BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Prostitusi
adalah penyakit masyarakat yang hampir tidak mungkin dihilangkan, bisnis dengan
memperjualbelikan jasa untuk kepuasan seksual ini telah ada sejak zaman dahulu.
Secara sosiologis munculnya prostitusi rata-rata dilatar belakangi oleh kondisi
ekonomi yang tidak mencukupi, meskipun ada juga yang karena faktor gaya hidup.
Pelacuran
dinilai dari kaca mata moral, agama atau dalam penilaian lain tidak dibenarkan.
Oleh sebab itu negara berkewajiban memberikan pelayanan dalam bentuk peraturan
yang dapat mencegah maupun menghukum bagi pelaku pelacuran. Salah satunya
adalah tercantum dalam KUHP, begitu juga dalam peraturan lainnya, serta
diperkuat dengan peraturan daerah yang semakin mempersempit ruang gerak bagi pelaku
prostitusi.
Fenomena
yang terjadi di Surabaya adalah menarik untuk dikaji, Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini dengan berani dan perlahan menutup lokalisasi yang sudah lama
beroperasi. Dan yang paling fenomenal adalah penutupan lokalisasi Ndolly dan Jarak
pada tanggal 18 Juni 2014. Terlepas dari pro-kontra bahwa Pemkot Surabaya,
Pemda Jawa Timur dan Kementerian Sosial secara simbolis telah menutup
lokalisasi yang mulai beroperasi dari tahun 1967 ini.
Secara
yuridis tindakan Pemerintah Kota memiliki landasan hukum yang kuat khususnya
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 1999. Akibat perda tersebut bahwa ketika pemkot
tidak melakukan tindakan penutupan lokalisasi di Surabaya, dapat dinilai bahwa
pemkot Surabaya melakukan perlindungan bahkan terkesan melegalkan prostitusi di
Surabaya.
Maka
pada makalah ini akan dibahas bagaimana kebijakan Pemerintah Kota Surabaya
terhadap penutupan lokalisasi Ndolly sebagai salah satu bentuk pelayanan publik
khususnya bagi masyarakat Surabaya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas akan dikaji lebih mendalam bagaimana kebijakan
Pemerintah Kota Surabaya dalam penutupan lokalisasi Ndolly kemudian dianalisa
dengan teori pelayanan publik.
BAB
II
BERBAGAI
PANDANGAN TENTANG PROSTITUSI
A.
Prostitusi Menurut Kajian Agama
1.
Pelacuran Menurut Islam
Dalam Islam istilah prostitusi lebih lazim dikenal dengan
perzinahan, terdapat beberapa dalil baik dari ayat Al-Qur’an maupun Hadits yang
dapat dijadikan landasan dalam menjelaskan permasalahan prostitusi, diantaranya
adalah
a.
Surat
An-Nisa Ayat 33 dijelaskan bahwa dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu
untuk melakukan pelacuran, padahal mereka sendiri menginginkan kesucian, karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (terhadap
mereka yang dipaksa) sesudah mereka dipaksa itu;
b.
Surat
An-Nur ayat 2 menjelaskan perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.
2.
Pelacuran Menurut Kristen
Dalam Perjanjian Lama larangan untuk berbuat zinah dengan tegas
dituliskan di dalam Hukum Taurat (Kel. 20:14; Imamat. 5:18) dan pezinah yang
tertangkap akan diganjar dengan hukuman mati (Imamat. 21:22), hukuman ini
berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Dalam Perjanjian Baru yang menjelaskan perbuatan atau hubungan seks
antara seorang laki-laki yang sudah beristri dengan seorang perempuan yang
sudah bersuami terdapat pada Matius. 5:27;19:18; Markus. 10:19; Lukas. 18:20; Romawi.
13:9).
3.
Pelacuran Menurut Agama Lain
Dalam pandangan umat Hindu pelacuran merupakan perbuatan yang dilarang, karena dalam Hindu,
tubuh wanita itu ibarat susu kehidupan bagi generasi keberikutnya, mereka yang memperjual
belikan susu kehidupan dalam pandangan Hindu hukumnya adalah kutukan seumur
hidup. Disebutkan dalam Weda pelacuran disebutkan sebagai sesuatu yang selain dipantangkan juga
akan mendapatkan kutukan sebanyak 7 turunan.[1]
B.
Prostitusi Menurut Hukum Adat dan Hukum Positif
1. Pelacuran
Menurut Hukum Adat
Pelacuran atau perzinahan merupakan
permasalahan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat, terdapat tambahan
pengertian terhadap seseorang yang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana
kesusilaan ini. Pelaku zina dalam hokum positif Indonesia dibatasi oleh pelaku
yang telah terikat dalam pernikahan, sedangkan dalam hokum yang hidup dalam
masyarakat yang dapat disebut perbuatan zina adalah persetubuhan yang dilakukan
oleh orang yang terikat dalam pernikahan atau tidak.
Ancaman hokum
pidana terhadap pelaku zina dalam KUHP juga berbeda dengan hokum yang berlaku
dalam masyarakat, dalam hokum adat berat ringannya pidana tergantung dari hokum
adat yang berlaku di daerah masing-masing. Adapun tindakan reaksi terhadap
pidana zina sesuai adat masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Penggantian kerugian materiel dalam
berbagai rupa seperti paksaan untuk menikahi gadis yang dicemarkan;
2.
Pembayaran uang adat kepada yang terkena,
berupa benda sakti sebagai pengganti kerohanian;
3.
Selamatan untuk membersihkan masyarakat
dari segala kotoran aib;
4.
Permintaan maaf;
5.
Pengasingan dari masyarakat;
6.
Hukuman badan hingga hukuman mati.
Berdasarkan reaksi
di atas terlihat bahwa perilaku perzinaan dianggap sebagai perbuatan yang
berdampak terhadap kehidupan masyarakat banyak, hokum adat tidak menempatkan kerugian
akibat perbuatan zina pada individual yang dirugikan, tetapi lebih bersifat
kolektif dalam satu tatanan kemasyarakatan. Masyarakat pada umumnya memandang
masalah perzinahan muncul karena public
demand, maka diatur dalam UU. Meskipun perzinaan tampak sebagai kegiatan
yang bersifat sangat pribadi, namun pada dasarnya perzinaan adalah kegiatan
pribadi yang memiliki dimensi sosial luas. Oleh karena itu, intervensi negara
mempunyai landasan kokoh antara lain bahwa salah satu penyebab utama penyebaran
HIV dan AIDS adalah hubungan seks di luar nikah. Hubungan seks di luar nikah
berpotensi menimbulkan kehamilan remaja, kehamilan di luar pernikahan, aborsi,
perceraian, yang terkait pula dengan tumbuhnya pola keluarga dengan orang tua
tunggal.
2. Prostitusi
Menurut Hukum Positif
Menurut Moeljatno
hukum pidana memiliki dasar untuk:
1. Menentukan
perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai
ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar
aturan tersebut;
2. Menentukan kapan
dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu,
dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan
cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar aturan tersebut. [2]
Terhadap perbuatan
prostitusi, hukum positif Indonesia mengaturnya dalam beberapa peraturan yaitu:
1. Pasal 296
menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai
pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah;
2. Pasal 506 KUHP menyebutkan bahwa Barang siapa menarik keuntungan dari
perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam
dengan pidana kurungan paling lama satu tahun;
3.
Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Yang
dimaksud dengan perdagangan orang menurut ketentuan undang-undang tersebut
adalah 'tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam
Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan tereksploitasi.
Ketentuan sanksinya beragam, yaitu penjara berkisar minimum tiga tahun hingga
seumur hidup dan denda berkisar minimum Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh
juta rupiah) hingga Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah), tergantung pada
kategori tindakannya;
4.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yaitu manakala melibatkan anak,
atau perundangan lain yang terkait dengan perundangan pidana manakala
melibatkan anak, atau perundangan lain yang terkait dengan perundangan pidana.
Adapun yang dikategorikan anak adalah mereka yang berumur di bawah delapan
belas tahun. Sanksi atas pelaku tindak pidana terhadap anak adalah penjara
paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah;
5.
Perda
No. 7 Tahun 1999 Tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat Untuk Perbuatan
Asusila Serta Pemikatan Untuk Melakukan Perbuatan Asusila Di Kota Madya Daerah
Tingkat II Surabaya. Pada pasal 6 (1) Selain sanksi administrasi tersebut dalam pasal 5
Perda ini pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dapat
diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan denda
sebanyak-banyaknya Rp. 50.000,- (Lima Puluh Ribu Rupiah).
BAB III
PRAKTIK PROSTITUSI DI KAWASAN DOLLY
1.
Sejarah Prostitusi di Kawasan Dolly
Surabaya merupakan
daerah ‘kota seks’ karena memiliki kawasan prostitusi terbanyak, yakni enam
lokalisasi. Lokalisasi Dupak Bangunsari termasuk tertua dan pernah menjadi
kawasan prostitusi terbesar se-Asia Tenggara dengan jumlah PSK pernah mencapai,
3.500 orang. Selain itu terdapat kawasan prostitusi lainnya seperti kawasan
yang terkenal dengan sebutan 'segi tiga emas' Surabaya, yaitu Jl Pemuda, Jl
Tais Nasution, dan Jl Simpang Dukuh. Di malam hari sepanjang rel kereta api
stasiun Wonokromo, hingga di tengah jembatan Jagir Pondok Putri yang memberikan
layanan short time.
Dolly berada di
Kelurahan Putat Jata, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Beragam kisah
tentang Dolly pun muncul. Ada yang menyebut perintis awal bisnis esek-esek di
kawasan itu bernama Dolly Van der Mart seorang noni Belanda. Namun ada juga
yang menyebutkan bahwa Dolly lebih dikenal dengan nama Dolly Khavit. Sebelum
tahun 1960 kawasan tersebut merupakan kawasan pemakaman tiong hoa, akan
tetapi selepas tahun 1960 kawasan tersebut di bongkar dan di jadikan
pemukiman. Sekitar tahun 1967 seorang Dolly Khavit membuka wisma di daerah
tersebut.
Pamor Dolly dari
tahun ke tahun terus meredup. Pada masa “kejayaannya” antara 1990-an sampai
2005, total jumlah PSK lebih dari 9.000 orang. Namun untuk sekaran berdasarkan data
Dinas Sosial Kota Surabaya yang dikutip oleh kompas.com, jumlah PSK sebanyak
1.449 dengan mucikari sekitar 311 orang. Jumlah ini meningkat dari data akhir
2013 yang hanya sebanyak 1.181 orang. Berdasarkan data, 90 persen PSK berasal
dari luar Kota Surabaya bahkan luar Provinsi Jawa Timur. Sedang 10 persennya
berasal dari Kota Surabaya. Seperti Kabupaten Kudus, Batang, Ciamis dan
Bandung. Sedangkan yang dari Jawa Timur antara lain berasal dari Kabupaten
Madiun, Malang, Gresik, Blitar, Mojokerto, Pasuruan, Magetan, Jember,
Bojonegoro, Sidoarjo, Nganjuk, Tuban, Trenggalek dan Jombang.[3]
Pemerintah Kota
Surabaya memberikan kontrol ketat di kawasan lokalisasi Dolly dengan memasang CCTV
dan larangan menambah PSK baru. Hal inilah yang membunuh pelan-pelan kawasan
lokalisasi yang diperkirakan menempati lahan sekitar 2 hektare di gang-gang
kawasan Jarak dan Putat Jaya tersebut. Selain itu, layanan PSK di Dolly kalah
bersaing dengan panti pijat dan prostitusi terselubung di Surabaya.
2.
Kebijakan Pemkot Kota Surabaya Terhadap Penutupan Dolly
Penutupan lokalisasi Dolly telah dilaksanakan oleh Pemkot Surabaya pada
tanggal 18 Juni 2014 secara simbolis di Islamic Center. Sebelum penutupan itu
dilaksanakan terjadi pro maupun kontra oleh masyarakat. Bagi yang kontra
penutupan berpendapat bahwa penutupan dolly akan membuat masalah sosial baru
karena upaya pemerintah dalam merehabilitasi kehidupan PSK, Mucikari, dan
pelaku ekonomi di Dolly dianggap belum maksimal, kebijakan tersebut juga
dianggap diskriminatif karena yang ditindak yang berada di lokalisasi saja,
sementara praktek prostitusi non lokalisasi belum di tindak secara tegas. Selain
itu bahwa penutupan dolly dianggap justru akan akan memicu para PSK untuk tetap
beroperasi tetapi secara liar. Hal ini justru akan menyulitkan pemerintah untuk
mengontrol mereka dan sulit mengontrol akibat yang ditimbulkannya seperti
menyebarnya penyakit menular seksual seperti sipilis, HIV-AIDS dll.
Sementara Pemkot Surabaya dan mendapat dukungan dari beberapa ormas
keagamaan seperti MUI dan NU, yang berpendapat atas dasar Peraturan Daerah No.
7 Tahun 1999 bahwa penutupan lokalisasi Dolly adalah solusi dari berbagai
masalah.
Penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak menghabiskan biaya Rp 25,5
milliar. Pemerintah Propinsi Jawa Timur menanggung beban sebesar Rp 1,5
milliar, dan pemilik wilayah, yakni Pemkot Surabaya menganggarkan dana sebesar
Rp. 16 milyar. Ditambah dana bantuan untuk para PSK sebesar Rp 8 milyar dari
Kementerian Sosial.
Pada penutupan lokalisasi Dolly pemerintah Kota Surabaya mengalokasikan
anggaran sekitar Rp 7.317.450.000 untuk 1.449 penghuni lokalisasi yang terdiri
atas mucikari, PSK, pemilik wisma dan lainnya. Setiap orang mendapat dana Rp
5.050.000. Rincian bantuan yang diberikan itu terdiri dari dana Usaha Ekonomi
Kreatif (UEP) sebesar Rp 3 juta, Rp 1,8 juta untuk jatah hidup denga rincian Rp
20.000 per hari selama 90 hari, dan Rp 250 ribu untuk transportasi pulang ke
kampung halaman.[4]
BAB
III
KEBIJAKAN
WALI KOTA SURABAYA TERHADAP PENUTUPAN LOKALISASI KAWASAN DOLLY PERSPEKTIF
PELAYANAN PUBLIK
Kebijakan Wali Kota Surabaya terhadap penutupan lokalisasi Dolly
adalah merupakan rangkaian dari penutupan beberapa lokalisasi yang beroperasi di Surabaya. Secara yuridis
Wali Kota Surabaya memiliki landasan yang kuat dalam hal ini, artinya dalam
penutupan lokalisasi di wilayah Surabaya tedapat payung hukum, diantaranya
perbuatan pidana yang tercantum dalam KUHP yang tercantum dalam pasal 296 dan
506, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diperkuat dengan Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 1999 Tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat Untuk
Perbuatan Asusila Serta Pemikatan Untuk Melakukan Perbuatan Asusila Di Kota
Madya Daerah Tingkat II Surabaya.
Secara sosiologis bahwa perbuatan prostitusi jika dinilai dari kaca
mata moral merupakan suatu perbuatan yang kurang pantas jika dijadikan sebagai
sebuah mata pencaharian. Jika dilihat dari kacamata agama manapun perbuatan ini
adalah perbuatan yang keji, apalagi jika dihubungkan dengan prinsip yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Belum juga jika dilihat bahwa prostitusi penyumbang
terbesar penderita HIV/AIDS maupun penyakit menular lainnya. Secara sosiologis
pula bahwa pelacuran bukanlah satu perbuatan yang sederhana, justru cenderung
rumit. Oleh sebab itu butuh pertimbangan-pertimbangan yang seimbang dari
dimensi sosial, ekonomi, politik, agama, budaya dan lainnya. Hal ini sangat
dibutuhkan untuk mencegah dampak buruk lain yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan
seperti halnya penutupan lokalisasi.
Kebijakan Pemkot Surabaya tentang penutupan lokalisasi Ndolly
merupakan bentuk dari kebijakan publik. Pengertian kebijakan publik adalah
suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi kesalahan tertentu melakukan
kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh
instansi yang mempunyai wewenang dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan Negara dan pembangunan, berlangsung dalam satu kebijakan tertentu.
Dalam kehidupan administrasi negara, secara formal, keputusan tersebut lazimnya
dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
Kebijakan publik juga dapat dimaknai apa yang dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan atau dalam policy statement yang berbentuk
pidato-pidato dan wacana yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat
pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan tindakan
pemerintah.
Terlepas dari pro maupun kontra atas kebijakan Pemkot tersebut,
bahwa Pemkot telah melakukan kewenangannya untuk mengatasi dan menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di masyarakat. Terjadinya pro maupun kontra adalah
adanya perbedaan pandangan antara cara pandang pemerintah yang tertuang dalam
kebijakannya dengan kepentingan masyarakat yang cenderung takut terjadi
perubahan drastis terhadap kondisi perekonomiannya.
Jika dicermati lebih lanjut bahwa tujuan dari kebijakan penutupan
lokalisasi Dolly yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya tersebut adalah untuk
mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika,
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, serta
menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. Dan Pemkot menilai bahwa praktik
prostitusi sebagai tindakan yang harus segera diselesaikan.
Berdasarkan itu, pemerintah memandang bahwa setiap sesuatu yang
bertentangan dengan prinsip dasar berbangsa dan bernegara harus ditindak secara
tegas. Pemerintah hadir sebagai sebuah lembaga pelayan publik yang berfungsi
untuk membersihkan lingkungan masyarakat dari berbagai tindakan asusila yang
tentunya sangat bertentangan dengan norma-norma apapun yang ada.
Sebagai pelayan publik pemerintah haruslah memberikan pelayanan
sebaik-baiknya sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik. Adapun
Undang-undang yang mengaturnya adalah pada UU No. 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik yang bertujuan dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi
manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi
kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan
sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi
publik.
Dasar filosofis ditetapkannya UU tentang pelayanan publik ini bahwa
Negara memiliki kewajiban untuk melayani setiap warga negara dan penduduk dalam
rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya. Membangun kepercayaan masyarakat
atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan
kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga
negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk
mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta
terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai
upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk
memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan
wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
BAB IV
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Tujuan dari kebijakan penutupan lokalisasi Dolly yang dilakukan
oleh Pemkot Surabaya tersebut adalah untuk mewujudkan dan memelihara tatanan
kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi
nilai-nilai Ketuhanan, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. Dan
Pemkot menilai bahwa praktik prostitusi sebagai tindakan yang harus segera
diselesaikan
Kebijakan yang ditetapkan oleh Pemkot Surabaya sudah sesuai dengan
kewenangannya, baik secara yuridis maupun sosiologis keberadaan prostitusi
telah memberikan stigma negatif bagi daerahnya. Reformasi birokrasi yang terus
berjalan adalah untuk memberikan pelayanan optimal bagi rakyat dan sesuai
dengan asas-asas pemerintahan yang baik.
B.
Rekomendasi
Meskipun penutupan Ndolly telah dilaksanakan secara simbolis dan
berjalan lancar, namun pro dan kontra tetap menjadi perbincangan yang belum
berhenti sampai sekarang, oleh sebab itu perlu penulis sampaikan beberapa
rekomendasi di bawah ini
1. Untuk
terus meningkatkan pelayanan bagi masyarakat, pengawalan atas kebijakan pemkot
tersebut harus terus dilaksanakan dan diperkuat;
2. Pemerintah
harus memastikan bahwa penutupan Lokalisasi tersebut tidak memicu konflik
sosial;
3. Pemerintah harus memastikan tidak terjadi
penurunan angka kesejahteraan ekonomi masyarakat terdampak.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran_menurut_agama#Pelacuran_dalam_Pandangan_
Agama_Islam
[2] Moeljatno, Asas-asas
Hukum Pidana, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), hal. 1
[3] http://regional.kompas.com/read/2014/06/18/0829077/Pasang.Surut.Jumlah.PSK.Dolly
[4] http://kominfo.jatimprov.go.id/watch/40225
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please isi yupz