Senin, 08 Agustus 2016

Kebijakan Wali Kota Surabaya Terhadap Penutupan Lokalisasi Kawasan Dolly Perspektif Pelayanan Publik

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Prostitusi adalah penyakit masyarakat yang hampir tidak mungkin dihilangkan, bisnis dengan memperjualbelikan jasa untuk kepuasan seksual ini telah ada sejak zaman dahulu. Secara sosiologis munculnya prostitusi rata-rata dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi yang tidak mencukupi, meskipun ada juga yang karena faktor gaya hidup.
Pelacuran dinilai dari kaca mata moral, agama atau dalam penilaian lain tidak dibenarkan. Oleh sebab itu negara berkewajiban memberikan pelayanan dalam bentuk peraturan yang dapat mencegah maupun menghukum bagi pelaku pelacuran. Salah satunya adalah tercantum dalam KUHP, begitu juga dalam peraturan lainnya, serta diperkuat dengan peraturan daerah yang semakin mempersempit ruang gerak bagi pelaku prostitusi.
Fenomena yang terjadi di Surabaya adalah menarik untuk dikaji, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan berani dan perlahan menutup lokalisasi yang sudah lama beroperasi. Dan yang paling fenomenal adalah penutupan lokalisasi Ndolly dan Jarak pada tanggal 18 Juni 2014. Terlepas dari pro-kontra bahwa Pemkot Surabaya, Pemda Jawa Timur dan Kementerian Sosial secara simbolis telah menutup lokalisasi yang mulai beroperasi dari tahun 1967 ini.
Secara yuridis tindakan Pemerintah Kota memiliki landasan hukum yang kuat khususnya Peraturan Daerah No. 7 Tahun 1999. Akibat perda tersebut bahwa ketika pemkot tidak melakukan tindakan penutupan lokalisasi di Surabaya, dapat dinilai bahwa pemkot Surabaya melakukan perlindungan bahkan terkesan melegalkan prostitusi di Surabaya.
Maka pada makalah ini akan dibahas bagaimana kebijakan Pemerintah Kota Surabaya terhadap penutupan lokalisasi Ndolly sebagai salah satu bentuk pelayanan publik khususnya bagi masyarakat Surabaya.


B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas akan dikaji lebih mendalam bagaimana kebijakan Pemerintah Kota Surabaya dalam penutupan lokalisasi Ndolly kemudian dianalisa dengan teori pelayanan publik.




BAB II
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG PROSTITUSI

A.    Prostitusi Menurut Kajian Agama
1.     Pelacuran Menurut Islam
Dalam Islam istilah prostitusi lebih lazim dikenal dengan perzinahan, terdapat beberapa dalil baik dari ayat Al-Qur’an maupun Hadits yang dapat dijadikan landasan dalam menjelaskan permasalahan prostitusi, diantaranya adalah
a.      Surat An-Nisa Ayat 33 dijelaskan bahwa dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (terhadap mereka yang dipaksa) sesudah mereka dipaksa itu;
b.     Surat An-Nur ayat 2 menjelaskan perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.
2.     Pelacuran Menurut Kristen
Dalam Perjanjian Lama larangan untuk berbuat zinah dengan tegas dituliskan di dalam Hukum Taurat (Kel. 20:14; Imamat. 5:18) dan pezinah yang tertangkap akan diganjar dengan hukuman mati (Imamat. 21:22), hukuman ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Dalam Perjanjian Baru yang menjelaskan perbuatan atau hubungan seks antara seorang laki-laki yang sudah beristri dengan seorang perempuan yang sudah bersuami terdapat pada Matius. 5:27;19:18; Markus. 10:19; Lukas. 18:20; Romawi. 13:9).

3.     Pelacuran Menurut Agama Lain
Dalam pandangan umat Hindu pelacuran merupakan perbuatan yang dilarang, karena dalam Hindu, tubuh wanita itu ibarat susu kehidupan bagi generasi keberikutnya, mereka yang memperjual belikan susu kehidupan dalam pandangan Hindu hukumnya adalah kutukan seumur hidup. Disebutkan dalam Weda pelacuran disebutkan sebagai sesuatu yang selain dipantangkan juga akan mendapatkan kutukan sebanyak 7 turunan.[1]

B.    Prostitusi Menurut Hukum Adat dan Hukum Positif
1.     Pelacuran Menurut Hukum Adat
Pelacuran atau perzinahan merupakan permasalahan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat, terdapat tambahan pengertian terhadap seseorang yang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana kesusilaan ini. Pelaku zina dalam hokum positif Indonesia dibatasi oleh pelaku yang telah terikat dalam pernikahan, sedangkan dalam hokum yang hidup dalam masyarakat yang dapat disebut perbuatan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang terikat dalam pernikahan atau tidak.
Ancaman hokum pidana terhadap pelaku zina dalam KUHP juga berbeda dengan hokum yang berlaku dalam masyarakat, dalam hokum adat berat ringannya pidana tergantung dari hokum adat yang berlaku di daerah masing-masing. Adapun tindakan reaksi terhadap pidana zina sesuai adat masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut :
1.     Penggantian kerugian materiel dalam berbagai rupa seperti paksaan untuk menikahi gadis yang dicemarkan;
2.     Pembayaran uang adat kepada yang terkena, berupa benda sakti sebagai pengganti kerohanian;
3.     Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib;
4.     Permintaan maaf;
5.     Pengasingan dari masyarakat;
6.     Hukuman badan hingga hukuman mati.
Berdasarkan reaksi di atas terlihat bahwa perilaku perzinaan dianggap sebagai perbuatan yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat banyak, hokum adat tidak menempatkan kerugian akibat perbuatan zina pada individual yang dirugikan, tetapi lebih bersifat kolektif dalam satu tatanan kemasyarakatan. Masyarakat pada umumnya memandang masalah perzinahan muncul karena public demand, maka diatur dalam UU. Meskipun perzinaan tampak sebagai kegiatan yang bersifat sangat pribadi, namun pada dasarnya perzinaan adalah kegiatan pribadi yang memiliki dimensi sosial luas. Oleh karena itu, intervensi negara mempunyai landasan kokoh antara lain bahwa salah satu penyebab utama penyebaran HIV dan AIDS adalah hubungan seks di luar nikah. Hubungan seks di luar nikah berpotensi menimbulkan kehamilan remaja, kehamilan di luar pernikahan, aborsi, perceraian, yang terkait pula dengan tumbuhnya pola keluarga dengan orang tua tunggal.

2.     Prostitusi Menurut Hukum Positif
Menurut Moeljatno hukum pidana memiliki dasar untuk:
1.     Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar aturan tersebut;
2.     Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu, dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3.     Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar aturan tersebut. [2]
Terhadap perbuatan prostitusi, hukum positif Indonesia mengaturnya dalam beberapa peraturan yaitu:
1.     Pasal 296 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah;
2.     Pasal 506 KUHP menyebutkan bahwa Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun;
3.     Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Yang dimaksud dengan perdagangan orang menurut ketentuan undang-undang tersebut adalah 'tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan tereksploitasi. Ketentuan sanksinya beragam, yaitu penjara berkisar minimum tiga tahun hingga seumur hidup dan denda berkisar minimum Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) hingga Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah), tergantung pada kategori tindakannya;
4.      Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yaitu manakala melibatkan anak, atau perundangan lain yang terkait dengan perundangan pidana manakala melibatkan anak, atau perundangan lain yang terkait dengan perundangan pidana. Adapun yang dikategorikan anak adalah mereka yang berumur di bawah delapan belas tahun. Sanksi atas pelaku tindak pidana terhadap anak adalah penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah;
5.     Perda No. 7 Tahun 1999 Tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat Untuk Perbuatan Asusila Serta Pemikatan Untuk Melakukan Perbuatan Asusila Di Kota Madya Daerah Tingkat II Surabaya. Pada pasal 6 (1) Selain sanksi administrasi tersebut dalam pasal 5 Perda ini pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dapat diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000,- (Lima Puluh Ribu Rupiah).



BAB III
PRAKTIK PROSTITUSI DI KAWASAN DOLLY

1.     Sejarah Prostitusi di Kawasan Dolly
Surabaya merupakan daerah ‘kota seks’ karena memiliki kawasan prostitusi terbanyak, yakni enam lokalisasi. Lokalisasi Dupak Bangunsari termasuk tertua dan pernah menjadi kawasan prostitusi terbesar se-Asia Tenggara dengan jumlah PSK pernah mencapai, 3.500 orang. Selain itu terdapat kawasan prostitusi lainnya seperti kawasan yang terkenal dengan sebutan 'segi tiga emas' Surabaya, yaitu Jl Pemuda, Jl Tais Nasution, dan Jl Simpang Dukuh. Di malam hari sepanjang rel kereta api stasiun Wonokromo, hingga di tengah jembatan Jagir Pondok Putri yang memberikan layanan short time.
Dolly berada di Kelurahan Putat Jata, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Beragam kisah tentang Dolly pun muncul. Ada yang menyebut perintis awal bisnis esek-esek di kawasan itu bernama Dolly Van der Mart seorang noni Belanda. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa Dolly lebih dikenal dengan nama Dolly Khavit. Sebelum tahun 1960 kawasan tersebut merupakan kawasan pemakaman tiong hoa, akan tetapi  selepas tahun 1960 kawasan tersebut di bongkar dan di jadikan pemukiman. Sekitar tahun 1967 seorang Dolly Khavit membuka wisma di daerah tersebut.
Pamor Dolly dari tahun ke tahun terus meredup. Pada masa “kejayaannya” antara 1990-an sampai 2005, total jumlah PSK lebih dari 9.000 orang. Namun untuk sekaran berdasarkan data Dinas Sosial Kota Surabaya yang dikutip oleh kompas.com, jumlah PSK sebanyak 1.449 dengan mucikari sekitar 311 orang. Jumlah ini meningkat dari data akhir 2013 yang hanya sebanyak 1.181 orang. Berdasarkan data, 90 persen PSK berasal dari luar Kota Surabaya bahkan luar Provinsi Jawa Timur. Sedang 10 persennya berasal dari Kota Surabaya. Seperti Kabupaten Kudus, Batang, Ciamis dan Bandung. Sedangkan yang dari Jawa Timur antara lain berasal dari Kabupaten Madiun, Malang, Gresik, Blitar, Mojokerto, Pasuruan, Magetan, Jember, Bojonegoro, Sidoarjo, Nganjuk, Tuban, Trenggalek dan Jombang.[3]
Pemerintah Kota Surabaya memberikan kontrol ketat di kawasan lokalisasi Dolly dengan memasang CCTV dan larangan menambah PSK baru. Hal inilah yang membunuh pelan-pelan kawasan lokalisasi yang diperkirakan menempati lahan sekitar 2 hektare di gang-gang kawasan Jarak dan Putat Jaya tersebut. Selain itu, layanan PSK di Dolly kalah bersaing dengan panti pijat dan prostitusi terselubung di Surabaya.

2.     Kebijakan Pemkot Kota Surabaya Terhadap Penutupan Dolly
Penutupan lokalisasi Dolly telah dilaksanakan oleh Pemkot Surabaya pada tanggal 18 Juni 2014 secara simbolis di Islamic Center. Sebelum penutupan itu dilaksanakan terjadi pro maupun kontra oleh masyarakat. Bagi yang kontra penutupan berpendapat bahwa penutupan dolly akan membuat masalah sosial baru karena upaya pemerintah dalam merehabilitasi kehidupan PSK, Mucikari, dan pelaku ekonomi di Dolly dianggap belum maksimal, kebijakan tersebut juga dianggap diskriminatif karena yang ditindak yang berada di lokalisasi saja, sementara praktek prostitusi non lokalisasi belum di tindak secara tegas. Selain itu bahwa penutupan dolly dianggap justru akan akan memicu para PSK untuk tetap beroperasi tetapi secara liar. Hal ini justru akan menyulitkan pemerintah untuk mengontrol mereka dan sulit mengontrol akibat yang ditimbulkannya seperti menyebarnya penyakit menular seksual seperti sipilis, HIV-AIDS dll.
Sementara Pemkot Surabaya dan mendapat dukungan dari beberapa ormas keagamaan seperti MUI dan NU, yang berpendapat atas dasar Peraturan Daerah No. 7 Tahun 1999 bahwa penutupan lokalisasi Dolly adalah solusi dari berbagai masalah.
Penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak menghabiskan biaya Rp 25,5 milliar. Pemerintah Propinsi Jawa Timur menanggung beban sebesar Rp 1,5 milliar, dan pemilik wilayah, yakni Pemkot Surabaya menganggarkan dana sebesar Rp. 16 milyar. Ditambah dana bantuan untuk para PSK sebesar Rp 8 milyar dari Kementerian Sosial.
Pada penutupan lokalisasi Dolly pemerintah Kota Surabaya mengalokasikan anggaran sekitar Rp 7.317.450.000 untuk 1.449 penghuni lokalisasi yang terdiri atas mucikari, PSK, pemilik wisma dan lainnya. Setiap orang mendapat dana Rp 5.050.000. Rincian bantuan yang diberikan itu terdiri dari dana Usaha Ekonomi Kreatif (UEP) sebesar Rp 3 juta, Rp 1,8 juta untuk jatah hidup denga rincian Rp 20.000 per hari selama 90 hari, dan Rp 250 ribu untuk transportasi pulang ke kampung halaman.[4]
 
BAB III
KEBIJAKAN WALI KOTA SURABAYA TERHADAP PENUTUPAN LOKALISASI KAWASAN DOLLY PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK

Kebijakan Wali Kota Surabaya terhadap penutupan lokalisasi Dolly adalah merupakan rangkaian dari penutupan beberapa lokalisasi  yang beroperasi di Surabaya. Secara yuridis Wali Kota Surabaya memiliki landasan yang kuat dalam hal ini, artinya dalam penutupan lokalisasi di wilayah Surabaya tedapat payung hukum, diantaranya perbuatan pidana yang tercantum dalam KUHP yang tercantum dalam pasal 296 dan 506, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang , UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diperkuat dengan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 1999 Tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat Untuk Perbuatan Asusila Serta Pemikatan Untuk Melakukan Perbuatan Asusila Di Kota Madya Daerah Tingkat II Surabaya.
Secara sosiologis bahwa perbuatan prostitusi jika dinilai dari kaca mata moral merupakan suatu perbuatan yang kurang pantas jika dijadikan sebagai sebuah mata pencaharian. Jika dilihat dari kacamata agama manapun perbuatan ini adalah perbuatan yang keji, apalagi jika dihubungkan dengan prinsip yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Belum juga jika dilihat bahwa prostitusi penyumbang terbesar penderita HIV/AIDS maupun penyakit menular lainnya. Secara sosiologis pula bahwa pelacuran bukanlah satu perbuatan yang sederhana, justru cenderung rumit. Oleh sebab itu butuh pertimbangan-pertimbangan yang seimbang dari dimensi sosial, ekonomi, politik, agama, budaya dan lainnya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mencegah dampak buruk lain yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan seperti halnya penutupan lokalisasi.
Kebijakan Pemkot Surabaya tentang penutupan lokalisasi Ndolly merupakan bentuk dari kebijakan publik. Pengertian kebijakan publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi kesalahan tertentu melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi yang mempunyai wewenang dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan Negara dan pembangunan, berlangsung dalam satu kebijakan tertentu. Dalam kehidupan administrasi negara, secara formal, keputusan tersebut lazimnya dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
Kebijakan publik juga dapat dimaknai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau dalam policy statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan tindakan pemerintah.
Terlepas dari pro maupun kontra atas kebijakan Pemkot tersebut, bahwa Pemkot telah melakukan kewenangannya untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Terjadinya pro maupun kontra adalah adanya perbedaan pandangan antara cara pandang pemerintah yang tertuang dalam kebijakannya dengan kepentingan masyarakat yang cenderung takut terjadi perubahan drastis terhadap kondisi perekonomiannya.
Jika dicermati lebih lanjut bahwa tujuan dari kebijakan penutupan lokalisasi Dolly yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya tersebut adalah untuk mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. Dan Pemkot menilai bahwa praktik prostitusi sebagai tindakan yang harus segera diselesaikan.
Berdasarkan itu, pemerintah memandang bahwa setiap sesuatu yang bertentangan dengan prinsip dasar berbangsa dan bernegara harus ditindak secara tegas. Pemerintah hadir sebagai sebuah lembaga pelayan publik yang berfungsi untuk membersihkan lingkungan masyarakat dari berbagai tindakan asusila yang tentunya sangat bertentangan dengan norma-norma apapun yang ada.
Sebagai pelayan publik pemerintah haruslah memberikan pelayanan sebaik-baiknya sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik. Adapun Undang-undang yang mengaturnya adalah pada UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik yang bertujuan dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.
Dasar filosofis ditetapkannya UU tentang pelayanan publik ini bahwa Negara memiliki kewajiban untuk melayani setiap warga negara dan penduduk dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya. Membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.



BAB IV
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Tujuan dari kebijakan penutupan lokalisasi Dolly yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya tersebut adalah untuk mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. Dan Pemkot menilai bahwa praktik prostitusi sebagai tindakan yang harus segera diselesaikan
Kebijakan yang ditetapkan oleh Pemkot Surabaya sudah sesuai dengan kewenangannya, baik secara yuridis maupun sosiologis keberadaan prostitusi telah memberikan stigma negatif bagi daerahnya. Reformasi birokrasi yang terus berjalan adalah untuk memberikan pelayanan optimal bagi rakyat dan sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik.

B.    Rekomendasi
Meskipun penutupan Ndolly telah dilaksanakan secara simbolis dan berjalan lancar, namun pro dan kontra tetap menjadi perbincangan yang belum berhenti sampai sekarang, oleh sebab itu perlu penulis sampaikan beberapa rekomendasi di bawah ini
1. Untuk terus meningkatkan pelayanan bagi masyarakat, pengawalan atas kebijakan pemkot tersebut harus terus dilaksanakan dan diperkuat;
2. Pemerintah harus memastikan bahwa penutupan Lokalisasi tersebut tidak memicu konflik sosial;
3. Pemerintah harus memastikan tidak terjadi penurunan angka kesejahteraan ekonomi masyarakat terdampak.




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran_menurut_agama#Pelacuran_dalam_Pandangan_ Agama_Islam
[2] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 1
[3] http://regional.kompas.com/read/2014/06/18/0829077/Pasang.Surut.Jumlah.PSK.Dolly
[4] http://kominfo.jatimprov.go.id/watch/40225

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz