Oktober 1968, Soe Hok Gie pergi ke Honolulu. Ia ingin menjadi turis
dan sejenak berpikir untuk meninggalkan semuanya, melepaskan segala
kepenatan dan berniat menjadi seorang turis semata. Lalu ia melihat
dataran Fiji dan Sidney yang luas itu, ia tergelak, otaknya mampat,
pikirannya meracau. Tiba-tiba ia merasa begitu sedih, sentimentil.
Soe pergi menuju kawan karibnya, Daniel-Lev, dan mendengarkannya berucap lirih kepadanya. Ia ingin berkeluh perihal otaknya tak bisa sejenak untuk beristirahat dari gelisah yang entah. Bayangan perihal karut-marutnya negeri membuatnya tak berhenti.
“Soe, kau adalah seorang pemikir. Orang-orang seperti itu selalu menanyakan tentang nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka tidak pernah akan bahagia, dan tak akan pernah puas. Terimalah kenyataan ini.”
Soe,
Saya baru baca penutup tulisanmu yang bertajuk ‘Awal dan Akhir’ di harian Sinar Harapan (7 April 1969). Sebuah pertanyaan muncul di benak saya, apakah benar seorang pemikir itu tidak bisa bahagia? Lalu, apa yang kamu—dan orang-orang sepertimu cari?
Saya tidak bisa mendefinisikan apa itu kebahagiaan. Absurd. Tidak adanya kriteria mendasar perihal bahagia ini merupa lembah belukar yang terkadang tak bisa dilalui. Namun semua pasti sepakat, ada yang mampu untuk sekadar membelah belukar itu dan menjadikannya sebuah taman yang asri penuh bunga dan—konon—itulah kebahagiaan.
Seorang pemikir bukanlah mereka yang bekerja hanya dengan pikiran semata, berkehendak dengan otak dan bertutur laiknya nabi yang memberikan petuah. Toh, nabi saya kira bukanlah seorang pemikir. Ia adalah pewarta yang menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan kepada manusia.
Kita bisa berdebat panjang soal itu.
Tapi, seorang pemikir sering diasosiasikan sebagai orang yang murung, berjalan dengan ringkih dan berkacamata tebal, serta tak akan pernah lekang dari buku. Atau jika menemukannya ia termenung, ia akan terus berdiam dan enggan untuk sekadar disapa.
Pun kalau ia berbicara, orang-orang akan siap diberi amanah untuk menjadi kawan bercakap yang entah kapan akan berakhir dengan kesepaktan dan kesepahaman. Sebab argumentasi yang ndakik dan mungkin serba awang-awang akan tersaji. Beruntung jika kawan bicara ini mempu mengimbangi. Berita buruk jika ia tidak sanggup, maka alamat sengsara.
Nah, seorang pemikir ini biasanya adalah orang yang hidupnya tidak bahagia, seperti kata Daniel Lev. Orang yang tidak pernah bisa berhenti memikirkan segala hal, tak akan usai untuk mengejar harapan, dan tak pernah lekang menimbang segala perbedaan. Itulah sikap atau semacam sembahyang yang dilakukan orang model dirimu.
Konon, seorang pemikir itu makanannya adalah segala yang berbau kericuhan, persoalan bangsa yang tak pernah tuntas. Itu adalah asupan gizi dari makanan saban hari yang harus ia terima seperti halnya Daniel Shilton yang harus terima mendapatkan gol dari Maradona—walaupun itu menggunakan tangan. Hidup bagi mereka adalah sebuah takdir magis yang harus dilalui.
Orang biasa kerap berkilah, bahagia itu sederhana. Misalnya, dengan mendapatkan keluarga yang hidup dengan berkecukupan atau tiba-tiba datang segepok dirham tanpa diduga. Toh, kebahagiaan memiliki bilang makna yang tak terkira.
Tapi bagi mereka yang suka berpikir tak akan pernah selesai dengan sederhana. Ia akan berhenti jika hidup ini berhenti berdenyut. Kamu telah meninggal, memang. Tapi, tidakkah kamu mengerti, bahwa hidup ini akan terus berputar.
Soe,
saya tahu, sekarang ini di dunia kamu saat ini, kamu pasti tidak bisa berhenti berpikir, memikirkan negaramu saat ini yang tambah kacau dan tak menentu; harga-harga yang kian tak terjangkau, pongah para pejabat yang kian tak masuk akal, serta rintih masyarakat yang begitu memekakan telinga.
Umur kita bertaut hampir 60 tahun. Tapi keadaaan saat itu saya yakin hampir serupa dengan jamanku saat ini. Reformasi ’98 tidak memberikan keamanan dan kenyamanan dalam hal ekonomi bagi masyarakat bawah. Tentu saja hal itu serupa saat kalian turun ke jalan memaksa diturunkannya harga-harga pada tahun ’66.
Apakah kamu bahagia di alam sana?
Saya tidak yakin. Tapi mungkin kamu akan sedikit lebih beruntung. Kamu bisa langsung bercakap dengan pelbagai orang yang tidak bahagia sepertimu. Saya membayangkan dirimu tiap pagi membaca koran dan berdiskusi dengan pemikir lintas generasimu seperti Gus Dur, Yap Thiam Thien, Romo Mangunwijaya, Pramodya Ananta Toer, WS Rendra dan mungkin juga dengan Mbah Surip.
Oh ya, Soe. Apakah kamu sudah berbaikan dengan Bung Karno? Saya yakin, kamu malah mengajaknya untuk berdebat. Tapi sejurus kemudian saling cekikian bersama.
Pastinya, sekarang ini Bung Karno tidak akan meledekmu gara-gara setelan safari yang kedodoran kala kamu seperti saat bertandang ke istana negara tempo itu.
Saya tidak bermaksud untuk menulis surat kepadamu, seperti halnya orang-orang yang menuliskan surat kepada orang yang dikaguminya. Sebenarnya saya tidak terlalu mengagumimu selepas tahu bahwa dirmu adalah eksponen GMSos/PSi dan walaupun—akhirnya—kamu menyadari dan keluar sebab perjuangan mereka adalah lip service semata.
Tapi, apakah kamu sekarang bahagia? Saya tidak bisa menebaknya.
Soe pergi menuju kawan karibnya, Daniel-Lev, dan mendengarkannya berucap lirih kepadanya. Ia ingin berkeluh perihal otaknya tak bisa sejenak untuk beristirahat dari gelisah yang entah. Bayangan perihal karut-marutnya negeri membuatnya tak berhenti.
“Soe, kau adalah seorang pemikir. Orang-orang seperti itu selalu menanyakan tentang nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka tidak pernah akan bahagia, dan tak akan pernah puas. Terimalah kenyataan ini.”
Soe,
Saya baru baca penutup tulisanmu yang bertajuk ‘Awal dan Akhir’ di harian Sinar Harapan (7 April 1969). Sebuah pertanyaan muncul di benak saya, apakah benar seorang pemikir itu tidak bisa bahagia? Lalu, apa yang kamu—dan orang-orang sepertimu cari?
Saya tidak bisa mendefinisikan apa itu kebahagiaan. Absurd. Tidak adanya kriteria mendasar perihal bahagia ini merupa lembah belukar yang terkadang tak bisa dilalui. Namun semua pasti sepakat, ada yang mampu untuk sekadar membelah belukar itu dan menjadikannya sebuah taman yang asri penuh bunga dan—konon—itulah kebahagiaan.
Seorang pemikir bukanlah mereka yang bekerja hanya dengan pikiran semata, berkehendak dengan otak dan bertutur laiknya nabi yang memberikan petuah. Toh, nabi saya kira bukanlah seorang pemikir. Ia adalah pewarta yang menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan kepada manusia.
Kita bisa berdebat panjang soal itu.
Tapi, seorang pemikir sering diasosiasikan sebagai orang yang murung, berjalan dengan ringkih dan berkacamata tebal, serta tak akan pernah lekang dari buku. Atau jika menemukannya ia termenung, ia akan terus berdiam dan enggan untuk sekadar disapa.
Pun kalau ia berbicara, orang-orang akan siap diberi amanah untuk menjadi kawan bercakap yang entah kapan akan berakhir dengan kesepaktan dan kesepahaman. Sebab argumentasi yang ndakik dan mungkin serba awang-awang akan tersaji. Beruntung jika kawan bicara ini mempu mengimbangi. Berita buruk jika ia tidak sanggup, maka alamat sengsara.
Nah, seorang pemikir ini biasanya adalah orang yang hidupnya tidak bahagia, seperti kata Daniel Lev. Orang yang tidak pernah bisa berhenti memikirkan segala hal, tak akan usai untuk mengejar harapan, dan tak pernah lekang menimbang segala perbedaan. Itulah sikap atau semacam sembahyang yang dilakukan orang model dirimu.
Konon, seorang pemikir itu makanannya adalah segala yang berbau kericuhan, persoalan bangsa yang tak pernah tuntas. Itu adalah asupan gizi dari makanan saban hari yang harus ia terima seperti halnya Daniel Shilton yang harus terima mendapatkan gol dari Maradona—walaupun itu menggunakan tangan. Hidup bagi mereka adalah sebuah takdir magis yang harus dilalui.
Orang biasa kerap berkilah, bahagia itu sederhana. Misalnya, dengan mendapatkan keluarga yang hidup dengan berkecukupan atau tiba-tiba datang segepok dirham tanpa diduga. Toh, kebahagiaan memiliki bilang makna yang tak terkira.
Tapi bagi mereka yang suka berpikir tak akan pernah selesai dengan sederhana. Ia akan berhenti jika hidup ini berhenti berdenyut. Kamu telah meninggal, memang. Tapi, tidakkah kamu mengerti, bahwa hidup ini akan terus berputar.
Soe,
saya tahu, sekarang ini di dunia kamu saat ini, kamu pasti tidak bisa berhenti berpikir, memikirkan negaramu saat ini yang tambah kacau dan tak menentu; harga-harga yang kian tak terjangkau, pongah para pejabat yang kian tak masuk akal, serta rintih masyarakat yang begitu memekakan telinga.
Umur kita bertaut hampir 60 tahun. Tapi keadaaan saat itu saya yakin hampir serupa dengan jamanku saat ini. Reformasi ’98 tidak memberikan keamanan dan kenyamanan dalam hal ekonomi bagi masyarakat bawah. Tentu saja hal itu serupa saat kalian turun ke jalan memaksa diturunkannya harga-harga pada tahun ’66.
Apakah kamu bahagia di alam sana?
Saya tidak yakin. Tapi mungkin kamu akan sedikit lebih beruntung. Kamu bisa langsung bercakap dengan pelbagai orang yang tidak bahagia sepertimu. Saya membayangkan dirimu tiap pagi membaca koran dan berdiskusi dengan pemikir lintas generasimu seperti Gus Dur, Yap Thiam Thien, Romo Mangunwijaya, Pramodya Ananta Toer, WS Rendra dan mungkin juga dengan Mbah Surip.
Oh ya, Soe. Apakah kamu sudah berbaikan dengan Bung Karno? Saya yakin, kamu malah mengajaknya untuk berdebat. Tapi sejurus kemudian saling cekikian bersama.
Pastinya, sekarang ini Bung Karno tidak akan meledekmu gara-gara setelan safari yang kedodoran kala kamu seperti saat bertandang ke istana negara tempo itu.
Saya tidak bermaksud untuk menulis surat kepadamu, seperti halnya orang-orang yang menuliskan surat kepada orang yang dikaguminya. Sebenarnya saya tidak terlalu mengagumimu selepas tahu bahwa dirmu adalah eksponen GMSos/PSi dan walaupun—akhirnya—kamu menyadari dan keluar sebab perjuangan mereka adalah lip service semata.
Tapi, apakah kamu sekarang bahagia? Saya tidak bisa menebaknya.
Sumber: http://blogdedikpriyanto.blogspot.com/2013/04/apakah-seorang-pemikir-bisa-bahagia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please isi yupz