Jumat, 08 Januari 2010

Penegakan Hukum Dalam Perspektif Hukum Pidana

PEMBAHASAN

  

A.     Masalah Penegakan Hukum dalam Perspektif Socio Legal

Hukum menurut David Berker dan Collin Padfield adalah: as a rule of human conduct imposed upon and enforced among the members of give state (Harahab; 1995:114). Dari batasan ini dapat ditarik beberapa karakter bahwa hukum merupakan kumpulan aturan baik tertulis (Undang-Undang) maupun kebiasaan (Custom), hukum sebagai pedoman tingkah laku, hukum ditentukan secara paksa oleh badan yang diberi otaritas (law is emposed), dan hukum memiliki daya eksekusi (Enforcement). Namun demikian ada yang berpendapat bahwa hukum sama dengan norma. Misalnya Eitzen (1988:41), mengatakan bahwa: norms are rules specipying appropriate and inappropriate behaviors. The important norms are called mores and the less important one are called folkways. Norma adalah aturan atau pedoman hidup tingkah laku manusia. Sehingga barang siapa melanggar dianggap sebagai manusia yang tidak bermoral (amoral), sebab yang ditekankan di sini adalah aspek moral dan etika dari manusia. Selanjutnya agar norma atau hukum dipatuhi tanpa adanya paksaan oleh warga masyarakat atau perlu diadakan sosialisasi (pemasyarakatan).[1]

B.     Efektifitas Hukum

Howard dan Mummers (1965:46-47), berpandangan mengenai efektitifas hukum mempunyai syaarat sebagai berikut:

1.      Undang-undang harus dirancang dengan baik, kaidah-kaidah yang mematoki harus dirumuskan dengan jelas dan dapat dipahami dengan penuh kepastian. Tanpa patokan-patokan yang jelas seperti itu, orang sulit untuk mengetahui apa yang sesungguhnya diharuskan, sehingga undang-undang tidak akan efektif.

2.      Undang-undang itu, dimana mungkin, seyogyanya bersifat melarang, dan bukannya bersifat mengharuskan. Dapat dikatakan bahwa hukum prohibitur itu pada umumnya lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum mandatur.

3.      Sanksi yang diancamkandalam undang-undang itu haruslah berpadanan dengan sifat undang-undang yang dilanggar. Suatu sanksi yang mungkin tepat untuk suatu tujuan tertentu, mungkin saja akan dianggap tidak tepat untuk tujuan lain.

4.      Berat sanksi yang diancam kepada si pelanggar tidaklah boleh keterlaluan. Sanksi yang terlalu berat dan tak sebanding dengan macam pelanggarannya akan menimbulkan keengganan dalam hari para penegak hukum (khususnya para juri) untuk menerapkan sanksi itu secara konsekuen terhadap orang-orang golongan tertentu.

5.      Kemungkinan untuk mengamati dan menyelidik perbuatan-perbuatan yang dikaedahi dalam undang-undang harus ada. Hukum yang dibuat untuk melarang perbuatan-perbuatan yang sulit dideteksi, tentulah tidak mungkin efektif. Itulah sebabnya hukum berkehendak mengkontrol kepercayaan-kepercayaan atau keyakinan-keyakinan orang tidak mungkin efektif.

6.      Hukum yang mengandung larangan-larangan moral akan jauh lebih efektif ketimbang hukum yang tak selaras dengan kaidah-kaidah moral, atau yang netral. Seringkali kita menjumpai hukum yang demikian efektifnya, sehingga seolah-olah kehadirannya tak diperlu lagi, karena perbuatan-perbuatan  yang tidak dikehendaki itu juga sudah dicegah oleh daya kekuatan moral dan norma social. Akan tetapi, ada juga hukum yang mencoba melarang perbuatan-perbuatan tertentu sekalipun kaidah-kaidah moral tak berbicara apa-apa tentang perbuatan itu, misalnya larangan menunggak pajak. Hukum yang mengandung paham dan pandangan moral di dalamnya.

7.      Agar hukum itu bisa berlaku secara efektif, mereka yang bekerja sebagai pelaksana-pelaksana hukum harus menunaikan tugas dengan baik. Mereka harus  mengumumkan undang-undang secara luas. Mereka harus menafsirkannya secara seragam dan konsisten, serta sedapat munggkin senafas atau senada dengan bunyi penafsiran yang mungkin juga dicoba dilakukan oleh warga Negara masyarakat yang terkena. Aparat-aparat penegak hukum harus juga bekerja keras tanpa mengenal jemu untuk menyidik dan menuntut pelanggaran-pelanggaran.

8.      Akhirnya, agar suatu undang-undang dapat efektif, suatu standar hidup sosio ekonomi yang minimal harus ada di dalam masyarakat. Pula, di dalam masyarakat ini, ketertiban umum sedikit atau banyak harus mudah terjaga. [2]

Dihadirkannya Hukum Pidana dalam kehidupan masyarakat didasarkan atas pertimbangan:

a.      Peraturan-peraturan dan norma-norma kehidupan, baik yang berasal dari masyarakat (misalnya adat kebiasaan) maupun dari Negara belum cukup menjamin atau belum cukup kuat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban yang langgeng dan merata. Hal ini disebabkan peraturan-peraturan dan norma-norma kehidupan yang sudah ada tersebut masih saja dapat dilanggar orang setiap waktu dan tempat dimana ada kesempatan, sedangkan penindakannya seringkali tidak mempan (tidak berdaya guna), seperti ganti rugi dalam hukum perdata atau pemecatan dalam hukum Administrasi Negara. Karena itu diperlukan lagi suatu hukum yang khusus mengatur mengenai penghukuman orang-orang yang melanggar peraturan-peraturan tersebut. Hukum inilah yang akhirnya tampil sebagai hukum pidana.

b.      Demi tercapainya kepastian hukum yang menjamin bahwa hukum tidak diterapkan secara sewenang-wengang, diperlukan adanya hukum pidana yang khusus mengatur masalah pengganjaran terhadap siapa saja yang bertanggung jawab terhadap suatu peristiwa pidana. Hal ini amat sangat penting untuk mencegah timbulnya tindakan main hakim sendiri dalam masyarakat dimana korban atau pihak korban secara langsung membalas sendiri pelaku suatu tindak pidana itu sebagai pengganjarannya bila seandainya tidak ada hukum pidana yang menjamin bahwa pelaku tersebut pasti akan ditindak.

c.       Dalam hal-hal tertentu, seringkali dirasakan bahwa norma-norma kehidupan itu banyak yang kurang memadai, atau banyak yang kurang praktis atau terlampau kaku untuk dipakai sebagai pedoman orang dalam bersifat tindak. (filsafat hukum pidana: 50-51)

C.     Upaya Penegakan Hukum

Dalam banyak hal upaya penegak hukum, tidak cukup hanya dilihat dari aspek hukumnya saja agar dapat berjalan secara efektif, tetapi aspek yang lain juga harus diperhatikan, seperti aparat hukum dan kultur masyarakatnya. Dalam pandangan peters (1980: 300), yang menjadi persoalan utama bukanlah kemungkinan turut sertanya tugas tangan kuat (polisi, jaksa, hakim) atau kemauan mayoritas dalam badan yang  berwenang menentukan sanksi hukuman tertinggi atau terakhir untuk menyelenggarakan kehendaknya, tetapi justru kepercayaan atau keyakinan bahwa sesuatu peraturan hukum harus dilaksanakan biarpun tanpa paksaan fisik. Menurut langemejers, bahwa tidak ada hukum yang mengikat masyarakat, kecuali atas dasar kesadaran hukumnya (Soerjono soekanto: 1986: 75). Kesadaran adalah kata yang kata yang seringkali dengan mudah ucapkan segampang dan semudah para aparat penegak hukum menerima, memeriksa, memutus/menghukum seseorang dengan selalu diawali sumpah demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi selalu “tidak” diakhiri dengan produk keputusan yang mempunyai makna dan perspektif keadilan. Kesadaran adalah merupakan Ruh atas dari asas dan prinsip dari proses pembuatan peraturan perundang-undangan, pengesahan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukumnya/peraturan perundang-undang. Tanpa kesadaran baik dari para aparat penegak hukum, pembuat hukum dan masyarakat dimana hukum akan diterapkan, maka penegakan hukum akan menjadi proses untuk mengabsahkan kekuasaan yang absolute dengan pembenaran/justifikasi hukum bersifat korup, otoriter, represif, yang sekaligus mencerminkan kepentingan dari para olighark penguasa.[3]

Kehadiran peraturan perundang-undangan mengenai system peradilan pidana misalnya yang ditegakkan oleh aparat penegak hukum (struktur), bertujuan untuk merubah konsep dan perilaku main hakim sendiri (eigenrichting) masyarakat dalam mereaksi dan mengapresiasi ketidaktegasan dan ketidakjelasan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum dan aturan mengenai system peradilan yang menegakkan dan mewujudkan keadaan public. Sebab  bagaimanapun juga kehadiran seperangkat peraturan perundang-undang di bidang peradilan pidana oleh penguasa bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk menimbulkan kekeacauan system peradilan pidana. ( system peradilan: 16)

Fenomena eigenrichting atau main hakim sendiri yang dilakukan secara missal oleh rakyat dalam mereaksikan dan mengapresiasi tindakan “jahat” orang atau kelompok lain yang ditentu, adalah wujud dari tindakan individu atau kelompok yang ditentukan oleh norma hukum yang tidak jelas dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan public, kekuasaan yang otoriter dan pengusas yang orgarkh, kebiasaan tidak member contoh yang baik dalam segala aspek perikehidupan yang melahirkan dampak multi effect dan peniruan oleh masyarakat terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh penguasa, nilai-nilai yang dahulu menjadi ugeran dan pedoman hidup yang yang kemudian terdistorsi oleh berbagai macam kepentingan politik penguasa baik tingkat local maupun tingkat pusat, nilai-nilai adiluhung yang tergeser oleh derasnya serbuan nilai dan budaya konsumerisme yang melahirkan gaya hidup sonsumtif (high mass consumtif).[4]

Salah satu asas dan prinsip yang mendasar dari upaya menegakkan supremasi keadilan, adalah penegak asas rule of law. Secara konseptual karakter rule of law menurut pandangan santoso (2002:86-87), adalah sebagai berikut:

1.      Supremasi hukum (the supremacy of law), yakni setiap tindakan Negara harus dilandasi oleh hukum dan bukan berdasarkan pada diskresi (tindakan sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya)

2.      Kepastian hukum (legal certainity), yakni kepastian hukum disamping erat terkait dengan butir satu diatas, juga mensyaratkan adanya jaminan bahwa suatu masalah diatur secara jelas, tegas dan tidak duplikatif, serta bertentangan dengan perundang-undangan lainya.

3.      Hukum yang Responsif (hukum harus mampu menyerap aspirasi masyarakat luas dan mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan bukan dibuat untuk kepentingan segelintir elite).

4.      Penegak hukum yang konsisten dan non diskriminatif masyarakat adanya sanksi, mekanisme untuk menjalankan sanksi, sumber daya manusia atau penegak hukum yang mempunyai integritas) serta

5.      Keberadaan independensi peradilan (independensi peradilan sebagai syarat penting dalam mewujudkan rule of law karena kunci penegakan hukum terletak pada efektifitas peradilan).[5]

Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan social itulah kiranya prof.Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang sering di sebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut (sudarto, 1986: 36-40).

a.      Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila. Dalam hal ini penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan juga mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b.      Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas masyarakat.

c.       Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost-benefit principle). Untuk itu perlu diperhitungkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan hasilyang diharapkan akan dicapai.

d.      Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai kelampauan beban tugas (overblasting).[6]

Secara umum dilihat dari segi fungsionalisasi, pengoprasian sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

1.      Tahap formulasi, yaitu tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembuat undang-undang (sebagai kebijakan legislative).

2.      Tahap aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana atau penerapan pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikatif).

3.      Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang (sebagai kebijakan eksekutif)

Sebagai suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga tahapan ini diharapkan merupakan suatu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan system (Muladi, 1984:91). Jadi dengan demikian tidaklah mungkin ada penerapan sanksi pidana jika sebelumnya tidak ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; demikian pula tidak mungkin ada pelaksanaan atau eksekusi pidana jika pada kenyataannya sanksi pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan tidak pernah diterapkan/ diberlakukan sama sekali. [7]

Untuk melihat bagaimana kedudukan dan pola pidana denda dalam hukum pidana positif Indonesia, maka pertama-tama kita bertolak dari ketentuan pasal 10 KUHP, yang menyatakan bahwa:

a.                              Pidana pokok terdiri dari:

1.      Pidana mati

2.      Pidana penjarah

3.      Pidana kurungan

4.      Pidana denda

5.      Pidana tutupan(yang ditambahkan berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946)

b.      Pidana tambahan, terdiri atas:

1.            Pencabutan hak-hak tertentu

2.            Perampasan barang-barang tertentu

3.         Pengumuman keputusan hakim.[8]

Hukum pidana dalam hal ini berfungsi sebagai alat pemaksa yang tegas terhadap semua orang dalam hidup bermasyarakat untuk tidak menggangu keamanan dan ketertiban atau keadilan dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan dengan disertai sanksi negative atau hukuman terhadap setiap pengganggunya. [9]

