Minggu, 07 Agustus 2016

Keterwakilan Perempuan dalam Perpolitikan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap menjelang pesta demokrasi, perempuan di Indonesia selalu mendapat kejutan-kejutan yang sangat berarti. Dimulai sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 tentang kuota perempuan sekurang-kurangnya 30% baik yang duduk sebagai pengurus partai politik, sebagai calon anggota KPU maupun sebagai calon anggota DPR/DPRD. Sejak saat itulah perempuan Indonesia yang selama ini tidak sadar kalau sudah terkena getar gender (genderquake) mulai bangkit untuk memperjuangkan kebijakan affirmative action.
Kemudian menjelang Pemilu 2014, kaum perempuan kembali mendapat kesempatan lagi bahwa parpol peserta pemilu harus memenuhi syarat untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat (UU No.8/2012, pasal 15 huruf d) dan pencalonan anggota DPR/D (UU No 8/2012 pasal 55).
Selanjutnya pengajuan calon legislatif (caleg) perempuan disusun dengan model zipper (UU No. 8/2012, pasal 56 ayat 2), misalnya nomor urut 1 caleg laki-laki, nomor urut 2 caleg perempuan, nomor urut 3 caleg laki-laki; atau nomor urut 1 caleg perempuan, nomor urut 2 dan 3 caleg laki-laki; atau nomor urut 1 dan 2 caleg laki-laki, nomor urut 3 caleg perempuan, dan seterusnya untuk nomor urut 4, 5, 6, nomor urut 7,8, 9, nomor urut 10, 11, 12 minimal harus ada 1 orang caleg perempuan.
Ketentuan model zipper dinilai oleh caleg perempuan cukup akomodatif apabila mendapat nomor urut 1, karena dipastikan mempunyai peluang yang besar untuk memperoleh kursi terutama jika diajukan oleh parpol besar, tetapi dapat nomor urut berapa pun bagi caleg perempuan tidak masalah karena penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak (UU No 8/2012 pasal 215 ayat a).
Kita patut bangga dan menghargai atas perjuangan kaum perempuan di legislatif, para aktivis perempuan dan para feminis yang menginginkan semua pihak bersedia mendukung affirmative action dengan harapan agar ada perimbangan antara laki-laki dengan perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga-lembaga pengambilan keputusan, sehingga kebijakan-kebijakan publik/politik tidak akan bias jender tetapi justru akan mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas.
Mengapa kaum perempuan perlu kuota tertentu? Mengapa kuota sebesar 30% masih perlu ditingkatkan? Dari 48 partai politik yang ikut pemilu tahun 1999, 28 diantaranya memiliki departemen perempuan, namun cuma 11 yang mempunyai platform tentang perempuan, padahal jumlah perempuan pemilih dalam pemilu 1999 adalah 57 persen (menurut data The Asia Foundation) atau 51 persen (data LPU tahun 1999), sementara jumlah perempuan yang dipusat pengambilan keputusan sampai pemilu 1997 hanya 15 persen. Jumlah perempuan di parlemen dari tahun 1955 sampai 1999 rata rata hanya 13 persen (persentase paling tinggi). (Media Indonesia, 1 Juni 1999)
Dengan kata lain posisi perempuan dalam politik masih terpinggirkan, terkucilkan dan partai politikpun sebagian besar tidak memiliki platform yang jelas bagi perempuan, bahkan ada partai politik yang tidak memiliki kebijakan-kebijakan spesifik perempuan. Alasannya karena merasa tidak ada masalah dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Undang-undang Dasar pun tidak membedakan laki-laki dan perempuan, tapi menyebutkan semua kebijakan bagi warga negara atau penduduk Indonesia.
Masalah ini memang bukan hanya dialami oleh Indonesia, tapi ini merupakan masalah global yang dialami oleh seluruh negara di dunia. Sebagian besar negara di dunia berada pada tingkat keterwakilan perempuan yang rendah di parlemen, bahkan dinegara-negara Arab, perempuan baru memperoleh hak pilih sepuluh tahun belakangan. Ironis memang, tapi inilah realitas yang paling memilukan bagi perempuan. Hal itudisebabkan karena tidak ada kesetaraan gender dan representasi politik di Negara manapun, termasuk negara maju. Nasib perempuan masih tetap subordinat baik dilihatdari sector budaya, ekonomi, politik bahkan pemahaman agama.
Sejumlah perempuan dunia terus melakukan perjuangan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, gerakan Perempuan memperjuangkan keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen merupakan gerakan memperjuangkan kehidupan politik yang demokratis bagiseluruh perempuan bukan hanya di Indonesia tapi dunia. Dalam kongres APU (Aspsiasi Uni Parlemen) tahun 1995 perjuangan kuota mulai diperbincangkan dan anggota kongres menyepakati kuota 30 persen di parlemen untuk perempuan. Hal itu lebih ditegaskan dalam kongres perempuan se-dunia tahun 1996 di Beijing, China. Keputusan dan kesepakatan kongres APU dan Kongres Beijing menjadi landasan perjuangan perempuan tentang kuota 30 persen.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka akan dibahas beberapa permasalahan berikut:
1.     Bagaimana sistem demokrasi dan keterwakilan perempuan?
2.     Bagaimana model pemberian suara terhadap keterwakilan perempuan?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Demokrasi dan Keterwakilan Perempuan
Untuk Indonesia, pada level awal yaitu setelah kongres affirmative action dan kuota 30 persen masih merupakan wacana, pemilu 1999 yang dinilai demokratis dan terbuka ternyata tetap tidak membawa perubahan dan peningkatan signifikan sebagaimana yang diharapkan dalam persoalan keterwakilan perempuan di parlemen,walau saat itu jumlah partai sangat banyak, dimana memungkinkan terwakilinya perempuan semakin banyak, tapi nyatanya dari hasil yang diperoleh juga sangat mengecewakan yaitu hanya 9 persen perempuan di parlemen DPR Pusat, Kondisi yang lebih buruk terjadi pada level daerah
Kuota merupakan istilah yang bersifat emosional, mengundang reaksi keras dari mereka yang terikat dengan pandangan konservatif dalam meningkatkan level playing flied, yaitu, membiarkan keberadaan hasil yang tidak imbang seperti apa adanya. Apakah kuota dianggap adil atau tidak akan sangat tergantung pada apakah persepsi orang terhadap keadilan sebagai ”kesempatan yang adil” atau ”hasil yang adil”. Beberapa kuota yang berhasil diperkenankan adalah kuota sukarela, diterapkan oleh partai poltik untuk menunjukkan komitmennya terhadap keterwakilan perempuan. Contohnya adalah komitmen ANC di Afrika Selatan untuk memberikan 30% kuota bagi kandidat perempuan. Dan sukses besar dicapai melalui kuota wajib yang dituangkan baik dalam konstitusi atau Undang-Undang Pemilu (IFES, tt:17-18).
Dengan demikian adalah suatu kewajaran pula andaikata kaum perempuan di Indonesia memperjuangkan dan memperoleh kuota tertentu, karena selama ini perempuan sepertinya sengaja dimarginalkan oleh kaum laki-laki khususnya untuk duduk sebagai anggota legislatif maupun jabatan-jabatan publik lainnya.
Kesempatan perempuan untuk terjun dalam dunia politik, yaitu dengan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, merupakan hal yang positif. Keterlibatan mereka yang semakin besar dalam kancah politik dan kesempatan mereka yang lebih terbuka untuk menjadi calon anggota legislatif akan memungkinkan mereka ikut serta secara lebih leluasa melakukan pendidikan politik kepada warga negara.
Dengan terbukanya kesempatan yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif ini akan menjadikan kaum perempuan semakin mudah memperjuangkan hak-haknya yang selama ini diremehkan kaum laki-laki. Tentu banyak persoalan lain yang menyangkut keperempuanan yang selama ini belum digarap dengan tuntas, akan memungkinkan diselesaikan secara substansial dan serius.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terwujudnya keterwakilan perempuan yang selama ini diperjuangkan kaum perempuan di Indonesia, antara lain adalah: pertama, sistem pemilu; kedua, peran partai-partai politik dan; ketiga affirmative action (IFES:7).

1.     Sistem Pemilu
Ada banyak sistem pemilu yang dipakai negara-negara demokrasi dalam menyelenggarakan pemilihan umum dan desain dari sistem pemilu tentu berhubungan erat dengan perolehan suara parpol, perolehan suara caleg sampai menjadi perolehan/ penetapan kursi.
Menurut Ben Reilly dan Andrew Reynolds (1998: 3) ada beberapa jenis sistem pemilu yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: pluralitas-mayoritas; semi-proposional dan proposional. Ketiga kelompok besar ini dapat dikelompokkan lagi menjadi sepuluh anak kelompok. Untuk anak kelompok sistem pluralitas-mayoritas terdiri dari : First Past the Post (FPTP), Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), Two-Round System (TRS); untuk kelompok sistem semi-proposional terdiri dari Limited Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV); untuk sistem proposional  terdiri dari Representasi Proposional Daftar (RP Daftar), Mixed Member Propotional (MMP), dan Single Transferable Vote (STV).
  
2.     Peran Partai Politik
Dengan pemberian kuota 30% maka kaum perempuan harus mulai berjuang melalui sarana-sarana yang ada. Partai politik merupakan salah satu sarana atau wadah yang sah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Di sini kaum perempuan harus mampu menunjukkan kemauan dan kemampuannya beraktivitas dalam partai, sehingga performance-nya di situ dapat dipakai sebagai standar penilaian prestasi dan sekaligus sebagai upaya menepis tuduhan bahwa pemberian kuota hanyalah sekedar belas kasihan kepada kaum perempuan.
Dalam hal ini kaum laki-laki harus rela mengakui hak-hak politik kaum perempuan dan sekaligus menjadikan mereka partner dalam berjuang. Para petinggi partai politik perlu mendukung kaum perempuan untuk berpolitik praktis, apabila mereka mau dan mampu, dengan jalan memberi jabatan-jabatan fungsionaris. Sudah barang tentu cara seperti ini dapat memuluskan jalan bagi kaum perempuan untuk menjadi anggota badan-badan perwakilan (legislatif). Tetapi jika perempuan yang di ajukan sebagai calon legislatif atau untuk mengemban tugas di lembaga eksekutif atau yudikatif atau jabatan-jabatan publik lainnya dinilai tidak layak, maka tidak perlu dipilih karena tidak semua perempuan pantas untuk dipilih.

B.    Model Pemberian Suara
1.     Affirmative Action
Kuota sebesar 30% sekarang sudah jadi harga mati. Namun, dilihat dari aspek kesiapan kaum perempuan sendiri, nampaknya untuk memenuhi angka tersebut memang tidak mudah karena saat ini jumlah perempuan yang tertarik masuk serta terlibat aktif dalam partai politik terutama yang duduk sebagai fungsionaris masih sedikit.
Dengan demikian, nampaknya kuota bagi kaum perempuan untuk duduk sebagai calon anggota legislatif atau duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah, sebesar 30% sudah merupakan ketentuan hukum yang bersifat mengikat. Tetapi tindakan-tindakan affirmative action harus terus dilakukan supaya kuota perempuan dapat terpenuhi sekalipun tidak maksimal.
Dalam kondisi keterwakilan perempuan di DPR RI sepanjang sejarah sejak Pemilu 1955 sampai Pemilu 1992 trend-nya cukup bagus karena menunjukkan hasil yang positif walaupun lajunya lambat. Tetapi memasuki Pemilu 1997 menunjukkan gejala yang menurun karena hanya 11,60% saja yang duduk di DPR RI dan kondisi yang sangat memprihatinkan justru pada Pemilu 1999 turun menjadi 8,8%. Kemungkinan hal itu disebabkan adanya pergantian era dari orde baru ke era reformasi, sebuah euforia baru di bidang politik dan pada saat yang bersamaan muncul krisis dimensional. Jadi kemungkinan besar banyak perempuan tidak/kurang tertarik untuk terjun di dunia politik karena energinya habis untuk mengurusi krisis.
Dengan demikian sebelum dan sesudah diberlakukannya kuota keterwakilan perempuan sebesar 30%, ternyata perempuan Indonesia yang berhasil menjadi anggota DPR masih jauh dari harapan karena angka keterwakilan perempuan pada Pemilu 2004 hanya berkisar 11,80% dengan jumlah kursi DPR bertambah menjadi 550 dan sistem pemilunya juga berbeda. Sedangkan pada Pemilu 2009 dengan pencalonan 33,6% dan yang terpilih berkisar 18,04% dengan jumlah kursi 560 kursi .
Pada pemilu tahun 2014 secara keseluruhan jumlah caleg perempuan yang terpilih mengalami penurunan bila dibandingkan dengan hasil pemilu sebelumnya. Jumlah perempuan yang menjadi Anggota DPR RI periode 2014-2019 diperkirakan hanya sekitar 79 orang atau 14% dari total Anggota DPR RI yang berjumlah 560 orang. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan DPR periode 2009-2014, yaitu 101 orang atau 17,86%.
Sedangkan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga DPD sejak Pemilu 2004 sebesar 18,80% kemudian pada Pemilu 2009 naik menjadi 27,20%. Hal ini menunjukkan kenaikkan yang signifikan walau belum mencapai target 30%, tetapi harus terus diperjuangkan/ ditingkatkan. Kebijakan affirmatif masih harus diperjuangkan/ ditingkatkan mulai dari pusat sampai ke daerah dengan berbagai cara dan strategi supaya perempuan Indonesia dapat mewarnai dunia politik dan tidak kalah bersaing termasuk di dunia Internasional.
Keterwakilan perempuan di Moroko, Yaman, Nigeria, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Gambia tersebut dalam pencalonan perempuan di parlemen belum sepenuhnya didukung karena angka keterwakilan perempuannya masih rendah yaitu berkisar antara 0,6% sampai 2%. Hal itu juga didukung oleh sistem pemilu di negara-negara tersebut yang menganut sistem pemilu pluralitas/mayoritas yaitu calon harus memperoleh suara sah terbesar dalam sebuah daerah pemilihan. Kondisi di enam negara tersebut jika dibandingkan dengan Indonesia lebih bagus walaupun angkanya masih berkisar 10,5% artinya masih jauh dari angka target 30%.
Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara demokrasi yang masuk urutan tertinggi dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen nasional-majelis rendah seperti Swedia, Denmark, Finlandia, Norwegia, Belanda, dan Islandia jelas tertinggal jauh karena angka keterwakilan di negara-negara tersebut berkisar antara 34,90% sampai 42,70%
Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara demokrasi di Swedia, Denmark, Finlandia, Norwegia, Belanda, dan Islandia dengan berbagai sistem pemilu representasi proposional atau representasi proposional (campuran) telah menunjukkan kiprahnya melalui pemberian kuota baik kuota sukarela maupun kuota wajib sudah melampaui target. Maknanya angka kuota 30% memang diperlukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik.

2.     Strategi Pemetaan Politik
Perempuan di Indonesia, khususnya yang terjun di dunia politik sudah mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu dengan terbitnya; (1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1965 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 46 Sistem Pemilu, Kepartaian, Pemilihan Anggota Badan Legislatif, Sistem Pengangkatan di Bidang Eksekutif dan Yudikatif harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan.
Lalu TAP MPR Nomor IV Tahun 2002 yang merekomendasikan kepada Presiden untuk membuat kebijakan, peraturan dan program khusus untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan dengan jumlah minimal 30%.
Tak ketinggalan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Pasal 13 Ayat (3) tentang Partai Politik yang sudah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat (2) pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan, Ayat (5) kepengurusan parpol tingkat nasional disusun dengan menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan dan Pasal 20 kepengurusan parpol tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART parpol masing-masing; (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 65 Ayat (1) tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD yang sudah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD Pasal 8 Ayat (1) Huruf (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat. Selanjutnya Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD Pasal 55 bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan dan Pasal 56 Ayat (2) di dalam daftar bakal calon diatur setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon (zipper).
Di samping kekuatan di atas, ada pula faktor kelemahannya yaitu perempuan masih takut berpolitik karena politik sering diidentikan dengan kekerasan. Demikian pula pemahaman perempuan terhadap politik juga masih rendah, perempuan tidak percaya pada kepemimpinan perempuan dan perempuan masih diragukan kemampuannya.
Keberadaan perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan atau di legislatif harus ada yang mewakili supaya ada perimbangan antara laki-laki dengan perempuan, sehingga kebijakan-kebijakan publik/politik tidak akan bias gender dan justru akan mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas, maka untuk merebut kursi legislatif masih ada peluang.
Menjadi sebuah ancaman yang dihadapi caleg perempuan antara lain jika bersaing dengan artis, keluarga pejabat, petahana (incumbent) karena rata-rata mereka sudah mempunyai modal sosial maupun modal uang. Ancaman lainnya adalah perempuan yang berkualitas tidak mau maju lagi karena tidak punya uang/modal. Sedangkan di lain pihak partai politik tidak mengadakan kaderisasi bagi perempuan, bahkan dalam memenuhi keterwakilan perempuan 30% nampak seadanya saja sehingga hasilnya ketika terpilih juga tidak maksimal.
Upaya efektif yang dapat dilakukan caleg perempuan saat ini adalah: pertama, melakukan gerakan secara bersama-sama dengan para aktivis perempuan, para feminis, dan parpol untuk melakukan kampanye politik dengan slogan “sudah waktunya perempuan pilih perempuan”; kedua, parpol pun harus mau membantu caleg perempuan yang selama ini hanya dijadikan kembang demi memenuhi ketentuan 30% atau mereka diajukan karena cantik dan berpredikat selebritis. Jika parpol sungguh-sungguh mengajukan caleg perempuan sebaiknya jangan hanya sekedar dijadikan pemanis saja tetapi mereka betul-betul diberdayakan kalau mereka memang layak dan pantas dipilih, sehingga citra parpol pun dapat meningkat, imbasnya perolehan suara dan perolehan kursi juga akan meningkat, serta dapat mempercepat kesetaraan dan keadilan gender.
Berdasarkan uraian dan analisis di atas, maka perempuan masih ada peluang untuk memperoleh kursi di parlemen baik berdasarkan nomor urut “topi” (nomor urut 1) atau nomor urut besar karena tetap mempunyai peluang meraih suara terbanyak. Caleg perempuan yang menempati nomor urut “topi” (nomor kecil) atau nomor urut “sepatu” (nomor urut besar) tetap harus bekerja ekstra untuk mendapatkan suara terbanyak dan tidak perlu khawatir kalau memang sudah mantap dan mempunyai jaringan yang luas karena suara terbanyak sama dengan sistem popular vote. Fakta menunjukkan bagi caleg perempuan yang sudah dikenal dan disukai oleh rakyat pasti akan dipilih.
Perempuan dalam berpolitik perlu menunjukkan kekuatan, kecerdasan dan keluwesan serta keuletan dalam bertindak dan hal ini dimulai semenjak ditingkat paling bawah dan nantinya perlu dilanjutkan terus sampai ke tingkat atas. Last but not least jadikan tahun 2014 sebagai tahunnya kaum perempuan, walaupun hasilnya belum tentu maksimal tetapi tetap lebih maju.
  
DAFTAR PUSTAKA

Andrew Reynols & Ben Reily. 2005. The International IDEA Handbook of Electoral System Design. Stockholn: IDEA.
Aribowo dkk. 2002. Model-model Sistem Pemilihan Di Indonesia. Surabaya: Pusdeham
Cantor, Dorothy W. dkk. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
IDEA, United Nation, IFES. tt. Sistem Pemilu.
IFES. tt. Keterwakilan Perempuan di Lembaga-Lembaga Nasional Yang Anggotanya Dipilih Melalui Pemilu: Perbedaan-Perbedaan Dalam Praktek Internasional dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi.
Norris, Pippa. 2004. Electoral Engeneering: Voting Rules and Political Behavior. Cambridge: Cambridge University Press.
Rabkin, Rhoda.1996. “Redemocratization, Electoral Engenering, and Party Strategies in Chile:1985-1995”. Comparative Politic Studies 29 (3).
Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik. Jakarta: Grasindo.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD, DPD, dan DPRD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz