan dengan memberikan
analisis pemakaian makna kata yang antara satu kondisi sosial bahasa dengan kondisi
sosial bahasa yang lain berbeda, walaupun dalam bahasa dan kata yang sama.
Kemungkinan-kemungkinan ini muncul sebagai bentuk perkembangan bahasa yang
arbitrari.[1] Konsekwensi bahasa ini dapat terjadi dalam setiap bahasa, bahkan al-Qur’an
yang tertulis dengan bahasa yang sebelumnya telah ada. Dengan memiliki otoritas
sosiologi makna, al-Qur’an sangat dimungkinkan mengalami perubahan pemakaian kata
dan makna sebagai akibat perubahan sosial sebelum dan ketika al-Qur’an diturunkan.
Kerangka ini menggambarkan bahwa bahasa al-Qur’an yang secara jelas banyak
menyadur bahasa arab,[2] memberikan peluang untuk terus mengalami perkembangan
makna bahasa yang bersanding dengan lokalitas sosial masyarakat. Karena bisa jadi
bahasa arab yang memiliki realitas sosial sendiri tidak dapat dimaknakan dalam realitas
bahasa dengan realitas sosial lain yang berbeda. Sementara bahasa yang ada dalam al-
Qur’an lebih menggambarkan sosiologi bahasa dan budaya yang multi interaktif. Lebih
tepatnya mengandung nilai-nilai universal dalam ragam sosial dan budaya seluruh umat
manusia.
Sebelumnya, pada periode jahiliyah yang terkenal dengan syi’ir-syi’irnya,[3] sangat
menunjukkan bahwa perkembangan bahasa arab telah berlaku sebagai bahasa yang secara
sosiologis dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Sebagaimana yang telah diketahui, masa
jahiliyah adalah masa dimana egoisme suku, monopoli gender, eksploitasi sosial, otoritas
kelompok, terus terpupuk dalam interaksi sosialnya. Gambaran ini tentu memberikan
peluang terhadap perkembangan bahasa yang juga mengikuti dan berlandaskan tematema
sosial yang berlaku saat itu. Walaupun demikian, bukan berarti indikasi jahiliyah
adalah totalitas degradasi moral sosial secara keseluruhan. Tetapi tentu ada reaksi sosial
yang lain yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai religius yang berlandaskan budaya dan
idiologi yang berlaku pada saat itu.[4] Dari latar belakang ini, pemakaian bahasa juga
dapat dijadikan angka kuantitatif yang dapat membedakan struktur tema bahasa arab
jahiliyah. Tinggal bagaimana mengupayakan klasifikasi kelompok sosial pengguna
bahasa arab saat itu.
Sementara itu, ketika al-Qur’an di turunkan, bahasa al-Qur’an telah merekonstruksi
secara total baik tema maupun struktur yang ada dalam bahasa arab jahiliyah. Kemudian
dengan kekuatan keindahan bahasa yang tak tertandingi, menunjukkan gambaran dan
memberikan kekuatan bahwa al-Qur’an memiliki sosiologi bahasa yang sebagian besar
belum tersentuh oleh tema-tema penggunaan bahasa pada masa jahiliyah. Keadaan ini
menjadi gejala positif terhadap revolusi bahasa arab yang sebelumnya kurang tersentuh
dalam beberapa tema yang memberikan identitas moral budaya dan bahasa serta
penggunaan struktur kebahasaan arab. Walaupun secara pasti tidak dapat dijadikan
ukuran analisis struktur bahasa, karena waktu itu belum ada linguistik arab yang
mengatur secara sistematis terhadap struktur bahasa arab. Namun, secara kualitatif dapat
merespon analisis pemakaian bahasa secara tematik yang selalu digunakan oleh suatu
kelompok masyarakat arab jahiliyyah. Hingga kemudian berlaku beberapa klasifikasi
kata yang bisa saja merubah makna yang di sebabkan pengaruh universalitas sosial
bahasa yang tidak hanya ada di zaman jahiliyah. Maka, muncul bahasa persi, ibrani,
suryani, ordo, yang secara kata dan makna juga ikut menghiasi bahasa al-Qur’an dan
perkembangan bahasa Arab.[5]
Kajian Sosiosemantik.
Dari istilah yang digunakan, disiplin ilmu ini bisa disebut sebagai perpaduan antara
sosiologi dan semantik. Semantik sebagai ilmu yang mengkaji tentang makna dan
sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari setiap gejala interaksi sosial, struktur sosial dan
proses-proses sosial.[6] Batasan dalam kajian ini adalah masyarakat dan makna suatu
bahasa. Sebagai perbandingan, kajian yang telah banyak dijadikan pijakan pemahaman
kebahasaan secara sosiologis adalah sosiolinguistik. Kajian ini mempunyai latar belakang
teori yang menganalisis beberapa aspek perubahan bahasa yang dikarenakan ada interkasi
sosial masyarakat. Sebaliknya lebih spesifik sosiosemantik melakukan analisis makna
suatu bahasa dari dua atau lebih kata yang sama atau beberapa kata yang berbeda dari
makna yang sama. Proses kajian ini dilihat dari aspek-aspek sosiologis sebagai ilmu
sosial kemasyarakatan, termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial. Jadi, secara
tidak langsung, sosiosemantik mengikuti setiap reaksi perubahan sosial – dalam analisis
sosiologis – yang membawa dampak terhadap berubahnya pemakaian bahasa dan makna.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang mengalami perubahan makna yang
dikarenakan ada peralihan sosial dari masa jahiliyah kepada masa pembentukan ajaran
Islam. Perubahan kata ini memiliki landasan visi yang cenderung menawarkan konsep
baru dari konsep makna yang sebelumnya telah dipakai. Sebagaimana konsep makna kata
“Allah, Islam, Iman, dan Kafir”. Kata “Allah” misalanya, dalam makna jahiliyah adalah
Tuhan bagi Ka’bah,[7] dan sebagaian pendapat yang lain mengatakan, kata “Allah” justru
menjadi kata dasar Tuhan secara umum yang berasal dari kata “ilahun”.[8] Penawaran
konsep baru terhadap kata “Allah” ini tentunya sebagai langkah sosiologi al-Qur’an yang
secara bahasa tidak menjauhkan dari sosiologi bahasa sebelumnya. Hanya saja al-Qur’an
secara periodik memberikan pemahaman baru dengan meligitimasikan seluruh makna
yang mendampingi dengan gambaran rasionalitas sosial yang terus berkembang. sehingga
pemahaman makna bisa dirasakan lebih menyatu dengan keberlangsungan sosial
kehidupan masyarakat. Sedangkan pada kata yang lain seperti “kafir”, kata ini
sebelumnya bermakna “menutupi”[9] dan tidak menjastifikasikan makna idiologis yang
berlainan agama. Pemakaian kata ini kemudian dilegitimasikan al-Qur’an sebagai
kelompok atau perorangan yang inkar dan berada di luar keyakinan Islam.[10] Pemakaian
makna ini terus berlangsung dalam pembentukan idiologi Islam hingga sampai pada kata
yang berlawanan dengan kata Islam (mukmin dan Kafir). Dan perkembangan selanjutnya
menjadi kata yang lebih luas dengan
orang-orang yang berada diluar suatu agama. Jadi orang Islam bisa menjadi kafir bagi
orang Nasrani, Hindu, Yahudi.
Pembentukan Makna “Jihad”
Berangkat dari perdebatan tematik idiologis yang terus berhembus dalam pemahaman
kata “jihad” dengan melakukan pembenaran yang tidak konsisten, maka perlu kiranya
menelaah landasan pembentukan kata tersebut baik secara idiologis maupun sosiologis.
Hal ini sangat dimungkinkan karena “jihad” yang selama ini diperdebatkan, selalunya
merujuk pada definisi al-Qur’an yang secara sosiologis terbentuk dalam kurun waktu
yang perioditatif. Kesemua konsep pembentukan al-Qur’an yang mengikuti kondisi sosial
masyarakat tersebut, terperiodisasikan – makiyyah dan madaniyyah dalam bentuk tema
yang sangat plural dengan mengintisarikan beberapa kejadian yang berlaku sejak Nabi
Muhammad diangkat menjadi Rasul untuk menyebarkan agama Islam.
Kata “jihad” memiliki legitimasi makna dalam ragam dimensi yang tidak sedikit.[11]
Biasanya kata yang demikian mempunyai ketergantungan dengan kata lain untuk dapat
membentuk makna kata yang fariatif. Bahkan secara sosiologis dapat menjadi kata yang
tidak sama pada suatu keadaan sosial yang berbeda, walaupun dalam kata dan sambungan
kata yang sama. Pemahaman ini bisa lebih melihat kata “jihad” sebagai kata yang sangat
berpengaruh dengan segala konsekwensi semantik dan sosiologis.
Pada masa jahiliyah, Kata “jihad” telah ada sebagai bentuk kata yang memiliki konteks
sosial sendiri. Sebagaimana para ahli syi’ir jahily menggunakan kata “jihad” sebagai kata
yang memiliki makna “at-Thoqoh atau al-Wus’u” (kekuatan atau kemampuan)[12].
sedangkan dalam beberapa sighot al-amri (kalimat perintah) dalam masa jahiliyah “jihad”
bisa bermakna “al-istifragh” (mencurahkan segala kemampuan)[13]. Kata “jihad” ini
sering digunakan dalam beberapa sya’ir yang bertema al-madhu (pujian), al-fakhru wa alhammasah
(kebaggaan dan keberanian) atau al-haja (sindiran atau ejekan). Secara
sosiologis, kata “jihad” pada masa jahiliyah bisa terjadi dalam reaksi makna bahasa yang
saling melakukan harmonisme pujian dan kebanggaan antara sesama kelompok, bahkan
juga bisa terjadi dalam egoisme yang saling mengejek dan menyindir antara suku dan
kelompok. Beberapa karateristik kata “jihad” ini bisa dilihat dalam syi’irnya dua orang
tokoh sya’ir jahily Maimun bin Qoisy dan al-Ahihah bin al-Jalah.[14] Kalau dilihat lebih
spesifik, kata “jihad” pada masa jahiliyah tidak terdapat kandungan idiologis yang
hegemonik untuk melakukan reaksi fisik terhadap kelompok atau idiologi lain. Justru
lebih banyak terdapat karakter yang membedakan secara sosial dan kelas sebagai bentuk
dan akibat dari reaksi keberlangsungan kehidupan sosial.
Masih pada masa jahiliyah. Dalam beberapa kata yang mendampingi kata “jihad” lebih
mempunyai relasi makna yang berhubungan dengan muamalah kemanusiaan, al-jihad fi
al-‘amal (berkemampuan untuk bekerja), al-jihad fi al-mal (berkemampuan harta benda),
al-jihad fi al-fikr (berkemampuan berfikir). Dari fenomena ini dapat memberikan
gambaran bahwa kata “jihad” dalam pemakaian
struktur bahasa arab jahiliyah lebih memiliki sosiosemantik yang humansitik.
Kecenderungan ini bisa dibenarkan ketika “jihad” diambil dari kata dasar “jahada” yang
kemudian menjadi kata “jihad”. Karena persoalannya akan lain kalau melibatkan
pembentukan kata yang masih berkait dengan “jahada” semisal “istajhada dan ijtihad”.
Selanjutnya, pada perkembangan pembentukan kata “jihad” setelah kedatangan al-
Qur’an, mengalami pelbagai proses perubahan makna yang dalam satu ayat kepada ayat
yang lain terus melengkapi. Di dalam al-Qur’an terdapat 41 kata “jihad” yang berasal dari
kata dasar “jahada” [15]. Kata ini terdiri dari 4 kata “jihad” (berjuang),[16] 15 kata
perintah “jaahaduu” (berjuanglah kamu sekalian),[17] 6 kata “jahda” (bersungguhsungguh),[
18] 4 kata “tujahidu atau yujahidu” (berjuang),[19] dan sebagian lainnya
digunakan dalam makna kata yang tidak bersentuhan dengan kata “jihad”
Pemaknaan kata “jihad” ini semakin berkembang pada beberapa kata yang menyertai dan
bersambung dalam suatu rangkaian makna. Dan kesan yang terjadi dalam semantik
adalah kata-kata yang mempunyai kecenderungan makna idlofi (relasional meaning).[20]
Rangkaian makna ini bisa terjadi dengan melakukan pemakaian kata yang sesuai secara
sifat dan logika makna. Didalam al-Qur’an kata “jihad” mempunyai fariasi makna yang
tergantung terhadap kata apa yang akan mendampingi. Dari 41 Kata “jihad” yang ada
dalam al-Qur’an, sebagian besar memberikan makna “berjuang”, makna ‘berjuang’ ini
akan selalu bersama dengan “fi sabilillah” (di jalan Allah). Sambungan kata ini di dalam
al-Qur’an terdiri dari 15 kata “fi sabilillah” yang terletak sebelum maupun sesudahnya,
dan selanjutnya akan diteruskan dengan kata “bi amwali” (dengan harta) dan “anfus”
(raga) yang terdiri dari 10 kata sambungan dengan jihad”. Sebagaian besar kata “jihad”
yang lain – diambil dari kata dasar “jahada” – tidak berarti “berjuang” jika tidak
didampingi denga “fi sabilillah”. Sebagaimana kata “jahda” (bersungguh-sungguh) yang
selalu bersambung sebelum dan sesudahnya dengan kata “aqsam” dan “aimaan”
(sumpah). Sedangkan “jihad” pada kalimat perintah lebih banyak menggunakan kata
“Jaahaduu” (berjuanglah kalian semua) yang sebagian besar bersambung dengan “fi
sabilillah” (di jalan Allah) dan “bi amwalikum wa anfusikum” (dengan harta benda dan
raga kamu). Sementara kata asli “jihad” yang diambil dari kata dasar “jaahada” yang
bermakna “li al-musyarakah” (saling melakukan suatu pekerjaan) hanya ada 4 kata dalam
al-Qur’an dan ada satu kata yang tidak bersambung dengan “fi sabilillah”, tetapi
kesemuanya – kata asli “jihad” – tidak langsung bersambung dengan “amwal” atau
“anfus”.
Srtuktur kata yang ada dalam rangkaian kata “jihad” di dalam al-Qur’an menunjukkan
bahwa secara idiologis kata “jihad” akan bermakna berjuang bila bersambung dengan
“sabilillah” (jalan Allah). Namun demikian ada keterangan makna yang tidak dapat
dipisahkan yaitu “amwal” dan “anfus” (harta benda dan raga), tentunya struktur kata ini
meligitimasikan kepentingan sosiologis bagi umat Islam untuk saling memberikan
kesejahteraan, kemakmuran, dan ketentraman. Beberapa kata “jihad” yang bermakna
berjuang atau berperang, adalah murni dari kepentingan sosiologis zaman Nabi untuk
saling memberikan ketentraman dan kesejahteraan dari gangguan secara fisik oleh
kelompok lain (kafir Quraisy waktu itu). Sedangkan pada fenomena lain, Nabi tidak
memerangi orang-orang kafir yang dapat hidup
bersama dan tidak mengganggu, walaupun mereka melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan moral ajaran Islam. Sehingga sangat menjadi keraguan secara Qur’ani
apabila pemaknaannya menimbulkan kerusakan, kekhawatiran, kegelisahan bagi umat
manusia, apalagi bagi umat Islam sendiri yang sama-sama mengakui Allah adalah Tuhan
satu-satunya yang patut disembah.
Kalaupun diartikan secara harfiyah, tentu akan memiliki dampak revolusi pembentukan
ekonomi umat Islam yang visioner. Karena dalam sejarah umat Islam, harta selalu
menjadi perebutan yang mengakibatkan kehancuran umat Islam. Karena esensi makna
“jihad” adalah “amwal” dan “anfus”, yang secara harfiyah bermakna harta benda dan
raga. Ingat perang uhud, kekuasaan khalifah Usman, perebutan kekuasaan Umayyah
dan Abbasaiyah, dan tentu banyak lagi kehancuran pergolakan ekonomi di belahan dunia
umat Islam. Sedangkan pemaknaan “jihad” dengan mengusung peranan politik dengan
simbol Islam, justru tidak menjadi kombinasi kata yang saling melengkapi secara makna.
karena dalam sejarah pembentukan kata “jihad” mempunyai perbedaan relasi makna
dengan “siyasah” (politik), dan keduanya tidak ditemukan dalam beberapa persesuaian
kata. Konteks Ini melihat dari “jihad” dan “siyasah” yang tidak terdapat dalam kesamaan
penggunaan kata dalam al-Qur’an untuk kepentingan agama.
Pemakaian makna kata “jihad” secara berjuang dengan organ fisik yang menghancurkan
(perang) juga tidak introspectionism.[21] Karena ada mental idiologi yang menyebutkan,
bahwa Islam mengutamakan kaidah kemaslahatan bagi seluruh alam (rahmatan lil
alamin) atau Islam yang secara tegas mengatakan “tidak ada paksaan dalam agama”.
Atau dalam penegasan yang lain “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Konsep makna
teks yang ada dalam al-Qur’an ini mestinya tetap menjadi keutuhan analisis terhadap
pemaknaan dari teks yang lain yang secara sosiologis tidak saling bertentangan. Sehingga
ada pengaharapan untuk menjadikan teks al-Qur’an lebih bisa difahami dalam
rasionalitas kehidupan sosial yang lebih plural. Dan akhirnya bisa ditunjukkan bahwa al-
Qur’an lebih tinggi isi kandungan dan nilainya dengan kitab-kitab suci yang lain.
Sementara itu, “sabilillah” justru menjadi kata kunci terhadap pemaknaan kata “jihad”
(jihad fi sabilillah). Kata kunci yang dimaksud disini adalah memahami kata yang telah
menjadi kesatuan makna dalam pelbagai kondisi yang berbeda. Penggunaan kata kunci
ini terus terpakai baik dalam teks al-Qur’an maupun beberapa teks lain yang mempunyai
legitimasi makna yang sama sebagaimana dalam al-Qur’an. Sehingga pada proses ini,
persambungan kata “jihad” dan “sabilillah” menjadi kata sambung yang mereaksikan
beberapa keadaan yang sarat dengan latar belakang teks. Dan bisa dimungkinkan menjadi
perdebatan realitas sosial dari penggunaan kata “jihad”.
Bersandar dari pemahaman yang luwes ini, “sabililllah” sebagai kata yang memiliki
kekuatan moral idiologis, tentunya menjadi pilihan kata yang sangat selektif untuk dapat
disandingkan dengan kata “jihad”. Selektifitas ini nampak dari sedikit persambungan kata
lain – selain “jihad” dan “sabilillah” – yang bersesuaian dalam beberapa ayat al-Qur’an.
Dan ini menunjukkan adanya keterkaitan makna yang sangat general untuk dapat
memberikan pemahaman dari sekian relasi makna nilai-nilai Islam. Karena dalam
kemungkinan tertentu “sabilillah” dalam relasi
maknanya dapat diartikan dengan “al-adalah, al-musawah, at-tahririyyah, al-muhasabah,
al-muhasanah, al-murohamah bahkan ad-demoqrathiyyah (demokrasi)”. Sehingga
kemungkinan yang sangat ideal dalam memahami “sabilillah” adalah memahami
interpretasi lain yang tidak jauh dari teks al-Qur’an itu sendiri.
Sebenarnya, reaksi yang sering menjadi kontroversi dari sekian ragam permahaman
“jihad”, adalah berangkat dari realitas yang dipaksakan dengan teks. Situasi ini
memungkinkan adanya pra anggapan yang telah menjadi kesimpulan sebelum analisis
dilakukan. Kemunculannya justru tidak melakukan klarifikasi dengan segala dimensi
teks, sehingga teks tersebut keluar dari kaidah-kaidah yang seharusnya di gunakan. Dan
yang sangat di sesalkan adalah menjustifikasi kebenaran normatif menjadi kebenaran
Tuhan.
Akhiran
Penggalian ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa sikap yang tidak konsisten terhadap totalitas
ayat al-Qur’an ini, sering terjadi dalam beberapa polemik yang berangkat dari pra
anggapan yang telah terbentuk sebelumnya. Pra anggapan yang paling sangat
dimungkinkan adalah pergulatan politik yang dirasionalkan dengan al-Qur’an. Akhirnya
yang terjadi adalah pemaksaan pemaknaan al-Qur’an yang sebenarnya tidak Qur’ani.
Apakah tidak kasihan kepada al-Qur’an ?
Ala kulli hal, al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia. Proses untuk menjadi
petunjuk tersebut tidak membatasi perbedaan golongan, kelas sosial, budaya, politik,
bahkan perbedaan agama. Karena al-Qur’an sudah menjadi milik umat manusia (hudan
linnas) bukan hanya “hudan lil Islam”.
analisis pemakaian makna kata yang antara satu kondisi sosial bahasa dengan kondisi
sosial bahasa yang lain berbeda, walaupun dalam bahasa dan kata yang sama.
Kemungkinan-kemungkinan ini muncul sebagai bentuk perkembangan bahasa yang
arbitrari.[1] Konsekwensi bahasa ini dapat terjadi dalam setiap bahasa, bahkan al-Qur’an
yang tertulis dengan bahasa yang sebelumnya telah ada. Dengan memiliki otoritas
sosiologi makna, al-Qur’an sangat dimungkinkan mengalami perubahan pemakaian kata
dan makna sebagai akibat perubahan sosial sebelum dan ketika al-Qur’an diturunkan.
Kerangka ini menggambarkan bahwa bahasa al-Qur’an yang secara jelas banyak
menyadur bahasa arab,[2] memberikan peluang untuk terus mengalami perkembangan
makna bahasa yang bersanding dengan lokalitas sosial masyarakat. Karena bisa jadi
bahasa arab yang memiliki realitas sosial sendiri tidak dapat dimaknakan dalam realitas
bahasa dengan realitas sosial lain yang berbeda. Sementara bahasa yang ada dalam al-
Qur’an lebih menggambarkan sosiologi bahasa dan budaya yang multi interaktif. Lebih
tepatnya mengandung nilai-nilai universal dalam ragam sosial dan budaya seluruh umat
manusia.
Sebelumnya, pada periode jahiliyah yang terkenal dengan syi’ir-syi’irnya,[3] sangat
menunjukkan bahwa perkembangan bahasa arab telah berlaku sebagai bahasa yang secara
sosiologis dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Sebagaimana yang telah diketahui, masa
jahiliyah adalah masa dimana egoisme suku, monopoli gender, eksploitasi sosial, otoritas
kelompok, terus terpupuk dalam interaksi sosialnya. Gambaran ini tentu memberikan
peluang terhadap perkembangan bahasa yang juga mengikuti dan berlandaskan tematema
sosial yang berlaku saat itu. Walaupun demikian, bukan berarti indikasi jahiliyah
adalah totalitas degradasi moral sosial secara keseluruhan. Tetapi tentu ada reaksi sosial
yang lain yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai religius yang berlandaskan budaya dan
idiologi yang berlaku pada saat itu.[4] Dari latar belakang ini, pemakaian bahasa juga
dapat dijadikan angka kuantitatif yang dapat membedakan struktur tema bahasa arab
jahiliyah. Tinggal bagaimana mengupayakan klasifikasi kelompok sosial pengguna
bahasa arab saat itu.
Sementara itu, ketika al-Qur’an di turunkan, bahasa al-Qur’an telah merekonstruksi
secara total baik tema maupun struktur yang ada dalam bahasa arab jahiliyah. Kemudian
dengan kekuatan keindahan bahasa yang tak tertandingi, menunjukkan gambaran dan
memberikan kekuatan bahwa al-Qur’an memiliki sosiologi bahasa yang sebagian besar
belum tersentuh oleh tema-tema penggunaan bahasa pada masa jahiliyah. Keadaan ini
menjadi gejala positif terhadap revolusi bahasa arab yang sebelumnya kurang tersentuh
dalam beberapa tema yang memberikan identitas moral budaya dan bahasa serta
penggunaan struktur kebahasaan arab. Walaupun secara pasti tidak dapat dijadikan
ukuran analisis struktur bahasa, karena waktu itu belum ada linguistik arab yang
mengatur secara sistematis terhadap struktur bahasa arab. Namun, secara kualitatif dapat
merespon analisis pemakaian bahasa secara tematik yang selalu digunakan oleh suatu
kelompok masyarakat arab jahiliyyah. Hingga kemudian berlaku beberapa klasifikasi
kata yang bisa saja merubah makna yang di sebabkan pengaruh universalitas sosial
bahasa yang tidak hanya ada di zaman jahiliyah. Maka, muncul bahasa persi, ibrani,
suryani, ordo, yang secara kata dan makna juga ikut menghiasi bahasa al-Qur’an dan
perkembangan bahasa Arab.[5]
Kajian Sosiosemantik.
Dari istilah yang digunakan, disiplin ilmu ini bisa disebut sebagai perpaduan antara
sosiologi dan semantik. Semantik sebagai ilmu yang mengkaji tentang makna dan
sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari setiap gejala interaksi sosial, struktur sosial dan
proses-proses sosial.[6] Batasan dalam kajian ini adalah masyarakat dan makna suatu
bahasa. Sebagai perbandingan, kajian yang telah banyak dijadikan pijakan pemahaman
kebahasaan secara sosiologis adalah sosiolinguistik. Kajian ini mempunyai latar belakang
teori yang menganalisis beberapa aspek perubahan bahasa yang dikarenakan ada interkasi
sosial masyarakat. Sebaliknya lebih spesifik sosiosemantik melakukan analisis makna
suatu bahasa dari dua atau lebih kata yang sama atau beberapa kata yang berbeda dari
makna yang sama. Proses kajian ini dilihat dari aspek-aspek sosiologis sebagai ilmu
sosial kemasyarakatan, termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial. Jadi, secara
tidak langsung, sosiosemantik mengikuti setiap reaksi perubahan sosial – dalam analisis
sosiologis – yang membawa dampak terhadap berubahnya pemakaian bahasa dan makna.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang mengalami perubahan makna yang
dikarenakan ada peralihan sosial dari masa jahiliyah kepada masa pembentukan ajaran
Islam. Perubahan kata ini memiliki landasan visi yang cenderung menawarkan konsep
baru dari konsep makna yang sebelumnya telah dipakai. Sebagaimana konsep makna kata
“Allah, Islam, Iman, dan Kafir”. Kata “Allah” misalanya, dalam makna jahiliyah adalah
Tuhan bagi Ka’bah,[7] dan sebagaian pendapat yang lain mengatakan, kata “Allah” justru
menjadi kata dasar Tuhan secara umum yang berasal dari kata “ilahun”.[8] Penawaran
konsep baru terhadap kata “Allah” ini tentunya sebagai langkah sosiologi al-Qur’an yang
secara bahasa tidak menjauhkan dari sosiologi bahasa sebelumnya. Hanya saja al-Qur’an
secara periodik memberikan pemahaman baru dengan meligitimasikan seluruh makna
yang mendampingi dengan gambaran rasionalitas sosial yang terus berkembang. sehingga
pemahaman makna bisa dirasakan lebih menyatu dengan keberlangsungan sosial
kehidupan masyarakat. Sedangkan pada kata yang lain seperti “kafir”, kata ini
sebelumnya bermakna “menutupi”[9] dan tidak menjastifikasikan makna idiologis yang
berlainan agama. Pemakaian kata ini kemudian dilegitimasikan al-Qur’an sebagai
kelompok atau perorangan yang inkar dan berada di luar keyakinan Islam.[10] Pemakaian
makna ini terus berlangsung dalam pembentukan idiologi Islam hingga sampai pada kata
yang berlawanan dengan kata Islam (mukmin dan Kafir). Dan perkembangan selanjutnya
menjadi kata yang lebih luas dengan
orang-orang yang berada diluar suatu agama. Jadi orang Islam bisa menjadi kafir bagi
orang Nasrani, Hindu, Yahudi.
Pembentukan Makna “Jihad”
Berangkat dari perdebatan tematik idiologis yang terus berhembus dalam pemahaman
kata “jihad” dengan melakukan pembenaran yang tidak konsisten, maka perlu kiranya
menelaah landasan pembentukan kata tersebut baik secara idiologis maupun sosiologis.
Hal ini sangat dimungkinkan karena “jihad” yang selama ini diperdebatkan, selalunya
merujuk pada definisi al-Qur’an yang secara sosiologis terbentuk dalam kurun waktu
yang perioditatif. Kesemua konsep pembentukan al-Qur’an yang mengikuti kondisi sosial
masyarakat tersebut, terperiodisasikan – makiyyah dan madaniyyah dalam bentuk tema
yang sangat plural dengan mengintisarikan beberapa kejadian yang berlaku sejak Nabi
Muhammad diangkat menjadi Rasul untuk menyebarkan agama Islam.
Kata “jihad” memiliki legitimasi makna dalam ragam dimensi yang tidak sedikit.[11]
Biasanya kata yang demikian mempunyai ketergantungan dengan kata lain untuk dapat
membentuk makna kata yang fariatif. Bahkan secara sosiologis dapat menjadi kata yang
tidak sama pada suatu keadaan sosial yang berbeda, walaupun dalam kata dan sambungan
kata yang sama. Pemahaman ini bisa lebih melihat kata “jihad” sebagai kata yang sangat
berpengaruh dengan segala konsekwensi semantik dan sosiologis.
Pada masa jahiliyah, Kata “jihad” telah ada sebagai bentuk kata yang memiliki konteks
sosial sendiri. Sebagaimana para ahli syi’ir jahily menggunakan kata “jihad” sebagai kata
yang memiliki makna “at-Thoqoh atau al-Wus’u” (kekuatan atau kemampuan)[12].
sedangkan dalam beberapa sighot al-amri (kalimat perintah) dalam masa jahiliyah “jihad”
bisa bermakna “al-istifragh” (mencurahkan segala kemampuan)[13]. Kata “jihad” ini
sering digunakan dalam beberapa sya’ir yang bertema al-madhu (pujian), al-fakhru wa alhammasah
(kebaggaan dan keberanian) atau al-haja (sindiran atau ejekan). Secara
sosiologis, kata “jihad” pada masa jahiliyah bisa terjadi dalam reaksi makna bahasa yang
saling melakukan harmonisme pujian dan kebanggaan antara sesama kelompok, bahkan
juga bisa terjadi dalam egoisme yang saling mengejek dan menyindir antara suku dan
kelompok. Beberapa karateristik kata “jihad” ini bisa dilihat dalam syi’irnya dua orang
tokoh sya’ir jahily Maimun bin Qoisy dan al-Ahihah bin al-Jalah.[14] Kalau dilihat lebih
spesifik, kata “jihad” pada masa jahiliyah tidak terdapat kandungan idiologis yang
hegemonik untuk melakukan reaksi fisik terhadap kelompok atau idiologi lain. Justru
lebih banyak terdapat karakter yang membedakan secara sosial dan kelas sebagai bentuk
dan akibat dari reaksi keberlangsungan kehidupan sosial.
Masih pada masa jahiliyah. Dalam beberapa kata yang mendampingi kata “jihad” lebih
mempunyai relasi makna yang berhubungan dengan muamalah kemanusiaan, al-jihad fi
al-‘amal (berkemampuan untuk bekerja), al-jihad fi al-mal (berkemampuan harta benda),
al-jihad fi al-fikr (berkemampuan berfikir). Dari fenomena ini dapat memberikan
gambaran bahwa kata “jihad” dalam pemakaian
struktur bahasa arab jahiliyah lebih memiliki sosiosemantik yang humansitik.
Kecenderungan ini bisa dibenarkan ketika “jihad” diambil dari kata dasar “jahada” yang
kemudian menjadi kata “jihad”. Karena persoalannya akan lain kalau melibatkan
pembentukan kata yang masih berkait dengan “jahada” semisal “istajhada dan ijtihad”.
Selanjutnya, pada perkembangan pembentukan kata “jihad” setelah kedatangan al-
Qur’an, mengalami pelbagai proses perubahan makna yang dalam satu ayat kepada ayat
yang lain terus melengkapi. Di dalam al-Qur’an terdapat 41 kata “jihad” yang berasal dari
kata dasar “jahada” [15]. Kata ini terdiri dari 4 kata “jihad” (berjuang),[16] 15 kata
perintah “jaahaduu” (berjuanglah kamu sekalian),[17] 6 kata “jahda” (bersungguhsungguh),[
18] 4 kata “tujahidu atau yujahidu” (berjuang),[19] dan sebagian lainnya
digunakan dalam makna kata yang tidak bersentuhan dengan kata “jihad”
Pemaknaan kata “jihad” ini semakin berkembang pada beberapa kata yang menyertai dan
bersambung dalam suatu rangkaian makna. Dan kesan yang terjadi dalam semantik
adalah kata-kata yang mempunyai kecenderungan makna idlofi (relasional meaning).[20]
Rangkaian makna ini bisa terjadi dengan melakukan pemakaian kata yang sesuai secara
sifat dan logika makna. Didalam al-Qur’an kata “jihad” mempunyai fariasi makna yang
tergantung terhadap kata apa yang akan mendampingi. Dari 41 Kata “jihad” yang ada
dalam al-Qur’an, sebagian besar memberikan makna “berjuang”, makna ‘berjuang’ ini
akan selalu bersama dengan “fi sabilillah” (di jalan Allah). Sambungan kata ini di dalam
al-Qur’an terdiri dari 15 kata “fi sabilillah” yang terletak sebelum maupun sesudahnya,
dan selanjutnya akan diteruskan dengan kata “bi amwali” (dengan harta) dan “anfus”
(raga) yang terdiri dari 10 kata sambungan dengan jihad”. Sebagaian besar kata “jihad”
yang lain – diambil dari kata dasar “jahada” – tidak berarti “berjuang” jika tidak
didampingi denga “fi sabilillah”. Sebagaimana kata “jahda” (bersungguh-sungguh) yang
selalu bersambung sebelum dan sesudahnya dengan kata “aqsam” dan “aimaan”
(sumpah). Sedangkan “jihad” pada kalimat perintah lebih banyak menggunakan kata
“Jaahaduu” (berjuanglah kalian semua) yang sebagian besar bersambung dengan “fi
sabilillah” (di jalan Allah) dan “bi amwalikum wa anfusikum” (dengan harta benda dan
raga kamu). Sementara kata asli “jihad” yang diambil dari kata dasar “jaahada” yang
bermakna “li al-musyarakah” (saling melakukan suatu pekerjaan) hanya ada 4 kata dalam
al-Qur’an dan ada satu kata yang tidak bersambung dengan “fi sabilillah”, tetapi
kesemuanya – kata asli “jihad” – tidak langsung bersambung dengan “amwal” atau
“anfus”.
Srtuktur kata yang ada dalam rangkaian kata “jihad” di dalam al-Qur’an menunjukkan
bahwa secara idiologis kata “jihad” akan bermakna berjuang bila bersambung dengan
“sabilillah” (jalan Allah). Namun demikian ada keterangan makna yang tidak dapat
dipisahkan yaitu “amwal” dan “anfus” (harta benda dan raga), tentunya struktur kata ini
meligitimasikan kepentingan sosiologis bagi umat Islam untuk saling memberikan
kesejahteraan, kemakmuran, dan ketentraman. Beberapa kata “jihad” yang bermakna
berjuang atau berperang, adalah murni dari kepentingan sosiologis zaman Nabi untuk
saling memberikan ketentraman dan kesejahteraan dari gangguan secara fisik oleh
kelompok lain (kafir Quraisy waktu itu). Sedangkan pada fenomena lain, Nabi tidak
memerangi orang-orang kafir yang dapat hidup
bersama dan tidak mengganggu, walaupun mereka melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan moral ajaran Islam. Sehingga sangat menjadi keraguan secara Qur’ani
apabila pemaknaannya menimbulkan kerusakan, kekhawatiran, kegelisahan bagi umat
manusia, apalagi bagi umat Islam sendiri yang sama-sama mengakui Allah adalah Tuhan
satu-satunya yang patut disembah.
Kalaupun diartikan secara harfiyah, tentu akan memiliki dampak revolusi pembentukan
ekonomi umat Islam yang visioner. Karena dalam sejarah umat Islam, harta selalu
menjadi perebutan yang mengakibatkan kehancuran umat Islam. Karena esensi makna
“jihad” adalah “amwal” dan “anfus”, yang secara harfiyah bermakna harta benda dan
raga. Ingat perang uhud, kekuasaan khalifah Usman, perebutan kekuasaan Umayyah
dan Abbasaiyah, dan tentu banyak lagi kehancuran pergolakan ekonomi di belahan dunia
umat Islam. Sedangkan pemaknaan “jihad” dengan mengusung peranan politik dengan
simbol Islam, justru tidak menjadi kombinasi kata yang saling melengkapi secara makna.
karena dalam sejarah pembentukan kata “jihad” mempunyai perbedaan relasi makna
dengan “siyasah” (politik), dan keduanya tidak ditemukan dalam beberapa persesuaian
kata. Konteks Ini melihat dari “jihad” dan “siyasah” yang tidak terdapat dalam kesamaan
penggunaan kata dalam al-Qur’an untuk kepentingan agama.
Pemakaian makna kata “jihad” secara berjuang dengan organ fisik yang menghancurkan
(perang) juga tidak introspectionism.[21] Karena ada mental idiologi yang menyebutkan,
bahwa Islam mengutamakan kaidah kemaslahatan bagi seluruh alam (rahmatan lil
alamin) atau Islam yang secara tegas mengatakan “tidak ada paksaan dalam agama”.
Atau dalam penegasan yang lain “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Konsep makna
teks yang ada dalam al-Qur’an ini mestinya tetap menjadi keutuhan analisis terhadap
pemaknaan dari teks yang lain yang secara sosiologis tidak saling bertentangan. Sehingga
ada pengaharapan untuk menjadikan teks al-Qur’an lebih bisa difahami dalam
rasionalitas kehidupan sosial yang lebih plural. Dan akhirnya bisa ditunjukkan bahwa al-
Qur’an lebih tinggi isi kandungan dan nilainya dengan kitab-kitab suci yang lain.
Sementara itu, “sabilillah” justru menjadi kata kunci terhadap pemaknaan kata “jihad”
(jihad fi sabilillah). Kata kunci yang dimaksud disini adalah memahami kata yang telah
menjadi kesatuan makna dalam pelbagai kondisi yang berbeda. Penggunaan kata kunci
ini terus terpakai baik dalam teks al-Qur’an maupun beberapa teks lain yang mempunyai
legitimasi makna yang sama sebagaimana dalam al-Qur’an. Sehingga pada proses ini,
persambungan kata “jihad” dan “sabilillah” menjadi kata sambung yang mereaksikan
beberapa keadaan yang sarat dengan latar belakang teks. Dan bisa dimungkinkan menjadi
perdebatan realitas sosial dari penggunaan kata “jihad”.
Bersandar dari pemahaman yang luwes ini, “sabililllah” sebagai kata yang memiliki
kekuatan moral idiologis, tentunya menjadi pilihan kata yang sangat selektif untuk dapat
disandingkan dengan kata “jihad”. Selektifitas ini nampak dari sedikit persambungan kata
lain – selain “jihad” dan “sabilillah” – yang bersesuaian dalam beberapa ayat al-Qur’an.
Dan ini menunjukkan adanya keterkaitan makna yang sangat general untuk dapat
memberikan pemahaman dari sekian relasi makna nilai-nilai Islam. Karena dalam
kemungkinan tertentu “sabilillah” dalam relasi
maknanya dapat diartikan dengan “al-adalah, al-musawah, at-tahririyyah, al-muhasabah,
al-muhasanah, al-murohamah bahkan ad-demoqrathiyyah (demokrasi)”. Sehingga
kemungkinan yang sangat ideal dalam memahami “sabilillah” adalah memahami
interpretasi lain yang tidak jauh dari teks al-Qur’an itu sendiri.
Sebenarnya, reaksi yang sering menjadi kontroversi dari sekian ragam permahaman
“jihad”, adalah berangkat dari realitas yang dipaksakan dengan teks. Situasi ini
memungkinkan adanya pra anggapan yang telah menjadi kesimpulan sebelum analisis
dilakukan. Kemunculannya justru tidak melakukan klarifikasi dengan segala dimensi
teks, sehingga teks tersebut keluar dari kaidah-kaidah yang seharusnya di gunakan. Dan
yang sangat di sesalkan adalah menjustifikasi kebenaran normatif menjadi kebenaran
Tuhan.
Akhiran
Penggalian ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa sikap yang tidak konsisten terhadap totalitas
ayat al-Qur’an ini, sering terjadi dalam beberapa polemik yang berangkat dari pra
anggapan yang telah terbentuk sebelumnya. Pra anggapan yang paling sangat
dimungkinkan adalah pergulatan politik yang dirasionalkan dengan al-Qur’an. Akhirnya
yang terjadi adalah pemaksaan pemaknaan al-Qur’an yang sebenarnya tidak Qur’ani.
Apakah tidak kasihan kepada al-Qur’an ?
Ala kulli hal, al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia. Proses untuk menjadi
petunjuk tersebut tidak membatasi perbedaan golongan, kelas sosial, budaya, politik,
bahkan perbedaan agama. Karena al-Qur’an sudah menjadi milik umat manusia (hudan
linnas) bukan hanya “hudan lil Islam”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please isi yupz