Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi Al-Sunnah-- sebagai
"Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi
maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada
"ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila
mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga
hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama
ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda
dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari
wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya
yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama
adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul.
Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan
dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja
penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun
dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran,
bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --
dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT,
sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil
oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali,
dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata
athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan
sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan
Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran
dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat
ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang,
demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis
dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi
redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat
Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun
langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi
generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami
perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak
sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut
adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi
qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang
per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi
yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa
walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada
umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang
hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari
segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena
sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi
sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi
berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman
Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi
Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim
menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang
tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan
ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi
kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas,
merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi
menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang
menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan
kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang
menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah,
sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan
keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran
didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga
apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun
tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang
suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada
zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya
penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam
firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-
Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau
bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini,
pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-
Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para
imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-
Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat
(hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan,
mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan
secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka,
jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya
pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak
disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa alhadits
dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat
indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk
Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama
menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang
memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan
dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja
menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam
Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja
berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan
terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia
untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan
oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik
segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali
mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan
yang tidak meyakinkan (hadis).
Pemahaman atas Makna Hadis
Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna,
dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan
oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan
oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna;
namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul.
Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak.
Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula
mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian
persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad
saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali
lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin
satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan
manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis
dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan
pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya,
perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut
perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada
pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar
Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan.
Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah
tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual,
sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu.
Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan
shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini,
tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda
dalam memahami teks hadis.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam
bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat
Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun
dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy,
sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara
terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks,
tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud
wa 'adam,115 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi
teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang
mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi
hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian
memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena
menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah
dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain
yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan,
tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul alma'na,
dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran
yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks
itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan
mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar
qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi
longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan
penerimaannya bersifat zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah
ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang
membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan
hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari
pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam
tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai
ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.
Catatan kaki
115 Ketetapan hukum selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya). Bila motifnya ada,
hukumnya bertahan; dan bila motif nya gugur, hukumnya pun gugur.
"Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi
maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada
"ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila
mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga
hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama
ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda
dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari
wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya
yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama
adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul.
Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan
dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja
penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun
dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran,
bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --
dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT,
sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil
oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali,
dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata
athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan
sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan
Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran
dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat
ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang,
demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis
dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi
redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat
Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun
langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi
generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami
perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak
sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut
adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi
qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang
per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi
yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa
walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada
umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang
hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari
segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena
sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi
sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi
berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman
Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi
Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim
menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang
tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan
ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi
kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas,
merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi
menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang
menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan
kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang
menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah,
sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan
keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran
didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga
apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun
tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang
suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada
zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya
penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam
firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-
Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau
bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini,
pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-
Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para
imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-
Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat
(hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan,
mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan
secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka,
jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya
pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak
disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa alhadits
dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat
indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk
Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama
menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang
memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan
dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja
menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam
Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja
berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan
terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia
untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan
oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik
segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali
mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan
yang tidak meyakinkan (hadis).
Pemahaman atas Makna Hadis
Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna,
dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan
oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan
oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna;
namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul.
Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak.
Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula
mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian
persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad
saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali
lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin
satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan
manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis
dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan
pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya,
perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut
perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada
pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar
Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan.
Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah
tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual,
sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu.
Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan
shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini,
tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda
dalam memahami teks hadis.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam
bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat
Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun
dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy,
sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara
terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks,
tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud
wa 'adam,115 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi
teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang
mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi
hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian
memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena
menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah
dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain
yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan,
tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul alma'na,
dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran
yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks
itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan
mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar
qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi
longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan
penerimaannya bersifat zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah
ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang
membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan
hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari
pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam
tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai
ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.
Catatan kaki
115 Ketetapan hukum selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya). Bila motifnya ada,
hukumnya bertahan; dan bila motif nya gugur, hukumnya pun gugur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please isi yupz