D.    Orang-orang yang Menegakkan Hukum

1.      Polisi

Tugas-tugas polisi antara lain:

a.      Penyelidik, yaitu pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan (pasal 1 butir 4 KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (pasal 1 ayat 5 KUHAP).[10]

b.      Penyidik, yaitu melakukan penyidikan. Kegiatan penyidikan merupakan tindak lanjut penyelidikan,  yang sedikit banyak telah menemukan kontruksi peristiwa pidana yang terjadi. [11]

2.      Jaksa, Penuntut Umum, dan Kejaksaan

Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah diperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 1 butir 6a). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

Jaksa adalah pejabat fungsional yang dianggkat dan diberhentikan oleh Jaksa agung. Dalam melakukan tugas penuntutan, jaksa bertindak untuk dan atas nama Negara, dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut penuntut umum.[12]

Ada beberapa bidang tugas dan wewenang kejaksaan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 (pasal 27, 28, 29) yang sebagai berikut.

1.      Di bidang pidana

Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a.      Melakukan penuntutan dalam perkara pidana

b.      Melaksansanakan penetapan Hakim dan putusan peradilan

c.       Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat

d.      Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik

2.      Di bidang perdata dan tata usaha Negara (Datun)

Di bidang datum kejaksaan dengan penguasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah

3.      Di bidang ketertiban dan ketentraman umum

Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a.      Peningkatan kesadaran hukum masyarakat

b.      Pengaman kebijakan penegakkan hukum

c.       Pengamanan peredaran barang cetakan

d.      Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara

e.      Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama

f.        Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic criminal.[13]

3.      Hakim

Pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili disebut Hakim. Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala Negara atas usul Menteri kehakiman berdasarkan persetujuan Mahkama Agung.[14] (pidana dan pemidanaan: 72-73)

Untuk mewujudkan tujuan Negara sebagai Negara hukum, maka dalam mencapai sasarannya, perlu dibentuk sebuah lembaga peradilan yang mempunyai tugas menegakkan hukum di bumi Nusantara ini. [15]

Wewenang hakim antara lain:

a.      Melakukan penahanan

Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penerapannya berwenang melakukan penahanan.

b.      Pengalihan jenis penahanan

c.       Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain.[16]

4.      Pengacara/advokat

Dalam kenyataannya setiap Negara memiliki sebuah organisasi atau lembaga yang memberikan jasa pelayanan hukum terhadap orang atau lembaga yang membutuhkan layanan hukum tersebut. Lembaga tersebut lazim disebut “advokat” atau pengacara. Di Indonesia keberadaan advokat tidak lepas dari pemerintah belanda. [17]

 Advokat adalah sebuah lembaga atau institusi yang memberikan pelayanan hukum pada klien, dapat saja diberikan tidakan apabila tidak sungguh-sungguh menjalankan profesinya tersebut.[18] (etika dan tanggung jawab: 63)

Lembaga advokat sebagai profesi yang menjalankan fungsi utama membantu klien dalam mengurus perkaranya, tetapi sekaligus sebagai penegak hukum yang paling utama. Oleh karena itu, wajar kalau dalam menjalankan profesinya tetap memiliki landasan pijakan berupa hak dan kewajiban yang melekat pada dari advokat tersebut. [19](etika dan tanggung jawab: 66)

 

Kesimpulan

 

Dari berbagai penjelasan dalam pembahasan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa: hukum merupakan kumpulan aturan baik tertulis (Undang-Undang) maupun kebiasaan (Custom), hukum sebagai pedoman tingkah laku, hukum ditentukan secara paksa oleh badan yang diberi otaritas (law is emposed), dan hukum memiliki daya eksekusi (Enforcement). Agar suatu undang-undang (hukum) dapat efektif, suatu standar hidup sosio ekonomi yang minimal harus ada di dalam masyarakat. Upaya penegak hukum, tidak cukup hanya dilihat dari aspek hukumnya saja agar dapat berjalan secara efektif, tetapi aspek yang lain juga harus diperhatikan, seperti aparat hukum dan kultur masyarakatnya. Salah satu asas dan prinsip yang mendasar dari upaya menegakkan supremasi keadilan, adalah penegak asas rule of law, Supremasi hukum, Kepastian hukum, Hukum yang Responsif, Penegak hukum yang konsisten, Keberadaan independensi peradilan. Orang- orang yang menegakkan hukum diantaranya adalah, polisi, jaksa penuntut umum, hakim pengacara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz