Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa
meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Jawa ini sangat dijunjung
tinggi oleh masyarakat Jawa, terutama yang abangan. Di antara tradisi dan budaya ini
adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib,
keyakinan adanya dewa dewi yang berkedudukan seperti tuhan, tradisi ziarah ke makam
orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk
persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu.
Setelah dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan
tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Tuhan yang mereka tuju dalam keyakinan mereka jelas bukan Allah, tetapi dalam
bentuk dewa dewi seperti Dewi Sri, Ratu Pantai Selatan, roh-roh leluhur, atau yang
lainnya. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan
dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran
dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak
sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.
Pendahuluan
Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan
budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di
Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang
menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak
zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Nama-nama Jawa juga sangat akrab
di telinga bangsa Indonesia, begitu pula jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini
membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai
permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.
Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna
dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktekpraktek
keagamaan. Masyarakat Jawa yang memiliki tradisi dan budaya yang banyak
dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda,
seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa
meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya
Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran
Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat
Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan
memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan
dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman
agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan
mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan
dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan hingga
sekarang.
Gambaran masyarakat Jawa seperti di atas menjadi penting untuk dikaji, terutama
terkait dengan praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik
tentunya kita perlu memahami ajaran agama kita dengan memadai, sehingga ajaran
agama ini dapat menjadi acuan kita dalam berperilaku dalam kehidupan kita. Karena
itulah, dalam tulisan yang singkat ini akan diungkap masalah tradisi dan budaya Jawa
dalam perspektif ajaran Islam. Apakah tradisi dan budaya Jawa ini sesuai dengan ajaran
Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mengawali uraian
tentang masalah ini penting kiranya terlebih dahulu dijelaskan siapa masyarakat Jawa
itu. Setelah itu akan dijelaskan bagaimana munculnya Islam Kejawen dengan berbagai
fenomena keagamaan yang terus mengakar hingga sekarang ini, terutama di kalangan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa, Budaya, dan Keagamaannya
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat
oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyarakat Jawa
merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu
hingga sekarang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai
ragam dialeknya dan mendiami sebagian besar Pulau Jawa (Herusatoto, 1987: 10). Di
Jawa sendiri selain berkembang masyarakat Jawa juga berkembang masyarakat Sunda,Madura, dan masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat Jawa
tidak hanya mendiami Pulau Jawa, tetapi kemudian menyebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Bahkan di luar Jawa pun banyak ditemukan komunitas Jawa akibat adanya
program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah. Masyarakat Jawa ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lainnya, seperti
masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Minang, dan lain sebagainya. Dengan perkembangan IPTEKS (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) yang
semakin gencar seperti sekarang ini, masyarakat Jawa tetap eksis dengan berbagai keunikannya, baik dari segi budaya, agama, tata krama, dan lain sebagainya. Namun
demikian, pengaruh IPTEKS tersebut sedikit demi sedikit mulai menggerogoti keunikan masyarakat Jawa tersebut, terutama dimulai di kalangan generasi mudanya. Di kotakota
seperti Yogyakarta dan kota-kota lain sudah banyak ditemukan masyarakat Jawa yang tidak menunjukkan jati diri ke-Jawa-annya. Mereka lebih senang berpenampilan
lebih modern yang tidak terikat oleh berbagai aturan atau tradisi-tradisi yang justeru menghalangi mereka untuk maju.
Begitu juga pengaruh keyakinan agama yang mereka anut ikut mewarnai tradisi dan budaya mereka sehari-hari. Masyarakat Jawa yang menganut Islam santri, misalnya,
lebih banyak terikat dengan aturan Islamnya, meskipun bertentangan dengan budaya dan tradisi Jawanya. Hal ini karena tidak sedikit tradisi-tradisi Jawa yang bertentangan
dengan keyakinan atau ajaran Islam. Sebaliknya bagi yang menganut Islam abangan tradisi Jawa tetap dijunjung tinggi, meskipun bertentangan dengan keyakinan atau
ajaran Islam.
Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama Hindhu
atau Buddha, dan sebagian lain ada yang menganut agama Nasrani, baik Kristen maupun Katolik. Khusus yang menganut agama Islam, masyarakat Jawa bisa
dikelompokkan menjadi dua golongan besar, golongan yang menganut Islam murni(sering disebut Islam santri) dan golongan yang menganut Islam Kejawen (sering
disebut Agama Jawi atau disebut juga Islam abangan). Masyarakat Jawa yang menganutIslam santri biasanya tinggal di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik, dan lain-lain,
sedang yang menganut Islam Kejawen biasanya tinggal di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen (Koentjaraningrat, 1995: 211).
Menurut Simuh (1996: 110), masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa
yang terkait dengan hal ini, yaitu:
1. Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha
Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai
masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan
masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia,khususnya Jawa.
2. Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha
Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindhu-Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi
adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat
bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar
dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindhu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama
sufi yang mendapat gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang
masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang
kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.
Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini
melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi,
dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati
(supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok
hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6)bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada
simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi (Suyanto, 1990: 144).
Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat
Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua agama itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa
konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam
sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam
sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji (Koentjaraningrat, 1994: 313).
Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat
adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering
dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang
dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan
adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk
mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.
Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhlukmakhluk
halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar
menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara. Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini
terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di
daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta).
Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1995: 347).
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi
yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi
semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.
Budaya Jawa dan Islam Kejawen
Penelitian Clifford Geertz (dalam Robertson, 1986: 182) membuktikan bahwa
desa di Jawa sama tuanya dengan orang Jawa. Evolusi desa di Jawa hingga mencapai
bentuk seperti sekarang ini pada masing-masing tahapnya telah ditata dan diekspresikan
dengan suatu sistem religius yang kurang lebih menyatu. Sebelum kedatangan agama
Hindhu sekitar tahun 400 SM, tradisi keagamaan dari berbagai suku Melayu masih
mengandung unsur-unsur animisme. Setelah berabad-abad kemudian tradisi animisme
di Jawa ini terbukti mampu menyerap ke dalam unsur-unsur yang berasal dari Hindhu
dan Islam yang datang belakangan pada abad XV M. Jadi, menurut Geertz pada masa
sekarang ini sistem keagamaan di pedesaan Jawa pada umumnya terdiri dari suatu
perpaduan yang seimbang dari unsur-unsur animisme, Hindhu, dan Islam, suatu
sinkretisme dasar yang merupakan tradisi rakyat yang sesungguhnya, suatu substratum
7
dasar dari peradabannya. Penelitian Geertz ini kemudian memunculkan tiga golongan
masyarakat Jawa, yaitu priyayi, santri, dan abangan yang masing-masing mempunyai
ciri-ciri keberagamaan yang berbeda.
Hasil temuan Geertz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagamaan
masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Muslimnya, meskipun dalam perkembangan
selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang
agama semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme
yang merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam
dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik,
bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa ikut
mempengaruhi sikap keberagamaan masyarakatnya. Sikap keberagamaan seperti ini
tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga terjadi di kalangan masyarakat kota,
terutama kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan seperti Yogyakarta, Solo (Surakarta),
dan kota-kota lainnya. Dalam perkembangannya Yogyakarta kemudian menjadi satu
provinsi tersendiri di negara kita.
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian
dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsepkonsep
Hindhu-Buddha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu
dan diakui sebagai agama Islam (Koentjaraningrat, 1994: 312). Pada umumnya pemeluk
agama ini adalah masyarakat Muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara
keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu
aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai suatu budaya yang
bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilakuperilaku
yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti percaya terhadap adanya
kekuatan lain selain kekuatan Allah Swt. Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di
antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh,
yang dianggap dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang.
Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal,
namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang
masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa,
makhluk halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia,
sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan
Tuhannya (Koentjaraningrat, 1994: 105). Salah satu contoh dari pendapat tersebut
adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam
Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap suci pada malam
Selasa Kliwon dan Jum’ah Kliwon untuk mencari berkah.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai
aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandanganpandangan,
nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam
pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok
kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.
Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah
yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan
lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan
beragama maupun di bidang-bidang yang lain (Koentjaraningrat, 1994: 312).
Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat
orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama
dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada
momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang
bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan. Di Yogyakarta
khususnya, momen Suran (peringatan menyambut tahun baru Jawa yang sebenarnya
juga merupakan tahun baru Islam) dan Mulud (peringatan hari lahir Nabi Muhammad
Saw.) dirayakan cukup meriah dengan berbagai upacara keagamaan yang bernuansa
kejawen. Dalam dua momen tersebut masyarakat Jawa, terutama yang menganut Islam
Kejawen (juga yang berasal dari penganut agama selain Islam), secara rutin dan
khidmat melakukan berbagai aktivitas yang bernuansa agama dan budaya. Tradisi Suran
banyak diisi dengan aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan yang
oleh masyarakat Yogyakarta disimbulkan Kanjeng Ratu Roro Kidul (Ratu Pantai
Selatan). Upacara besarnya diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta dan dipusatkan di
Parangkusuma (Parangtritis), yaitu di kawasan pantai selatan. Di tempat-tempat lain
juga dilakukan acara dengan model dan tujuan yang serupa. Mereka pada momen
tersebut juga mengadakan pentas seni dan budaya untuk menghibur masyarakat pada
umumnya. Pada momen Mulud masyarakat Yogyakarta mengadakan perayaan besar
yang disebut Sekaten yang dipusatkan di lingkungan Kraton Ngayogyakarta. Perayaan
9
ini juga bernuansa agama dan budaya. Nuansa keagamaannya (khususnya Islam) terlihat
pada acara Grebeg Mulud yang bertepatan dengan peringatan hari lahir Nabi
Muhammad Saw. yang dipusatkan di Masjid Agung Kraton Ngayogyakarta dan alunalun
utara. Nuansa budaya juga tampak pada acara Grebeg tersebut dengan banyaknya
masyarakat yang berusaha mendapatkan berkah dari perayaan tersebut, dan pada pentas
seni serta Pasar Malam Sekaten yang berlangsung selama kurang lebih empat puluh
malam, mulai dari awal bulan Sapar dan berakhir pada tanggal 12 Mulud.
Di samping dua momen besar tahunan tersebut masyarakat Jawa, terutama di
Yogyakarta, juga sering datang (berziarah) ke makam-makam (kuburan) yang dianggap
suci (keramat) pada malam Jum’at Kliwon dan Selasa Kliwon untuk mencari berkah. Di
antara makam yang sering menjadi tujuan utama dari aktivitas ziarah mereka adalah
Makam Raja-raja atau Makam Suci Imogiri dan makam-makam lain di Yogyakarta
yang juga dianggap suci atau keramat.
Perspektif Islam tentang Tradisi dan Budaya Jawa
Setelah dikaji secara singkat mengenai tradisi dan budaya Jawa dengan berbagai
bentuknya maka selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana tradisi dan budaya
Jawa tersebut dalam perspektif Islam. Sebelum mengkaji permasalahan ini lebih jauh,
perlu dijelaskan secara singkat karakteristik Islam yang memiliki ajaran yang sempurna,
komprehensif, dan dinamis.
Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat
keseluruhan ajaran yang pernah diturunkan kepada para nabi dan umat-umat terdahulu
dan memiliki ajaran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di mana pun
dan kapan pun. Dengan kata lain, ajaran Islam sesuai dan cocok untuk segala waktu dan
tempat (shalihun likulli zaman wa makan). Secara umum, ajaran-ajaran dasar Islam
yang bersumberkan al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah menyangkut ajaranajaran
tentang keyakinan atau keimanan; syariah menyangkut ajaran-ajaran tentang
hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf (orang Islam yang sudah
dewasa); dan akhlak menyangkut ajaran-ajaran tentang budi pekerti yang luhur (akhlak
mulia). Ketiga kerangka dasar Islam ini sebenarnya merupakan penjabaran dari
beberapa ayat al-Quran (seperti QS. al-Nur (24): 55, al-Tin (95): 6, dan al-‘Ashr (103):
3) dan satu hadis Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim dari Shahabat
Umar bin Khaththab yang berisi tentang konsep iman, islam, dan ihsan. Aqidah
merupakan penjabaran dari konsep iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep
islam, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan.
Kedinamisan dan fleksibilitas Islam terlihat dalam ajaran-ajaran yang terkait
dengan hukum Islam (syariah). Hukum Islam mengatur dua bentuk hubungan, yaitu
hubungan antara manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antara manusia dengan
sesamanya (muamalah). Dalam bidang ibadah Allah dan Rasulullah sudah memberikan
petunjuk yang rinci, sehingga dalam bidang ini tidak bisa ditambah-tambah atau
dikurangi, sementara dalam bidang muamalah Allah dan Rasulullah hanya memberikan
aturan yang global dan umum yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh dan
lebih rinci. Pada bidang yang terakhir inilah dimungkinkan adanya pembaruan dan
dinamika yang tinggi.
Dengan paparan singkat mengenai Islam di atas, maka dapat dijelaskan di sini
bahwa masalah tradisi dan budaya Jawa sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam,
terutama dalam bidang aqidah dan syariah. Kalaupun ada yang terkait dengan bidang
akhlak, hal itu tidak dibicarakan dalam tulisan ini. Untuk melihat apakah tradisi dan
budaya yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jawa itu sesuai dengan
ajaran Islam atau tidak, maka hal itu dapat dikaji dengan mendasarkan diri pada ajaranajaran
Islam yang terkait dengan bidang aqidah dan syariah. Sebab tradisi dan budaya
Jawa seperti yang dijelaskan di atas menyangkut masalah keyakinan, seperti keyakinan
akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan
juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti melakukan persembahan dan berdoa
kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa
melalui perantara.
Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni
masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua
masyarakat Jawa meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan
manusia dan alam semesta serta yang dapat menentukan celaka atau tidaknya manusia
di dunia ini atau kelak di akhirat. Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah bagaimana
mereka meyakini adanya Tuhan tersebut. Bagi kalangan masyarakat Jawa yang santri,
hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaranaqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara yang benar. Sementara bagi kalangan
masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini bisa bermacam-macam. Ada yang
meyakini-Nya sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan (Dewi Sri) dan dewa
penguasa pantai selatan (Ratu Pantai Selatan). Ada juga yang meyakini benda-benda
tertentu dianggap memiliki ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti
benda-benda pusaka (animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu
memiliki kekuatan ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orangorang
tertentu (dinamisme). Mereka juga meyakini ruh-ruh leluhur mereka memiliki
kekuatan ghaib, sehingga tidak jarang ruh-ruh mereka itu dimintai restu atau izin ketika
mereka melakukan sesuatu. Jelas sekali apa yang diyakini oleh masyarakat Jawa yang
abangan ini bertentangan dengan ajaran aqidah Islam yang mengharuskan meyakini
Allah Yang Mahaesa. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah Swt. Orang
yang meyakini ada tuhan (yang seperti tuhan) selain Allah maka termasuk golongan
orang-orang musyrik yang sangat dibenci oleh Allah dan di akhirat kelak mereka
diharamkan masuk ke surga dan tempatnya yang paling layak adalah di neraka (QS. al-
Maidah (5): 72). Perbuatan seperti itu dinamakan perbuatan syirik yang dosanya tidak
akan diampuni oleh Allah (QS. al-Nisa’ (4): 166).
Tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang lain yang perlu dikaji di sini adalah
yang terkait dengan perilaku-perilaku ritual mereka. Masyarakat Jawa yang abangan
juga memiliki tradisi ziarah ke makam orang-orang tertentu dengan tujuan untuk
mencari berkah atau memohon kepada para ruh leluhur atau orang yang dihormati agar
memberikan dan mengabulkan apa yang mereka minta. Mereka juga memiliki tradisi
melakukan upacara-upacara keagamaan (ritus) sebagai ungkapan persembahan mereka
kepada Tuhan. Di antara tradisi yang terkait dengan ritus ini adalah upacara labuhan di
pantai Parang Kusuma, upacara ruwatan, upacara kelahiran hingga kematian seseorang,
upacara menyambut tahun baru Jawa yang sama dengan tahun baru Islam, dan bentukbentuk
upacara ritual lainnya. Acara-acara ritual yang mereka lakukan seperti itu
meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi menempuh cara yang
bertentangan dengan ajaran syariah Islam. Mereka meminta berkah atau rizki kepada
Tuhan tidak secara langsung, tetapi melalui perantara dan memakai sesaji. Meminta
berkah atau rizki kepada selain Allah jelas dilarang dan bertentangan dengan al-Quran, karena tidak ada yang dapat memberikan berkah atau rizki kepada siapa pun selain
Allah (QS. al-Zumar (39): 52). Syariah Islam mengatur masalah ibadah (ibadah
mahdlah) dengan tegas dan tidak dapat ditambah-tambah atau dikurangi. Tatacara
ibadah kepada Allah ditetapkan dalam bentuk shalat, zakat, puasa, dan haji yang
didasari dengan iman (kesaksian akan adanya Allah yang satu dan Muhammad sebagai
Rasulullah). Semua bentuk ibadah ini sudah diatur tatacaranya dalam al-Quran dan
hadis Nabi Saw. Segala bentuk amalan yang bertentangan dengan cara-cara ibadah yang
ditetapkan oleh al-Quran atau hadis disebut bid’ah yang dilarang. Dengan demikian, apa
yang selama ini dilakuan oleh masyarakat Jawa, khususnya dalam masalah-masalah
ritual seperti itu, jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, hal ini sebenarnya
harus diupayakan untuk ditinggalkan atau diluruskan tatacaranya sehingga tidak lagi
bertentangan dengan ajaran Islam.
E. Penutup
Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali menolak tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penetapan
hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut ‘urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang dalam
masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al-
Quran dan hadis Nabi Saw. Di Indonesia banyak berkembang tradisi di kalangan umat Islam yang terus berlaku hingga sekarang, seperti tradisi lamaran, sumbangan
mantenan, peringatan hari-hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka tradisi-tradisi seperti itu dapat dilakukan dan
dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka tradisi-tradisi itu harus ditinggalkan dan tidak boleh dikembangkan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed.). (1983). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Al-Ahadis al-Nabawiyyah.
Al-Qur’an al-Karim.
Geerts, Clifford. (1986). “Agama di Jawa: Pertentangan dan Perpaduan”, dalam Roland
Robertson (ed.). Sosiologi Agama. Tanpa Tempat Terbit: Aksara Persada.
---------------. (1989). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa Terj. oleh
Aswab Mahasin. Jakarta: Rajawali Pers.
Herusatoto, Budiono. (1987). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
---------------. (1995). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
---------------. (1996). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Moleong, Lexy J. (1996). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Simuh. (1996). Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Suharsimi Arikunto. (1991). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sukamto dkk. (1995). Pedoman Penelitian Edisi 1995. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
IKIP Yogyakarta.
Suyanto. (1990). Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahana Prize.
Biodata Penulis
Marzuki, dilahirkan di Banyuwangi (tepatnya di Desa Sraten Kec. Cluring), 21 April 1966. Studi S-1 diselesaikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (tamat 1990). Pada tahun 1993 melanjutkan studi Pascasarjana (S-2) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN) dan selesai tahun 1997.
Setelah itu melanjutkan studi S-3 di tempat yang sama dan hingga sekarang sedang dalam penyelesaian. Sekarang penulis menjadi dosen tetap Universitas Negeri Yogyakarta (MKU dan Jurusan PPKN-FIS) dengan mata kuliah pokok Pendidikan Agama Islam dan Hukum Islam.
meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Jawa ini sangat dijunjung
tinggi oleh masyarakat Jawa, terutama yang abangan. Di antara tradisi dan budaya ini
adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib,
keyakinan adanya dewa dewi yang berkedudukan seperti tuhan, tradisi ziarah ke makam
orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk
persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu.
Setelah dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan
tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Tuhan yang mereka tuju dalam keyakinan mereka jelas bukan Allah, tetapi dalam
bentuk dewa dewi seperti Dewi Sri, Ratu Pantai Selatan, roh-roh leluhur, atau yang
lainnya. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan
dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran
dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak
sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.
Pendahuluan
Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan
budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di
Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang
menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak
zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Nama-nama Jawa juga sangat akrab
di telinga bangsa Indonesia, begitu pula jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini
membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai
permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.
Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna
dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktekpraktek
keagamaan. Masyarakat Jawa yang memiliki tradisi dan budaya yang banyak
dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda,
seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa
meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya
Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran
Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat
Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan
memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan
dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman
agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan
mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan
dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan hingga
sekarang.
Gambaran masyarakat Jawa seperti di atas menjadi penting untuk dikaji, terutama
terkait dengan praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik
tentunya kita perlu memahami ajaran agama kita dengan memadai, sehingga ajaran
agama ini dapat menjadi acuan kita dalam berperilaku dalam kehidupan kita. Karena
itulah, dalam tulisan yang singkat ini akan diungkap masalah tradisi dan budaya Jawa
dalam perspektif ajaran Islam. Apakah tradisi dan budaya Jawa ini sesuai dengan ajaran
Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mengawali uraian
tentang masalah ini penting kiranya terlebih dahulu dijelaskan siapa masyarakat Jawa
itu. Setelah itu akan dijelaskan bagaimana munculnya Islam Kejawen dengan berbagai
fenomena keagamaan yang terus mengakar hingga sekarang ini, terutama di kalangan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa, Budaya, dan Keagamaannya
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat
oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyarakat Jawa
merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu
hingga sekarang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai
ragam dialeknya dan mendiami sebagian besar Pulau Jawa (Herusatoto, 1987: 10). Di
Jawa sendiri selain berkembang masyarakat Jawa juga berkembang masyarakat Sunda,Madura, dan masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat Jawa
tidak hanya mendiami Pulau Jawa, tetapi kemudian menyebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Bahkan di luar Jawa pun banyak ditemukan komunitas Jawa akibat adanya
program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah. Masyarakat Jawa ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lainnya, seperti
masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Minang, dan lain sebagainya. Dengan perkembangan IPTEKS (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) yang
semakin gencar seperti sekarang ini, masyarakat Jawa tetap eksis dengan berbagai keunikannya, baik dari segi budaya, agama, tata krama, dan lain sebagainya. Namun
demikian, pengaruh IPTEKS tersebut sedikit demi sedikit mulai menggerogoti keunikan masyarakat Jawa tersebut, terutama dimulai di kalangan generasi mudanya. Di kotakota
seperti Yogyakarta dan kota-kota lain sudah banyak ditemukan masyarakat Jawa yang tidak menunjukkan jati diri ke-Jawa-annya. Mereka lebih senang berpenampilan
lebih modern yang tidak terikat oleh berbagai aturan atau tradisi-tradisi yang justeru menghalangi mereka untuk maju.
Begitu juga pengaruh keyakinan agama yang mereka anut ikut mewarnai tradisi dan budaya mereka sehari-hari. Masyarakat Jawa yang menganut Islam santri, misalnya,
lebih banyak terikat dengan aturan Islamnya, meskipun bertentangan dengan budaya dan tradisi Jawanya. Hal ini karena tidak sedikit tradisi-tradisi Jawa yang bertentangan
dengan keyakinan atau ajaran Islam. Sebaliknya bagi yang menganut Islam abangan tradisi Jawa tetap dijunjung tinggi, meskipun bertentangan dengan keyakinan atau
ajaran Islam.
Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama Hindhu
atau Buddha, dan sebagian lain ada yang menganut agama Nasrani, baik Kristen maupun Katolik. Khusus yang menganut agama Islam, masyarakat Jawa bisa
dikelompokkan menjadi dua golongan besar, golongan yang menganut Islam murni(sering disebut Islam santri) dan golongan yang menganut Islam Kejawen (sering
disebut Agama Jawi atau disebut juga Islam abangan). Masyarakat Jawa yang menganutIslam santri biasanya tinggal di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik, dan lain-lain,
sedang yang menganut Islam Kejawen biasanya tinggal di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen (Koentjaraningrat, 1995: 211).
Menurut Simuh (1996: 110), masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa
yang terkait dengan hal ini, yaitu:
1. Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha
Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai
masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan
masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia,khususnya Jawa.
2. Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha
Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindhu-Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi
adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat
bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar
dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindhu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama
sufi yang mendapat gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang
masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang
kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.
Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini
melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi,
dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati
(supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok
hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6)bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada
simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi (Suyanto, 1990: 144).
Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat
Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua agama itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa
konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam
sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam
sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji (Koentjaraningrat, 1994: 313).
Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat
adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering
dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang
dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan
adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk
mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.
Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhlukmakhluk
halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar
menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara. Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini
terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di
daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta).
Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1995: 347).
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi
yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi
semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.
Budaya Jawa dan Islam Kejawen
Penelitian Clifford Geertz (dalam Robertson, 1986: 182) membuktikan bahwa
desa di Jawa sama tuanya dengan orang Jawa. Evolusi desa di Jawa hingga mencapai
bentuk seperti sekarang ini pada masing-masing tahapnya telah ditata dan diekspresikan
dengan suatu sistem religius yang kurang lebih menyatu. Sebelum kedatangan agama
Hindhu sekitar tahun 400 SM, tradisi keagamaan dari berbagai suku Melayu masih
mengandung unsur-unsur animisme. Setelah berabad-abad kemudian tradisi animisme
di Jawa ini terbukti mampu menyerap ke dalam unsur-unsur yang berasal dari Hindhu
dan Islam yang datang belakangan pada abad XV M. Jadi, menurut Geertz pada masa
sekarang ini sistem keagamaan di pedesaan Jawa pada umumnya terdiri dari suatu
perpaduan yang seimbang dari unsur-unsur animisme, Hindhu, dan Islam, suatu
sinkretisme dasar yang merupakan tradisi rakyat yang sesungguhnya, suatu substratum
7
dasar dari peradabannya. Penelitian Geertz ini kemudian memunculkan tiga golongan
masyarakat Jawa, yaitu priyayi, santri, dan abangan yang masing-masing mempunyai
ciri-ciri keberagamaan yang berbeda.
Hasil temuan Geertz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagamaan
masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Muslimnya, meskipun dalam perkembangan
selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang
agama semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme
yang merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam
dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik,
bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa ikut
mempengaruhi sikap keberagamaan masyarakatnya. Sikap keberagamaan seperti ini
tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga terjadi di kalangan masyarakat kota,
terutama kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan seperti Yogyakarta, Solo (Surakarta),
dan kota-kota lainnya. Dalam perkembangannya Yogyakarta kemudian menjadi satu
provinsi tersendiri di negara kita.
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian
dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsepkonsep
Hindhu-Buddha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu
dan diakui sebagai agama Islam (Koentjaraningrat, 1994: 312). Pada umumnya pemeluk
agama ini adalah masyarakat Muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara
keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu
aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai suatu budaya yang
bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilakuperilaku
yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti percaya terhadap adanya
kekuatan lain selain kekuatan Allah Swt. Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di
antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh,
yang dianggap dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang.
Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal,
namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang
masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa,
makhluk halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia,
sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan
Tuhannya (Koentjaraningrat, 1994: 105). Salah satu contoh dari pendapat tersebut
adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam
Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap suci pada malam
Selasa Kliwon dan Jum’ah Kliwon untuk mencari berkah.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai
aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandanganpandangan,
nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam
pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok
kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.
Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah
yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan
lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan
beragama maupun di bidang-bidang yang lain (Koentjaraningrat, 1994: 312).
Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat
orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama
dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada
momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang
bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan. Di Yogyakarta
khususnya, momen Suran (peringatan menyambut tahun baru Jawa yang sebenarnya
juga merupakan tahun baru Islam) dan Mulud (peringatan hari lahir Nabi Muhammad
Saw.) dirayakan cukup meriah dengan berbagai upacara keagamaan yang bernuansa
kejawen. Dalam dua momen tersebut masyarakat Jawa, terutama yang menganut Islam
Kejawen (juga yang berasal dari penganut agama selain Islam), secara rutin dan
khidmat melakukan berbagai aktivitas yang bernuansa agama dan budaya. Tradisi Suran
banyak diisi dengan aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan yang
oleh masyarakat Yogyakarta disimbulkan Kanjeng Ratu Roro Kidul (Ratu Pantai
Selatan). Upacara besarnya diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta dan dipusatkan di
Parangkusuma (Parangtritis), yaitu di kawasan pantai selatan. Di tempat-tempat lain
juga dilakukan acara dengan model dan tujuan yang serupa. Mereka pada momen
tersebut juga mengadakan pentas seni dan budaya untuk menghibur masyarakat pada
umumnya. Pada momen Mulud masyarakat Yogyakarta mengadakan perayaan besar
yang disebut Sekaten yang dipusatkan di lingkungan Kraton Ngayogyakarta. Perayaan
9
ini juga bernuansa agama dan budaya. Nuansa keagamaannya (khususnya Islam) terlihat
pada acara Grebeg Mulud yang bertepatan dengan peringatan hari lahir Nabi
Muhammad Saw. yang dipusatkan di Masjid Agung Kraton Ngayogyakarta dan alunalun
utara. Nuansa budaya juga tampak pada acara Grebeg tersebut dengan banyaknya
masyarakat yang berusaha mendapatkan berkah dari perayaan tersebut, dan pada pentas
seni serta Pasar Malam Sekaten yang berlangsung selama kurang lebih empat puluh
malam, mulai dari awal bulan Sapar dan berakhir pada tanggal 12 Mulud.
Di samping dua momen besar tahunan tersebut masyarakat Jawa, terutama di
Yogyakarta, juga sering datang (berziarah) ke makam-makam (kuburan) yang dianggap
suci (keramat) pada malam Jum’at Kliwon dan Selasa Kliwon untuk mencari berkah. Di
antara makam yang sering menjadi tujuan utama dari aktivitas ziarah mereka adalah
Makam Raja-raja atau Makam Suci Imogiri dan makam-makam lain di Yogyakarta
yang juga dianggap suci atau keramat.
Perspektif Islam tentang Tradisi dan Budaya Jawa
Setelah dikaji secara singkat mengenai tradisi dan budaya Jawa dengan berbagai
bentuknya maka selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana tradisi dan budaya
Jawa tersebut dalam perspektif Islam. Sebelum mengkaji permasalahan ini lebih jauh,
perlu dijelaskan secara singkat karakteristik Islam yang memiliki ajaran yang sempurna,
komprehensif, dan dinamis.
Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat
keseluruhan ajaran yang pernah diturunkan kepada para nabi dan umat-umat terdahulu
dan memiliki ajaran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di mana pun
dan kapan pun. Dengan kata lain, ajaran Islam sesuai dan cocok untuk segala waktu dan
tempat (shalihun likulli zaman wa makan). Secara umum, ajaran-ajaran dasar Islam
yang bersumberkan al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah menyangkut ajaranajaran
tentang keyakinan atau keimanan; syariah menyangkut ajaran-ajaran tentang
hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf (orang Islam yang sudah
dewasa); dan akhlak menyangkut ajaran-ajaran tentang budi pekerti yang luhur (akhlak
mulia). Ketiga kerangka dasar Islam ini sebenarnya merupakan penjabaran dari
beberapa ayat al-Quran (seperti QS. al-Nur (24): 55, al-Tin (95): 6, dan al-‘Ashr (103):
3) dan satu hadis Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim dari Shahabat
Umar bin Khaththab yang berisi tentang konsep iman, islam, dan ihsan. Aqidah
merupakan penjabaran dari konsep iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep
islam, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan.
Kedinamisan dan fleksibilitas Islam terlihat dalam ajaran-ajaran yang terkait
dengan hukum Islam (syariah). Hukum Islam mengatur dua bentuk hubungan, yaitu
hubungan antara manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antara manusia dengan
sesamanya (muamalah). Dalam bidang ibadah Allah dan Rasulullah sudah memberikan
petunjuk yang rinci, sehingga dalam bidang ini tidak bisa ditambah-tambah atau
dikurangi, sementara dalam bidang muamalah Allah dan Rasulullah hanya memberikan
aturan yang global dan umum yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh dan
lebih rinci. Pada bidang yang terakhir inilah dimungkinkan adanya pembaruan dan
dinamika yang tinggi.
Dengan paparan singkat mengenai Islam di atas, maka dapat dijelaskan di sini
bahwa masalah tradisi dan budaya Jawa sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam,
terutama dalam bidang aqidah dan syariah. Kalaupun ada yang terkait dengan bidang
akhlak, hal itu tidak dibicarakan dalam tulisan ini. Untuk melihat apakah tradisi dan
budaya yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jawa itu sesuai dengan
ajaran Islam atau tidak, maka hal itu dapat dikaji dengan mendasarkan diri pada ajaranajaran
Islam yang terkait dengan bidang aqidah dan syariah. Sebab tradisi dan budaya
Jawa seperti yang dijelaskan di atas menyangkut masalah keyakinan, seperti keyakinan
akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan
juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti melakukan persembahan dan berdoa
kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa
melalui perantara.
Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni
masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua
masyarakat Jawa meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan
manusia dan alam semesta serta yang dapat menentukan celaka atau tidaknya manusia
di dunia ini atau kelak di akhirat. Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah bagaimana
mereka meyakini adanya Tuhan tersebut. Bagi kalangan masyarakat Jawa yang santri,
hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaranaqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara yang benar. Sementara bagi kalangan
masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini bisa bermacam-macam. Ada yang
meyakini-Nya sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan (Dewi Sri) dan dewa
penguasa pantai selatan (Ratu Pantai Selatan). Ada juga yang meyakini benda-benda
tertentu dianggap memiliki ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti
benda-benda pusaka (animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu
memiliki kekuatan ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orangorang
tertentu (dinamisme). Mereka juga meyakini ruh-ruh leluhur mereka memiliki
kekuatan ghaib, sehingga tidak jarang ruh-ruh mereka itu dimintai restu atau izin ketika
mereka melakukan sesuatu. Jelas sekali apa yang diyakini oleh masyarakat Jawa yang
abangan ini bertentangan dengan ajaran aqidah Islam yang mengharuskan meyakini
Allah Yang Mahaesa. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah Swt. Orang
yang meyakini ada tuhan (yang seperti tuhan) selain Allah maka termasuk golongan
orang-orang musyrik yang sangat dibenci oleh Allah dan di akhirat kelak mereka
diharamkan masuk ke surga dan tempatnya yang paling layak adalah di neraka (QS. al-
Maidah (5): 72). Perbuatan seperti itu dinamakan perbuatan syirik yang dosanya tidak
akan diampuni oleh Allah (QS. al-Nisa’ (4): 166).
Tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang lain yang perlu dikaji di sini adalah
yang terkait dengan perilaku-perilaku ritual mereka. Masyarakat Jawa yang abangan
juga memiliki tradisi ziarah ke makam orang-orang tertentu dengan tujuan untuk
mencari berkah atau memohon kepada para ruh leluhur atau orang yang dihormati agar
memberikan dan mengabulkan apa yang mereka minta. Mereka juga memiliki tradisi
melakukan upacara-upacara keagamaan (ritus) sebagai ungkapan persembahan mereka
kepada Tuhan. Di antara tradisi yang terkait dengan ritus ini adalah upacara labuhan di
pantai Parang Kusuma, upacara ruwatan, upacara kelahiran hingga kematian seseorang,
upacara menyambut tahun baru Jawa yang sama dengan tahun baru Islam, dan bentukbentuk
upacara ritual lainnya. Acara-acara ritual yang mereka lakukan seperti itu
meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi menempuh cara yang
bertentangan dengan ajaran syariah Islam. Mereka meminta berkah atau rizki kepada
Tuhan tidak secara langsung, tetapi melalui perantara dan memakai sesaji. Meminta
berkah atau rizki kepada selain Allah jelas dilarang dan bertentangan dengan al-Quran, karena tidak ada yang dapat memberikan berkah atau rizki kepada siapa pun selain
Allah (QS. al-Zumar (39): 52). Syariah Islam mengatur masalah ibadah (ibadah
mahdlah) dengan tegas dan tidak dapat ditambah-tambah atau dikurangi. Tatacara
ibadah kepada Allah ditetapkan dalam bentuk shalat, zakat, puasa, dan haji yang
didasari dengan iman (kesaksian akan adanya Allah yang satu dan Muhammad sebagai
Rasulullah). Semua bentuk ibadah ini sudah diatur tatacaranya dalam al-Quran dan
hadis Nabi Saw. Segala bentuk amalan yang bertentangan dengan cara-cara ibadah yang
ditetapkan oleh al-Quran atau hadis disebut bid’ah yang dilarang. Dengan demikian, apa
yang selama ini dilakuan oleh masyarakat Jawa, khususnya dalam masalah-masalah
ritual seperti itu, jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, hal ini sebenarnya
harus diupayakan untuk ditinggalkan atau diluruskan tatacaranya sehingga tidak lagi
bertentangan dengan ajaran Islam.
E. Penutup
Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali menolak tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penetapan
hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut ‘urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang dalam
masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al-
Quran dan hadis Nabi Saw. Di Indonesia banyak berkembang tradisi di kalangan umat Islam yang terus berlaku hingga sekarang, seperti tradisi lamaran, sumbangan
mantenan, peringatan hari-hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka tradisi-tradisi seperti itu dapat dilakukan dan
dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka tradisi-tradisi itu harus ditinggalkan dan tidak boleh dikembangkan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed.). (1983). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Al-Ahadis al-Nabawiyyah.
Al-Qur’an al-Karim.
Geerts, Clifford. (1986). “Agama di Jawa: Pertentangan dan Perpaduan”, dalam Roland
Robertson (ed.). Sosiologi Agama. Tanpa Tempat Terbit: Aksara Persada.
---------------. (1989). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa Terj. oleh
Aswab Mahasin. Jakarta: Rajawali Pers.
Herusatoto, Budiono. (1987). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
---------------. (1995). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
---------------. (1996). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Moleong, Lexy J. (1996). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Simuh. (1996). Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Suharsimi Arikunto. (1991). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sukamto dkk. (1995). Pedoman Penelitian Edisi 1995. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
IKIP Yogyakarta.
Suyanto. (1990). Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahana Prize.
Biodata Penulis
Marzuki, dilahirkan di Banyuwangi (tepatnya di Desa Sraten Kec. Cluring), 21 April 1966. Studi S-1 diselesaikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (tamat 1990). Pada tahun 1993 melanjutkan studi Pascasarjana (S-2) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN) dan selesai tahun 1997.
Setelah itu melanjutkan studi S-3 di tempat yang sama dan hingga sekarang sedang dalam penyelesaian. Sekarang penulis menjadi dosen tetap Universitas Negeri Yogyakarta (MKU dan Jurusan PPKN-FIS) dengan mata kuliah pokok Pendidikan Agama Islam dan Hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please isi yupz