Jumat, 08 Januari 2010

Perbuatan Pidana


PENDAHULUAN

 

Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana.

Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.

Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan masyarakat yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam.

Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan pidana lebih lanjut, kita akan membahasnya di dalam makalah ini.


PEMBAHASAN

 

1.      Pengertian Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.[1]

Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit, yaitu:

1)     Adanya kejadian yang tertentu.

2)     Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.[2]

Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris, “criminal act”. Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan, yang dilarang oleh hukum. Criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt).[3]

Antara perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat, dan tak mungkin dipisah-pisahkan. Maka dari itu hemat kami perbuatan pidana dapat diberi arti: perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.[4]

 

2.      Pengertian Pidana dan Straafbaar Feit

Pada mulanya memang perbuatan pidana tidak lain adalah merupakan alih bahasa dari strafbaar feit, akan tetapi tentang isi pengertiannya di bidang ilmu timbul persoalan diantara para sarjana hukum.[5]

Perlu kita ketahui dahulu apakah artinya “strafbaar feit”. Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel merumuskan sebagai berikut; strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan.

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatannya itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain halnya strafbaar feit, disitu dicakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahannya.[6]

Pokok pikiran dalam perbuatan pidana diletakkan pada sifatnya perbuatan dan bukan pada sifatnya orang yang melakukannya.[7]

 

3.      Cara Merumuskan Perbuatan Pidana

Perumusan perbuatan pidana itu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk disebabkan karena sumber dan dasar penentuan arti perbuatan pidana. Perumusan perbuatan pidana menurut faham para penulis Belanda, diartikan suatu perbuatan yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat diancam dengan pidana. Sedangkan Prof. Moeljatno, SH merumuskan perbuatan pidana dalam arti suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.[8]

Menurut Prof. Moeljatno, SH., cara merumuskan perbuatan pidana:

Cara I:

Rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam buku II dan buku III dengan maksud agar supaya diketahui dengan jelas perbuatan apa yang dilarang.

Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut perlu menentukan unsur-unsur atau syarat-syarat yang terdapat dalam perbuatan pidana itu.

Misalnya:

-         Pencurian, pasal 362 KUHP

Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan pencurian ialah:

1.      mengambil

2.      yang diambil ialah barang milik orang lain

3.      dengan maksud memiliki secara melawan hukum

-         Menadah, pasal 480 ke 1 KUHP

Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan menadah ialah:

1.      membeli, menyewa, menukar, dan sebagainya

2.      barang yang diketahuinya atau yang selayaknya harus diduga berasal dari kejahatan.

Cara II

Apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan.

Misalnya:

Penganiayaan, pasal 351 KUHP. Rumusan dalam pasal tersebut adalah rumusan umum, batasan-batasannya tidak ditentukan dalam rumusan itu maka ilmu pengetahuan telah menetapkan bahwa isi daripada “penganiayaan” ialah dengan sengaja menimbulkan nestapa (leed) atau rasa sakit pada orang lain.

Cara III

Untuk menentukan perbuatan pidana digunakan selain menentukan dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari perbuatan pidana tersebut.

Misalnya:

Seorang pencuri tidak segera menjual hasil curian, tetapi menunggu waktu dengan hasrat mendapat untung.

Rumusan tersebut memenuhi unsur penadahan, pasal 480 KUHP, namun karena kualifikasi kejahatannya sebagai pencuri maka tetap melanggar pasal 362 KUHP bukan sebagai penadah.[9]

 

4.      Beberapa Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

a.      Perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan dan pelanggaran

Bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.

Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.

Sudah sejak Wetboek v. Strafrecht mulai berlaku, pandangan ini telah ditentang. Disebutkan antara lain bahwa ada pelanggaran yang juga sebelum adanya ditentukan wet sudah dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut, umpamanya pasal 489 straatschending atau baldadigheid (kenakalan);[10]

Pasal 489 ke-1 “Kenakalan terhadap orang atau barang, yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan.”

Diancam denda paling banyak lima belas rupiah.

Pasal 494 ke-6, “Barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang, menghalang-halangi sesuatu jalanan untuk umum di barat maupun di air, atau menimbulkan rintangan karena pemakaian kendaraan atau perahu yang tidak semestinya.”

Hal ini akan diancam denda paling banyak dua puluh lima rupiah.

Pasal 503 ke-1, “Barang siapa membikin kegaduhan atau memberisikkan tetangga, sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu.”

Diancam dengan kurungan paling lama 3 hari atau denda paling banyak lima belas rupiah.[11]

 

Pasal 489 mengenai perbuatan pidana menyebutkan kejahatan sedangkan pasal 494 dan 503 termasuk perbuatan pidana menyangkut pelanggaran. Oleh karena itu, pandangan di atas yang dalam kepustakaan terkenal dengan adanya perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran, pada masa sekarang sudah banyak ditinggalkan dan diganti dengan pandangan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.[12]

Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa:

1.      Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.

2.      Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.

3.      Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60).

4.      Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak perjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.

5.      Dalam hal perbarengan (Concursus) para pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (pasal 60, 66-70).

Perbedaan kejahatan dan pelanggaran tidak menjadi ukuran lagi untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa mengadilinya seperti dahulunya, oleh karena sekarang semuanya diadili oleh Pengadilan Negeri. Meskipun demikian, ada perbedaan dalam acara mengadili.[13]

b.      Perbuatan-perbuatan pidana, selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran

Dalam hal ini secara teori dan prakteknya dibedakan pula antara lain.

1)     Delik dolus dan delik culpa

Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya pasal 338 KUHP; “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kalpaan, misalnya menurut pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya. Contoh dari pada delik-delik dolus yang lain:

Pasal 354             : dengan sengaja melukai berat orang lain.

Pasal 187             : dengan sengaja menimbulkan kebakaran.

Pasal 231             : dengan sengaja mengeluarkan barang-barang yang disita.

Pasal 232 (2)        : dengan sengaja merusak segel dalam pensitaan.

Contoh daripada delik culpa:

Pasal 360             : karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat.

Pasal 189             : karena kealpaannya menyebabkan kebakaran.

Pasal 231 (4)        : karena kealpaannya menyebabkan dikeluarkannya barang-barang dari sitaan.

Pasal 232             : karena kealpaannya menimbulkan rusaknya segel dalam penyitaan.[14]

Dan pidananya:

Pasal 338             : diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun

Pasal 354             : diancam karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun

Pasal 187             : (1) pidana penjara paling lama 12 tahun, bahaya umum bagi barang

                                (2) pidana penjara paling lama 15 tahun, bahaya bagi nyawa orang lain

                                (3) pidana penjara seumur hidup, bahaya nyawa dan mengakibatkan matinya orang

Pasal 231             : pidana penjara paling lama empat tahun

Pasal 232 (2)        : pidana penjara dua tahun delapan bulan

Pasal 360             : pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun

Pasal 189             : pidana penjara paling lama tujuh tahun

Pasal 231 (4)        : pidana kurungan paling lama satu bulan dan denda paling banyak 120 rupiah

Pasal 232             : pidana penjara dua tahun delapan bulan[15]

2)     Delik commissionis dan delikta commissionis

Yang pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal 362), menggelapkan (pasal 372), menipu (pasal 378).[16]

 

1.   Pencurian pasal 362 KUHP.

        Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

  Jika kita meneliti rumusan perbuatan pidana pencurian tersebut, yang menjadi inti perbuatan terdiri dari unsur-unsur:

a.   mengambil barang

b.   barang harus kepunyaan orang lain seluruhnya atau sebagian

c.    pengambilan barang yang demikian itu harus dengan maksud memiliki secara melawan hukum

     Untuk diketahui bahwa pencurian itu terdiri dari 3 unsur seperti tersebut di atas tanpa menitikberatkan suatu unsur.

         Menurut Noyon Langemeyer, bahwa pengambilan yang diperlukan untuk pencurian adalah pengambilan yang eigen machtig yaitu karena kehendak sendiri atau tanpa persetujuan yang menguasai barang.

  Simons maupun Pompe, menyatakan menyamakan arti mengambil dengan istilah wegnehmen dalam KUHP Jerman yang berarti tidak diperlukan pemindahan tempat dimana barang berada, tetapi hanya memegang saja belum cukup, tersangka harus menarik barang itu kepadanya dan menempatkannya dalam penguasaannya.

         Menurut V. Bemmelen, arti wegnehmen dirumuskan sebagai berikut, “Tiap-tiap perbuatan dimana orang menempatkan barang harta kekayaan orang lain dalam kekuasaannya tanpa turut serta atau tanpa persetujuan orang lain atau tiap-tiap perbuatan dengan mana seseorang memutuskan ikatan dengan sesuatu cara antara orang lain dengan barang kekayaan itu.

     Pendapat diatas ternyata bahwa “pengambilan” ditafsirkan secara luas, yaitu tidak dengan memindahkan tempat barang karena tangan terdakwa. Menurut Yurisprudensi dianggap sebagai mengambil yaitu: orang yang menggunting kantung orang lain, sehingga isinya jatuh, kemudian diambilnya.

         Pendapat Van Bemmelen, lebih jauh lagi dalam menafsirkan kata wegnehmen, dikatakan meskipun tidak ada penempatan barang dalam kekuasaan terdakwa adalah sudah mengambil.

2.   Penggelapan pasal 372 KUHP

         Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai memiliki (aich toceigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun, atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

         Menurut rumusan tersebut diatas bahwa perbuatan itu dilakukan dengan sengaja, lebih-lebih kata sengaja ditempatkan pada awal rumusan sehingga mempengaruhi unsur-unsur lainnya.

         Perbedaannya dengan pencurian terletak pada barang sesuatu yang dimiliki sudah ada dalam kekuasaannya, dari sebab itu tidak diperlukan unsur mengambil.

Inti perbuatan yang dilarang dalam penggelapan ialah “sikap mengakui sebagai milik sendiri” harus disalin dengan mengakui sebagai milik sendiri yang merupakan subjectief onrechts element.

3.   Penipuan pasal 378 KUHP

         Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoednigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang ataupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan penjara paling lama empat tahun. Rumusan tersebut berbentuk perbuatan yang disengaja, dengan rumusan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri.

         Yang perlu dibuktikan ialah: perbuatan yang melawan hukum yang bagaimana sehingga dapat menggerakkan seseorang untuk menyerahkan sesuatu barang. Perbuatan penipuan ini tidak menggunakan sarana paksaan, tetapi dengan kepandaian seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang berbuat sesuatu tanpa kesadaran yang penuh.[17]

 

Yang kedua adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya delik dirumuskan dalam pasal:

Pasal 164 KUHP; Tidak melaporkan kepada instansi yang berwajib apabila diketahui suatu pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu pada saat masih ada waktu untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Pasal 224 KUHP; tidak mengindahkan kewajiban menurut undang-undang sebagai saksi atau seorang ahli.[18]

Ada pula yang dinamakan delika commissionis peromissionem sommissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan tidak memberi makan pada anak itu.

3)     Delik biasa dan delik yang dikualifisir (dikhususkan)

Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Ada kalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik basa, ada kalanya obyek yang khas, ada kalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa tadi.

Contoh : pasal 362 adalah pencurian biasa, dan pasal 363 adalah pencurian yang dikualifisir, yaitu karena cara melakukannya diwaktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena obyeknya adalah hewan. Pasal 351 KUHP adalah penganiayaan biasa sedangkan pasal 353, 354, 355, dan 356 adalah penganiayaan yang dikwalifisir, karena mungkin caranya obyeknya maupun akibatnya adalah lebih khusus daripada dalam penganiayaan biasa.[19]

Pidananya.

Pasal 362 pencurian biasa : pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah

Pasal 363 pencurian berat : pidana penjara paling lama tujuh tahun

Pasal 351 penganiayaan biasa : pidana penjara dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah

Pasal 353 :           pidana penjara paling lama empat tahun

Pasal 354 :           pidana penjara paling lama delapan tahun

Pasal 355 :           pidana penjara paling lama dua belas tahun

Pasal 356 :           pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan ⅓.[20]

4)     Delik menerus dan tidak menerus

Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya pasal 333 KUHP, yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah (wederrechtelijke vrijheids-beroving). Keadaan yang dilarang itu berjalan terus sampai si korban dilepas atau mati. Jadi perbuatan yang dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai seperti dalam pencurian misalnya, tapi masih menerus. Sesungguhnya setelah kelakuan selesai yaitu dibawanya si korban ke tempat penahan akibat dari kelakuan itu berjalan terus selama waktu tahanan. Begitu pula pasal 221 KUHP. Disini kelakuannya menyembunyikan orang yang dicari karena melakukan kejahatan. Selama waktu dalam penyembunyiannya, keadaan yang dilarang berjalan terus.[21]

Pidananya:

Pasal 333 : pidana penjara paling lama delapan tahun

Pasal 221 : pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah[22]

 

5.      Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana, yaitu seperti dalam bahasa Inggris, reyaitu seperti dalam bahasa inggris ilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiahiga ratus rupiah

lah hewan. pasal  esponsibility. Ini adalah pengertian tersendiri, terlepas dari perbuatan pidana dalam hal, bahwa kalau dalam perbuatan pidana yang menjadi pusat adalah perbuatannya, dalam pertanggungjawaban sebaliknya, yang menjadi pusat adalah orangnya yang melakukan perbuatan.

Tetapi sesungguhnya – demikianlah ajaran Kantrorowicz tadi – antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, ada hubungan erat seperti halnya dengan perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan. Perbuatan pidana baru mempunyai arti kalau di sampingnya adalah pertanggungjawaban, sebaliknya tidak mungkin ada pertanggungjawaban, jika tidak ada perbuatan pidana. Kesalahan adalah unsur, bahkan syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana.[23]

Pertanggungjawaban pidana.

Meskipun orang telah berbuat dan memenuhi unsur pidana belum berarti bahwa orang itu telah melakukan perbuatan pidana, karena berarti bahwa orang itu telah melakukan perbuatan pidana, karena masih diperlukan pula unsur kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban perbuatan untuk dapatnya orang di pidana:

1)     adanya kemampuan bertanggung jawab

2)     adanya sikap batin atas perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan

3)     adanya keinsyafan atas pebuatannya

4)     tidak ada alasan pemaaf

jadi dapat disimpulkan bahwa perbuatan terdiri atas unsur-unsur yang obyektif yang lahir, yang nampak dalam alam kenyataan.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana (kesalahan) setelah ternyata bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana, didasarkan atas unsur-unsur yang subyektif, yang ada dalam batin terdakwa.

Dengan demikian bahwa pada pertamanya perbuatan pidana dilakukan itu terdiri atas unsur-unsur lahir dan setelah perbuatan pidana dilakukan. Pertanggungjawaban didasarkan atas unsur batinnya, setelah itu baru jelas perbuatan pidana dapat dibedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana (antara criminal act dan criminal responsibility).

Dalam praktek sering terjadi ada kelakuan yang nampak keluar secara obyektif, tidak bersifat melawan hukum (onrechtmatig). Onrecht matigheidnya itu berdasarkan atas keadaan batin seseorang (subjectieve onrecht matigheids berstanddeel).

Misalnya:

Perbuatan seorang dokter tertentu terhadap pasien wanita adalah perbuatan yang patut dan dibolehkan jika dilakukan untuk menentukan penyakit pasien. Tetapi jika dokter mempunyai maksud cabul (ontuchtige bejbedoelingen) maka perbuatan itu adalah melawan hukum (onrecht matig) dan dapat dipidana sebagai perbuatan cabul (ontucht).[24]



PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut ada 3 cara dalam memutuskan perbuatan pidana:

1.      Rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam Buku II dan Buku III dengan maksud agar supaya diketahui dengan jelas perbuatan apa yang dilarang.

2.      Apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.

3.      Untuk menentukan perbuatan pidana digunakan selain menentukan dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari perbuatan pidana tersebut.

 

Dalam KUHP perbuatan pidana dibagi atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak diatur dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah sebaliknya yaitu “wetsdeliktem” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Mengenai perbuatan-perbuatan (delik) telah diatur dalam KUHP beserta sanksi pidananya (pertanggungjawabannya) yang telah disebutkan dalam makalah yang telah lewat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please isi yupz