Selasa, 09 Agustus 2016

Implikasi Independesi Kekuasaan Kehakiman Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia

Terdapat tiga periode yang merupakan periode perkembangan sistem ketatanegaraan di Indonesia, yaitu pascaproklamasi, atau lebih lazim dikenal dengan orde lama. Yang kedua adalah orde baru dan yang ke tiga adalah orde reformasi. Masing-masing dari periode tersebut memiliki perbedaan yang sangat kentara dalam hal penegakan hukum.

Yang paling vital dalam hal penegakan hukum adalah lembaga yang terkait langsung, yaitu adalah lembaga yudikatif. Menurut Montesqueiu bahwa kekuasaan negara terbagi menjadi 3 cabang, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Idealnya menurut Montesqueiu bahwa ke tiga komponen tersebut haruslah memiliki kewenangan yang tidak dapat terintervensi satu sama lain. Namun dalam implementasinya bahwa konsep ideal montesque belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Pada masa orde lama lembaga yudikatif atau kehakiman tidaklah sepenuhnya memiliki independensi baik secara etis (personal hakim) dan secara organisatoris (lembagaan kehakiman), ditambah lagi pada masa ini terdapat kelemahan instrumen dalam undang-undang yang memperkuat paham executive weavy  bahwa Presiden atas nama revolusi, kehormatan bangsa negara dan kepentingan mendesak dapat mengambil tugas yudikatif. Kewenangan ini terdapat dalam Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Berbeda dari pada orde lama yang lebih memihak pada satu kekuatan dengan jalan “pemihakan” konstitusi, bahwa orde baru memiliki kelemahan instrumen pada tataran implementasi. Presiden dari waktu ke waktu memiliki kekuasaan yang meluas dan tidak diimbangi oleh pengawasan dari lembaga lain atau lebih parahnya lagi lembaga tersebut mendukung kekuasaan Presiden tersebut. Selain itu, dalam konstitusi memang tidak dinyatakan secara tegas tentang ke-independensi-an lembaga yudikatif, namun dalam implementasinya bahwa orde baru juga memiliki ciri executive weavy, hal tersebut dikarenakan pemerintah memiliki kuasa tunggal untuk memberikan tafsir UUD yang ketika itu dalam penjelasannya pemerintah memiliki tanggungjawab penuh dalam penyelenggaraan negara. Atas dasar inilah dapat dikatakan terdapat pertentangan dengan paham pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan.

Kelemahan-kelemahan di atas merupakan kelemahan yang cukup serius khususnya dalam penegakan hukum di Indonesia yang merupakan negara hukum. Semangat reformasi konstitusi pasca tumbangnya orde baru salah satunya adalah untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia yang memberikan pola hubungan yang lebih egaliter dan produktif diantara poros-poros kekuasaan Negara. Pola tersebut diterapkan melalui demokrasi konstitusional dengan instrumen check and balance yang menjamin kebebasan masing-masing cabang kekuasaan negara, sekaligus menghindari persinggungan dan campur tangan antar kekuasaan tersebut.

Lembaga peradilan yang merupakan cabang kekuasaan yudikatif pada masa reformasi khususnya setelah amandemen UUD yang ke empat kalinya memiliki perbedaan yang sangat signifikan dari pada sebelumnya, diantaranya bahwa

1.     Secara eksplisit independensi kekuasaan kehakiman tercantum dalam UUD NRI 1945;
2. Munculnya Mahkamah Konstitusi sebagai cabang baru dari kekuasaan kehakiman, yang sebelumnya Mahkamah Agung sebagai pelaku satu-satunya, MK memiliki wewenang melakukan judicial review UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran Parpol, memutus sengketa tentang hasil pemilu;
3.    Munculnya Komisi Yudisial yang memiliki kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Independensi kehakiman merupakan instrumen penting dalam pembangunan demokrasi di Indonesia dan sebagai penjaga kedaulatan negara, dengan lembaga peradilan yang independen dan tidak memihak akan memberikan kepastian hukum yang adil dengan pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri. Selain itu perlunya independensi ini adalah untuk penegakan hukum yang merupakan upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan – hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sebagai negara modern, Indonesia haruslah memiliki kekuasaan kehakiman yang independen. Karena pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau diberlakukan. Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin kompleks dan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya, yang memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi proses penegakan hukum.


Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang independen memiliki pengaruh terhadap penegakan hukum di Indonesia, jika lembaga peradilan beserta hakimnya terbebas dari intervensi dari pihak manapun, maka keputusan yang dihasilkan adalah keputusan yang mengedepankan keadilan. Sebaliknya, jika lembaga kehakiman dan hakimnya terpengaruh intervensi maka keputusan yang dihasilkan pun akan menyalahi rasa keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz