Terdapat tiga periode yang merupakan periode perkembangan sistem
ketatanegaraan di Indonesia, yaitu pascaproklamasi, atau lebih lazim dikenal
dengan orde lama. Yang kedua adalah orde baru dan yang ke tiga adalah orde
reformasi. Masing-masing dari periode tersebut memiliki perbedaan yang sangat
kentara dalam hal penegakan hukum.
Yang paling vital dalam hal penegakan hukum adalah lembaga yang
terkait langsung, yaitu adalah lembaga yudikatif. Menurut Montesqueiu bahwa
kekuasaan negara terbagi menjadi 3 cabang, yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Idealnya menurut Montesqueiu bahwa ke tiga komponen tersebut
haruslah memiliki kewenangan yang tidak dapat terintervensi satu sama lain.
Namun dalam implementasinya bahwa konsep ideal montesque belum sepenuhnya dapat
diwujudkan. Pada masa orde lama lembaga yudikatif atau kehakiman tidaklah
sepenuhnya memiliki independensi baik secara etis (personal hakim) dan secara
organisatoris (lembagaan kehakiman), ditambah lagi pada masa ini terdapat
kelemahan instrumen dalam undang-undang yang memperkuat paham executive
weavy bahwa Presiden atas nama
revolusi, kehormatan bangsa negara dan kepentingan mendesak dapat mengambil
tugas yudikatif. Kewenangan ini terdapat dalam Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berbeda dari pada orde lama yang lebih memihak pada satu kekuatan
dengan jalan “pemihakan” konstitusi, bahwa orde baru memiliki kelemahan
instrumen pada tataran implementasi. Presiden dari waktu ke waktu memiliki
kekuasaan yang meluas dan tidak diimbangi oleh pengawasan dari lembaga lain
atau lebih parahnya lagi lembaga tersebut mendukung kekuasaan Presiden
tersebut. Selain itu, dalam konstitusi memang tidak dinyatakan secara tegas
tentang ke-independensi-an lembaga yudikatif, namun dalam implementasinya bahwa
orde baru juga memiliki ciri executive weavy, hal tersebut dikarenakan
pemerintah memiliki kuasa tunggal untuk memberikan tafsir UUD yang ketika itu
dalam penjelasannya pemerintah memiliki tanggungjawab penuh dalam
penyelenggaraan negara. Atas dasar inilah dapat dikatakan terdapat pertentangan
dengan paham pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan.
Kelemahan-kelemahan di atas merupakan kelemahan yang cukup serius
khususnya dalam penegakan hukum di Indonesia yang merupakan negara hukum.
Semangat reformasi konstitusi pasca tumbangnya orde baru salah satunya adalah
untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia yang memberikan pola hubungan
yang lebih egaliter dan produktif diantara poros-poros kekuasaan Negara. Pola
tersebut diterapkan melalui demokrasi konstitusional dengan instrumen check
and balance yang menjamin kebebasan masing-masing cabang kekuasaan negara,
sekaligus menghindari persinggungan dan campur tangan antar kekuasaan tersebut.
Lembaga peradilan yang merupakan cabang kekuasaan yudikatif pada
masa reformasi khususnya setelah amandemen UUD yang ke empat kalinya memiliki
perbedaan yang sangat signifikan dari pada sebelumnya, diantaranya bahwa
1.
Secara
eksplisit independensi kekuasaan kehakiman tercantum dalam UUD NRI 1945;
2. Munculnya
Mahkamah Konstitusi sebagai cabang baru dari kekuasaan kehakiman, yang
sebelumnya Mahkamah Agung sebagai pelaku satu-satunya, MK memiliki wewenang
melakukan judicial review UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus
pembubaran Parpol, memutus sengketa tentang hasil pemilu;
3. Munculnya
Komisi Yudisial yang memiliki kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Independensi kehakiman merupakan instrumen penting dalam
pembangunan demokrasi di Indonesia dan sebagai penjaga kedaulatan negara,
dengan lembaga peradilan yang independen dan tidak memihak akan memberikan
kepastian hukum yang adil dengan pertimbangan dan kewenangan hakim yang
mandiri. Selain itu perlunya independensi ini adalah untuk penegakan hukum yang
merupakan upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan – hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sebagai negara modern, Indonesia haruslah memiliki kekuasaan kehakiman
yang independen. Karena pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau diberlakukan.
Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin kompleks dan semakin
birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya, yang memegang peranan
penting dalam proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat
penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi
proses penegakan hukum.
Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
yang independen memiliki pengaruh terhadap penegakan hukum di Indonesia, jika
lembaga peradilan beserta hakimnya terbebas dari intervensi dari pihak manapun,
maka keputusan yang dihasilkan adalah keputusan yang mengedepankan keadilan.
Sebaliknya, jika lembaga kehakiman dan hakimnya terpengaruh intervensi maka
keputusan yang dihasilkan pun akan menyalahi rasa keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please isi yupz