BAB I
PENDAHULUAN
11
Latar
Belakang
Pembaharuan Hukum Islam terus berkembang di
Negara-negara muslim, atau bukan muslim tapi memiliki mayoritas penduduknya muslim,
disebabkan begitu kompleksnya problem yang muncul dipermukaan akan tetapi
Al-Qur’an dan sunnah tidak menjelaskan secara eksplisit dan implisit, di antara pembaharuan hukum Islam
yang terjadi banyak pada bidang perkawinan, diantaranya aspek pencatatan
perkawinan.
Terdapat fenomena yang menyakitkan, terutama
pada posisi perempuan dan anak, perkawinan tanda adanya catatan dari PPN
sebagai tugas dari pemerintah, menjadikan sewenang-wenangnya seorang lelaki
yang tidak bertanggung jawab untuk melaksanakan perkawinan setelah itu
melepaskan tanggung jawabnya dalam menafkahi istri dan anak-anaknya, karena tak
ada bukti otentik yang menjelaskan tentang adanya perkawinan, sehingga
menyulitkan sang istri untuk menuntut haknya kepada pengadilan, ini slah satu
problem sehingga melahirkan kebutuhan adanya pencatatan perkawinan.
Berkembangnya zaman, mayoritas negara-negara
dengan islam sebagai agama resmi, atau muslim
menjadi mayoritas penduduk terbanyak di negara itu, mengharuskan adanya
pencatatan perkawinan sebagai salah satu upaya-upaya untuk memastikan hukum.
Lalu bagaimanakah pencatatan perkawinan menurut fiqh konvensional dan klasik,
melihat tidak adanya dalil al Qur’an dan Sunnah yang terkait dengan pencatatan
perkawinan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat diambil rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana
perbandingan pencatatan perkawinan di negara Islam ?
2.
Bagaimana
perbandingan pencatatan perkawinan di negara Islam dengan Indonesia (KHI &
uu perkawinan tahun 1974) ?
3.
Bagiamana
pencatatan perkawinan dalam perspektif fiqih klasik dan konfensional ?
BAB II
PEMBAHASAN
I.
PERBANDINGAN
PENCATATAN PERKAWINAN DI NEGARA ISLAM
a.
IRAN
Iran menetapkan
bahwa setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan. Perkawinan atau perceraian yang
tidak dicatatkan adalah satu
pelanggaran.
Upaya kodifikasi hukum Islam, khususnya hukum
keluarga di Iran sebagai bagian dari hukum
perdata dilakukan pada tahun 1928-1935. Selanjutnya, pada tahun 1927,
Menteri Keadilan Iran membentuk Komisi yang bertugas menyiapkan draft hukum
perdata. Ketentuan yang berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum waris lebih
mencerminkan unifikasi dan kodifikasi hukum syari`ah, sedangkan
ketentuan-ketentuan di luar itu diambil dari Kode Napoleon selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari`ah. Draft yang disusun oleh komisi
tersebut kemudian ditetapkan sebagai Qanun Madani (Hukum Perdata) dalam
tiga tahap, antara tahun 1928-1935
Hukum Perdata Iran khususnya hukum waris dan hukum keluarga didasarkan pada hukum tradisional
Syi`ah Itsna Asy`ariyah (Ja`fari). Untuk materi hukum waris, hingga sekarang
tetap diberlakukan tanpa ada perubahan sedangkan hukum perkawinan dan
perceraian mengalami reformasi. Reformasi hukum ini telah beberapa kali
dilakukan, namun upaya reformasi hukum yang dinggap cukup substansial dilakukan
pada tahun 1967. Upaya ini kemudian menghasilkan Hukum Perlindungan Keluarga (Qanun
Himayat Khaneiwada). Undang-undang ini bertujuan mengatur institusi
perceraian dan poligami agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang.
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu
materi reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Iran. Dalam hal ini, setiap
perkawinan, sebelum dilaksanakan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang
sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan tentang pencatatan perkawinan ini
merupakan pembaruan yang bersifat regulatory (administratif).
Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak sampai mengakibatkan tidak sahnya
pernikahan, namun terhadap pelanggarnya dikenai hukuman fisik, yaitu penjara
selama satu hingga enam bulan (Hukum Perkawinan 1931, Pasal 1) Peraturan
seperti ini tidak ditemui dalam pemikiran fiqh klasik, baik dalam mazhab Syi`i
maupun Sunni.
b.
MESIR
Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir
di mulai dengan terbitnya Ordonasi 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan
pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksananan pencatatan nikah kepada kemauan para pihak yang berakad
dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonasi tahun 1880 itu diikuti dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal 31
menyatakan bahwa gugatan perkara nikah
atau pengakuan adanya hubungan perkawiann tidak akan didengar oleh pengadilan
setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan adanya
suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Tampak bahwa pasal ini mengandung
persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu agar dapat dijadikan dasar
keputusan. Demikian pula Ordonasi tahun 1921 mengandung ketentuan bahwa dokumen
itu harus bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang yang ditugaskan untuk
itu[1].
Dari sini jelaslah bahwa undang-undang di mesir
mengambil prinsip tidak mendengarkan suatu gugatan dalam kasus-kasus perkawinan dan akibat-
akibat hukumnya apabila perkawinan tersebut tidak terbukti berdasarkan suatu
dokumen resmi yang diterbitkan oleh pejabat berwenang, seperti hakim dan
pegawai pencatat nikah atau kosul (untuk luar negeri).
c.
YORDANIA
UU Yodania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan
adanya pencatatan perkawinan dan yang melanggar dapat dihukum baik mempelai
maupun pegawai dengan hukuman pidana. Diantaranya pada Undang-undang
tahun 1976 pasal 17 menyatakan bahwa laki-laki mendatangkan qodhi atau wakil
dalam upacara, untuk mencatat dan mengeluarkan sertifikat nikah, jika tidak
mendatangkan qodhi maka semua pihak yang
terlibat (dua mempelai, wali dan 2 saksi) dikenai hukuman berdasarkan jordanian penal code atau membayar denda
lebih dari seratus dinar[2].
d.
TURKI
Pencatatan perkawinan harsus dilakukan. Dalam permohonan perkawinan calon suami dan
calon istri wajib menyatakan persetujuan atas perkawinan mereka tanpa ada
paksaan. Pencatatan perkawinan boleh dilakukan di tempat domisili calon suami
atau calon istri. Dokumen yang hasrus dibawa:
1.
Kartu
Identitas
2.
Surat
Dokter
3.
Surat
keterangan masih lajang dari desa setempat
4.
Pasfoto
e.
MALAYSIA
Dalam Hukum
Perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan .
Proses pencatatan dilakukan setelah
selesai akad nikah. Contohnya teks UU
Pinang 1985 pasal 25; “Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiap-tiap
orang yang bermastautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkawinan tiap-tiap
orang yang tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulai Pinang
hendaklah didaftarkan mengikuti Enakmen ini”. Bagi orang yang tidak mencatatkan
perkawinannya merupakan perbautan pelanggaran dan dapat dihukum dengan hukuman
denda atau penjara, akan tetapi ada undang-undang Malaysia juga yang menyatakan
bahwa pendaftarannya dilaksanakan minimal 7 hari sebelum pernikahan.
f.
SAUDI
ARABIA
Tidak ada campur tangan pemerintah termasuk dalam kaitannya
pencatatan perkawinan.
g.
PALESTINA
Sama dengan mayoritas negara Islam yang lain, di Palestina juga
mewajibkan pencatatan perkawinan dan
menyiapkan sanksi jika tidak melakukannya, akan tetapi tidak berarti tidak sah
perkawinan jika tidak dicatatkan.
Dari pemaparan sedikit diatas menunjukkan bahwa mayoritas negara
Islam mewajibkan adanya pencatatan perkawinan hanya dengan prosedur
dan syarat-syarat yang berbeda-beda, begitu juga dengan sanksi, tidak semua
negara Islam yang mewajibkan pencatatan lantas juga mewajibkan sanksi jika
tidak melakukan pencatatan perkawinan. Sedangkan di Saudi Arabia masih belum memastikan
tentang adanya pemcatatan, karena sumber
hukumnya masih murni mengambil dari Al Qur'an, sunnah dan fiqh Imam Hanbali.
II. PERBANDINGAN
PENCATATAN PERKAWINAN DI NEGARA ISLAM DENGAN INDONESIA (KHI & UU PERKAWINAN
TAHUN 1974)
2. 1 PROSEDUR
PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA
Salah satu
permasalahan yang timbul
dikalangan pengkaji hukum Islam dalam masa modern ini adalah mengenai
pencatatan nikah terutama mengenai dimana posisi pencatatan nikah dalam
sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung kewajiban untuk
mencatatkan perkawinan, yaitu ulama kontemporer, dan sebagian lainnya terutama
para ulama klasik sebaliknya tidak menjadikan pencatatan nikah sebagai aturan
yang harus dijalankan. Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini pemakalah akan
memaparkan beberapa hal yang terkait dengan pencatatan pernikahan.
Di Indonesia
sendiri dalam hal prosedur pencatatan perkawinan harus memenuhi
2 syarat yaitu sebagai berikut:
1.
Syarat syarat internal absolut antara lain
meliputi
a)
Persetujuan dari kedua calon mempelai
b)
Izin orang tua kalau calon mempelai belum
berusia 21tahun
c)
Usia min untuk laki-laki 19tahun dan 16tahun
untuk perempuan. Apabila belum mencapai maka harus ada izin dari pengadilan.
d)
Calon mempelai tidak terikat perkawinan dengan
orang, kecuali dalam poligami yang diperbolehkan oleh undang-undang
e)
Telah habis masa iddahnya bagi wanita yang
telah diceraikan atau ditinggal mati suaminya[3].
2.
Syarat-syarat ekstern
Yang dimaksud
syarat-syarat ekstern ini adalah merupakan syarat-syarat yang berhubungan
dengan cara atau formalitas perlangsungan perkawinan.[4]
Adapun
syarat-syarat tersebut antara lain
a.
Pemberitahuan, setiap orang yang akan
melaksanakan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada PPN
sekurang-kurangnya 10hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan
kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya
dengan membawa surat-surat sebagai berikut
·
Surat persetujuan calon mempelai
·
Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau
surat asal usul
·
Surat keterangan tentang orang tua
·
Surat keterangan untuk nikah
·
Surat izin kawin bagi anggota ABRI
·
Akta cerai talak/cerai gugatan bagi calon
janda/duda
·
Surat keterangan kematian suami/istri yang
dibuat oleh kepala desa tempat tinggal yang bersangkutan bagi calon yang
seorang janda/duda karena cerai mati.
·
Surat izi dispensasi bagi calon dibawah usia
minimum
b.
Pemeriksaan nikah, pemeriksaan terhadap calon
suami,calon istri, dan wali nikah sebaiknya dilakukan secara bersama-sama,
tetapi tidak ada halangannya bagi yang dilakukan sendiri
c.
Pengumuman kehendak nikah, pengumuman tersebut
dilakukan oleh
·
PPN di KUA tempat perkawinan akan dilakukan dan
di KUA ditempat masing-masing calon mempelai
·
Oleh pembantu PPN diluar jawa ditempat-tempat
yang mudah diketahui orang
d.
Akad nikah dan pencatatan, akad nikah
dilangsungkan di bawah pengawasaan/dihadapan PPN setelah akad nikah
dilangsungkan, maka nikah itu dicatatkan dalam Akta Nikah
e.
Persetujuan, izin dan dispensasi, setiap
perkawinan harus mendapat persetujuan dari kedua calon mempelai
f.
Penolakan kehendak nikah, apabila ada
persyaratan yag tidak terpenuhi,maka PPN atau pembantu PPN harus menolak
pelaksanaan pernikahan.[5]
2.2 Hukuman bagi
pelaku perkawinan tidak dicatat, berikut bentuk hukuman :
1.
UU nomor 22 Tahun 1946 pasal 3 menentukan
hukuman denda bagi suami yang menikah tidak dihadapan PPN sebanyak-banyaknya
Rp. 50.00
2.
Lalu pasal 45 PP Nomor 9 tahun 1975 tentang
peraturan pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan yang
tidak dilaksanakan di depan PPN, dikenakan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.
7,500,00, pihak melanggat ialah kedua mempelai.
3.
Pasal 143 RUU-HM-PA-B perkawinan tahun 2007,
menyatakan pidana denda paling banyak Rp.6,000,000,00 atau hukuman kurungan
paling lama 6 bulan[6].
Tujuan
pencatatan perkawinan
Pada dasarnya,
fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti
yang dianggap sah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen
resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang
bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan,
ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang
lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan
lain sebagainya.
Selain itu
disebutkan dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan
adalah agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal 1
ayat (1) UU tersebut dijelaskan bahwa: “ Maksud pasal ini ialah agar nikah, talak dan rujuk menurut agama Islam dicatat
agar mendapat kepastian hukum.
Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk
harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan , kematian dan sebagainya. Lagi
pula perkawinan bergandengan rapat dengan waris sehingga perkaiwnan perlu
dicatat untuk menjaga jangan sampai ada kekacauan. Selanjutnya tersebut pula
dalam Kompilasi Hukum Isla m disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan
dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk
terjaminnya ketertiban perkawinan. dan ditegaskan Perkawinan yang dilakukan
diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
Beberapa akibat negatif disebabkan tidak
dicatatkannya suatu akad pernikahan adalah:
1.
Sebagaiman penjelasan sebelumnya, bahwa tujuan
pencatatan nikah adalah untuk kepastian hukum. Sehingga jika terjadi sengketa
dalam perkawinan maka akan kesulitan dalam pemecahan permasalahan di
pengadilan.
2.
Terkait nikah siri (nikah yang tidak tercatat
Negara), akibatnya tidak memiliki Akta Nikah, dalam banyak kasus yang banyak dirugikan adalah
pihak Istri.
Siti Lestari
dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan atau LBH APIK yang
dalam kegiatannya memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya
perempuan, mengatakan bahwa pernikahan siri ternyata banyak memberikan kerugian
terhadap perempuan. Menurutnya, apa-apa yang berdampak dari perkawinan siri
secara hukum tidak diakui. Maka apabila pasangan siri tersebut menginginkan
perceraian, maka cerainya pun hanya dengan kesepakatan, tetapi pihak perempuan
tidak dapat menuntut, misalnya atas hak nafkahnya, hak perwalian anak, dan
sebagainya apabila sang suami tidak mau memberi
3.
Kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak.
Padahal dewasa ini akta kelahiran menjadi alat yang sangat penting terutama
sebagai syarat masuk sekolah. Sehingga masa depan anak ikut terkena dampak
buruknya.
Dampak Negatif Adanya Pencatatan Nikah
Hal negatif yang mungkin saja bisa timbul akibat
pencatatan nikah (Akta nikah) adalah surat nikah kadang-kadang dijadikan alat
untuk melegalkan perzinaan atau hubungan melanggar syar’iy antara suami isteri
yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai,
namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih
memegang surat nikah.
Pentingnya Pencatatan Nikah
Beberapa hal mengenai pentingnya suatu akad
nikah dicatatkan:
1.
Sebagaimana tersebut dalam tujuan Pencatatan
nikah, dengan adanya akta nikah maka seseorang memiliki bukti yang sah menurut
Negara sehingga jika terjadi suatu masalah, Negara dengan kekuasaannya dapat
mengadili.
2.
Dalam Syari’ah Islam ketetapan seorang anak sah hanya dapat dilakukan
dengan ikrar atau pembuktian dengan
adanya dua orang saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat menjanjikan lagi maka
penacatatan nikah menjadi hal yang representative untuk mencapai tujuan
maslahah.
3.
Begitu pentingnya alat bukti dalam satu
perkawinan sehingga Rasulullah pernah menyatakan bahwa nikah tanpa saksi
identik dengan perbuatan zina. Bahkan Nabi SAW mensunahkan untuk mengadakan walimah
atau i’lan nikah.
PENCATATAN
PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH KLASIK DAN KONFENSIONAL
Meninjau pencatatan perkawinan di zaman Nabi, Sahabat dan tabiin
tidak ada, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan
perkawinan dilihat pada sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, Hadist serta fiqih
klasik secara eksplisit tidak mengatur
atau menyinggung terkait pencatatan perkawinan. Terdapat beberapa keadaan
kenapa pencatatan tidak ada di zaman itu, diantaranya pada zaman Nabi
masyarakatnya lebih ahli dan
mengandalkan hafalan/ingatan, dan memang zaman itu pencatatan belum dibutuhkan.
Lalu seiring perkembangan zaman yang dikatakan era globalisasi,
muncul problematika-problematika perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya
pencatatan atau nikah dibawah tangan (nikah sirri) sehingga memunculkan
kebutuhan adanya campur tangan pemerintah dalam perkawinan berupa pencatatan[7].
Ayat atau sunnah tidak mengatur tentang adanya pencatatan, namun
jika kita melihat dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang menjadi dasar hukum
hutang piutang atau dikenal dengan ayat mudayanah dapat ditarik sebagai dasar pencatatan
dengan istinbath berupa qias, berikut ayatnya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا
عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الآُخْرَى وَلا
يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ
كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ
لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاّ تَرْتَابُوا إِلاّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاّ
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
sseorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu),
kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tidak ada dosa bai kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah Maha
mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Dari ayat ini menunjukkan anjuran, bahkan sebagian ulama anjuran ini bersifat kewajiban
untuk mencatat utang piutang dan mendatangkan saksi di hadapan pihak ketiga
yang dipercaya. Selain itu, ayat ini juga menekankan perlunya menulis utang
walaupun hanya sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. bertujuan
untuk menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian hari.[8]
Dengan ayat ini dapat ditarik istinbath
dengan qias (analog) bahwa jika perjanjian yang berhubungan dengan harta saja
dianjurkan untuk dicatatkan diatas hitam dan putih, bagaimana dengan
perkawinan, sebagai ikatan lahir bathin antara laki-laki dan perempuan yang
disebut dalam al qur’an sebagai mitsaqon ghalidza dengan tujuan membina
keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Dengan diabsahkannya pencatatan perkawinan di
mayoritas negeri muslim, bukan masalah campur tangan urusan agama dengan
masyarakat, tapi pencatatan kejadian
penting yang dilakukan penduduknya menjadi tugas pemerintah untuk
mencatatkan sebagai bukti otentik seperti kelahiran anak (akta lahir), pernikahan,
pembuatan KTP, SIM, dll[9].
Selain dengan konsep qias, dalil maslahah dapat
dijadikan dasar penetapan pencatatan nikah. Menurut Assyatibi, syarat maslahah
ialah
ü
harus bersifat logis,
ü
bukan termasuk ta’abbudi dan
ü
tidak ada dalil qath’iy yang menyatakan atau
menolak.
Sedangkan Imam al Ghazali memberikan syarat
untuk menjadikan isthlah sebagai metode yaitu
ü Sejalan dengan
syariah
ü tidak
bertentangan dengan syariah
ü maslahah ini
masuk kategori kebutuhan dloruriyah (primer)[10]
Melihat
situasi dan kondisi tentang kebutuhan pencatatan perkawinan yang bisa dikatakan
termasuk kategori dlaruriyah, karena terdapa madlarat yang besar jika tidak
melaksanakan pencatatan, seperti fakta yang ada, banyak pelaku prostitusi
melegalkan hubungan badan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai nikah gadungan,
akibatnya tentu banyak merugikan seorang perempuan, anak jika ternyata dari
hasil berhubungan itu menghasilkan anak. Dan seandainya lelaki yang melakukan transaksi
tersebut terikat perkawinan, maka memungkinkan terjadinya perceraian.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Pencatatan perkawinan telah diwajibkan di beberapa Negara Islam
dengan prosedur dan tatacara yang berbeda satu sama lain, sesuai kebutuhan
negaranya, begitu pula di Indonesia telah mewajibkan penduduknya untuk
mendaftarkan pencatatan perkawinan dengan di undang-undangkannya KHI, UU nomor
1 tahun 1974, PP Nomor 9 tahun 1975 tentang peraturan
pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974 dan beberapa undang-undang sebelumnya.
Di Indonesia
hanya memberikan sanksi berupa denda kepada pihak yang tidak mencatatkan
perkawinan, karena dirasa belum mencukupi pemerintah juga telah merancangkan UU
tentang adanya sanksi pidana pada pihak yang tidak mencatatkan di depan PPN,
akan tetapi masih penuh pro dan kontra, sehingga sampai saat ini masih belum
disepakati.
Adapun landasan hukum pencatatan perkawinan dapat diqiaskan pada
surat Al Baqarah ayat 282, dan ditinjau dari perspektif maslahah adanya
pencatatan, karena pokok dari tujuan/maqashid syariah adalah menarik kerusakan
lebih didahulukan daripada menari kemaslahatan.
Daftar Pustaka
Anhari, SH. Mpdi, DR. HA Masyhur. Usaha-usaha untuk memberikan
kepastian hukum.
Djubaidah, S.H. M. H. Neng.
2010. Pencatan perkawinan & Perkawinan tidak dicatat. Jakarta
: Sinar Grafika.
Mardani. 2010. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern.
Jakarta: Graha Ilmu.
Pencatatan nikah dalam perspektif maslahah (analisis RUU Hukum
materiil PA tentang perkawinan). Tesis oleh Iis Inayatul Afiyah
Shihab, M.Quraish. 2004.Tafsir al-Misbah. Jakarta : Lentera
Hati.
Anwar, Syamsul. Islam,
Negara, dan Hukum. Jakarta; INIS.
[2] Pencatatan nikah dalam perspektif maslahah (analisis RUU Hukum materiil
PA tentang perkawinan). Tesis oleh Iis Inayatul Afiyah
[3] DR. HA Masyhur Anhari, SH. Mpdi., Usaha-usaha untuk memberikan
kepastian hukum. Hlm 26
[4] Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Graha
Ilmu, 2010)
[5] Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Graha
Ilmu, 2010)
[6] Neng Djubaidah, S.H. M. H. Pencatan perkawinan & Perkawinan tidak
dicatat (Jakarta : Sinar Grafika, 2010) hlm 354-356
[7] Pencatatan nikah dalam perspektif maslahah (analisis RUU Hukum
materiil PA tentang perkawinan). Tesis oleh Iis Inayatul Afiyah
[9] Pencatatan nikah dalam perspektif maslahah (analisis RUU Hukum
materiil PA tentang perkawinan). Tesis oleh Iis Inayatul Afiyah
[10] ibid
BAGUS IKUT COPAS YAAAA, BUAT MELENGKAPI MAKALAH, MKS
BalasHapus